• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN

2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan

2.5.6 Luh Kenten

Luh Kenten, seorang perempuan Sudra, berwatak keras kepala, perempuan yang diceritakan memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegap. Kulitnya hitam, matanya tajam dan berambut panjang. Kenten seorang perempuan yang memiliki kecantikan khas seorang Sudra. Lebih tepatnya perawakan Kenten lebih bersifat maskulin. Dia adalah sahabat Luh Sekar (Jero kenanga) terpaut lima tahun lebih tua dari Sekar. Kenten hidup dengan ibunya - tidak disebutkan namanya.

Tokoh Kenten, apabila diteliti mengenai tujuan hidupnya, perilaku, watak dan pendiriannya merupakan sosok yang pro-feminis. Dari pembacaan penulis tujuan hidup Kenten adalah mandiri seutuhnya tanpa ada gangguan dari laki-laki. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaannya pada tingkah laku para lelaki yang menurut Kenten tidak bisa diandalkan perempuan. Berikut pernyataan Kenten

menyangkut hal ini. Kutipan ini adalah percakapan Kenten dan ibunya.

(99) ”Aku tidak akan kawin, Meme, Aku tidak ingin mereka bohongi. Aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan dengan cara tidak terhormat!”

“Apa maksudmu?! Kau tidak boleh memaki seperti itu. Kau harus menghargai mereka!”

”Mereka tidak pernah menghargai perempuan, Meme.”

”Luh salah mengerti.”

”Tidak. Setiap hari aku saksikan sendiri kegiatan mereka. Minum kopi sampai siang, sore hari metajen, sabung ayam. Malamnya mereka bebas istirahat ditemani istri. Nikmat sekali hidup mereka!” ”Luh, jangan terlalu kasar. Suatu hari kau akan mencintai makhluk itu juga.”

”Tidak, Meme. Tidak akan!” ”Kau membuat Meme takut.”

”Kenapa?”

”Kata-katamu seperti perjanjian pada hidup.”

”Ya, Meme. Ini aku ucapkan dengan kesungguhan. Aku akan buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki. Aku akan buktikan ucapan ini!” (Rusmini, 2004: 41-42).

Kenten adalah tipe perempuan yang mempunyai jalan pikiran selaras dengan feminisme. Kenten dengan berbagai cara menyatakan kesanggupanya untuk tidak menikah. Menurut Kenten kebahagiaan perempuan bukan diukur dari syarat serorang perempuan menikah atau tidak menikah, melainkan dengan pendapat : kalau yakin seorang perempuan bisa hidup tanpa laki-laki, untuk apa hidup dengan laki-laki kalau mereka tidak bisa melindungi perempuan? Kenten juga percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang luar biasa. Menjadi perempuan mandiri tanpa tergantung pada laki-laki (suami) merupakan salah satu ciri feminisme. Dengan kata lain perempuan bebas untuk memilih menikah atau tidak. Implikasi dari hal ini yakni secara jasmaniah keberadaan perempuan sebagai pekerja di rumah mulai terpinggirkan sebab pada dasarnya baik

publik (bekerja di luar rumah). Sehingga dominasi patriarki menjadi berkurang. Selain hal di atas, Kenten juga merupakan pribadi yang keras. Hal ini tampak dari pemikirannya, dialog-dialognya, dan tindakanya menyikapi keadaan di lingkungan sekitarnya. Sifat keras Kenten ini lebih mengarah pada ketegasan penolakan sesuatu hal yang menurut Kenten tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Kutipan berikut salah satu sifat keras Kenten pada Sekar.

(100) ”Aku ingin jadi penari, Kenten.” Suatu hari dia berkata sungguh-sungguh pada Luh Kenten, sahabatnya yang dia percaya.

”Mimpi!” Kenten setengah memekik. ”Mimpi? Aneh sekali tanggapanmu.”

”Sadarlah Sekar, sadar. Kau tahu siapa dirimu?” (Rusmini, 2004: 31–32).

Kutipan (100) menunjukkan ketidaksetujuan Kenten pada keinginan Sekar yang ingin jadi penari. Seorang penari lazimnya berasal dari kasta lebih tinggi dari mereka. Selain itu menjadi penari juga ditentukan oleh para dewa menurut kepercayaan dan tradisi yang berkembang di Bali. Kutipan lain yang menunjukkan sifat Kenten ini adalah ketidaksukaanya pada para lelaki yang dianggapnya tidak bisa menghargai perempuan.

(101) ”Tidak Aku hanya tidak senang gunjingan laki-laki yang duduk santai di kedai kopi setiap pagi. Sementara aku harus kerja keras, kaki mereka terangkat ke kursi. Tubuh mereka hanya tertutup kain yang begitu lusuh. Para laki-laki itu, aku yakin belum mandi. Anah sekali tingkah mereka. Setiap hari dari pagi sampai siang hanya duduk dan mengobrol. Mata mereka begitu liar serta sering menggodaku. Rasanya, aku ingin melempar kayu bakar ke mata mereka (Rusmini, 2004: 38–39).

manusia laki-laki yang tidak bisa diandalkan sebagai kepala keluarga. Dengan begini tulang punggung keluarga tetaplah perempuan. Kenten menolak hal ini karena bagi Kenten adalah tidak adil apabila perempuan diperlakukan demikian. Laki-laki bisa berbuat seenaknya tanpa khawatir akan ditanyai (dimarahi) istri mereka. Keadaan ini menjadikan dominasi laki-laki menjadi kuat di sebuah keluarga. Kekerasan pada istri dianggap menjadi hal yang biasa. Pernyataan berikut menunjukkan pendapat Kenten tentang kearogansian laki-laki di sekitarnya.

(102) ”Bahkan ku dengar laki-laki yang sering mencubit pantatku istrinya dua. Laki-laki tukang kawin. Padahal dia tidak punya pekerjaan yang bisa menopang keluargnaya. Meme tahu apa yang dikatakan ke teman-temannya?”

”Bicara apa dia?!”

”Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka Cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta. Itu kata laki-laki di warung, Meme. Benarkah kata-kata itu?” (Rusmini, 2004: 39-40).

Pernyataan Kenten di atas menunjukkan salah satu alasan Kenten untuk tidak menyukai laki-laki. Selain itu alasan lain adalah para lelaki itu dianggapnya tidak sepaham dengan pikirannya karena terlalu merendahkan perempuan. Berikut pernyataan Kenten itu, yang menyebabkan ia tidak ingin kawin.

(103) ”Aku tidak akan kawin, Meme. Aku tidak ingin mereka bohongi, aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan

”Apa maksudmu?! Kau tidak boleh memakai seperti itu. Kau harus menghargai mereka!”

”Mereka tidak pernah menghargai perempuan, Meme.”

”Luh salah mengerti.”

”Tidak setiap hari aku saksikan sendiri kegiatan mereka. Minum kopi sampai siang, sore hari matajen, sabung ayam. Malamnya mereka bebas beristirahat ditemani istri. Nikmat sekali hidup mereka!”

”Luh, jangan terlalu kasar. Suatu hari kau akan mencintai makhluk itu juga.”

”Tidak Meme. Tidak akan!” ”Kau membuat Meme takut.”

”Kenapa?”

”Kata-katamu seperti perjanjian pada hidup.”

”Ya, Meme. Ini aku ungkapkan dengan kesungguhan. Aku akan buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki. Aku akan buktikan ucapan ini!” (Rusmini, 2004: 41–42).

Kutipan dari dialog Kenten dan ibunya di atas menunjukkan sikap tegas dari Kenten. Kenten tahu konsekuensi dari ucapan dan tindaknya itu. Ia akan digunjingkan oleh bayak orang. Namun sebenarnya dalam hati Kenten, Kenten mulai merasakan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya ketika ia melihat sesosok perempaun. Lepas dari rasa bencinya pada lelaki, Kenten mulai merasa menyukai sesama jenisnya (khususnya Luh Sekar atau Jero Kenanga). Kenten tahu cinta sejenis melanggar pakem dan tidak ada aturannya di dalam kehidupan. Fakta bahwa Kenten membenci manusia laki-laki makin menjadikan orang-orang yakin bahwa di antara Kenten dan Sekar terjalin suatu hubungan khusus.

(104) ”Hyang Widhi.” Kenten berguman dan menarik napas dalam-dalam.

Kalau sekarang dia mulai tertarik dengan sesama perempuan, apa itu salah? Aibkah? Apakah Tuhan tidak akan memberi tempat bagi seorang perempuan yang mencintai seorang perempuan juga? Kalau Tuhan boleh marah kenapa Kenten tidak? (Rusmini, 2004: 43–44). (105) Kenten Juga tahu persis, orang-orang di luar mulai ramai

membicarakan hubungannya dengan Luh Sekar. Entah mengapa, bagi Kenten Sekar memiliki keindahan yang luar biasa. Dia belum pernah merasakan keintiman yang begitu dalam berperang dan menyentuh

bagian tubuhnya yang paling rahasia. Tubuh yang melambangkan wujud keperempuanan itu selalu berair setiap kulit Kenten menyentuh kulit Sekar.

Harum tubuh perempuan itu benar-benar membuat Kenten bersemangat melindunginya. Kenten benar-benar membenci mata para perempuan yang sering mencuri pandang pada Sekar. Dia cemburu! Marah! Rasanya Kenten ingin berteriak, ”Jangan pandang tubuh kekasihku, jangan! Perempuan itu hanya milikku!” (Rusmini, 2004: 44-45).

Dalam kutipan (104) dan (105) mempertegas bahwa Kenten menyukai (mencintai) Luh Sekar. Perasaan itu disimpannya agar Sekar tidak tahu isi hatinya. Di sini Kenten menjadi perempuan penyuka sesama jenis sebagai akibat dari kekecewaannya pada laki-laki yang dianggapnya tidak bisa melindungi perempuan. Laki-laki yang memperlakukan perempuan seperti alat dan tidak bisa menghormati perempuan sangat tidak disukai Kenten.

Di bagian lain, perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya telah terbentuk pada tradisi budaya setempat. Tingkat budaya dan psikologis berkaitan dengan lingkungan kehidupan individu yang sekaligus juga mengkondisikannya secara psikologis, sehingga individu dilahirkan menjadi wanita demikian juga menjadi laki-laki (Ratna, 2004 : 189). Kenten mengalami hal-hal tersebut menjadi wanita demikian juga menjadi “laki-laki“. Terlahir sebagai perempuan, namun mencintai sesama perempuan - Luh Sekar - seperti para lelaki yang juga mencintai Sekar pula.

(106) Kenten mengusap rambut Sekar. Dadanya terasa sakit. Dia sendiri tidak tahu siapakah yang sesungguhnya mengabdi dalam hubungan ini. Hubungan yang tidak ada pakemnya dalam sejarah manusia. Hubungan yang kata orang-orang adalah hubungan orang-orang sakit. ”Benarkah aku sakit? Karena aku tidak bisa merasakan nikmatnya memandang laki-laki lalu orang dengan mudah memberi vonis, Kenten

orang sakit. Sakit jiwa. Dia memerlukan pertolongan ahli jiwa. Siapa sesungguhnya yang sakit? Dirinya? Atau orang-oarang di luar ? Orang-orang yang tidak pernah mau mengerti perasaannya! Kalau seluruh laki-laki selalu lapar memandang Sekar, kenapa aku tidak diizinkan untuk memiliki rasa lapar itu? Seperti halnya laki-laki yang sering menjilati tubuh Sekar dengan mata mereka, salahkah kalau aku juga ingin menyentuh tubuh Sekar? Menyentuh bibirnya, dan ingin tahu seperti apa Sekar telanjang?” Luh Kenten terus berbicara dengan dirinya sendiri (Rusmini, 2004: 47-48).

Apabila dicermati kutipan (106) adalah ungkapan hati yang lazimnya dilakukan oleh seorang laki-laki pada seorang perempuan. Tetapi yang mengatakan hal tersebut adalah Luh Kenten yang ia seorang perempuan. Perasaan Kenten ke Sekar sengaja tidak Kenten perlihatkan ke Sekar karena Kenten takut apabila Sekar tahu hal tersebut. Dan bahwa orang-orang di sekitar mereka ramai membicarakan hubungan mereka, Kenten tak ambil pusing.

Selain hal tersebut Kenten juga seorang perempuan yang keras wataknya. Hal ini terlihat pada saat Kenten tidak menyetujui beberapa hal yang dilakukan Sekar. Seperti ketika Sekar mengungkapkan keinginannya bahwa dia ingin menikah dengan seorang bangsawan, Kenten sangat sinis dan tidak suka menanggapi ungkapan Sekar tersebut. Sekar ingin menikah dengan seorang Ida Bagus bukan atas dasar cinta namun karena Sekar ingin lepas dari kehidupannya yang serba kekurangan. Dalam kutipan (107) berikut, pernyataan Kenten tentang ketidaksetujuanya pada Sekar.

(107) ”Aku tahu kau tidak mencintai laki-laki itu, Sekar. Aku heran kenapa kau tetap bersikeras menerima lamarannya. Kau sia-siakan hidupmu sendiri.”

“Apa artinya cinta, Luh. Aku hanya memerlukan hidup layak, hidup terhormat!”

dirimu dengan benda-benda mati!” Suara Kenten penuh amarah. ”Hidup telah mengajari aku jadi batu.”

”Kau pernah bertanya pada batu? Betapa menyakitkan menjadi batu!”

”Siapa yang mengatakan itu padamu? Apa batu pernah mengeluh padamu?”

Luh Kenten diam.

”Aku ingin jadi batu bila batu bila kelak laki-laki itu benar-benar mampu memasukkan aku dalam lingkungan keluarga.”

”Pikirkan lagi.”

”Aku sudah mengambil keputusan paling tepat dalam hidupku. Aku akan terima lamaranya.”

”Ini bukan mimpi!”

”Memang. Ini pilihanku. Suatu hari nanti, Luh, bila kau temukan laki-laki yang kau anggap mampu memberimu sesuatu yang berarti, entah itu masa depan, cinta, atau apalah, kau pasti akan mencariku dan berkata, semua perkataanmu benar, Sekar.”

”Aku tidak akan pernah bermimpi sepertimu.”

”Berarti kau benda mati. Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. Itulah yang menandakan manusia hidup. Batu juga memiliki keinginan. Dalam kediaman dia mengandung seluruh rahasia kehidupan ini.”

”Hidupku bukan hidupmu. Aku tak suka bermimpi.” (Rusmini, 2004: 106–107).

Kenten juga diceritakan sebagai perempuan yang bisa berfikir bijak menanggapi sesuatu. Untuk memberi Sekar suatu saran, kutipan (108) berikut menggambarkannya.

(108) ”Aku hanya memikirkan nasibmu. Apa kau akan kuat dan mampu bertahan hidup sebagai orang lain?”

”Orang lain?”

”Ya. Menjadi perempuan bangsawan kau harus belajar banyak hal.” (Rusmini, 2004: 108).

(109) ”Jaga dirimu baik-baik. Kau benar-benar harus jadi orang lain apabila sudah memasuki lingkungan itu.” (Rusmini, 2004: 111).

Pandangan orang lain terutama tokoh laki-laki pada Kenten diungkapkan oleh seorang lelaki yang sedang berada di warung. Lelaki ini memandang seorang Kenten dalam batasnya sebagai laki-laki sudra.

(110) ”Tubuh perempuan muda itu sangat luar bisa Begitu kuat. Lihat dadanya. Setiap mengangkat kayu dadanya membusung indah. Kalau saja aku bisa mengintip sedikit, gumpalan daging itu pasti sangat indah. Perempuan itu benar-benar perempuan teraneh yang pernah aku lihat. Sesungguhnya dia sangat cantik, tapi dingin sekali.” Kenten hanya diam mendengar ocehan para lelaki di warung (Rusmini, 2004: 38).

Lelaki ini - tidak disebutkan namanya - memberi penilaian pada diri Kenten. Seperti pada kebanyakan lelaki (dalam teks TB), ia memandang Kenten sebatas pada kenyataan fisik belaka bahwa lelaki ini mengaguminya. Selain tokoh lelaki ini, Luh Sekar dan beberapa orang perempuan pun juga memberi penilaian atas diri Kenten. Kutipan (110) dan (111) berikut memperlihatkan pernyataan Sekar dan beberapa orang perempuan atas penilaian diri Kenten.

(111) ”Belajarlah bermimpi. Kau tahu, kau sesungguhnya cantik, Luh sangat cantik. Kau pasti tidak percaya bahwa ada seorang laki-laki dari seberang desa yang tergila-gila padamu. Laki-laki yang sangat tampan.”(Rusmini, 2004: 107).

(112) Keakraban Kenten dengan Sekar mengundang isu-isu yang tidak baik. ”Mereka menjalin cinta. Mengerikan bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia? Apa mereka melakukan persentuhan itu seperti aku melakukan dengan laki-lakiku? ”Suatu hari ”Mereka menjalin cinta. Mengerikan bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia? Apa mereka melakukan persentuhan itu seperti aku melakukan dengan laki-lakiku? ”Suatu hari Luh Kenten mendengar bisik-bisik itu. Begitu dilihatnya tubuh Luh Kenten, perempuan kurus kering yang berdiri di warung itu terdiam. Kelihatan sekali perempuan itu ketakutan (Rusmini, 2004: 36).

Pernyataan Sekar pada kutipan (110) di atas menyatakan bahwa Kenten adalah perempuan yang cantik apabila Kenten tidak terlalu dingin pada para lelaki. Sekar juga bersusaha menyadarkan Kenten bahwa dia pantas untuk dicintai seorang laki-laki. Namun karena Kenten tidak ingin menjadi seperti itu banyak

perempuan yang memandang aneh padanya. Sedangkan untuk kutipan (111) merupakan pernyataan yang diungkap oleh beberapa orang perempuan tadi. Tokoh Kenten mencerminkan perempuan yang karena ketidaksukaannya pada lelaki berubah menjadi sosok berbeda dari lazimnya perempuan. Namun di sisi lain Kenten hadir sebagai “protes” pada dunia nyata bahwa perempuan tidak mau menjadi kelas tersendiri di bawah laki-laki.

Dokumen terkait