• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KARYA SASTRA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK BANGSA

Dalam dokumen hiski buku3compressed (Halaman 163-169)

Purw ati Anggraini, S.S, M. Hum

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra I ndonesia dan Daerah

Universitas Muhammadiyah Malang

Abstrak

Pendidikan karakter dipandang sangat penting, karena karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita

kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Karya Sastra diharapkan dapat menjadi media pembentukan karakter. Banyak hal yang dapat dipetik dalam kegiatan apresiasi sastra, yaitu pentingnya memupuk imajinasi, pentingnya amanah dalam karya sastra, dan tentu saja dampak negatif karya sastra yang perlu diminimalisasikan.

Pentingnya Pendidikan Karakter

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat dikejutkan dengan seorang model yang tengah menyetir mobil dalam pengaruh narkoba dan akhirnya menabrak beberapa orang yang tengah berada di tepi jalan. Kasus teror bom berdaya ledak rendah juga terjadi kembali di Poso. Kasus tawuran pelajar masih sering terjadi di berbagai tempat. Kasus- kasus tersebut masih sering menjadi topik utama berita di media elektronik maupun cetak. Kasus seperti ini perlu segera diatasi, bukan dengan cara yang hanya berdampak sesaat, tetapi perlu dicarikan solusi yang sekiranya dapat memperbaiki pandangan hidup, sikap, dan karakter masyarakat. Pencarian solusi ini tentu memerlukan keterlibatan banyak pihak, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, dan pengambil kebijakan (dalam hal ini pemerintah).

Melihat kenyataan tersebut di atas, pemerintah telah menggulirkan kebijakan terkait dengan dunia pendidikan, yaitu penerapan pendidikan karakter di sekolah. Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila” (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011).

Bergesernya nilai etika dalam berbangsa dan bernegara saat ini membuat berbagai pihak merasa prihatin dan berusaha mencari cara agar moral generasi mendatang terselamatkan. Nasib sebuah bangsa dapat diprediksikan dari keadaan generasi sekarang. Generasi muda yang tekun, amanah, taat kepada Tuhan, sopan, dermawan, percaya diri atau dengan kata lain generasi muda yang berkarakter merupakan aset berharga bagi sebuah negara. Karena itulah, saat ini banyak sekolah menggalakkan program pendidikan karakter di sekolah yang tujuannya tentu saja ingin membentuk karakter anak.

Karakter merupakan usaha setiap manusia untuk belajar mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila tumbuh pada lingkungan yang berkarakter. Proses pendidikan karakter sudah tentu harus dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk m emahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau siapa pun yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan karakter.

Melihat kenyataan di lapangan, maka sudah selayaknya program pendidikan karakter yang dicanangkan dan dilaksanakan di sekolah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pada dasarnya pendidikan karakter akan mencapai hasil yang optimal jika didukung oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penanaman budi pekerti atau pembentukan karakter pada siswa memang memerlukan kesadaran dan kemauan keras dari diri siswa, keluarga, masyarakat, dan pihak sekolah untuk bersama-sama membangun karakter siswa menjadi siswa yang berbudi pekerti. Tanpa kerjasama dengan semua pihak, mustahil penanaman budi pekeri dapat berjalan dan mencapai hasil maksimal.

Sastra dan Pendidikan Karakter

Karya sastra diyakini dapat menjadi salah satu alternatif media pembentukan karakter anak bangsa. Ketika membaca karya sastra, pembaca paling tidak akan mendapatkan dua hal, yaitu kesenangan dan pengetahuan. Sastra yang berbicara tentang hidup dan kehidupan manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada umumnya dapat memberikan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, mempermainkan emosi pembaca dan menariknya untuk larut di dalamnya. Hal inilah yang dapat memunculkan rasa senang pada diri pembaca. Kesenangan yang diperoleh pembaca akan membuatnya lebih tenang dan santai. Sebagai contoh, puisi kontemporer mampu memberi pengalaman baru yang menyenangkan. Untaian kata yang menggunakan pola-pola bunyi, permainan kata yang dibalik, sampai pada bentuk susunan bait membuat pembaca terhibur.

Selain itu, karya sastra selalu menghadirkan sesuatu yang sering kali menyajikan banyak hal dan apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. Sastra memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai kehidupan, mengungkapkan berbagai macam karakter manusia, memberikan informasi tentang kehidupan di sekitar manusia, dan masih banyak yang lain. Semua orang tentu membutuhkan informasi tersebut. Untuk itulah, sastra tetap diperlukan karena memang banyak sekali manfaatnya. Dengan membaca sastra, pembaca atau penikmat sastra akan semakin arif dalam menilai, bukan hanya arif dalam menyikapi karya sastra itu sendiri, tetapi juga arif dalam menyikapi kehidupan yang dipahami dalam karya sastra itu sendiri. Keunikan karya sastra yang ‘mendidik tanpa menggurui’ dapat menjadikan karya sastra sebagai media pembentukan karakter. Misalnya, ketika siswa membaca sebuah karya sastra, ia dapat mengapresiasi, mengambil hikmah yang ada di dalamnya, mengambil nilai yang tertuang dalam karya sastra untuk kemudian direnungkan dan

dipakainya dalam kehidupan nyata. Pada puncaknya nanti, siswa akan tergerak untuk mengajak orang lain ikut menikmati karya sastra, sehingga mereka akan bersama-sama memperoleh nilai di dalamnya.

Sastra memang karya imajinatif yang dapat menggugah imajinasi seseorang. Walaupun bersifat imajinatif, karya sastra mampu mengarahkan pembaca untuk merenungkan dan menyikapi kehidupan dengan arif dan bijaksana. Dalam hal ini tentu karya sastra yang dibaca adalah karya sastra yang sesuai dengan usia pembaca, karena kesesuaian usia dengan karya sastra akan membantu pembaca dalam memahami dan melakukan refleksi sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Misalnya, dongeng merupakan karya sastra yang sesuai untuk anak-anak. Dongeng dapat menciptakan sisi kepekaan sang anak. Tokoh dan karakter dalam dongeng akan selalu diingat oleh anak. Dongeng merupakan cara yang paling ampuh dan efektif untuk memberikan sentuhan humanis dan sportivitas bagi anak.

Pada dasarnya anak-anak sangat menyukai cerita, dunia khayalan, yang kesemuanya itu ada dalam karya sastra. Karya sastra, betapapun bertujuan untuk menghibur, tetap saja ia bersifat mendidik. Mengutip pendapat Sarumpaet, karya sastra, dalam hal ini sastra anak, sebenarnya adalah ajaran, bahkan rencana masa depan (Sarumpaet, 2009:12). Membaca karya sastra berarti melatih kreativitas. Dengan melatih kreativitas, seseorang akan dapat menyiapkan masa depan anaknya dengan lebih baik.

Pentingnya I majinasi

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa karya sastra merupakan karya imajinatif yang mampu menggugah imajinasi seseorang. Dalam hal ini, karya sastra mampu mengajak pembaca untuk berandai-andai, membangun imajinasi yang sangat kreatif, dan tidak menutup kemungkinan imajinasi tersebut akan diwujudkannya dalam dunia nyata. Dalam dongeng banyak sekali cerita tentang hewan yang membawa tuannya terbang, bahkan ada juga sapu terbang. Ketika seorang anak mendengarkan dongeng tersebut, ia akan tergugah imajinasinya. I a ingin terbang seperti tokoh dalam cerita. Lambat laun ia akan mewujudkannya dalam kenyataaan. I a mencari cara untuk dapat terbang. Dalam hal ini, orang tua dapat menyelipkan pesan kepada si anak, misalnya mengarahkan si anak untuk menabung agar ia dapat terbang dengan paralayang atau pesawat terbang.

I majinasi sangat penting bagi semua orang. Bagi anak, mengembangkan imajinasi merupakan upaya untuk merangsang kecerdasan dan kreativitasnya. Bagi orang dewasa, imajinasi juga sangat penting untuk menajamkan kreativitasnya, sehingga ia akan dapat menemukan solusi untuk masalah yang sedang dihadapinya atau masalah yang ada di sekitarnya. Dunia imajinasi juga merupakan dunia yang sangat dekat dengan dunia anak. Kemampuan imajinasi anak merupakan bagian dari aktivitas otak kanan yang bermanfaat untuk kecerdasannya. Anak-anak sangat suka membayangkan sesuatu, mengembangkan khayalannya dan bercerita membagi ide-ide imajinatifnya kepada orang lain, khususnya orang tuanya. Dengan demikian, berimajinasi mampu membuat anak mengeluarkan ide- ide kreatifnya yang kadang kala “mencengangkan” (http:/ / niahidayati.net/ mengembangkan-imajinasi-anak.html).

Ada banyak manfaat mengasah imajinasi anak, yaitu 1) anak akan terampil berkomunikasi dan bersosialisasi, 2) anak akan mampu menganalisis dan berpikir kreatif,

3) memperkaya pengetahuan anak, anak akan lebih percaya diri, mandiri, dan mampu bersaing, 4) memunculkan bakat anak. Dengan demikian, imajinasi sangatlah penting bagi pertumbuhan anak dan nantinya akan menghasilkan generasi penerus yang kreatif. Generasi penerus kreatiflah yang akan mampu ‘menggenggam dan menaklukkan dunia’, artinya merekalah yang akan mampu memberi solusi cerdas dan akan mampu memimpin sebuah bangsa.

Karya sastra merupakan media yang penuh dengan imajinasi. Dalam karya sastra pembaca akan mendapatkan banyak manfaat. Sebagai contoh, dalam buku cerita Rumah

di Bukit Cemara karya Renny Yaniar. Dalam buku cerita tersebut dikisahkan tentang

sebuah keluarga kucing. Si ayah sibuk bekerja sehingga ia jarang bertemu dengan putrinya. Kemudian si ayah memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengajak keluarganya pindah di kawasan bukit cemara. Awal kepindahan mereka membuat mereka cemas, karena lingkungan baru yang jauh dari keramaian. Singkat cerita, keluarga tersebut akhirnya hidup bahagia. Ayah menjadi seorang penulis hebat, mereka mempunyai tetangga yang baik dan ramah, dan yang tidak kalah menariknya adalah putri mereka dapat berpetualang bersama dengan teman barunya. Salah satu respon pembaca buku cerita tersebut sangat bagus. I a mempunyai ide menyulap pekarangan rumahnya yang tidak terlalu luas menjadi hutan buatan. I a menanam biji buah-buahan yang dimakannya. I a berharap kelak ia akan mempunyai hutan di dekat rumahnya agar ia dapat bermain dan berpetualang seperti yang dilakukan oleh tokoh cerita.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara orang yang sering berfantasi dan orang yang jarang atau tidak menyukai fantasi. Ketika seorang anak sering berfantasi dihadapkan pada sebuah masalah, ia akan dapat mengontrol emosinya dan tidak terlalu agresif (jarang melakukan perlawanan). Sebaliknya, jika anak yang jarang/ tidak pernah berfantasi dihadapkan pada suatu masalah, ia tidak dapat mengontrol emosinya dan sangat agresif (sering melakukan perlawanan) (Stewig, 1980: 409). Penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya imajinasi. Imajinasi dapat menuntun orang untuk berpikir hal terbaik apa yang akan dilakukan tanpa merugikan orang lain.

Sekarang ini banyak kasus diberitakan di media cetak maupun elektronik. Sedikitnya ada 15 kasus lama maupun baru yang dibahas dalam sebuah koran harian berhalaman 20. Mulai dari kasus penganiayaan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya, tenaga kerja yang meninggal karena dianiaya oleh majikannya, kasus teror bom, pembobolan bank, pecah kongsi partai politik sampai pada kasus sepele seperti pencurian sandal japit oleh si anak kecil. Banyaknya kasus ini tentu beragam penyebabnya. Penyebab utamanya adalah hilangnya jati diri masyarakat sebagai bangsa I ndonesia yang berbudi luhur. Orang tidak lagi mementingkan kepentingan orang banyak. Himpitan ekonomi, cuaca yang panas dan tidak bersahabat (tentu juga karena ulah manusia) menyebabkan orang dapat berbuat amoral. Berawal dari hasil penelitian di atas, dapat diajukan hipotesis bahwa kasus yang marak terjadi disebabkan oleh kurangnya masyarakat dalam membaca karya sastra, masyarakat jarang berfantasi, jarang berimajinasi, sehingga berakibat miskin kreativitas. Sebagian besar masyarakat lebih mementingkan realita dan solusi cepat. Sebagai ilustrasi, ketika perekonomian dalam sebuah rumah tangga sedang terpuruk, seringkali orang hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan uang dengan cepat. Melihat kenyataan seperti itu, para oknum penipuan

akan bergerak cepat mengiming-imingi masyarakat dengan hadiah undian milyaran rupiah. Orang yang sedang membutuhkan uang tentu saja tidak akan berpikir panjang dan percaya pada si penipu.

Apresiasi Sastra sebagai Upaya Pembentuk Karakter

Apresiasi berarti mengindahkan atau menghargai. Squire dan Taba mengungkapkan bahwa apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yaitu aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik- buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, serta sejumlah penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik (Aminuddin, 2009:34). Kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniah.

Apresiasi Sastra diharapkan dapat memberikan peranan dalam pembentukan moral, kemanusiaan, estetika, filsafat, dan sebagainya. Dalam mengapresiasi karya sastra, pembaca berperan penting sebagai pemberi makna. Pembaca meresepsi, memaknai, menanggapi karya sastra. Dalam menanggapi karya sastra, pembaca akan menilai baik buruknya karya sastra, pembaca akan merasakan dampaknya setelah membaca karya sastra, dan tentu pembaca akan mendapatkan pelajaran atau hikmah dari bacaannya. Sebagai ilustrasi, mahasiswa kelas Apresiasi Sastra diminta untuk membaca sebuah cerpen anak yang berjudul Kata Tanpa Koma yang ditulis oleh Sophia Rodiah. Cerpen tersebut mengisahkan seorang anak perempuan yang cerewet dan kalau berbicara tidak pernah memperhatikan intonasi. Hal ini berakibat fatal, yaitu ia berselisih dengan adiknya karena adiknya tidak dapat memahami perkataan si kakak. Walaupun cerpen ini merupakan cerpen anak, mahasiswa tetap meresponnya dengan baik, bahwa intonasi itu sangat diperlukan ketika berbicara, agar pesan yang akan disampaikan dapat diterima pendengarnya dengan baik. Bahkan akhirnya cerpen tersebut menjadi slogan manakala ada seorang teman yang berbicara atau sedang presentasi tanpa intonasi. Paling tidak, amanah yang terkandung di dalam cerita tersebut dapat mengingatkan mahasiswa akan pentingnya intonasi.

Seringkali masyarakat merasa pesimis dengan program pembentukan karakter, terlebih jika menggunakan karya sastra sebagai medianya. Pembentukan karakter tidak dapat dilakukan seorang diri atau sebatas keluarga. Pembentukan karakter memerlukan kerjasama antara individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pemerintah telah menggulirkan kebijakan tentang pembentukan karakter di sekolah. Dengan kebijakan seperti ini, mestinya guru segera membuat desain desain pendidikan karakter siswa, misalnya sekolah dapat membuat program pembentukan karakter melalui apresiasi sastra. Keluarga semestinya juga mendukung program sekolah dengan cara menyediakan karya sastra yang mempunyai nilai dan dapat diterapkan di mana saja. Keluarga, bersama-sama dengan sekolah dan masyarakat ikut mengontrol siswa dalam bersikap. Guru bersama-sama dengan keluarga mendampingi siswa dalam membaca karya sastra, sehingga siswa tidak mempunyai kesempatan untuk menuai dampak negatif karya sastra.

Dampak Negatif Karya Sastra

Karya sastra diharapkan dapat memerankan peranan yang strategis, yaitu mengasah kecerdasan dan kreativitas, memperhalus budi. Kenyataan di lapangan, tidak semua karya sastra menyuguhkan cerita menarik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu, ada beberapa dampak negatif karya sastra. Dampak tersebut antara lain adalah adanya fantasi atau khayalan. Kadang-kadang khayalan yang berlebihan akan membuat seseorang frustasi. Sebagai contoh, ada seorang pembaca novel dewasa merasa frustasi. Tokoh utama yang digambarkan dalam novel tersebut adalah sosok pria yang ideal, pria mapan dan penyayang. Si pembaca membayangkan bahwa tokoh tersebut begitu sempurna. I a menginginkan seorang suami seperti dalam novel tersebut, dan ketika keinginannya belum terwujud, ia terus menunggu.

Khayalan juga mampu membuat pembaca melakukan hal-hal yang kurang pantas. Misalnya, ketika cerita dalam novel berkisah tentang seorang gadis yang sangat mencintai pacarnya sampai menyerahkan segalanya, barangkali pembaca akan membayangkan atau berimajinasi sangat jauh. Jika pembaca tidak mempunyai benteng keimanan yang kuat tentu hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi.

Selain itu, gambar/ ilustrasi dalam komik juga mempunyai dampak negatif, di antaranya yaitu komik membatasi bahkan memungkinkan penumpulan imajinasi. Prosa, seperti novel atau cerpen, lebih banyak menggambarkan wajah, latar, watak, dengan kata-kata daripada gambar. Pembaca diajak untuk membayangkan seperti apa wajah tokoh tersebut, atau bagaimana latar tempat dan suasananya. Aspek-aspek inilah yang dalam komik diterjemahkan dalam gambar dan membuat pembaca langsung menikmatinya, tanpa harus bersusah payah membayangkan penggambaran tersebut melalui pikiran atau imajinasinya (http:/ / pelitaku.sabda.org/ komikdiantaraprodankontra- menggalinilaidarijalinangambar). Penggambaran seperti dalam komik inilah yang dapat menumpulkan imajinasi seseorang. I a terlalu dimanjakan dengan gambar sesuai dengan imajimasi pengarang. Ketika gambar dalam komik tidak sesuai dengan imajinasinya, pembaca akan kecewa.

Punut up

Sesungguhnya karya sastra masih diharapkan menjadi media pembentukan karakter bagi anak bangsa. Mengutip tulisan Acep Zamzam Noor dalam makalahnya yang berjudul Apresiasi Sastra: Pengalaman Tasikmalaya (disampaikan dalam Sarasehan Kebahasaan dan Kesastraan tanggal 19 Oktober 2010 di Balai Bahasa Yogyakarta), konon setelah kemerdekaan berjalan, lebih-lebih setelah orde baru, para siswa di I ndonesia tidak lagi mempunyai kewajiban membaca buku sastra, padahal di sejumlah Negara setiap siswa diwajibkan membaca antara 5-32 buku dalam 3 tahun sekolahnya. Dengan data tersebut wajar jika sulit mencari seseorang yang mempunyai kepekaan terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa I ndonesia. Jadi, sampai saat ini karya sastra masih diperlukan untuk melatih kreativitas, mengasah kecerdasan, melatih kepekaan, dan menghaluskan budi.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Fananie, Zainuddin. 2002, Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press

(Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Hidayati, Nia. Mengembangkan I majinasi Anak. http:/ / niahidayati.net/ mengembangkan- imajinasi-anak.html (diakses tanggal 18 Oktober 2012).

Kesuma, Dharma dkk. 2011. Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kurnia, R.S. Komik di Antara Pro dan Kontra: Menggali Nilai dari Jalinan Gambar. http:/ / pelitaku.sabda.org/ komik_di_antara_pro_dan_kontra_menggali_nilai_dari_j alinan_gambar (diakses tanggal 19 Oktober 2012).

Noor, Acep Zamzam. 2010. “Apresiasi Sastra:Pengalaman Tasikmalaya”. Makalah yang disajikan dalam acara Sarasehan Kebahasaan dan Kesastraan yang diselenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta tanggal 19 Oktober 2010.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Purba, Antilan. 2010. Sastra I ndonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha I lmu

Pusat Kurikulum dan Perbukuan. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter

(online). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan

Nasional.

Sarumpaet, Riris K. Toha. 2009. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor I ndonesia

Stewig, John Warren. 1980. Children and Literature. Chicago: Rand Mc.Nally College Publishing Company

Dalam dokumen hiski buku3compressed (Halaman 163-169)