• Tidak ada hasil yang ditemukan

Literasi Kritis dan Perubahan Sosial

Dalam dokumen hiski buku3compressed (Halaman 52-55)

SASTRA, LI TERASI KRI TI S, DAN PENDI DI KAN

3. Literasi Kritis dan Perubahan Sosial

Pada dasarnya literasi (literacy) atau bisa juga disebut sebagai “keberaksaraan” adalah kemampuan membaca yang sering secara simplistis direduksi sebagai melek huruf, mereka yang buta huruf (illiteracy) diberi program pemberantasan buta huruf agar mereka memiliki kemampuan literasi dasar, yaitu membaca, menulis dan berhitung. Dalam pengertian yang lebih luas, literasi dapat dipahami sebagai melek informasi, pengetahuan, media, dan lainnya. Paulo Freire dan Donaldo Macedo (1987: 100-103) menunjukkan setidaknya 4 (lima) pendekatan dalam praktik literasi yang dominan dilakukan pada waktu itu, yaitu: (1) pendekatan akademik, menekankan pada pencapaian standar kelas elite dalam menikmati sastra-sastra klasik dan di sisi lain diarahkan pada pencapaian standar kemampuan membaca, memahami, pengembangan kosakata, dan seterusnya; (2) pendekatan utilitarian, diarahkan untuk kebutuhan dasar ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, literasi di sini menjadi kendaraan untuk peningkatan kualitas ekonomi menjadi lebih baik, misal agar mudah mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan produktivitas kerja; (3) pendekatan perkembangan kognitif, menekankan pada konstruksi makna yang melibatkan seseorang dalam interaksi dialektis antara dirinya dan realitas sosial, hal yang dipentingkan adalah bagaimana seseorang membangun makna/ pemahaman melalui proses pemecahan masalah; (4) pendekatan romantik, melihat bahwa membaca adalah aktivitas pemenuhan diri dan pengalaman yang menyenangkan dan pemahaman/ makna lahir di dalam diri pembaca itu sendiri, bukan merupakan hasil interaksi antara pembaca dan pengarang melalui teks— sebagaimana dalam pendekatan kognitif sebelumnya.

Keempat pendekatan tersebut dianggap gagal oleh Freire dan Macedo dalam menyediakan basis teoretis bagi upaya untuk melihat realitas konteks sosial yang membentuk teks dan pembaca teks tersebut. Pendekatan akademik misalnya, relatif mengabaikan pengalaman hidup, sejarah, dan praktik berbahasa sehari-hari para siswa, dengan penekanan penguasaan sastra dan bahasa secara akademik pada akhirnya tidak menyentuh dimensi sosio-politik dan sama saja artinya dengan mereproduksi makna dan nilai-nilai budaya dominan. Lagi, model pendekatan romantik juga gagal dalam melihat problem konflik kelas sosial, jender, dan ketidakadilan, pendekatan ini mengabaikan modal kultural dan mengasumsikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap bahan bacaan. Pengabaian tersebut juga merupakan bentuk reproduksi modal kultural kelas dominan, namun hal yang lebih krusial adalah: pendekatan romantik gagal mengaitkan aktivitas membaca dengan relasi kuasa yang tidak imbang di dalam masyarakat dominan, yaitu relasi kuasa yang tidak hanya menentukan dan melegitimasi bentuk dan model pendekatan cara membaca teks, melainkan juga menjadikan beberapa kelompok masyarakat tidak berdaya dengan menjauhkan mereka dari proses produksi makna secara

kritis. Bagi Freire dan Macedo (1987: 103) semua pendekatan tersebut mengabaikan peran bahasa sebagai kekuatan utama dalam membangun subjektivitas diri manusia.

Oleh karena itu Freire dan Macedo menawarkan model pendekatan berbeda dalam membaca sebuah teks, yaitu pendekatan kritis atau yang sering disebut sebagai literasi kritis (critical literacy). Berangkat dari asumsi dan argumentasi kegagalan keempat pendekatan dalam membaca sebuah teks di atas, literasi kritis dapat dipahami sebagai sebuah paradigma dan metode pembacaan sebuah teks dengan mengaitkan teks dan konteks. Dengan demikian, aktivitas membaca sebuah teks bukan sekadar aktivitas memahami dan mengkonsumsi pengetahuan yang terkandung di dalam teks, baik literasi tingkat dasar mengenal abjad atau huruf-huruf sampai membaca buku-buku teoretik dan karya sastra adalah aktivitas untuk membangun kesadaran kritis pembaca (anak didik, mahasiswa, guru), memahami secara kritis substansi sebuah teks yang dibaca hingga tidak menerimanya mentah-mentah sebagai sebuah kebenaran dan kebaikan, memahami realitas sosial lebih kritis dan tepat, dan membangun kedaulatan diri dan kelompok sosial. Henry Giroux (dalam Freire dan Macedo, 1987: 1-2) dengan merujuk pada Gramsci menyatakan bahwa literasi:

[ ...] became both a referent and mode of critique for developing forms of counterhegemonic education around the political project of creating a society of intellectuals (in the widest sense of the term) who could grasp the importance of developing democratic public spheres as part of the struggle of modern life to fight against domination as well as take an active part in the struggle for creating the conditions necessary to make people literate, to give them a voice in both shaping and governing their society.

Dalam kutipan di atas, Giroux sudah membangun cara pandang paradigmatik mengenai literasi dari perspektif kritis yang arahnya adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik dengan membangun kesadaran kritis dan kedaulatan diri dan kelompok sosial yang selama ini tersubordinasi/ terpinggirkan. Berdasarkan pada pandangan tersebut dapat kita telusuri dan identifikasi bahwa literasi kritis adalah salah satu bentuk atau varian dari salah satu aliran pendidikan yang familiar disebut sebagai pedagogi kritis (critical

pedagogy), pedagogi radikal (radical pedagogy), atau pendidikan transformatif

(transformative education). Aliran pendidikan ini memandang praksis pendidikan bukan sebagai sesuatu yang netral dari kepentingan politik dan dominasi, praksis pendidikan dipahami sebagai arena pertarungan pengetahuan, nilai, budaya, ideologi, kepentingan politik, dan bahkan transaksi ekonomi (lihat bahasan mendalam mengenai pedagogi kritis misalnya pada Giroux, 1983 & Hinchey, 2004). Oleh karena itu, dengan daya kritis dan bantuan dari basis teori-teoris sosial kritis akan dapat diidentifikasi bahwa beberapa gagasan dan praksis pendidikan pada hakikatnya justru tidak adil, diskriminatif, bias, tidak mencerdaskan, tidak humanis, dan tidak mampu menjawab persoalan diri pribadi anak didik dan masyarakat, dalam konteks yang lebih luas tidak mampu menjadikan diri anak dan masyarakat berdaya dan berdaulat untuk hidup layak, sejahtera, demokratis, tanpa diskriminasi, dan juga tanpa teror.

Dari hasil bacaan kritis terhadap kondisi riil dan aktual tersebut, maka pedagogi kritis mengarahkan praksis pendidikannya untuk tidak sekadar menjadikan anak didik menguasai pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan diri sendiri saja, lebih dari itu diarahkan untuk melakukan perubahan sosial. Hal itu karena problem ketidakadilan, diskriminasi, praksis pembelajaran yang membunuh kreativitas anak didik di sekolah, dan

lainnya tidak dapat hanya diatasi dengan fokus peningkatan kualitas diri anak didik saja, melainkan perlu perombakan tata struktur dan sistem (di I ndonesia ulasan cukup mendalam misal pada Tomatimasang, Rahardjo & Fakih, 2010). Dengan demikian di sekolah sejak awal praksis pendidikan juga harus berkarakter humanis, anak sebagai “subjek” belajar, bukan “objek” pembelajaran; juga mesti adil, tidak diskriminatif, membuat anak didik menjadi kritis, kreatif, memiliki inisiatif/ prakarsa untuk melakukan hal yang riil (action). Lebih lanjut Ira Shor (dalam McLaren dan Leonard, 1993: 32-33) menyatakan praksis pedagogi kritis untuk membangun kesadaran kritis dan kemudian untuk transformasi sosial harus mengembangkan bahan belajarnya dari tema-tema aktual dalam kehidupan sehari-hari dan dari beragam bidang kajian akademik. Oleh karena itu pembelajaran harus: (1) partisipatoris; (2) berangkat dari alam pikir, pemahaman dan “bahasa” siswa (situated); (3) kritis; (4) demokratis; (5) dialogis; (6) aktif mengkaji dan mencari pengetahuan (desocialization); (7) multikultural; (8) berbasis riset/ penelitian; (9) interaktif, pembelajaran kooperatif (cooperative learning), dan partisipatoris; dan (10) mengasah ranah afektif.

Dalam konteks praksis pendidikan secara luas konsep dasar pedagogi kritis tentu sangat penting untuk diacu, diimplementasikan, dan dikembangkan, karena hanya individu-individu yang memiliki kesadaran kritis, daya kreasi, prakarsa, sikap politik, dan pijakan ideologi kuat yang akan dapat menjadi penggerak perubahan sosial di masyarakat ke arah yang lebih baik, adil, sejahtera, berdaulat, partisipatoris, emansipatoris, dan demokratis. Namun pertanyaannya adalah: apa pentingnya dan relevansinya literasi kritis—yang basis ideologi/ paradigmanya adalah pedagogi kritis—ini dalam membelajarkan anak didik menjadi pribadi yang terasah kepekaan rasa, estetika, etika, daya imaji mereka?

Bagi saya penting, bahkan teramat penting, karena—salah satu hal yang paling sederhana dari konsep literasi kritis adalah—menjadikan pembaca bersikap kritis terhadap apa yang dia baca sejatinya merupakan prasyarat agar anak didik tidak mudah termakan isu, terombang-ambing informasi, mampu memilah dan memilih substansi bacaan mana yang benar dan tepat. Ketika membaca teks dengan pendekatan akademik dan romantik misalnya, maka kepekaan rasa yang muncul hanya berkutat pada seputar teks (word) tersebut, maka kepekaan rasa yang timbul tidaklah setajam ketika mengaitkannya dengan realitas sosial (world) di masyarakat. Mengisolasi diri dengan membaca teks tanpa memperhatikan konteks sosial akan menjadikan capaian pemahaman dan penguasaan etika, etika, kuatnya daya imaji dan daya kritis tidak optimal dan tidak berdimensi tindakan (action). Padahal yang paling utama dan penting adalah semuanya itu mesti bermuara pada sikap dan perilaku hidup di ranah sosial riil, dan ketika sudah pada ranah praksis, maka tiada lain yang harus dilakukan kecuali menerapkan kepekaan rasa, estetika, etika, imaji, dan daya kritis tersebut untuk perubahan sosial ke arah yang lebih baik, yang emansipatoris, partisipatoris, demokratis, dan transformatif.

Orang punya kepekaan rasa, sosial, empati, simpati, tidak ada gunanya ketika ia tidak melakukan hal riil berupa toleransi dengan pendapat yang berbeda, menolong orang yang membutuhkan pertolongan, dan lainnya. Selera estetis yang tinggi dan pemahaman mengenai etika yang sangat baik misalnya, juga tidak akan memiliki arus pendorong yang kuat secara “emosional” untuk diimplementasikan dan dibuat “nyata” jika tidak dibenturkan dengan realitas sosial masyarakat, dengan benturan dan refleksi kritis

tersebut maka seseorang akan mengambil sikap dan tindakan terhadap karya-karya budaya populer yang berselera estetis rendah melalui kritik dan produksi karya tandingan misalnya. Problem sosial yang dikemukakan di awal tulisan ini ada pada level tindakan dan sikap riil, oleh karena itu “budaya tandingnya” (counter culture) juga harus riil. Dengan kata lain, realitas masalah sosial tidak cukup hanya dihadapi oleh perilaku asketis, pribadi bermoral, berselera estetis tinggi, dan memiliki sensitivitas sosial saja, nilai moral perlu dan lainnya tersebut perlu diwujudkan dalam tindakan riil.

Pertanyaannya, bisakah karya sastra—dengan pendekatan literasi kritis—dijadikan sebagai teks untuk mengasah kepekaan rasa, estetika, etika, imaji, dan daya kritis anak didik, kemudian digunakan untuk membaca konteks yang diarahkan untuk melakukan perubahan sosial secara riil dalam memecahkan beberapa problem sosial di atas?

Dalam dokumen hiski buku3compressed (Halaman 52-55)