• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Infrastruktur untuk Siapa?

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 193-198)

(Catatan atas Artikel Prof. Maria S.W.

Sumardjono)

A

RTIKEL “Pembangunan Infrastruktur”, Prof Maria S.W. Sumardjono (Kompas, 29/4/05), telah membangkitkan wacana seputar kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan. Tanpa mengurangi hormat atas kepakaran beliau dalam hukum agraria, saya tergerak menaikkan wacana ke arah paradigma pembangunan terkait pertanahan.

Prof. Maria menulis, untuk mendukung pembangunan jalan tol saat ini telah disiapkan perubahan/penyempurnaan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 menjadi Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) ten- tang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Ke- pentingan Umum. Menurutnya, substansi penyempurnaannya diha- rapkan lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi pihak- pihak terkait. Lebih lanjut beliau mengabarkan bahwa sekarang peme- rintah telah menyiapkan RUU tentang Perolehan Tanah untuk Ke- giatan Pembangunan. Jika perpres tadi diterbitkan, seyogianya dipan- dang untuk memenuhi kebutuhan sementara sambil mengupayakan terbitnya undang-undang tersebut.

Wacana penyediaan “tanah untuk pembangunan” tampaknya memang perlu dihangatkan. Di era Soeharto, wacana ini merajai, bahkan jadi pilihan strategi pemerintah saat itu. Tanah untuk pembangunan, selama tiga dekade secara dramatis telah menggeser

paradigma populer di era Soekarno: “tanah untuk rakyat”. Pem- bangunan infrastruktur mutlak butuh tanah dan infrastruktur men- jadi prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan berikutnya. Di zaman Soeharto, aspek pertanahan harus tunduk pada kemauan pem- bangunan. Jika perlu, pemilik tanah digusur tanpa kompensasi seperak pun. Dulu, ketika jalan digelar, waduk dibendung, jaringan listrik dibentangkan, pabrik industri didirikan, kerap kita dengar rakyat merintih. Kekerasan sering dipakai untuk menggusur rakyat demi pembangunan.

Di era Soeharto, barang siapa tak mau menyerahkan tanahnya untuk pembangunan, maka distempel antipembangunan. Siapa berani menggalang kekuatan menolak proyek pembangunan yang menggusur tanah rakyat, maka tudingan perongrong pemerintahan, subversif, makar, dan tuduhan seram lainnya segera ditimpakan. Kisah tragis di era Soeharto ini kembali membayang saat ruh pem- bangunan yang semirip kini digencarkan. Demi mulusnya investasi masuk ke Tanah Air, kini pemerintah menyiapkan infrastruktur dan menyediakan berbagai kemudahan bagi investor (asing)—termasuk segepok dasar legalnya—agar tertarik menanamkan modalnya. Tidak heran jika pembangunan jalan tol, kereta api, bandara, pelabuhan, bendungan, listrik, dan sebagainya kini digelorakan.

Bagi rakyat yang tanahnya terpakai untuk pembangunan infra- struktur, terimalah ganti rugi dari pemerintah/pelaksana proyek. Di masa lampau, ganti rugi bermakna kerugian rakyat, materi maupun nonmaterial. Perbaikan sistem ganti rugi inilah yang dengan tangkas dipromosikan Prof. Maria dalam artikelnya tadi.

Komoditisasi tanah

Jika ditelusuri, wacana “tanah untuk pembangunan” berakar pada paradigma “tanah sebagai komoditas”—barang dagangan. Eko- nomi sebagai panglima—membutuhkan kepastian dan perlindungan hukum atas pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah untuk pembangunan. Rezim pembangunan menghendaki jaminan kuat

secara legal formal. Dalam konteks ini, penyusunan perpres dan RUU tentang tanah untuk pembangunan patut diduga merupakan aspek legalisasi dari skenario besar politik pembangunan yang mendewakan investor asing sekaligus tanda digencarkannya kembali pem- bangunan yang kapitalistik.

Telah dimaklumi, ekspansi kapitalisme global senantiasa butuh infrastruktur yang memungkinkan pemilik modal lebih mudah menyedot sumber daya dan gampang memasarkan berbagai produk- nya. Dengan infrastruktur yang mantap, maka penyedotan sumber daya kian kuat dan pemasaran produk mereka makin deras memban- jiri negeri-negeri konsumennya.

Pembangunan infrastruktur biasanya dibiayai utang luar negeri. Berbagai syarat mestilah dibingkai dalam pagar kepentingan pemberi utang. Setelah infrastruktur tersedia, para pemilik modal akan ber- bondong-bondong datang untuk menancapkan modalnya dan mera- suki industri yang bergerak di berbagai lini, semisal, industri manufak- tur, substitusi impor, barang konsumsi, perakitan mobil, motor, mesin- mesin, alat listrik, elektronik, perminyakan, pertambangan, kehu- tanan, perkebunan, pariwisata, perbankan, dan sebangsanya.

Tujuan manis yang kerap disodorkan dari semua proyek pembangunan di atas ialah guna menyerap tenaga kerja, memangkas pengangguran, mengurangi kemiskinan, sekaligus membantu tumbuhnya ekonomi Indonesia. Timbul kesan, tiada yang keliru dengan itu semua. Namun, investasi lazimnya mencerabut sejumlah hak tanah rakyat melalui mekanisme pasar maupun campur-tangan pemerintah. Diprediksi, merangseknya kapital ke negeri ini akan kian mendorong pemusatan penguasaan tanah dan menjadikan rakyat banyak makin kehilangan aksesnya atas tanah. Kebijakan menuju komoditisasi tanah terus bergulir melalui Proyek Administrasi Perta- nahan (land administration project/LAP) yang didanai utang Bank Dunia. LAP menjadi instrumen modal internasional untuk menguasai Tanah Air kita secara harfiah. Kemudahan mendapat sertifikat tanah serta iming-iming kredit bank menjadi siasat pemodal untuk mengu-

asai tanah rakyat melalui mekanisme pasar.

Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, dalam “Tanah Sebagai Komoditas” (1996), menganalisis fenomena pertumbuhan kapitalisme Orde Baru. Darinya diketahui, fenomena tergesernya petani dari pemi- likan dan penguasaan tanah dan meningkatnya konflik pertanahan terjadi karena watak kapitalisme yang cenderung terus melakukan eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi kapital di atas kesenjangan struktur pemilikan faktor-faktor produksi, termasuk tanah dan dis- tribusi pendapatan (hlm. x-xi). Patut diwaspadai, pembangunan infra- struktur yang digiatkan sekarang merupakan lanjutan dari skenario pembangunan kapitalistik Orba yang sempat terinterupsi “krisis” maupun “reformasi”.

Jika gelagat ini terbukti, dipastikan ketimpangan sosial akan melebar dan mencabik-cabik harmoni sosial bangsa. Dalam suatu seminar di Jakarta, Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro (1999) mengingat- kan bahwa penataan ulang struktur agraria yang timpang dan tidak adil diperlukan guna menghindari revolusi sosial yang anarkis.

Untuk siapa?

Lantas, siapakah yang akan paling diuntungkan dari pem- bangunan infrastruktur? Hemat penulis, pemodal besarlah yang akan meraup keuntungan terbesar. Dengan infrastruktur yang lebih baik, maka pembangunan yang dimotori pemodal besar yang eksploitatif, akumulatif, dan ekspansif akan berjalan lebih mulus. Pembangunan infrastruktur sejatinya jembatan menuju penguatan gurita kapitalis- me global.

Pembangunan mungkin meningkatkan pendapatan nasional secara makro. Namun, kesuksesan ini semu belaka karena akan menyisakan ketimpangan sosial-ekonomi, terkurasnya aneka sumber daya, kerusakan lingkungan, diskriminasi jender, ketidakadilan multidimensi pemicu krisis, dan pemantik konflik sosial. Yang tepat dipikirkan sekarang ialah menemukan model pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan bangsa sendiri. Industrialisasi nasio-

nal hendaknya berpangkal tolak pada sumber daya sendiri.

Presiden dan DPR hendaknya menindaklanjuti amanat Kete- tapan MPR No V/2003 untuk: “menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukumnya sampai dengan implementasinya di lapangan…” serta “mempercepat pembahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria, RUU penataan struktur agraria, serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam”.

Karenanya, pembangunan infrastruktur sebaiknya digencarkan setelah penataan ulang struktur agraria dijalankan terlebih dahulu. Keadilan agraria akan meningkatkan taraf hidup mayoritas rakyat, menjadi dasar stabil dan kokoh bagi pembangunan, serta merangsang pembentukan modal dalam negeri yang melandasi industrialisasi nasional.***

Perpres 36/2005:

Dalam dokumen Usep – Kembali ke Agraria (Halaman 193-198)