• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra dan Kedangkalan Praktik Pembelajarannya di Sekolah

Dalam dokumen hiski buku3compressed (Halaman 48-52)

SASTRA, LI TERASI KRI TI S, DAN PENDI DI KAN

2. Sastra dan Kedangkalan Praktik Pembelajarannya di Sekolah

Selama ini upaya untuk mengembangkan kepekaan rasa, estetika, dan budaya sudah dilakukan di sekolah dan masuk dalam desain kurikulum resmi pemerintah (official

curriculum), yaitu melalui beberapa matapelajaran dalam “rumpun” Seni Budaya dan

Keterampilan, antara lain seni rupa, musik, tari, dan teater mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) (lebih lengkapnya lihat dokumen

Standar I si dari pemerintah untuk tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas, 2006). Jika arahnya difokuskan pada upaya mengasah kepekaan rasa, estetika, etika, nilai, budaya, dan bahkan ideologi, maka materi yang tepat adalah sastra (literature) dengan berbagai variannya (prosa, puisi, teater, drama). Mengapa? Karena di dalam karya sastra pasti terdapat makna tersurat dan tersirat mengenai nilai-nilai, budaya, ideologi, dan lainnya yang menjadi secara tidak langsung menjadi media dalam mengasah dimensi rasa, estetika, etika, juga membangun pijakan ideologis, sikap politik, etos kerja dan lainnya dari seseorang. Melalui sastra belajar jadi tidak membosankan karena ia tidak bersifat ceramah dan menggurui, alur dan jalinan cerita yang tersaji membuat nyaman untuk dinikmati, melalui syair dan bait-bait puisi kita dapat tenggelam dalam makna-makna yang dikandungnya.

Tentu selain sastra terdapat beberapa bidang yang juga kuat potensinya dalam mengasah rasa, estetika, etika, dan budaya, antara lain seni musik, lukis, gambar, tari, tarik suara, dan sejenisnya. Hanya saja kondisi riil di sekolah-sekolah dalam skala luas di I ndonesia dari SD sampai SMA, beberapa bidang tersebut porsinya tidak lebih banyak ketimbang sastra yang implisit dimasukkan dalam matapelajaran Bahasa I ndonesia. Selain itu juga relatif ditujukan sekadar agar anak didik dapat menguasai teknis saja, misalnya dapat bermain musik, bernyanyi, melukis, dan menari sekadarnya saja, bukan dan belum diarahkan pada memahami nilai budaya di balik sebuah karya musik, lukis, dan tari secara substansial. Misal pada kelas I V semester satu matapelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, apresiasi dan ekspresi diri terhadap dan melalui seni rupa kompetensi dasarnya antara lain adalah: (1) menjelaskan makna seni rupa terapan; (2) mengidentifikasi jenis seni rupa terapan yang ada di daerah setempat; (3) menunjukkan sikap apresiatif terhadap kesesuaian fungsi karya seni terapan; (4) mengekspresikan diri melalui gambar ilustrasi dengan tema-tema benda alam, yaitu buah-buahan, tangkai, kerang, dan sebagainya di depan kelas (lihat Standar I si SD/ MI , 2006: 196). Dalam tulisan ini saya akan fokuskan pada bidang sastra, sedangkan bidang seni-budaya lainnya dapat kita analisis lebih dalam pada kesempatan lain.

Lebih lanjut, persoalannya adalah: bagaimanakah desain kurikulum dan praksis pembelajaran sastra dalam sistem pendidikan formal persekolahan kita selama ini? Berikut di bawah ini saya kemukakan minimal tiga hal utama yang sekiranya dapat menunjukkan kondisi dan fakta praktik pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

Pertama, pengetahuan atau materi sastra pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan

Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya menjadi bagian kecil dari pelajaran Bahasa I ndonesia, bukan satu matapelajaran tersendiri—kecuali pada jenjang SMA yang sudah terdapat penjurusan khusus program bahasa Sastra I ndonesia. Pada kurikulum matapelajaran Bahasa I ndonesia dari SD sampai SMP lebih ditekankan pada kemampuan berbahasa secara teoretik dan teknis, misalnya ditekankan pada kemampuan mendengar, membaca, dan menulis. Hal tersebut terjadi karena desain kurikulum sekarang dari pemerintah sifat dan karakternya adalah akademik, subject matter, dan instrumental- administratif, yakni: pembelajaran atas pengetahuan, nilai-nilai dan budaya semuanya dirinci menjadi bagian dan tahap-tahap, pada akhirnya praksis pembelajaran di kelas sekadar ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan teknis tersebut, bukan hal-hal yang bersifat substansial di baliknya.

Tabel 1. Cuplikan beberapa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang berkaitan dengan sastra dari pedoman Standar I si (2006)

Di atas saya cuplikkan beberapa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dari pedoman Standar I si oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Empat kompetensi utama yang diasah adalah: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan (4) menulis. Selain itu kita juga dapat menemukan pedoman riil praksis pembelajarna sastra pada buku-buku keluaran penerbit yang banyak beredar di pasaran dan masuk ke sekolah-sekolah, terutama yang dilabeli Buku Sekolah Elektronik (BSE).

Dengan demikian jelas tidak merangsang kepekaan rasa, estetika, dan budaya, karena hanya menyentuh hal-hal teknis yang bahkan tidak merawat imajinasi anak-anak secara optimal dan serius. Tujuan-tujuan teknis yang terdapat dalam kurikulum Bahasa I ndonesia tersebut berimbas pada reduksi dan simplifikasi materi-materi sastra bagi anak didik, karena dokumen silabus yang dibuat akhirnya juga sekadar diarahkan agar anak- anak menguasai kompetensi teknis menjawab soal-soal yang terdapat dalam bahan ajar. Dokumen resmi tersebut tidak mengarahkan pada upaya membangun daya kreasi dan ruang imaji anak didik secara lebih luas, apalagi secara faktual guru di sekolah lebih banyak tergantung pada bahan ajar baik pada bahan ajar yang dari pemerintah maupun yang banyak beredar di pasaran, terutama Lembar Kerja Siswa (LKS). Arah kurikulum yang menuntut anak didik menguasai hal-hal teknis pada akhirnya menjadikan mereka tidak dikenalkan dengan karya-karya sastra berkualitas, kalaupun dikenalkan itu pun sekadar cuplikan kecil di LKS dan sejenisnya.

Kedua, metode pembelajaran yang dilakukan pada akhirnya juga didominasi gaya

mengajar bahasa Indonesia yang berkutat dan terpaku pada hal-hal yang berkaitan dengan tata bahasa dan sejenisnya. Hal tersebut terjadi karena desain kurikulum sekarang dari pemerintah sifat dan karakternya adalah akademik dan instrumental- administratif, pembelajaran atas pengetahuan, nilai-nilai dan budaya semuanya dirinci menjadi bagian dan tahap-tahap, pada akhirnya praksis pembelajaran di kelas sekadar ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan teknis tersebut. Ketika hal-hal yang bernuansa sastra tidak banyak muncul, maka berakibat praksis pembelajaran tidak banyak

Kelas VI semest er sat u: kemampuan yang diasah, mendengarkan, SK: memahami t eks dan cerit a yang dibacakan. KD: menulis hal-hal pokok dari t eks yang dibacakan, mengident ifikasi t okoh, w at ak, lat ar, t ema, dan amanat . Pada kelas lain juga t idak banyak berbeda.

Kelas VII semest er dua: mendengarkan, SK: memahami pembacaan puisi. KD: menanggapi pembacaan puisi, merefleksikan isi puisi yang dibacakan. Berbicara, SK: mengungkapkan t anggapan t erhadap pembacaan cerpen. KD: menanggapi cara pembacaan cerpen, menjelaskan hubungan lat ar suat u cerpen dengan realit as sosial. M embaca, SK: memahami w acana sast ra melalui kegiat an membaca puisi dan buku cerit a anak. KD: membaca indah puisi dengan menggunakan irama, volume suara, mimik, dan gest ure sesuai isi puisi, menemukan realit as kehidupan anak yang t erefleksi dalam buku cerit a baik asli maupun t erjemahan. M enulis, SK: mengungkapkan keindahan alam dan pengalaman melalui kegiat an penulisan kreat if puisi. KD: menulis kreat if puisi berkenaan dengan keindahan alam dan perist iwa yang pernah dialami.

Kelas VIII semest er sat u: mendengarkan, SK: mengapresiasi pement asan drama. KD: menanggapi unsur pement asan drama, mengevaluasi pemeran t okoh dalam pement asan drama. Berbicara, SK: mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bermain peran. KD: bermain peran sesuai dengan naskah yang dit ulis sisw a, bermain peran dengan cara improvisasi sesuai dengan kerangka naskah yang dit ulis sisw a. M embaca, SK: memahami t eks drama dan novel remaja. KD: mengident ifikasi unsur int rinsik t eks drama, membuat sinopsis novel remaja Indonesia. M enulis, SK: mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiat an menulis kreat if naskah drama. KD: menulis drama sat u babak dengan memperhat ian keaslian ide, menulis kreat if naskhan drama sat u babak.

mengenalkan, mengapresiasi, dan mengeksplorasi karya sastra secara mendalam, kontekstual dan kritis. Praktik pembelajaran materi sastra yang ada dalam pelajaran Bahasa I ndonesia dari SD sampai SMA lebih banyak berkaitan dengan alur cerita, tokoh, diksi, gaya bahasa, makna tersirat dan tersurat, dan sejenisnya (lihat tabel 1 di atas). Bahkan pada program bahasa Sastra I ndonesia di SMA metode pembelajarannya juga jarang sekali mendalami sebuah karya sastra sampai pada refleksi dan kontekstualisasi nilai-nilai yang ada dalam karya tersebut dengan realitas sosial terkini karena mengikuti Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK & KD) dari BSNP. Walaupun tentu ada juga yang tidak seperti itu (disarikan dari perbincangan dengan beberapa guru Bahasa I ndonesia). Dari jenjang SD sampai SMA bisa jadi banyak anak tidak pernah menulis cerita pendek dan puisi yang baik dan berkualitas, apalagi ikut pementasan teater misalnya (merujuk pada pengalaman mahasiswa semester satu yang saya ampu pada matakuliah Pengembangan Karya I lmiah). Tidak juga diajak untuk membaca banyak karya sastra dan kemudian mencari substansi nilai budaya yang terkandung di dalamnya untuk direfleksikan dan kontekstualisasikan dengan realitas kehidupan sosial masyarakat sekarang.

Ketiga, tidak semua sekolah memiliki perpustakaan dengan koleksi karya-karya

sastra yang berkualitas dan memadai secara kuantitas. Cara pandang dunia pendidikan I ndonesia yang masih mengutamakan capaian Intellectual Quotient (IQ) sebagai faktor terpenting dalam menggapai kesuksesan hidup dan Barat sebagai kiblat peradaban akhirnya menyingkirkan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang berdimensi dan berkarakteristik afektif, spiritual, etika, estetika, moral, dan sejenisnya. Bentuk riilnya adalah pengutamaan matapelajaran eksakta atas sosio-humaniora dan seni-budaya termasuk sastra di dalamnya. Pelajaran yang dianggap penting antara lain adalah matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa I nggris, dan ketika bahasa I ndonesia dianggap penting—karena termasuk pelajaran yang masuk dalam Ujian Nasional (UN)— maka argumentasinya sekadar untuk melestarikan bahasa nasional, pun sastra tidak dimasukkan di dalamnya sebagai sesuatu yang penting.

Cara pandang ini tidak hanya berakibat pada minim dan tiadanya aktivitas apresiasi dan pendalaman karya sastra di sekolah-sekolah, melainkan juga berimbas pada tidak diutamakannya karya-karya sastra dalam pembelian koleksi perpustakaan sekolah. Dalam istilah lain, alokasi dana sekolah diutamakan untuk memenuhi referensi yang menunjang kesuksesan anak-anak didik dalam prestasi akademik yang ditunjukkan oleh nilai/ skor tinggi, termasuk dan terutama di SMA adalah penunjang lulus UN. Dari fakta tersebut kita juga dapat memperkirakan mengapa minat baca anak-anak rendah. Dugaan saya adalah karena mereka terlalu banyak disodori bacaan teoretis dan teknis, diburu- buru untuk cepat menguasai materi dalam satu semester (mastery learning), diarahkan mengejar nilai/ skor tinggi, bukan diberikan bacaan karya-karya sastra yang mengasyikkan dan nikmat dibaca berlama-lama.

Kondisi dan fakta tersebut jelas menunjukkan kedangkalan dalam praktik pembelajaran sastra di sekolah-sekolah formal kita selama ini, baik dilihat dari komposisi kurikulumnya, desain dan metode pembelajaran, bahkan ketersediaan karya-karya sastra di sekolah pada umumnya. Kalau sudah begitu tentu susah untuk berharap akan berlangsung praktik pembelajaran sastra yang tepat dan berkualitas hingga dapat mengasah kepekaan rasa, estetika, dan budaya anak didik dalam pendidikan formal

persekolahan. Padahal untuk mengasah kepekaan rasa, etika, estetika, nilai-nilai, dan budaya tidak sekadar dibutuhkan ketersediaan karya sastra untuk para anak didik, melainkan juga paradigma dan metode pembelajaran yang tepat. Di sinilah literasi kritis (critical literacy) hadir memberikan perspektif paradigmatik dan metodologis yang menurut saya tepat dalam mengasah kepekaan rasa, estetika, etika, nilai-nilai, dan budaya anak didik di sekolah.

Dalam dokumen hiski buku3compressed (Halaman 48-52)