• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN

2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan

2.5.7 Luh Kambren

Luh Kambren adalah seorang Sudra, guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa yang ditunjuk Luh Sekar atau Jero Kenanga untuk mengajarkan tari pada Telaga. Pada saat masih kecil, Kambren adalah gadis desa yang sangat tidak menarik, kurus sakit-sakitan. Ketika di desa Kambren terkena wabah penyakit, para pemangku adat mendapat petunjuk bahwa di desa itu harus dibangun sebuah pura pemujaan dewa tari. Kemudian pada saat peresmian pura (upacara melaspas), gadis-gadis desa termasuk Kambren bisa menari dan menyanyi lagu lama berbahasa jawa kuno. Semua gadis yang terpilih untuk menjadi penari harus melakukan suatu upacara lagi setelah sekehe Arja berdiri. Mereka berdiri dan menghaturkan sesaji sesaji (daksina) yang dihaturkan antara lain berisi kelapa, telur itik, pisang, beras dan banyak lagi serta bebungaan aneka macam. Seminggu kemudian para penari tersebut mengambil kembali sesaji itu dan mendapati semua telur itik dalam sesaji pecah kecuali milik Kambren. Kambren diceritakan sebagai perempuan yang dicintai banyak orang bahkan oleh seorang raja yang ingin menjadikannya selir. Ia perempuan yang banyak tingkah, selalu menolak laki-laki

yang berusaha mendekatinya. Namun dihatinya diam-diam Kambren mencintai Jean Paupiere atau Song - turis Perancis yang sering melihat Kambren menari.

Adapun perilaku, watak dan pendirian Kambren antara lain adalah sebagai berikut. Dalam berbagai bagian Kambren diceritakan sebagai perempuan yang keras. Hal ini tak hanya dilakukannya pada Telaga, muridnya, namun juga pada orang lain - termasuk seorang raja yang ingin menjadikan Kambren sebagai seorang selir. Kutipan berikut memperlihatkan hal tersebut.

(113) “Menjadi penari itu harus siap berbakti kepada para dewa. Menari harus mampu berdialog dengan jiwa. Kalau Tugeg tidak sanggup melakukannya, jangan pernah bermimpi menjadi seorang penari.” (Rusmini, 2004: 94).

(114) “Lihat mata tiang dalam-dalam!“ Perempuan itu berkata keras (Rusmini, 2004: 95).

(115) “Aku bukan perempuan suci lagi. Seorang raja akan mangalami pralaya bila menikah dengan perempuan sudra seperti aku. Aku sering tidur dengan laki-laki sudra. Seorang raja harus mendapatkan perempuan suci untuk kebesarannya. Katakan padaku, apa pantas seorang raja menikah dengan perempuan seperti aku? Perempuan bekas!” Begitu kata Kambren ketika ada utusan dari puri datang melamarnya (Rusmini, 2004: 119).

Watak keras Kambren terlihat jelas pada kutipan (113) dan (114). Kemudian pada kutipan (115) mengungkapkan penolakan dengan keras atas lamaran seorang raja padanya. Kambren menyebut diri bukan perempuan suci lagi sebagai senjata penolakan lamaran tersebut. Dia berani mengambil keputusan termasuk dalam menolak lamaran dari seorang laki-laki. Selain keras, Kambren mempunyai sifat keibuan- penuh rasa kasih sayang. Tampak dalam kutipan (116) berikut ketika ia berbicara dengan Telaga, murid tarinya.

(116) ”Tidak harus ada yang Tugeg takutkan.” Suara Luh Kambren terdengar lebih hati-hati setelah ibu telaga tidak kelihatan lagi (Rusmini, 2004: 96).

(117) “SUDAH tiang katakan, Tugeg adalah murid terbaik yang pernah tiang miliki. Tugeg tahu, tiang sudah puluhan tahun tidak ingin mengajari seseorang menari. Melelahkan. Karena mereka sering tidak serius. Tugeg menguasai tari legong dalam waktu dua hari. Luar biasa!“ Luh Kambren memekik. Ditatapnya perempuan didepannya dengan rasa haru yang begitu dalam.

Luh Kambren memeluk Telaga erat-erat.

“Ambil semua taksu yang tiang punya. Tugeg memang pilihan! Ingat, Tugeg harus rajin membawa sesaji ke pura setiap bulan terang dan bulan mati. Mohon pada Hyang Widhi agar Tugeg selalu bisa menari, dengan baik.”

Untuk pertama kalinya Telaga menyadari, perempuan tua dengan mata yang siap menelan apa saja itu ternyata penuh kasih.

“Sekarang Tugeg sudah menjadi perempuan yang sangat lengkap. Tugeg cantik, pandai menari, dan seorang putri bangsawan. Tugeg memiliki seluruh keindahan bumi ini.”

“Meme jangan aneh-aneh.”

“Tiang tidak main-main.”

“Ya..Tiang merasakan Meme sayang pada Tiang. Dulu tiang

pikir Meme tidak akan bisa diajak bicara.” (Rusmini, 2004: 114-115). Kutipan (117) adalah dialog Kambren dengan Telaga. Telaga merasa Kambren adalah perempuan yang penuh kasih padanya tidak seperti anggapannya dulu, terlihat sangat tidak bersahabat. Kambren memiliki kemampuan menari dengan gaya yang khas dan kemampuannya ini diajarkan pada telaga.

Sedikit pendapat atau pandangan Kambren tentang perempuan dan kekesalannya pada mereka yang disebut orang beruntung dan berpendidikan. Sebuah ironi dari Kambren atas perempuan Bali yang elok di dalam gerak tari serta sebuah ironi atas mereka yang mengaku pengagum kebudayaan Bali dan dengan rela meneliti untuk kepentingaan sesaat mereka. Berikut pendapat Kambren, pendapat yang diungkapkan pada Telaga.

perempuan Bali bekerja adalah membuat sesaji, embaying, dan menari untuk upacara. Itu yang membuat kesenian ini tetap bertahan. Orang-orang dulu tidak membedakan mana aktivitasnya sebagai dirinya dan mana aktivitasnya dalam berkesenian. Mereka menari karena ada upacara-upacara di pura. Sekarang? Tidak lagi. Tiang dilahirkan untuk tetap menjaga taksu tari. Taksu yang mulai dirusak oleh orang-oramg yang makan sekolahan terlalu kenyang. Mereka tidak tahu seperti apa inspirasi itu keluar dan mengganggu pikiran seorang pencipta tari. Mereka tinggal menjualnya, mempertontonkan kita di hadapan orang-orang luar, bagaimana harus menyalamatkan peningggalan peradaban yang sangat mahal ini. Peradaban yang tidak bisa dibeli dengan usia sekalipun.“ (Rusmini, 2004: 116).

Masih pandangan Kambren tentang Bali dan orang-orang didalamnya.

(119) “Tiang tidak memerlukan pengakuan atau tercatat dalam sejarah. Tidak. Orang-orang dulu sudah senang karya mereka menjadi hiasan di pura. Itu pengabdian yang sesungguhnya. Dulu tiang senang mengajar di sekolah tinggi. Murid-muridnya terlihat serius untuk memperdalam tari. Sayangnya, mereka tidak berusaha menyimpam dan mencatat unuk kepentingan mereka sendiri. Mereka belajar sekedar untuk lulus. Mereka tidak menginginkan yang lebih. Meneliti misalnya. Justru orang-orang asing yang sering mengunjungi tiang, bertanya banyak hal.

Tiang perempuan bodoh. Tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Yang

tiang herankan, kemana larinya orang-orang yang sudah kenyang makan sekolahan itu? Kenapa bukan mereka yang menulis tentang bumi ini, peradaban ini? Tiang tidak mengerti. Bahkan, mereka tega menawari

tiang untuk jasi tontonan di hotel-hotel dengan bayaran yang sangat tidak pantas. Semua telah berubah. Tiang jadi tidak mengerti tanah kelahiran tiang sendiri.“ (Rusmini, 2004: 116-117).

Kambren menampilkan sisi lain yang ada dan terjadi pada masyarakat Bali. Budaya yang sangat agung “dijual” pada orang lain demi yang dinamakan “uang” (kebutuhan duniawi). Budaya agung yang seharusnya dicatat oleh anak-anak Bali, digunakan sebagian orang (yang berkepentingan) untuk kebutuhan sesaat. Kambren yang sangat mencintai tanahnya dan budayanya merasa bahwa ini bukan sesuatu yang adil baginya. Dalam pandangannya yang membuat miris para pengagum budaya Bali, Kambren membuka fakta bahwa dalam

kenyataannya hanya sedikit para peneliti tentang Bali yang asli orang Bali, selebihnya justru orang luarlah yamg banyak “mencatat” dan “meneliti” keagungan tersebut. Sisi lain dari seorang Kambren adalah ia perempuan yang banyak tingkah. Penolakannya terhadap pinangan seorang raja yang akhirnya membuatnya harus menerima konsekuensi dari si raja diterimanya dengan keberaniannya. Kutipan berikut menggambarkan hal tersebut

(120) Orang-orang juga bercerita bahwa Luh Kambren adalah perempuan sudra yang banyak tingkah. Dulu, seorang raja pernah melamarnya untuk dijadikan selir. Kambren menolak mentah-mentah. Sebagai hukumannya, Kambren harus mengajari calon-calon selir raja menari. Berpuluh-puluh tahun tantangan itu ia terima (Rusmini, 2004: 118).

(121) “Aku bukan perempuan suci lagi. Seorang raja akan mengalami pralaya bila menikah dengan perempuan sudra seperti aku. Aku sering tidur dengan laki-laki sudra. Seorang raja harus mendapatkan perempuan suci untuk kebesarannya. Katakan padaku, apa pantas seorang raja menikah dengan perempuan seperti aku? Perempuan bekas!“ Begitu kata Kambren ketika ada utusan dari Puri datang melamarnya.

Raja tidak bisa berkata apapun. Untuk mengurangi rasa malu dan menjaga wibawanya, Kambren ditunjuk menjadi pelaih tari. Bagi Kambren itu bukan persoalan. Menjadi guru tari lebih terhormat dibanding menjadi seorang selir! (Rusmini, 2004: 119).

Kambren berani dalam hal ini karena ia berani menolak lamaran seorang raja. Kambren menyinggung juga soal nasionalisme dan penghargaan. Kambren berpendapat bahwa mencintai negeri ini (Bali) tidak harus diwujudkan dengan pemberian penghargaan (piagam) tetapi bagaimana cara orang Bali - khususnya - menjunjung budaya lokal seperti kesenian dan ragam budayanya. Menurut penulis, sikap Kambren ini adalah benar. Pandangan bahwa dalam kenyataanya orang luarlah yang banyak membukukan tiap sudut Bali. Banyak orang luar menulis buku tentang Bali namun hanya sedikit orang pribumi yang

melakukannya. Barangkali karena inilah tokoh Kambren dicipta Oka untuk menampilkan gagasannya tentang pancatatan atas Bali. Berikut ini adalah kutipan yang mencerminkan hal tersebut.

(122) “Tiang tetap pegang pikiran itu. Tugeg tahu sendiri, tiang

tidak pernah ingin pergi ke Jakarta, atau bersalaman dengan Gubernur. Kalau hanya mendapat seratus-duaratus ribu untuk apa? Dulu tiang

berpikir, berpuluh-puluh piagam yang tiang sendiri tidak tahu namanya ini mampu menanggung masa tua tiang. Nyatanya tidak! Dulu semua tiang simpan rapi. Tapi setelah tahu tidak mendatangkan hasil seperti yang tiang inginkan, tiang pakai penutup gedek tiang yang bolong. Lalu bingkainya untuk menambal atap yang bocor. Tidak ada seorang pun yang mengerti kesulitan tiang. Tiang tidak minta banyak, karena tiang

bukan seorang pengemis. Dulu, hampir setiap hari ada saja penulis buku yang datang kemari. Tiang jadi repot harus menyiapkan minuman untuk mereka. Setelah mereka dapatkan apa yang mereka inginkan, penulis-penulis itu tidak pernah muncul lagi. Tega sekali orang-orang berlaku seperti itu pada tiang. Tiang dengar, beberapa buku yang menceritakan kisah hidup tiang bisa membuat pengarangnya kaya dan mapan. Tiang

sendiri lupa pengarang yang mana. Tiang juga tidak tahu seperti apa

tiang dalam buku itu.”

Meme jangan berkata seperti itu.”

“Ini kenyataan. Tiang tidak pernah ingin jadi sejarah. Atau dicatat sebagai manusia yang kehidupannya mampu memberi sinar di tanah Bali ini. Tidak. Tiang tidak memerlukan itu.”

“Lalu apa yang Meme cari?”

Tiang ingin orang menghargai apa yang telah tiang perbuat untuk negeri ini.”

”Semua orang tahu itu.”

“Mungkin.“ Perenpuan tua itu tidak tertarik lagi untuk bercakap-cakap tentang dirinya. Dia sibuk mengumpulkan berpuluh-puluh piagam penghargaan miliknya, yang kemudian dirobek-robek untuk menutup biliknya yang bolong (Rusmini, 2004: 133-135).

Kutipan panjang di atas adalah ungkapan tokoh Kambren. Luh Kambren memiliki kemampuan menari dengan gaya yang khas. Selain itu sikapnya yang berani menolak pinangan raja membuat heran orang banyak. Menurut orang banyak itu Kambren menolak hidup mapan karena menjadi seorang selir bisa terjamin kehidupannya, memiliki tanah yang luas dan rumah yang besar dan

dihormati karena akan menjadi seorang bangsawan. Kambren juga diceritakan sebagai seorang yang setia hati. Hal ini terbukti bahwa Kambren masih sering berpikir tentang Song (Jean Paupiere) yang sering melihat Kambren menari. Meskipun Kambren diceritakan terlalu banyak memilih dan akhirnya jadi takut kawin, cintanya pada Songlah yang membuatnya berani menolak pinangan raja dengan mengaku dirinya sudah tidak perawan lagi. Padahal penuturan Kambren pada Telaga, Kambren masih perawan. Kesimpulan penulis adalah bahwa sampai Kambren tua, Kambren masih dan sangat mencintai Song.

Berikut ini adalah pernyataan Kambren yang memperlihatkan hal tersebut. Pernyataan yang diungkapkan pada Telaga dan perasaannya terhadap Song.

(123) Telaga ingat kata-kata Kambren yang dibisikkan ke telinganya.

Tiang masih perawan, Tugeg. Tidak ada laki-laki yang pernah menyentuh tiang.“ Luh Kambren tertawa terpingkal-pingkal.

“Tugeg jangan katakan ini pada orang-orang. Biarlah orang-orang punya kebinalan tentang kebinalan tiang. Lucu, hidup benar-benar sebuah permainan yang meloncat-loncat.” (Rusmini, 2004: 120).

(124) Kambren memang banyak digilai laki-laki. Anehnya, dia tidak pernah tertarik pada laki-laki Bali. Suatu hari dia bertemu dengan Jean Paupiere. Seorang laki-laki Perancis yang sering datang dan duduk bersila di depan panggung saat Kambren menari.

Laki-laki itu memiliki mata yang sangat tajam. Setiap mata Kambren bersentuhan dengan mata laki-laki itu, ada yang hilang dalam diri Kambren. Dia seolah membawa pulang semangat Kambren.

“Jangan pernah menerima cinta laki-laki barat. Mereka hanya bisa memanfaatkan kita untuk model lukisannya. Menjual kita ke luar negeri untuk oleh-oleh negarra mereka. Untuk aset!”

Suara para penari seperti itu teramat sering didengar Kambren. Tapi dia tidak bisa membunuh benih yang mulai terlihat napasnya, dan mempengaruhi gerak tubuhnya setiap menari (Rusmini, 2004: 121).

para perempuan. Seorang perempuan Belanda menyatakan hal tersebut pada Kambren.

(125) “Andaikata aku seorang laki-laki, aku akan memaksamu untuk menikah denganku.“ Suara perempuan Belanda itu terdengar penuh getaran. Kambren menengkap sesuatu yang aneh dalam suara intonasi temannya. Terlebih setelah perempuan itu memeluk tubuhnya erat-erat, dan mencium bibirnya dengan cepat. Kambren terkejut. Tapi dia tidak punya kesempatan untuk menolak. Peristiwa itu berjalan terlelu cepat. “Tahukah kau, kau tidak hanya dicintai laki-laki, tapi juga perempuan!” Perempuan Belanda itu berteriak sambil mengambil perlengkapan lukisnya (Rusmini, 2004: 124-125).

Kambren yang kesal dengan semua orang barat menganggap bahwa orang-orang barat tersebut diam-diam mengagumi kebudayaan Bali. Karena pernyataan perempuan Belanda itu, Kambren semakin kesal dengan keberadaan mereka.

(126) “Kau sama saja dengan semua orang barat yang tinggal di Bali ini. Di satu sisi mereka memandang kami sebagai manusia-manusia paling tolol. Manusia yang layak untuk dibodohi dan dibohongi. Tetapi disisi lain kaummu juga mengakui diam-diam, bahwa bangsa kami memiliki kebudayaan yang luar biasa dibandingkan bangsamu yang katamu kalau bicara selalu memakai logika itu!” (Rusmini, 2004: 125).

Luh Kambren dengan sikap perempuan lugu mencerminkan perempuan Sudra yang tak hanya muak dijadikan ”budak kesenian” namun juga memiliki pemikiran untuk berkembang. Kambren menyadari bahwa ia adalah perempuan bodoh yang tidak paham baca tulis karenanya piagam yang begitu banyak ia dapatkan dianggapnya tidak berguna sama sekali.

Paupiere atau Song, nama panggilan yang sering digunakan Kambren untuk Jean. Jean Paupiere menyukai Luh Kambren, guru tari Ida Ayu Telaga Pidada. Jean sering datang, duduk bersila dan menatap Kambren dengan mata tajamnya saat kambren menari. Dia selalu membawa kamus untuk mengatakan sesuatu pada Kambren yang diam-diam juga mencintai Jean. Kutipan berikut menggambarkan hal itu.

(127) Kambren terdiam saat matanya menangkap tubuh yang sudah sangat dia kenal. Laki-laki itu!

“Siang Luh.” Sebuah suara yang sangat dikenalnya menyapa.

“ Kau.” Kambren menunduk.

Lima menit tanpa percakapan. Laki-laki yang sering membawa tustel dan mencuri setiap geraknya itu hari ini da didepannya. Kambren seperti mati. Darahnya muncrat dari ubun-ubunnya. Dia begitu gugup. Terlebih lagi karena laki-laki itu selalu membawa kamus untuk bisa mengatakan sesuatu.

Perbedaan yang begitu banyak antara Luh kambren dan Jean Paupiere justru membuat hubungan mereka menjadi begitu unik. Mereka bicara lewat mata, atau dengan gerakan yang begitu rumit. Sering kali kata-kata tidak mewakili artinya yang tepat. Pernah Song, begitu biasanya Kambren memanggil lelaki Perancis itu, meminta asbak rokok. Kambren justru mengambilkan segelas air putih (Rusmini, 2004: 126-127).

Tokoh Kambren mencerminkan perempuan yang peduli dan sangat menjunjung tinggi budayanya. Sebisanya Kambren berusaha melestarikan budayanya. Lepas dari itu semua, tokoh Kambren sebagai perempuan jaba merasa perlu dan merasa punya hak untuk hidup yang lebih baik dari apa yang dipunyainya sekarang.

Dokumen terkait