• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembar peserta 1.1 Pekerja Rumah Tangga Anak

Dalam dokumen Manual Pelatihan untuk Pelatih (Halaman 143-146)

Anak yang bekerja di sektor rumah tangga adalah salah satu bentuk pekerjaan anak yang tertua di Asia. Pekerja rumah tangga anak (PRTA) merupakan gambaran yang umum terjadi dibanyak rumah tangga di Asia.

Forum Visayan, lembaga swadaya masyarakat asal Filipina yang bekerja pada isu PRTA menemukan fakta bahwa anak yang bekerja di sektor rumah tangga sangat besar dan mesin kehidupan yang tak terlihat bagi banyak rumah tangga di Filipina1. Menurut Visayan, para perempuan muda berusia mulai 8 tahun banyak yang bekerja sebagai PRTA dan lebih menyedihkan lagi, mereka terjebak pada lingkaran perdagangan manusia. Sebagian besar anak-anak ini berasal dari keluarga petani miskin. Orang tua mereka secara sadar menyerahkan anak mereka ini kepada para rekruter dan majikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan harapan penghidupan yang lebih baik.

Data statistik menunjukkan ada sekitar 2.7 juta atau 26 persen rumah tangga di Filipina memperkerjakan pekerja anak baik dirumah tangga maupun ditempat usaha2.

Di Indonesia, Internasional Labor Organization (ILO) melaporkan terdapat total 2.6 juta pekerja rumah tangga dimana 688.132 adalah pekerja rumah tangga anak. Menariknya, sebagian besar adalah anak perempuan seperti halnya terjadi juga di Sri Lanka dan di negara lain, mereka tinggal dirumah majikan. Anak-anak ini berada pada rumah tangga yang terisolasi dari keluarga mereka dan satu-satunya kesempatan bertemu keluarga adalah saat mengirim uang ke keluarga nya. Menurut survei pekerja anak3 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statitik Kamboja berkolaborasi dengan ILO IPEC 2003, ada sekitar 27.950 PRTA di Phnom Penh yang tidak sekolah.

Sejarah Thailand mempekerjakan pekerja anak, dimulai pada masa RAMA V menurut Chawee Paenghom4, Child Labor Project Officer dari Yayasan Pengembangan Anak. Walau praktik perbudakan telah dihapus, praktik memperkerjakan anak masih dilakukan hingga saat ini. Seperti halnya di Filipina, praktik perdagangan anak di Thailand, banyak ditujukan untuk pekerjaan anak untuk sektor rumah tangga. Mayoritas dari anak ini menurut Paenghom berasal dari Myanmar, Laos, dan sebagian kecil dari Kamboja.

Meutia Hatta Swasono,5 Menteri Pemberdayaan Wanita Republik Indonesia menggambarkan potret jelas dari situasi PRTA yang mungkin juga dialami banyak anak di dunia yaitu:

“Sebagai pekerja yang tinggal dirumah majikan, mereka jauh dari rumah dan keluarga. Walau sering majikan terlihat seperti memberikan mereka makan dan akomodasi, para majikan tidak sepenuhnya melindungi kepentingan PRTA ini.”

Situasi PRTA ini sering digambarkan salah, ada persepsi bahwa mereka aman dirumah majikan karena tinggal dalam rumah.6 Hal ini bisa jadi benar bila PRTA tinggal bersama keluarga dekat - keluarga baik-baik yang berjanji melindungi mereka dan menyediakan makanan, akomodasi dan pendidikan.

LEMBAR PESERTA

1 Child Workers in Asia. 2004. Making the invisible visible: Advocacy for child domestic workers. Newsletter. Volume 20 (1/2). January-April

menjaga PRTA mungkin tidak hanya dilanggar tapi juga PRTA akan berada pada kondisi lebih buruk. PRTA yang tinggal dirumah majikan, mereka bekerja rata-rata 15 jam sehari dan sering kali bekerja 24 jam siaga, 7 hari seminggu.8 Mereka diberi tanggung jawab yang banyak mulai dari bersih-bersih rumah, menyiapkan makanan, menjaga anak majikan, mencuci, menyetrika, menyiram tanaman dan lain-lain.

Intinya, PRTA mengalami kondisi pelanggaran hak yang parah, misalnya mereka menerima gaji yang dibawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Di Filipina, mereka menerima Rp. 160.000 per bulan. Gaji mereka mungkin naik, namun tetap saja itu yang paling rendah diseluruh negeri. Banyak diantara PRTA ini dibayar dalam bentuk uang sekolah dibanding tunai.9 Namun, dibayar dalam bentuk uang sekolah tidaklah menjamin PRTA bisa bersekolah dengan baik karena kebanyakan PRTA lebih banyak berkorban untuk pekerjaan dirumah majikan.

Di Indonesia, PRT diupah kotor sekitar Rp. 150.000 hingga 200.000 per bulan. Jumlah itu jelas sangat tidak layak bila dibandingkan tenaga yang mereka keluarkan selama sebulan.

Banyak cerita tentang PRTA harus menanggung beban hutang yang besar kepada majikan dan perekrut untuk mengganti biaya transportasi dan perekrutan.

Mayoritas anak-anak ini aksesnya untuk pendidikan diabaikan karena lebih banyak bekerja dirumah dan majikan kuatir akan membayar biaya tambahan untuk sekolah.

Hanya sebagian kecil dari anak ini yang memperoleh akses terhadap kesehatan dan jaminan sosial. Ketika mereka sakit, kebanyakan majikan tidak membawa anak-anak ini ke dokter tapi hanya perawatan dirumah dan memberi obat seadanya.

Atas pelanggaran hak dasar ini, PRTA berada pada kondisi yang sangat rentan terhadap berbagai jenis perlakuan misalnya fisik, verbal dan pelecehan seksual.

Anak-anak ini seringa kali dipukul oleh majikan atas kesalahan yang sepele dan lebih buruk lagi, mereka dibakar, dirantai, dan disiksa. The Visayan Forum berbagi cerita PRTA yang dipaksa meminum cairan kimia yang sebenarnya digunakan untuk pembersih toilet sebagai hukuman. Anak ini kemudian dilaporkan meninggal karena sakit perut akibat cairan kimia yang dia derita.

Walaupun bukan dianggap kejahatan serius, kata kasar yang diterima PRTA sering kali menyisakan trauma psikologis bagi mereka khususnya hilang percaya diri dan harga diri. Menurut Visayan,10 PRTA Filipina sering menerima cercaan setiap hari dari majikannya dengan pelabelan tanga, gaga, bobo (artinya “bodoh”), batugan (malas), tarantada (ceroboh), walang pinag-aralan (buta huruf), bastos (kasar), malandi (ganjen), sinungaling (pembohong) dan istilah yang melecehkan lainnya. PRTA perempuan seringkali menerima pelecehan seksual (walau ada juga kasus, PRTA laki-laki dilecehkan oleh majikan laki-laki dan perempuan). Cerita yang umum sering terjadi adalah PRTA diminta memijatkan majikannya, awalnya hanya memberikan pijatan biasa, yang selanjutnya sang PRTA sering mengalami pelecehan seks dan lebih buruk diperkosa. Pada laporan yang dibuat oleh Department Kesejahteraan Sosial Kota Cebu Filipina, 80 persen korban pemerkosaan, hampir diperkosa dan bentuk pelecehan seksual lainnya yang melibatkan PRTA.11 Namun, kasus pelecehan ini tidak berhenti disini saja, majikan perempuan malah memukuli PRTA perempuan karena dianggap menggoda suaminya.

Walau bahaya mengancam, banyak anak terpaksa harus terus bekerja sebagai PRTA karena bekerja di rumah tangga tidak perlu sekolah atau pelatihan seperti yang dikatakan oleh Cecilia Flores-Oebanda. Pekerjaan rumah tangga adalah dunia yang mudah dimasuki oleh anak, karena berbagai alasan, termasuk faktor sosial yang mendorong anak ini harus bekerja ke sektor rumah tangga: 7 Ibid

8 PRT

9 Oebanda, Ma Cecilia, Roland Romeo Pacis, and Virgilio Montano. 2001. The Kasambahay Child Domestic Work in the Philippines: A Living Experience. Quezon City: International Labour Office

10 Ibid

11 Oebanda, Ma Cecilia, Roland Romeo Pacis, and Virgilio Montano. 2001. The Kasambahay Child Domestic Work in the Philippines: A Living Experience. Quezon City: International Labour Office.

MODUL TAMBAHAN

• Kemiskinan – Mayoritas PRTA berasal dari keluarga sangat miskin, mereka terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Anak ini biasanya tidak memiliki pendidikan dan hidup pada kondisi yang kurang baik bagi perkembangan mereka. Karena terbatasnya kesempatan untuk berkembang, satu-satunya cara adalah bekerja pada suatu rumah tangga.

• Faktor budaya – gagasan budaya dan harapan orang tua yang beranggapan bahwa anak adalah milik mereka, jadi sebagai anak mereka wajib membantu orang tua, termasuk bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Kultur lain adalah masih banyak sikap permisif terhadap masuknya PRTA dalam rumah tangga.

• Isu ketidaksetaraan gender – Pekerjaan rumah tangga oleh anak terkait erat dengan isu gender. Banyak anak perempuan membantu keluarga untuk mengerjakan tugas rumah tangga. Keluarga lain juga percaya bahwa, anak laki-laki lebih cocok untuk sekolah dibanding perempuan. Praktik-praktik tadi sering kali menjadi justifikasi mengapa anak perempuan lebih banyak bekerja di sektor rumah tangga.

Memang tidak semua PRTA mengalami kondisi yang buruk, banyak dari mereka mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan meningkatkan derajatnya. Namun, cerita PRTA yang sukses tidak bisa mengalahkan kisah sedih yang dialami oleh PRTA yang berkali lipat jumlahnya. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, hak mereka untuk tumbuh kembang, perlindungan dan memiliki suara perlu dijamin, hak-hak ini telah dijamin dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Dalam dokumen Manual Pelatihan untuk Pelatih (Halaman 143-146)