• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN

2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan

2.5.2 Luh Dalem

Luh Dalem, perempuan Sudra, ibu dari Luh Sekar (Jero Kenanga). Ia adalah seorang perempuan sederhana. Karena tidak memiliki kemampuan apa pun pekerjaan Luh Dalem hanya berkebun dan beternak babi. Suami Luh Dalem diceritakan sebagai seorang laki-laki yang terlibat gerakan yang tidak jelas (tidak disebutkan namanya pula). Karena itu Luh Dalem dan keluarganya tidak mendapat tempat di lingkungan masyarakat – dikucilkan. Orang-orang disekitarnya menganggap suami Luh Dalem sebagai seorang pemberontak.

Tak hanya tatapan sinis dari orang-sekitar tentang keluarga Luh Dalem, nasib buruk pun selalu menghampiri Luh Dalem. Ketika ia ke Pasar Kumbasari, Luh Dalem dirampok, diperkosa dan dilukai matanya sehingga Luh Dalem menjadi buta. Berikut adalah dua kutipan yang menyatakan hal tersebut.

(65) TIDAK ada baju, tidak ada sepatu, kue atau permen. Tidak juga uang. Luh Sekar melihat ibunya dibopong orang-orang sedesa. Tubuh perempuan itu berlumuran darah. Luh Sekar menjerit-jerit.

Hampir satu minggu perempuan teramat dicintainya itu tidak bergerak. Kata orang-orang, ibu Luh Sekar dirampok (Rusmini, 2004: 59).

(66) Sejak ditemukan dalam kondisi pingsan dan kedua mata terluka, Luh Dalem lebih sering menyendiri. Yang pergi ke pasar Luh Sekar.

Terseok-seok Luh Sekar menyeret babi yang akan dijual. Dari orang-orang pasar Luh Sekar baru tahu mengenai malapetaka yang menimpa ibunya. Kata orang-orang di pasar Luh Dalem juga diperkosa. Pantas, ketika ditemukan tubuh ibunya seperti tidak memakai pakaian.

Kata orang-orang itu Ibu Luh Sekar diperkosa oleh lebih dari tiga laki-laki. Luh Sekar bergidik mendengar cerita itu (Rusmini, 2004: 59-60).

Akibat kejadian ini Luh Dalem hamil, namun karena kehamilan ini bukan keinginannya ia berusaha untuk menggugurkannya. Menurut Luh Dalem benih yang tumbuh bukan benih cinta namun lebih nafsu jahat. Keadaan benih ini tidak direncanakan juga tidak diinginkan.

(67) “Belikan Meme nanas muda Luh. Sepuluh biji!” Suara ibunya terdengar kasar, penuh kemarahan yang hampir meledak. Tidak ibunya juga semakin kurus.

Entah apa yang dilakukan ibunya hanya makan nanas muda, tanpa makan nasi.

Kalau bukan karena mulut orang-orang pasar Badung, Luh Sekar tidak akan tahu bahwa nanas muda yang dimakan ibunya adalah untuk mengeluarkan calon adiknya (Rusmini, 2004: 63-64).

Kondisi Luh Dalem membuat iba seorang bidan di situ. Oleh bidan itu, Luh Dalem diperingatkan bahwa ia bisa mati kalau mencoba mengeluarkan janinnya dengan hanya memakan nanas muda. Atas nasihat bidan itulah Luh Dalem membiarkan janinnya tumbuh. Bidan itu pulalah yang membantu persalinan Luh Dalem tanpa mau dibayar sepeser pun. Luh Dalem melahirkan

anak kembar, perempuan semua. Bidan itu memberi nama Luh Kerti dan Luh Kerta. Namun, semakin lama bertambah dewasa, Luh Kerti dan Luh Kerta sering membuat ulah. Hal inilah yang dirasakan Luh Dalem atas anak kembarnya tersebut.

Di akhir hidupnya pun nasib baik seolah memang tidak tertakdirkan ada pada diri Luh Dalem. Ia mati hanyut di sungai. Jasadnya pun disemayamkan di jalan raya.

(68) “Perempuan itu tidak boleh diabenkan. Dia harus dikubur selama 42 hari. Perempuan itu mati salah pati, mati yang salah menurut adat.” (Rusmini, 2004: 102).

(69) Kematiannya dianggap kematian yang salah. Akhirnya, Luh Dalem disemayamkan di jalan raya. Mayatnya tidak boleh masuk rumah (Rusmini, 2004: 103).

Sebagai perempuan yang sering dikucilkan, Luh Dalem serasa tidak berdaya menghadapi tekanan hidup yang demikian. Namun sebagai seorang ibu, Luh Dalem hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya, Luh Sekar. Rasa tanggung jawab ini nampak dalam kutipan berikut.

(70) “Dulu, ketika Luh Sekar berusia sembilan tahun, tulang punggung keluarga berpusat pada Luh Dalem, perempuan sederhana yang tidak memiliki kemampuan apa pun. Luh Dalem hanya bisa berkebun atau beternak babi.” (Rusmini, 2004: 58).

(71) “Belajarlah dengan baik, Luh. Meme tidak apa-apa pergi sendiri. Ingat kunci pintu rapat-rapat, ya? “Luh Sekar mengangguk.

Masih jelas dalam ingatan Sekar senyum ibunya yang tulus. Bahkan Sekar masih ingat teriakan perempuan itu.

Meme akan bawakan kau baju baru. Juga sepatu terbaik untuk ke sekolah. Kau mau?” Suara Luh Dalem berteriak (Rusmini, 2004: 58).

anak-anaknya, ia ingin agar anak-anaknya (khususnya Luh Sekar) mempunyai nasib yang lebih baik dari dirinya.

(72) “Kau bukan lagi Ni Luh Sekar anakku yang dulu. Kau adalah masa depanku. Kau satu-satunya impian yang kuinginkan. Sejak aku kehilangan laki-lakiku, aku hanya memiliki impian. Impian yang tinggi untuk membangun generasi yang lebih baik. Aku selalu memohon pada dewa-dewa di sanggah agar kau bisa keluar dari lingkaran karmaku. Kau harus menjadi makhluk baru dengan karmamu sendiri. Ini satu-satunya kinginan Meme.” (Rusmini, 2004: 71-72).

Pernyataan Dalem pada kutipan (72) memberikan suatu penyadaran kepada kaum perempuan bahwa semestinya (semua) perempuan haruslah mempunyai kesadaran atas nasib, hak dan cita-cita mereka yang lebih baik. Kesadaran ini membuat Luh Dalem merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan anaknya – Luh Sekar – agar nasib Sekar tidak sepertinya. Dalem ingin manusia perempuan harus tumbuh sebagai manusia yang punya peranan besar di kaumnya dan di dalam masyarakatnya. Kelemahan dan kebodohan Dalem bukanlah karena ia seorang perempuan namun lebih karena tekanan sekitarnya dan statusnya sebagai Sudra.

Meskipun Dalem diceritakan sebagai seorang perempuan yang selalu sial namun sebagai seorang pribadi ia tegas dan keras. Dalem sangat menghayati perannya sebagai seorang perempuan, seorang Sudra, seorang ibu yang dikucilkan oleh sekitar. Meski begitu ia tidak lantas memvonis dirinya sebagai makhluk yang tidak berharga. Justru ia berani berpendapat tentang bagaimana menghargai seorang perempuan Bali.

(73) “Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (Rusmini, 2004: 31).

Pernyataan Dalem sangat sederhana namun bisa membuka mata hati seorang perempuan (pembaca) atas pembacaan perempuan Bali. Ia pun juga pantang “meminta-minta” meskipun ia ada dalam kemiskinan itu sendiri. Kutipan berikut menyatakan bahwa meskipun Dalem miskin, ia masih menjunjung artinya harga diri.

(74) Masalahnya hanya ibu. Perempuan itu selalu protes setiap Sekar membawa keranjang penuh berisi buah-buahan dan sedikit beras atau ikan kering.

“Kau minta-minta Luh?” Suara Dalem terdengar getir. “Tidak, Meme! Mereka yang memberi semua ini. Ketika

mau dibayar, mereka menolak. Kata mereka untuk Meme.” (Rusmini, 2004: 61).

Ketegasan Dalem pun sangat kentara pada saat ia memarahi Kerti dan Kerta karena bersikap sinis pada Luh Sekar yang kala itu sudah menikah dengan seorang Ida Bagus seperti kutipan (75).

(75) “Kerti! Apa-apaan kamu! Apa kamu salah merasa lebih baik daripada kakakmu!” Suara Luh Dalem terdengar kasar. Perempuan tua itu memukulkan tongkatnya ke tanah penuh kemarah-marahan. Luh Kerta dan Luh Kerti masuk ke dalam rumah (Rusmini, 2004: 70).

Selain kutipan (75), di bawah ini ada satu pernyataan Dalem yang membuat sifat tegasnya kian kentara.

(76) “Kau harus mengerti kata-kataku ini. Kau bukan lagi Ni Luh Sekar. Derajatmu lebih tinggi dari seluruh perempuan sudra, termasuk Meme, perempuan yang melahirkanmu. Belajarlah menjadi bangsawan yang sesungguhnya, Sekar. Satu hal lagi yang harus kau ingat, lahirkan anak-anak yang baik. Kau tidak akan bisa melahirkan anak-anak yang baik kalau kau sendiri tidak yakin bahwa benihmu dan benih laki-lakimu akan melahirkan bibit yang baik. Pegang kata-kataku ini, Sekar. Kau bisa hayati hidupku. Kau bisa jadikan pegangan, jadikan contoh. Pergilah! Kau jangan menangis. Jadilah perempuan baru. Perempuan yang memiliki harga diri, kekuasaan, dan impian besar. Jangan menangis! Aku tak pernah mendidikmu jadi perempuan cengeng!” Suara perempuan yang teramat dicintai sekar itu terdengar tegas (Rusmini, 2004: 72).

Pendirian seorang Dalem pun juga sangat kuat. Bagaimanapun keadaan dia, dia berusaha untuk melewatinya dengan segala kesanggupan seorang perempuan. Kemauan untuk hidup lebih layak sangat diinginkan Dalem meski itu untuk Sekar, anaknya. Dalem ingin agar anaknya dapat hidup layak tidak seperti dirinya. Perempuan tak hanya bisa dikodratkan sebagai manusia yang bisa mengandung, bisa menyusui, mengatur rumah tangga dan mengasuh anak namun perempuan dapat juga mengerjakan pekerjaan publik dan laki-laki. Perannya sebagai Luh Dalem dihayatinya, seolah tahu bahwa perempuan bodoh seperti dirinya hanya dapat berhasil apabila mampu keluar dari keterkekangan adat yang mentradisi sekian lama. Selain itu karena sifat laki-laki yang superior menjadikan satu alasan perempuan diinferiorkan. Satu cara untuk merombak hal ini adalah dengan memberdayakan segala kemampuan yang ada pada manusia perempuan. Pendirian Dalem atas hidupnya dengan tangguh ia berani menghadapinya seperti pada kutipan berikut.

tidak pernah punya tempat sendiri dalam hidup Meme. Tetapi Meme tetap mencintai hidup ini, Sekar. Hidup ini begitu dahsyat. Begitu banyak hal-hal yang mengejutkan. Sering kali hidup menjebak Meme. Rasanya

Meme sering main kucing-kucingan dengan hidup Meme. Itu indahnya. Itu kesenian paling tinggi dalam peradaban manusia.”

Kata-kata Luh Dalem adalah kata-kata seorang perempuan yang tidak pernah mengeluh pada hidup. Dia berusaha meyakinkan diri, bahwa dia bisa mengatasi semua persoalan yang ditawarkan hidup. Perempuan itu justru tersenyum kalau dilihatnya hidup menuntutnya terlalu banyak. Salah satunya adalah kelahiran dua orang anak yang tidak pernah dia inginkan (Rusmini, 2004: 101-102).

Perempuan yang terstereotipekan sebagai makhluk lemah mengalami “pemiskinan” dikehidupannya. Perempuan bodoh yang tidak pernah merasakan bangku sekolah dibatasi kemampuannya seperti halnya Dalem yang hanya bisa bertahan dengan berjualan di pasar dan beternak babi. Meskipun terkesan pasif dan cenderung menyerah menerima keadaan hidupnya paling tidak Dalem berpikiran agar nasib yang demikian hanya berakhir pada dirinya – tidak pada Sekar, anaknya.

Pandangan tokoh lain khususnya tokoh laki-laki atas diri Luh Dalem, berdasarkan pembacaan penulis secara tertulis tidak diketemukan namun ada bagian yang menyiratkan adanya pandangan orang-orang (penulis menginterpretasikannya sebagai perempuan dan laki-laki) pada pribadi Luh Dalem.

(78) “Sekar bergumam pada diri sendiri. Dia teringat pada laki-laki yang tidak memberi kesempatan pada tiga orang perempuan di rumah untuk memilih hidupnya sendiri. Perbuatan laki-laki itu telah menghitamkan masa depan Sekar, dua orang adik perempuan, dan seorang perempuan buta. Kalau saja ayahnya tidak terlibat gerakan yang tidak jelas itu, orang-orang desa tentu tidak akan menghukum keluarga Luh Sekar seperti ini. Dan ibunya, Luh Dalem tidak akan sampai buta (Rusmini, 2004: 57-58).

Secara tersirat kutipan (78) menggambarkan bahwa orang-orang di sekitar Luh Dalem mengucilkan merekan karena suami Luh Dalem adalah salah seorang anggota gerakan yang tidak jelas (bisa jadi pemberontakan). Konsekuensi dari ini adalah tak hanya Dalem yang dianggap remeh namun juga Sekar anaknya, pun demikian dua anak kembar yang tak diinginkan itu tersisih dari keberadaannya di lingkungan mereka. Kemalangan yang menimpa Dalem membuat orang-orang jatuh iba pada Dalem sekeluarga.

Dokumen terkait