• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintah Baru dan Konflik Agraria

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 145-150)

K

ONFLIK agraria di Indonesia merupakan soal super serius. Namun penyelenggara negara tak pernah serius menanganinya. Dampaknya, pemenuhan rasa keadilan bagi korban kian mengawang- awang. Absennya keadilan agraria menjadi kisah berulang setiap kita merayakan Hari Tani Nasional, 24 September.

Pembentukan pemerintahan baru melalui Pemilu 2004 mengha- dirkan peluang untuk mendesakkan penyelesaian konflik agraria ke tubuh negara. Hasil Pemilu 2004 layak menjadi pembuka jalan penyelesaian konflik agraria sebagai bagian pembaruan agraria. Un- tuk itu diperlukan keutuhan gagasan bagaimana konflik agraria dise- lesaikan, sekaligus strategi jitu pelibatan seluruh komponen bangsa yang terkait di dalamnya.

Artikel ini mengurai realitas konflik agraria di Indonesia kini, dikaitkan urgensi pembaruan agraria. Dikupas pula gagasan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), mengacu naskah akademik pembentukan KNuPKA (Juli 2004) karya Tim Kerja yang dibentuk Komnas HAM.

Konflik agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan pendu- duk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen nega- ra. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga

sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masya- rakat sipil “melawan” dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.

Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabu- paten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehu- tanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai “lawan” rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer.

Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, ka- wasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.

Relevansi pembaruan agraria

Konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana pemba- ruan agraria. Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pemba- ruan agraria tergantung watak konflik yang mendorong dijalankan- nya pembaruan. Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi, dan de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbul-

kan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa dijalan- kannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional), di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri.

Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara konflik ag- raria, syarat keberlanjutan hidup itu porak-poranda.

Komitmen politik untuk menyelesaikan segala konflik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudah punya Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ke- tetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikan aneka konflik agraria yang diwariskan rezim masa lalu yang telah dan masih berlangsung hingga kini.

Membangun jembatan

Dari macetnya penyelesaian konflik agraria selama ini, gagasan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) dikedepankan. Tetapi, pembentukan KNuPKA bukan tujuan akhir. Pembentukan KNuPKA adalah jembatan menuju pelaksanaan menyeluruh pembaruan agraria.

Kita dapat mengacu Tap MPR No V/MPR/2003 tentang Saran kepada Lembaga-lembaga Negara. Dituangkan, “menyelesaikan ber- bagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukum sampai dengan implementa- sinya di lapangan...”, serta: “Membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk penyelesaian konflik agraria dan sumber- daya alam, agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi; mempercepat pem-

bahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria,…. RUU penataan struktur agraria serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumber- daya alam”.

Jika terbentuk, KNuPKA diharapkan menyebarluaskan gagasan, prinsip, dan tatacara penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan dan dalam rangka menjalankan pembaruan agraria. Perlu juga disu- sun prosedur pendaftaran tuntutan dan verifikasinya, serta metode penyelesaian konflik yang tepat. Tak kalah penting pendataan konflik agraria yang terjadi selama ini, serta menerima pendaftaran dan memverifikasi aneka tuntutan kelompok masyarakat guna penye- lesaian konflik agraria yang dialaminya.

Pada akhirnya, KNuPKA harus mengupayakan penyelesaian konflik dengan cara alternatif (alternative dispute resolution), mediasi, negosiasi, arbitrase, dan/atau mengeluarkan rekomendasi penyele- saian atas sengketa/konflik itu. Dalam prosesnya, dilakukan tinjauan ke lapangan untuk verifikasi maupun penyelesaian sengketa dengan cara alternatif. Berbarengan dengan itu, KNuPKA harus menyusun RUU Penyelesaian Konflik Agraria yang di dalamnya terkandung muatan pembentukan Pengadilan Khusus Agraria, serta menyiapkan RUU Pembaruan Agraria yang di dalamnya terkandung muatan ten- tang kelembagaan pelaksana pembaruan agraria.

Setelah pemilu

Konstalasi politik setelah Pemilu 2004 hendaknya membuka peluang bagi upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak korban konflik agraria. KNuPKA kiranya dapat dijadikan kendaraan penghubung menuju implementasi pembaruan agraria menyeluruh. KNuPKA ialah gagasan yang layak tempuh pada kon- teks Indonesia kini.

Untuk itu, penyelesaian konflik agraria sewajarnya menjadi salah satu agenda pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Siapa pun yang terpilih menjadi Presiden RI (dan anggota parlemen di pusat maupun daerah), hendaknya memperhatikan urgensi dan kemanfaatan penye-

lesaian konflik agraria bagi pengembangan bangsa di masa datang. Mumpung merayakan Hari Tani, mari saling merangsang kepe- dulian bagi kaum penghasil makanan yang jumlahnya mayoritas di negeri agraris ini. Kepedulian elite politik hasil Pemilu 2004 untuk menyelesaikan konfik agraria kiranya dapat jadi pembeda antara dirinya dengan rezim penguasa lampau yang gemar menciptakan dan melanggengkan konflik agraria di Indonesia. Selamat Hari Tani ke-44.***

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 145-150)