• Tidak ada hasil yang ditemukan

Republika Jabar dengan KPA dan LBH Bandung)

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 95-100)

P

ENGHANCURAN sumberdaya air dan hutan sehagai daerah resapan merupakan bentuk lain dari terorisme. Penyangkalan akses rakyat miskin atas air melalui privatisasi distribusi air dan polusi industri serta sungai juga merupakan terorisme. Dalam konteks ekologi perang air, teroris tidak hanya mereka yang bersembunyi di bukit-bukit dan gua Afganistan. Banyak di antaranya bersembunyi di ruangan direksi korporasi dan di belakang hukum pasar bebas seperti WTO, NAFTA dll.

Mereka bersembunyi di belakang persyaratan privatisasi di badan-badan seperti IMF dan Bank Dunia. Dengan menolak protokol Kyoto pun, Presiden Bush mendeklarasikan dirinya sebagai teroris ekologi bagi berbagai komunitas yang terancam kehidupan oleh pemanasan global. Di Seattle, WTO dikatakan oleh para pemrotes sebagai World Terorist Organizations karena aturan-aturannya menyangkal hak jutaan rakyat atas kehidupan yang berkelanjutan.

Seperti pernah dikatakan Gandhi, “Bumi dapat mencukupi semua kebutuhan kita, tetapi tidak dapat mencukupi ketamakan segelintir orang”. Siklus air menghubungkan kita semua dan dari air kita dapat belajar menapaki jalan perdamaian dan menuju pembe- basan. Kita dapat belajar mentransendenkan perang air yang dicip- takan oleh ketamakan, limbah dan ketidakdilan yang melahirkan

kelangkaan di atas planet yang berlimpah air. Kita dapat bekerja dengan siklus air untuk mereklaim kelimpahan air sekaligus menumbuhkan demokrasi. Jika kita dapat membangun demokrasi, kita akan membangun perdamaian. (Disadur dari Vandana Shiva, Water War: Privati-zation, Pollution and Profit 2002.)

Hukum sumber daya air: Dulu dan sekarang

Salah satu sumber daya alam terpenting setelah tanah adalah air. Para pendiri Republik ini merangkaikan kalimat “Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, sebagai karunia Tuhan bagi Bangsa Indonesia. Setelah pemberlakuan UU Pokok Agraria (UUPA) kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 11/1974 tentang Pengairan sebagai respon atas pasal 47 UUPA yang memberikan pengaturan tentang hak guna air. Setelah 28 tahun ber- lakunya UU Pengairan, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan RUU mengenai Sumber Daya Air sebagai pengganti UU No. 11/1974 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkem- bangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. UU No. 11/1974 dikonstruksi untuk mendukung paradigma `pem- bangunan positivistik’ orde Soeharto.

Berikut ini menunjukkan beberapa ciri menonjol paradigma pembangunan masa Orba (lihat Shepherd, 1998): Pertumbuhan eko- nomi adalah segala-galanya. Berapa pun harganya, segala dana dan daya dikerahkan untuk itu. Tidak peduli, hasil pertumbuhan itu untuk siapa. Salah satu harga yang harus dibayar adalah pemerintah yang otoriter dan represif pun ditolerir demi stabilitas, karena stabilitas adalah sarana utama bagi pertumbuhan ekonomi.

Peranan negara/pemerintah sangat besar: sebagai produsen, sebagai penyedia berbagai sarana, dan sebagai pengatur dan penge- lola. Tetapi di lain pihak ekonomi pasar dipromosikan. Perencanaan merupakan pusat pemikiran, tetapi sifatnya top-down, karena ber-tumpu kepada yang kuat. Pandangannya fragmentaris, sektoral, tidak holistik, dan tidak partisipatif. Dapat dikatakan bahwa UU No.

11/1974 tidak memenuhi kelayakan materiil suatu peraturan perun- dang-undangan yang faktanya lebih banyak digiring oleh pilihan- pilihan politis daripada desakan kebutuhan pengelolaan sumber daya air yang berpihak pada rakyat.

Setelah memasuki era reformasi, tendensi perubahan hukum keagrariaan mulai bergulir. Salah satu yang sedang didorong Peme- rintah Megawati-Hamzah Haz adalah penyusunan RUU Sumber Daya Air yang dipromosikan oleh Kementerian Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Walau menurut pemerintah ini merupakan upaya pemberdayaan rakyat untuk melakukan pengelo- laan sumber daya air secara mandiri, ternyata RUU itu tidak seindah cita-citanya.

Secara umum, RUU ini hanya dapat berlaku efektif jika diikuti oleh sejumlah peraturan perundangan di bawahnya, berupa 33 Peraturan Pemerintah (PP), satu Keputusan Presiden (Keppres) dan satu Keputusan Menteri (Kepmen). Cara ini kerap dilakukan oleh pemerintah Orba yang bermuara pada lahirnya berbagai kebijakan sentralistik yang dilakukan oleh eksekutif—terutama Presiden (mela- lui Keppres). Ini didukung oleh ketidakberdayaan lembaga yudikatif dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif. Terutama jika diketahui di kemudian hari bahwa proses pembuatan RUU ini minus kontrol publik.

Secara khusus, substansi yang diatur dalam RUU ini merupakan replika dari UU No. 11/1974. RUU ini tetap mempertahankan karakter pemerintahan yang sentralistik dan otoritarian dalam pengelolaan sumber daya air. Karakter-karakter itu terbaca melalui istilah/idiom yang muncul dalam beberapa pasal dan kontroversi pengaturan, yang terjadi antar substansinya. Seperti layaknya pengaturan otonomi daerah yang hingga saat ini masih menjadi tarik-ulur kepentingan antar level dalam pemerintahan, RUU ini juga menampakkan kewe- nangan pengelolaan sumber daya air yang samar-samar bagi peme- rintah daerah terutama bagi masyarakat lokal/masyarakat adat.

Air, pemerintah mulai menempatkan desain berpikir partisipatory dengan mengadopsi pola pemberdayaan yang dilakukan Organisasi Non Pemerintah (Ornop/LSM/NGO). Jika membaca bangunan substansi RUU. Sumberdaya Air, ada dua isu krusial yang ingin dires- pon pemerintah. Yaitu isu mengenai otonomi daerah dan konservasi lingkungan.

Kedua isu ini dapat distimulan oleh beragam variabel. Pertama, menunjuk pada desakan atas kepentingan negara-negara maju ke- pada negara-negara dunia ketiga untuk mempertahankan bumi dari bahaya kehancuran akibat aktivitas produksi massal hasil revolusi industri yang dilakukan negara-negara maju. Kedua, tuntutan yang datang dari rakyat melalui dinamika-dinamika politik yang terjadi sejak keruntuhan rezim Orba. Ketiga, usaha pemerintah pusat untuk menurunkan konflik dari tingkat pusat ke level daerah. Keempat, kebu- tuhan daerah untuk memperbesar kantong-kantong Pendapatan Asli Daerah.

Sejumlah variabel stimulan menunjukkan bahwa ada dua skena- rio paradoksial yang harus dimainkan pemerintah dalam pengelo- laan sumber daya air. Skenario pertama, menuntut pemerintah untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya air sebagai sumber PAD. Skenario kedua, menunjukkan bahwa pemerintah didesak untuk me- mainkan peran sebagai pengendali kerusakan alam. Caranya dengan melakukan konservasi lingkungan untuk mendukung industrialisasi di negara-negara maju dalam sebuah struktur kapitalisme global.

RUU Sumber Daya Air banyak mengandung kelemahan. Antara lain, adanya dualisme definisi pengusahaan dan komersialisasi; absur- ditas partisipasi lokal; inkonsistensi konservasi air; tidak memberikan perlindungan yang tegas terhadap warga negara; peletakan kewenangan yang terlalu besar kepada negara; idiom-idiom pembangunan positivistik Orba; pasal-pasal karet; pengulangan aturan dengan substansi yang sama; mahalnya pelayanan publik; absurditas fungsi sosial; tidak melihat konteks kebutuhan agraris terhadap SDA; penyelesaian sengketa konvensional; kontroversi antar pasal.

Rekomendasi

Kehadiran Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang sempat membawa angin segar, ternyata belum mampu mengubah paradigma dan praktek politik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Alih-alih melakukan pembaruan, Rezim Mega-Hamzah malah merancang sebuah kebijakan yang bertentangan dengan Tap MPR itu. Hingga kini, belum pernah dilakukan peninjauan ulang (review) terhadap seluruh peraturan perundang-undangan sebagaimana salah satu amanat Tap MPR. Bahkan, kini sedang terjadi pelanggengan paradig- ma kapitalisme dan sektoralisme di lapangan agraria dan pengelo- laan SDA, termasuk terhadap sumber daya air.

Dari kajian terhadap isi maupun proses penyusunan RUU Sumberdaya Air itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaannya jelas- jelas bertentangan dengan maksud yang dikandung oleh Tap MPR No. IX/MPR/2001. Penyusunan RUU tersebut bisa dikatakan sesat langkah, karena sebelumnya tidak pernah dilakukan peninjauan ulang dan koreksi yang komprehensif serta mendasar terhadap pera- turan perundang-undangan perairan yang ada.

Untuk itu penyusunan RUU Sumberdaya Air seharusnya ditun- da terlebih dahulu sebelum adanya review menyeluruh terhadap peraturan perundang-undangan agraria/SDA yang ada. Penyu- sunan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan agraria dan SDA selalu melibatkan organisasi-organisasi rakyat yang sejati dan independen, serta mengutamakan partisipasi politik yang seluas-luasnya dari kalangan rakyat.***

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 95-100)