• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlukah Mengubah Petani Menjadi Masyarakat Industri?

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 64-69)

B

UKAN Gus Dur kalau pernyataannya tidak membuat orang tercengang. Ini terjadi, misalnya ketika dialog Gus Dur dengan tokoh agama non-Islam dan tokoh organisasi perempuan disiar- kan langsung oleh TVRI, Selasa 21 Maret 2000 (pukul 19.30 - 21.00 WIB).

Pernyataan mencengangkan Gus Dur terlontar saat menanggapi pertanyaan seorang peserta dialog tersebut tentang sikap pemerintah (Gus Dur) menghadapi ancaman petani yang akan mogok tanam padi jika pemerintah tidak mengendalikan perdagangan beras impor. Tentu saja, selain mencengangkan tanggapan Gus Dur juga tetap menarik untuk disantap secara kritis.

Berikut ini pokok-pokok tanggapan Gus Dur yang dimaksud: Pertama, Indonesia tidak mungkin lepas dari mekanisme pasar inter- nasional yang di dalamnya ada perjanjian perdagangan bebas (free trade) yang secara ketat telah diatur oleh organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) dan lembaga moneter inter- nasional IMF (International Monetary Fund).

Karena saat ini Indonesia tidak cukup punya uang untuk mem- biayai pembangunan, maka jalan tercepat adalah meminjam ke IMF, dan sebagainya. Jika IMF menghendaki adanya pengurangan (peng- hapusan) subsidi untuk petani maka tidak ada jalan lain itu pula

yang akan dilakukan pemerintah sekarang. Kedua, pemerintah secara sistematis akan mengurangi jumlah petani, khususnya yang me- nanam padi. Lebih lanjut, masyarakat petani secara umum akan di- ubah menjadi masyarakat industri.

Di samping itu pemerintah juga akan mendorong petani penanam padi untuk melakukan diversifikasi penanaman produk pertanian lain. Bahkan, dengan dibentuknya Kementerian Eksplorasi Kelautan, pemerintah ingin menggiring petani kita untuk bekerja di laut, untuk mencari ikan dan kekayaan alam lain di dalamnya.

Catatan kritis

Ketika menyimak secara langsung lontaran Gus Dur tadi, sejenak penulis terhenyak. Seriuskah apa yang dikatakan orang nomor satu RI ini? Ah, tampaknya memberikan catatan kritis atas pernyataan Gun Dur merupakan pilihan maksimal yang bisa dibuat penulis di sini.

Catatan kritis yang dimaksud meliputi: Pertama, jika memang perjanjian perdagangan internasional telah terbukti mengorbankan mayoritas bangsa sendiri, kenapa tidak dibatalkan saja perjanjian itu, meminjam celoteh Gus Dur sendiri: kok repot-repot! Demikian halnya kalau mereka (rezim kapitalis global) mengancam akan meng- hentikan pinjamannya ke Indonesia jika subsidi bagi petani tidak dikurangi atau dihapus, bukankah lebih ’baik’ kita telan saja an- caman itu? Bagi rakyat kecil tidak mendapat utang luar negeri dirasa lebih bijak ketimbang mayoritas anak bangsa (petani) sendiri menjadi makin terpuruk dan menjerit-jerit. Memangnya selama ini siapa yang menikmati utang luar negeri itu, selain para pengusaha besar dan elit penguasa sendiri?

Kedua, mengubah masyarakat petani kita jadi masyarakat indus- tri tampaknya merupakan pemikiran yang mengabaikan sejarah (a- historis) mengingat kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indone- sia adalah petani. Kenyataan ini tentu saja tidak semata-mata angka statistik belaka. Sudah barang tentu kehidupan petani tersangkut

juga soal sistem sosial-budaya masyarakat agraris yang sangat ber- beda dengan sistem sosial-budaya masyarakat industri.

Lagi pula, pemikiran ini sama halnya mengulang kesalahan la- ma. Orde Baru secara konsisten telah mengambil orientasi dan mene- rapkan kebijakan pembangunan yang kapitalistik yang bertumpu pada industri. Hasilnya? Sudah terbukti bahwa orientasi pem- bangunan tersebut telah memarjinalisasi rakyat kecil seperti petani. Belum lagi, mengubah petani menjadi skrup (buruh) dalam industri dapat pula diartikan sebagai upaya menyediakan objek eksploitasi baru bagi kaum pemilik modal besar (baik asing maupun domestik) untuk mengejar kepentingan akumulasi kapital sebagai satu-satunya orientasi industri.

Ketiga, untuk melakukan diversifikasi produk pertanian, sangat mustahil bisa dijalankan jika kebijakan pengadaan sarana dan pra- sarana produksi untuk petani tetap tidak dibuat. Perlu diingat, bahwa untuk menjalankan proses produksi pertanian hingga menghasilkan dan memasarkan produk pertanian selain tanaman padi jelas mem- butuhkan kecukupan modal dan tanah, serta manajemen usaha tani yang handal.

Demikian halnya dengan menggiring petani untuk ganti mata pencaharian dari tani ke nelayan. Orang awam juga tahu bahwa untuk bekerja di laut perlu kemahiran tertentu yang tidak dipunyai petani yang biasa bekerja di darat, misalnya bagaimana pun mencang- kul tanah petanian dan menebar jala di lautan adalah dua pekerjaan yang jauh dari sama. Dengan demikian, upaya me-nelayan-kan petani tampaknya bukan pilihan yang tepat. Jika dibandingkan potensi berhasil dan gagalnya pemikiran ini, penulis cenderung melihat potensi kegagalannya lebih besar.

Jalan lain

Persoalan yang dihadapi petani Indonesia sekarang memang terbilang sangat kompleks. Saking kompleksnya sehingga perlu upa- ya penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Penyelesaian

masalah jelas sangat berbeda pengertiannya dengan menghindari masalah. Jika dicermati dengan jeli, pemikiran Gus Dur tadi tak ubah cermin dari upaya menghindari masalah yang sebenarnya ketimbang menyelesaikannya secara jernih dan bijaksana.

Hemat penulis, ada sejumlah jalan lain yang tidak mustahil un- tuk ditempuh, yakni, Pertama, soal ketergantungan Indonesia terha- dap utang luar negeri yang sudah sedemikian kuatnya merupakan penyakit ekonomi-politik lama (Orde Baru) semestinya menjadi prob- lem krusial yang dikoreksi total oleh pemerintah baru. Untuk itu, negosiasi-negosiasi untuk mendapatkan pinjaman dari IMF, Bank Dunia, dan sebagainya perlu segera diperbarui dengan mempertim- bangkan kondisi petani Indonesia yang semakin parah. Pemerintah Gus Dur sebaiknya menghindari tindakan serampangan dalam mengabulkan berbagai persyaratan para pemberi pinjaman yang tidak memperhatikan kedaulatan nasional Indonesia.

Kedua, dampak politis agraria nasional Orde Baru adalah telah terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah pertanian, kon- sentrasi penguasaan tanah, dan sengketa tanah yang tak berkesu- dahan. Fakta menunjukkan bahwa semakin banyak petani yang kehilangan tanah dan makin menyempitnya tanah pertanian yang menyebabkan usaha petani menjadi tidak bernilai ekonomis lagi. Untuk itu, perlu dikaji kemungkinan pelaksanaan penataan srtuktur penguasaan tanah pertanian sekaligus penyelesaian sengketa tanah, baik yang baru muncul maupun warisan orde baru. Kedua agenda ini merupakan fondasi bagi upaya pemberdayaan petani kecil dan petani tak bertanah yang kuantitasnya kian membengkak.

Ketiga, bahwa sepanjang berkuasanya Orde Baru telah terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian secara massif. Dalam 10 tahun saja (1980-1990) Indonesia, khususnya Jawa, telah kehilangan sekitar satu juta hektar lebih lahan pertanian untuk kebu- tuhan lain di luar pertanian, seperti untuk perumahan mewah (real- estate), industri manufaktur, sarana pariwisata, fasilitas umum, dan sebagainya. Untuk itu, upaya sistematis melalui kebijakan politik

pemerintah untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian ke non- pertanian merupakan agenda mendesak untuk menjaga keamanan produksi pertanian (pangan) nasional sekaligus menjamin pengu- asaan tanah petani.

Keempat, pembangunan pertanian Orde Baru menunjukkan mi- nimnya pengadaan sarana dan prasarana produksi pertanian yang mudah dan murah untuk diakses petani. Modal pertanian yang dike- mas dalam program Kredit Usaha Tani (KUT) telah banyak dikritik orang karena menyulitkan petani, tidak tepat sasaran, bocor di sana- sini, dan lepas kontrol dalam pengelolaannya. Untuk itu, perlu diru- muskan program penataan produksi pertanian secara menyeluruh. Program dimaksud meliputi tiga fundamen; (1) penguatan institusi tani lokal yang independen untuk bekerja kolektif, (2) menyediakan modal dengan prinsip tidak memberatkan petani dan memperbaiki manajemen usaha tani, dan (3) menyediakan tanah pertanian yang cukup bagi petani kecil dan petani tak bertanah (tuna kisma).

Maka dari itu, pemikiran untuk mengubah masyarakat petani kita menjadi buruh industri jelas bukan pilihan yang tepat dan bijaksana. Pilihan ini hanya mungkin dilakukan ketika kita memang telah kehilangan akal sehat untuk memperbaiki hidup kaum petani yang kini mengenaskan. Bukanlah tidak logis jika kita membakar lumbung hanya untuk membunuh seekor tikus di dalamnya.

Adapun realisasi dari apa yang diucapkan Gus Dur masih perlu terus kita pantau sama-sama. Bukan mustahil kenyataanya akan bicara lain. Wallohualam.***

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 64-69)