• Tidak ada hasil yang ditemukan

LBH Bandung)

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 100-107)

K

AMPUNG Naga adalah salah satu komunitas masyarakat adat di Nusantara yang hingga kini masih kukuh mempertahankan tradisi karuhun (leluhur)-nya. Orang Naga adalah bagian dari etnis Sunda yang menjadi etnis terbanyak di Jawa Barat. Walaupun Orang Naga memiliki sistem nilai yang berakar pada tradisi karuhunnya, mereka tergolong penganut Islam yang cukup taat.

Dalam struktur masyarakat adat Kampung Naga dikenal pim- pinan yang sering disebut sebagai sesepuh (tetua) adat Naga yang menjalankan fungsi kepemimpinan dan penerus pelestarian adatnya. Sesepuh Naga merupakan keturunan langsung dari sesepuh adat asli yang memimpin Naga secara turun temurun. Dalam menjalankan fungsi kepemimpinan adatnya, sehari-hari sesepuh ini didampingi (diwakili) oleh Kuncen. Tugasnya antara lain menerima tamu dan menjelaskan tentang adat istiadat Naga kepada tamu yang ingin mengetahuinya. Kedua pimpinan adat ini tidak bisa dipisahkan jika tengah berlangsung suatu upacara adat di Kampung Naga.

Wilayah adat Naga meliputi lahan di sekitar aliran Sungai Ciwulan dari hulu (Gunung Karacak) sampai ke hilir (daerah Sala- wu). Secara administratif, wilayah Naga meliputi tiga kecamatan. Yaitu Kecamatan Cigalontang, Salawu, dan Cilawu, di dua kabupaten

yaitu Tasikmalaya dan Garut - Jawa Barat. Luas lahan masyarakat adat Naga (yang sesungguhnya) diperkirakan sekitar 16 ribu hektare. Tiga garis pinggir dari wilayah adat ini meliputi sekitar daerah Salawu, Cilawu, Cigalontang. Kampung ini juga dikelilingi tiga gunung, yakni Gunung Cikuray, Gunung Karacak, dan Gunung Galungggung. Di sekeliling dalam wilayah adat Kampung Naga terdapat makam-makam tua (keramat).

Masalah paling mendasar di Kampung Naga adalah hilangnya tanah karuhun yang diambil oleh pihak lain sejak zaman penjajah Belanda. Menurut cerita karuhun, Orang Naga mempunyai lahan garapan dari batas Sungai Ciwulan sampai Sungai Cipaingeun. Yaitu untuk ladang, sawah, dan perkampungan keturunan Naga yang pindah dari Kampung Naga. Yang disebut Kampung Naga sendiri hanya sebatas lahan 1,5 hektare untuk pemukiman saja.

Ada tiga jenis pemanfaatan tanah di Naga, yaitu: (1) tanah garapan, yakni tanah yang boleh dimanfaatkan untuk kegiatan per- tanian masyarakat, seperti kebun, ladang (tirtir) dan sawah; (2) leuweung larangan, yakni tanah yang tidak boleh diganggu sama sekali, jangankan mengambil sesuatu dari atasnya, menginjakkan kaki pun sangat dipantang oleh adat; (3) lahan cadangan meliputi daerah sepanjang Sungai Cipaingeun sampai Sungai Cihanjatan. Lahan ini dapat dipakai jika lahan garapan pertanian atau pemu- kiman sudah tidak mencukupi lagi. Tanah hutan larangan adalah dari Sungai Cihanjatan sampai Sungai Cikole, yang dilarang untuk digarap.

Namun kini, sebagian besar tanah adat Orang Naga sudah dijadikan hutan pinus oleh Perhutani (perusahaan milik negara) dan perkebunan teh (milik swasta). Pengalihan fungsi ini sudah berlang- sung lama, ketika penjajahan masuk dan mengembangkan sektor perkebunan di Indonesia. Kini, lahan yang diakui oleh pemerintah sebagai tanah Orang Naga hanyalah tanah seluas 1,5 hektare. Di atasnya berdiri 110 bangunan yang dijadikan perkampungan oleh sebanyak 104 KK (325 jiwa) sampai dengan September 2002.

Upaya mempertahankan adat

Berdasarkan wangsit leluhur yang selalu disampaikan dari generasi ke generasi, Orang Naga mengenal sejumlah falsafah hidup. Falsafah ini juga mempengaruhi mereka dalam mempertahankan kelestarian hutan larangan. Misalnya, falsafah : Ulah bogoh ku ledokna, ulah kabita ku datarna. Makaya na luhur batu, disaeuran ku taneuh moal luput akaran. Legana saukuran tapak munding, sok mun eling moal lu-put mahi. Artinya: Jangan tergoda oleh kesuburannya, jangan terpikat oleh luasnya. Bercocok-tanam di atas batu, ditimbun tanah takkan sampai tak berakar. Walau luasnya seukuran telapak kerbau, asal ingat aturan adat pasti mencukupi (menurut adat Naga, falsafah hi- dup seperti ini tidak boleh diucapkan pada hari-hari tabu, yakni: Selasa, Rabu dan Sabtu).

Selain itu ada juga sanksi non-fisik yang disediakan bagi Orang Naga yang melanggar tanah adat. Bentuknya, amanat, wasiat, dan akibat. Sanksi ini terkandung dalam falsafah berikut Bandung Parakan Muncang Mandala Cijulang, ana saseda satapa, baeu tunggal seuweu putu. Kulit ka-sasaban ruyung, keureut piceun bisi nyeri. Maknanya: Dari mana pun orang lain berasal, mereka adalah saudara. Kalau ada yang melanggar adat maka buang atau singkirkan saja sebab merugikan dan membuat sakit.

Secara turun-temurun, adat Kampung Naga dipertahankan oleh incu-buyutnya. Caranya dengan mempertahankan jumlah, bentuk dan bahan bangunan yang berasal dari alam sekitar. Rumah dan bangunan lain yang ada di Kampung Naga seluruhnya mengguna- kan bahan utama kayu, bambu, ijuk dan batu sungai yang semuanya tersedia di sekitar pemukiman mereka. Orang Naga menolak ma- suknya listrik ke perkampungan mereka. Alasannya patuh pada la- rangan dari karuhun, atau karena takut perumahan mereka keba- karan. Seperti diketahui rumah mereka terbuat dari bahan yang rentan kebakaran seperti ijuk, kayu dan bambu.

Jika digali lebih dalam, sebenarnya mereka tidak anti ‘kemajuán’.

dunia luar. Ini dikarenakan mobilitas sosial ke luar kampung yang cukup tinggi. Di beberapa rumah warga pun sudah ‘dihiasi’ pesawat teve hitam putih dengan tenaga aki dan radio dengan energi baterai. Resep yang dipakai Orang Naga dalam mempertahankan adatnya sekaligus juga mengikuti perkembangan zaman adalah falsafah: Hirup mah kudu miindung ka waktu mibapa ka zaman, yang artinya: bah- wa dalam hidup kita mesti mengikuti perjalanan waktu dan jangan mau ketinggalan zaman, walau begitu jangan sampai kabawa kusa- kaba-kaba (terbawa oleh pengaruh negatif yang ditimbulkan perkem- bangan zaman).

Dalam hal etika dan kearifan (moralitas) hidup, Orang Naga secara ketat patuh terhadap larangan yang ditetapkan leluhur. Tiga larangan utama adalah berjudi (ngadu), mabok (ngamadat) dan melacur (ngawadon). Jika larangan dilanggar, si pelaku tinggal menunggu ‘hu- kuman’ dari leluhur. Menurut sesepuh setempat, hingga kini belum pernah (diketahui) ada warga adat yang melanggar larangan di atas. Untuk memelihara kelangsungan adat, setiap tahun Orang Kampung Naga mempunyai enam upacara adat yang mengikuti hari- hari keramat dalam bulan suci Islam. Yaitu setiap bulan Muharram, Mulud, Jumadil Akhir, Sa’ban, Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap menjelang Maulid Nabi Muhammad (muludan), dikumandangkan shalawat nabi dengan diiringi musik terbang (khas Naga). Upacara adat dilakukan dengan melakukan ziarah (jarah) ke makam leluhur di Kampung Naga. Yaitu makam karuhun pertama Naga yang ber- nama Eyang Singaparna. Ada lima pihak yang tidah boleh ikut serta dalam jarah, yaitu: perempuan, anak kecil, non-muslim, haji, dan pejabat pemerintah (mester).

Setahun sekali, secara rutin di Kampung Naga biasa diseleng- garakan sunatan massal. Acara ini menarik perhatian, karena selain melibatkan puluhan anak kecil keturunan Naga yang disunat, ada juga hiburan tradisional yang digelar selama kira-kira tiga hari. Tidak jarang, warga mengundang kerabat dan kenalan dari luar Naga untuk menyaksikan.

Soal tanah adat

Dari hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap kampung-kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang dihadapi hampir seluruh kampung adat. Yakni berpindah tangannya tanah yang menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawa, sampai hari ini, sejumlah komunitas masyarakat adat yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih bertahan. Beberapa komunitas masyarakat adat itu, Kasepuhan Banten Kidul, Ciptarasa (Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis) dan Baduy (Lebak). Sedangkan di Jateng ada Orang Samin (Sleman, Yogyakarta), dan di Jatim dikenal Orang Tengger (Malang dan Purbalingga) serta Orang Osing (sekitar tapal kuda, Banyuwangi).

Dengan mengambil sampel kasus hilangnya wilayah adat Orang Naga, sebenarnya kita sedang bercermin pada kenyataan yang lebih besar. Bahwa dewasa ini memang tengah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia tengah mengalami perubahan. Titik penting yang mendorong terjadinya perubahan itu adalah hilangnya akses dan kontrol masyarakat adat atas sumber-sumber agraria yang secara tradisi mereka kuasai dan kelola secara arif. Di sisi lain, hingga kini, tema masyarakat adat kurang populer di kalangan masyarakat luas.

Meski begitu, perhatian terhadap masyarakat adat di kalangan tertentu perlahan-lahan mulai tumbuh. Terutama dari kalangan orga- nisasi non-pemerintah dan akademisi. Membesarnya perhatian itu terutama didorong oleh karena terjadinya berbagai kasus yang meru- gikan eksistensi masyarakat adat. Berdasarkan hasil studi Konsor- sium Pembaruan Agraria (KPA) pada 1997-1998, tentang hak-hak masyarakat adat atas sumber-sumber agraria, diketahui bahwa kenyataan yang sebenarnya terjadi pada masyarakat adat Indonesia adalah sebuah proses penghancuran yang sistematis. Ini terjadi melalui intervensi berbagai kebijakan pembangunan yang memihak modal besar (kapitalisme) dalam sejumlah proyek pembangunan yang

dilancarkan oleh negera ataupun swasta.

Dalam konteks ini, masyarakat adat Kampung Naga dapat dipan- dang sebagai salah satu korban ‘pembangunan’ yang terjadi sejak zaman kolonialisme Belanda. Sementara pemerintah Republik Indo- nesia, seperti diungkapkan tokoh Naga, hanya meneruskan kebijakan agraria yang dibuat para penjajah. Terbukti, tanah/wilayah adat mereka yang pada zaman Belanda dirampas untuk dijadikan perke- bunan hingga kini tidak pernah dikembalikan.

Masalah lain yang dihadapi oleh Orang Kampung Naga adalah keengganan mereka dijadikan objek pariwisata. Hingga kini, peme- rintah masih menempatkan Kampung dan Orang Naga sebagai objek wisata, baik domestik maupun mancanegara. Padahal, mereka tidak senang diperlakukan seperti itu. Jika boleh memilih, Orang Kampung Naga (menurut tokoh adat) lebih memilih dijadikan sebagai cagar budaya, karena masyarakatnya masih mempertahankan adat yang diwariskan para leluhur sekaligus melaksanakan falsafah hidup turun-temurun.

Hal lain yang sering dikeluhkan sejumlah tokoh adat Naga ada- lah hilangnya catatan sejarah Naga yang dikenal dengan ’Piagam Naga’. Konon piagam itu dipinjam pemerintah kolonial Belanda dan tidak dikembalikan hingga hari ini. Orang Naga punya keyakinan bahwa suatu saat, tanah adat mereka akan kembali. Hal ini diisya- ratkan oleh leluhur dalam pesan yang mengandung harapan untuk kembalinya tanah adat Naga. Karuhun berpesan : Jaganing jaga di mana pamarentah geus bener, eta tanah bakal dipulangkeun. Artinya, di akhir kemudian ketika pemerintah sudah benar, maka tanah tersebut akan dikembalikan. Yang menjadi soal, ukuran benar menurut adat dan benar menurut pemerintah itu masih belum bertemu di satu titik yang sama hingga kini.

Catatan akhir

Tidak dapat dipungkiri, perhatian dan energi kalangan yang concern atas pembelaan terhadap masyarakat adat Indonesia selama

ini terpusat ke komunitas masyarakat adat yang hidup di luar Pulau Jawa. Misalnya, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa di Pulau Jawa, soal masya- rakat adat (dan petani) yang kehilangan tanahnya tidak kalah banyak. Bahkan bisa lebih kompleks sejarahnya.

Masalah tanah adat Orang Naga sebenarnya merupakan peker- jaan rumah sisa-sisa kolonialisme dulu, di mana kapitalisme dijalan- kan dengan cara paksa dan brutal. Pertanyaannya sekarang, adakah problem pokok yang dihadapi masyarakat adat (termasuk di Pulau Jawa) mempunyai celah penyelesaian? Apakah era reformasi menyi- sakan peluang bagi masyarakat yang ingin mengembalikan kedau- latan atas wilayah adatnya?

Kalau ditinjau dari sisi peluang hukum, sebenarnya cukup tersedia. Yakni telah terbukanya kesempatan bagi komunitas masya- rakat adat untuk ‘kembali’ ke sistem asal-usulnya melalui UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, lahirnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelola- an Sumberdaya Alam, khususnya yang menyuratkan prinsip ‘menga- kui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam’, pasal 4 poin (j).

Kedua dasar hukum di atas potensial untuk digunakan sebagai jembatan menuju pengakuan kedaulatan masyarakat adat atas sumber-sumber agraria, termasuk wilayah adatnya. Kunci keber- hasilannya adalah kerja keras dari masyarakat adat itu sendiri dalam merebut kedaulatannya. Langkah ini didukung dengan kemauan dan komitmen politik negara dalam mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sepenuh-penuhnya. Wallahu alam.***

Mengurai Konflik dan Ketimpangan

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 100-107)