• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengurai Konflik dan Ketimpangan Kasus Agraria

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 107-114)

(Catatan Agraria, rubrik hasil kerjasama

Republika Jabar dengan KPA dan LBH Bandung)

Prolog

K

INI tengah muncul kecenderungan baru yang meletakkan konsultasi publik sebagai salah satu langkah strategis dalam mendorong terjadinya ‘Perubahan Kebijakan’. Kecenderungan ini hinggap juga pada proses penyusunan kebijakan atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Konsultasi di sini mengandung makna perlu adanya pelibatan secara aktif dari sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan dalam proses penyusunan kebijakan.

Dengan proses konsultasi, berbagai masalah yang dihadapi akan diserap, beragam pengalaman hidup pun diungkap serta berbagai rumusan formula solusi atas masalah yang ada pun diusulkan. Per- tanyaannya, siapakah yang paling pokok untuk diajak dan diberi ruang terlebar bagi proses konsultasi ini?

Jika mengacu kepada visi pembaruan agraria yang berpihak kepada massa rakyat, maka pihak rakyatlah yang harus diprioritas- kan dalam proses konsultasi ini. Selain pertimbangan ketergan- tungan pokok rakyat terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya, kita tahu bahwa selama ini rakyatlah yang paling lemah posisi

tawarnya di hadapan pihak-pihak lain. Rakyat kerap menjadi korban dari penggunaan kekuasaan yang dimiliki para penyelenggara negara yang condong kepada para pemodal besar.

Dengan mendahulukan dan mengutamakan konsultasi dengan rakyat, maka kekuatan rakyat untuk berhadapan dengan pihak-pihak di luar dirinya bisa dipersiapkan sebaik-baiknya. Dengan konsultasi ini, diharapkan ada upaya membangun keseimbangan kekuatan di lapangan agraria, yang sejatinya merupakan lapangan ‘pertempuran’ beragam kepentingan baik ekonomi, politik, hingga sosial-budaya dari berbagai lapisan masyarakat. Konsolidasi yang dilancarkan melalui organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas terorganisir merupakan bentuk pemaknaan ulang atas pemahaman konsultasi publik. Berbagai bentuk pertemuan, diskusi, rapat, dan aksi-aksi di segala tingkatan penting untuk digencarkan. Begitu pula dengan beragam inisiatif untuk mencari titik temu di antara organisasi- organisasi rakyat yang sudah ada, perlu dirintis dan dipelihara.

Penting pula untuk disadari bahwa konsultasi dan konsolidasi adalah upaya yang perlu dilangsungkan terus-menerus, karena dialog dan penyatuan adalah pekerjaan yang tidak harus ada akhirnya.

Proses konsultasi dan peta masalah di Jawa Barat

Sejak Desember sampai Maret 2003, telah digelar Konsultasi Publik (KP) untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang menge- nai Pengelolaan Sumberdaya Alam (RUU-PSDA). Untuk diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI telah mendapatkan izin prakarsa dari Presiden RI berdasarkan Undang-Undang Propenas (2000) untuk menyusun RUU-PSDA tersebut.

Walaupun KLH adalah pemegang izin prakarsa, namun ka- langan gerakan non-pemerintahan mencoba terlibat dalam proses penyusunan berbagai agenda legislasi nasional. Ini merupakan salah satu wujud pelaksanaan dari Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Ornop PA-PSDA dengan sejumlah ornop serta organisasi rakyat di enam region. Yakni Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Di Jawa Barat, KP RUU-PSDA telah digelar oleh KPA dengan beberapa ornop, organisasi pemuda-mahasiswa, dan organisasi tani di delapan kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Ga- rut, Sumedang, Cianjur, Subang, Karawang dan Bandung. Fokus uta- ma dari KP di Jawa Barat adalah menggali persoalan agraria dan pengelolaan SDA berikut alternatif solusi dari persoalan yang diha- dapi kaum tani. Subjek utama yang terlibat dalam KP ini adalah kalangan petani yang sudah tergabung dalam berbagai tingkatan organisasi, dari yang berbasis lokal hingga kabupaten.

Sejumlah isu kritis (critical issues) yang dapat dipetik dari hasil KP di Jawa Barat dan Pulau Jawa pada umumnya meliputi butir- butir sebagai berikut: Pertama, isu penguasaan dan konflik yang menonjol; banyaknya praktek penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan investasi; adanya ketimpangan penguasaan lahan, terutama yang diakibatkan penguasaan secara berlebihan oleh badan usaha besar pekebunan dan kehutanan; sebagian besar peraturan perundang-undangan dan kebijakan lama tidak berpihak kepada rakyat kecil—seperti kaum tani.

Kedua, isu konflik agraria yang mencerminkan: konsepsi pengu- asaan tanah dan kekayaan alam lainnya oleh negara secara salah kaprah menyebabkan konflik; masyarakat kecil biasanya menjadi korban konflik; tidak ada mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik.

Ketiga, isu hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lain- nya; konsepsi negara yang menguasai tetapi yang memiliki adalah masyarakat (adat/lokal); semakin menguatnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal dalam UUD yang baru; namun, masih banyak praktek politik dari para penye- lenggara negara yang tidak mencerminkan pengakuan dan perlin- dungan atas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lain- nya.

Tentang Isi RUU-PSDA

Dari draft RUU-PSDA, secara umum, baik pada klausul konsi- deran ataupun di dalam batang tubuhnya, belum menunjukkan satu sikap yang tegas untuk melindungi dan memprioritaskan rakyat yang termarjinalkan (petani miskin, buruh tani, nelayan, buruh, kaum mis- kin kota, dan rakyat marginal lainnya) dalam mengakses terhadap sumber-sumber agraria/sumberdaya alam.

Visi pembaruan agraria (reforma agraria) sebagai komitmen poli- tik nasional seperti tertuang dalam TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) atau bahkan UUPA No. 5/1960 dan UUPBH tidak tercermin di dalam RUU-PSDA tersebut. Bahkan, RUU-PSDA ini masih mengandung tendensi membenarkan nilai-nilai produktivitas sehingga potensi untuk kembali terjadinya eksploitasi dan kerusakan terhadap sumber- sumber agraria atau sumber daya alam sangat besar.

Selain itu, kuat pula tendensi untuk mempermudah laju ekspansi dan penetrasi modal ke kawasan ataupun kelompok masyarakat marginal/rentan. Dampaknya, potensi peminggiran secara ekonomi dan akses terhadap sumber-sumber agraria dan SDA bagi rakyat yang seharusnya mendapatkan perlindungan sangat tinggi. Di dalam konsideran ataupun di dalam batang tubuh RUU-PSDA pun belum menunjukkan sikap yang tegas dalam memberikan perlindungannya terhadap komunitas rakyat marginal. Alasannya, prinsip ini masih mendasarkan pada asumsi bahwa semua stakeholder atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap SDA/sumber-sumber agraria memiliki tingkat kemampuan yang sama. Sementara, realitasnya ada ketidakseimbangan dari elemen-elemen rakyat itu. Prinsip demokratis itu masih mengandung tendensi demokrasi ekonomi secara liberal.

Pasal resolusi konflik juga menunjukkan sebuah potensi bagi pengingkaran dan pelemahan partisipasi politik rakyat. Yaitu, dengan adanya kewenangan berlebihan untuk melakukan pencegahan kon- flik dengan prinsip peringatan dan penanggapan dini (conflict early warning & response). Begitu juga, pasal kelembagaan Dewan Pem-

bangunan Berkelanjutan Nasional, baik mengenai konsepsi, tugas dan wewenang maupun mekanisme yang belum cukup jelas diatur. Bahkan keanggotaannya pun tidak secara tegas menempatkan keterwakilan masyarakat sebagai elemen atau unsur yang harus diprioritaskan.

Rekomendasi

Dari ketiga isu kritis di atas, dapat dipetik beberapa rekomendasi umum yang penting untuk diperhatikan dan dijalankan dengan seksama. Rekomendasi itu meliputi: Pertama, dalam hal penguasaan; dipandang penting untuk diselenggarakannya penataan penguasaan lahan (landreform), khususnya menyangkut redistribusi tanah kepada petani tak bertanah dan petani kecil lainnya. Bersamaan dengan itu, perlu didahulukan pengkajian ulang (review) terhadap seluruh kebi- jakan agraria dan pengelolaan SDA sebelum menyusun kebijakan baru. Adapun kebijakan (termasuk UU) baru harus memastikan kuat- nya perlindungan hak petani dan masyarakat kecil lain.

Kedua, dalam hal penanganan konflik agraria, ke depan diperlu- kan pembatasan dan pengaturan yang jelas mengenai hak menguasai dari negara agar tidak menenggelamkan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Begitu juga dengan pengaturan penyelesaian konflik yang perlu diprioritaskan sebelum membuat pengaturan (sema- cam UU) hal-hal lainnya. Sekali lagi, perlu dikembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang mengutamakan pemulihan hak-hak korban. Ketiga, bagi isu hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya, diidealkan peran negara sebagai fasilitator dan regulator dalam menerapkan kebijakan pengelolaan SDA yang menjunjung tinggi asas keadilan dan keberlanjutan. Diperlukan juga penegasan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak rakyat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Adapun pengakuan atas pluralisme hukum mutlak dibutuhkan mengingat keragaman budaya bangsa, tanpa sama sekali menihilkan fungsi dan peran hukum nasional dalam pengelolaan SDA di masa depan.

Penutup

Mengingat perkembangan terakhir dari penyusunan RUU-PSDA, perlu kiranya beragam temuan dan pandangan yang muncul dari kalangan yang terlibat dalam konsultasi publik RUU-PSDA wilayah Jawa (termasuk Jawa Barat) itu dijadikan acuan pokok. Ini penting, karena jangan sampai proses Konsultasi Publik ini menjadi proses basa-basi. Yakni proses pura-pura melibatkan kalangan masyarakat, sehingga ketika RUU itu masuk ke dalam pembahasan dan penge- sahan di DPR kelak, pemegang izin prakarsa (KLH) dapat menyata- kan ke pihak DPR bahwa RUU tersebut telah mendapatkan masukan dari masyarakat. Artinya, telah mengalami proses konsultasi meski- pun sebenarnya belum.

Dari proses konsultasi publik di wilayah Jawa, dan sejumlah wilayah lainnya, tampak bahwa RUU-PSDA bukan merupakan undang-undang yang prioritas dibutuhkan oleh rakyat tani. Yang lebih mereka butuhkan adalah suatu undang-undang yang mampu menyelesaikan sengketa tanah yang sehari-hari mereka hadapi. Jadi yang dibutuhkan rakyat sesungguhnya di lapangan yang setiap hari menghadapi persoalan tanah dan kekayaan alam, adalah adanya kerangka hukum formal dalam bentuk undang-undang yang ber- pihak pada rakyat dalam konfliknya dengan pihak-pihak lain. Karena itu, jika ternyata dalam proses konsultasi itu malah lahir sikap peno- lakan terhadap RUU PSDA, hal ini semata-mata dikarenakan RUU ini telah mengabaikan persoalan-persoalan nyata yang sedang diha- dapi rakyat tani di Jawa. Sehari-hari mereka tergusur dari tanah- tanahnya dengan kehidupan yang makin melarat.

Jika penyelesaian konflik dan ketimpangan tidak mendapat tempat, maka proses-proses konsultasi publik terhadap RUU PSDA ini tidak bisa dikatakan sebagai proses penyerapan aspirasi masya- rakat. Karena sesungguhnya aspirasi masyarakat yang berkembang adalah menolak RUU PSDA ini. Alasannya, karena RUU PSDA tidak relevan dan tidak penting bagi kehidupan mereka sekarang. Yang relevan dan penting bagi mereka saat ini adalah adanya un-

dang-undang yang mampu menyelesaikan konflik dan ketimpangan atas tanah dan kekayaan alam lainnya.

Dalam hemat kata, hasil konsultasi di Jawa Barat menyerukan: “Selesaikan dahulu konflik dan ketimpangan penguasaan, barulah kemudian ditetapkan pengaturan baru atas sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya secara adil dan berkelanjutan”. Wallahua’lam. ***

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 107-114)