• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN

2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan

2.5.4 Luh Gumbreg

Luh Gumbreg perepmpuan Sudra berciri fisik bertubuh tinggi besar. Ia adalah penjual jeje uli, kue yang terbuat dari ketan dan merupakan seorang abdi di griya Luh Sekar (Jero Kenanga). Ia hidup dalam kemiskinan, suaminya telah lama meninggalkannya. Ia seorang yang keras kepala namun selain itu ia adalah seorang yang sangat perhatian meski tidak bisa mengungkapkannya lewat perbuatan. Sifat keras kepalanya ini sangat terlihat ketika Gumbreg mendapati Wayan, anaknya yang akan menikahi Telaga, junjungannya sendiri. Secara tegas dan bernada tidak suka, Gumbreg mengungkapkannya pada kutipan (84) berikut.

(84) “Kau sudah gila!” perempuan itu berteriak keras-keras. Matanya terlihat liar.

“Kau sadar siapa dirimu, Wayan? Kau sudah berpikir apa jadinya kalau kau menikah dengan Dayu Telaga? Ada apa dengan dirimu? Kau anak laki-laki satu-satunya milik Meme. Jangan buat masalah dengan orang-orang griya. Tugeg, pikirkan lagi keputusan ini. Tolonglah, ini semua demi kebaikan kami.” Suara perempuan tua itu terdengar penuh iba (Rusmini, 2004: 173).

(85) Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang laki-laki Sudra di larang meminang perempuan brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya pada mitos bahwa perempuan

brahmana adalah surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya? (Rusmini, 2004: 173-174).

Kutipan (85) menunjukkan penolakannya pada pernikahan Wayan dan Telaga yang dianggapnya merupakan titik awal kesulitan hidup yang melebihi diri (keluarga) Gumbreg saat itu. Seakan-akan Gumbreg tak mau menambah beban hidupnya yang memang sudah sulit dengan adanya Telaga. Demikian juga dalam kaitannya dengan keluarga griya, Gumbreg percaya bahwa ia akan bermasalah dengan keluarga griya apabila Telaga benar-benar menikah. Selama ini Gumbreg mengabdi pada keluarga griya, keluarga Telaga, ia menjaga hubungan agar sebisa

mungkin tidak menimbulkan masalah. Pendek kata Gumbreg ingin mengatakan : apa jadinya bila anak majikannya menikah dengan anak pembantu sepertinya. Ketakutan Gumbreg memang beralasan, pernikahan antar kasta akan menjadi sebuah “akibat” besar baik itu bagi Gumbreg atau pun keluarga griya. Gumbreg menyatakan konsekuensi dari ini adalah dia akan menjadi pengunjingan orang, diejek oleh Jero Kenanga dan oleh orang-orang Sudra sendiri. Dan bagi seorang Telaga, ini merupakan saat “tercoret” dari daftar keluarga griya dan untuk griya ini merupakan saat “mencoret” nama Telaga.

Ketika pernikahan itu terjadi Gumbreg benar-benar menupahkan segala emosinya pada Telaga. Lewat kata-kata dan perbuatan yang bisa dilakukannya sebagai protes atas ketidaksetujuannnya adanya pernikahan tersebut. Hal ini tampak pada beberapa kutipan berikut.

(86) “Di sini tidak ada orang yang bisa menyiapkan makanan untukmu!” Suara mertuanya terdengar ketus (Rusmini, 2004: 185).

(87) Hyang Widhi! Kau tahu seluruh kayu ini untuk persediaan satu bulan. Untuk kebutuhan sehari-hari memasak nasi dan menggoreng

jaje uli. Itulah. Sudah tiang katakan, jangan kawin dengan perempuan

brahmana. Susah. Kau tak bisa hidup di sini. Tidak akan pernah bisa!” Perempuan itu berkata keras (Rusmini, 2004: 186).

Dua kutipan di atas menunjukkan bagaimana polah Gumbreg pada Telaga. Kejadian itu makin memuncak saat Wayan mati. Gumbreg menuding Telaga sebagai penyebab kematian Wayan.

(88) “BERKALI-KALI tiang berkata, menikah dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan tidak pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi!” Luh

Gumbreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang.

“Jangan terlalu dekat dengan tubuh anak tiang. Sudah ku bilang jangan kawin dengan Wayan. Kau masih membandel!” Suara Gumbreg menjadi-jadi (Rusmini, 2004: 193).

Setelah Wayan meninggal, ia tetap tinggal dengan Telaga dan Sadri. Meskipun ada kekecewaan pada diri Gumbreg atas kematian Wayan, Gumbreg mulai berbaik hati pada Telaga. Bertahun-tahun Telaga tetap bertahan dan itu membuat Gumbreg mencair. Gumbreg mulai bisa diajak berdialog. Ia memuji Telaga meski tidak secara langsung di depan Telaga.

(89) “Telaga juga berani kawin dengan Wayan. Dan sampai hari ini dia tetap bertahan.” Telaga kaget mendengar kata-kata Gumbreg. Tidak biasanya perempuan itu memujinya. Ada apa dengan perempuan itu? (Rusmini, 2004: 203).

(90) “Ada satu hal penting yang ingin tiang bicarakan. Ini teramat penting, menyangkut keselamatan dan ketenangan keluarga ini.

Tiang tidak mengerti.”

“Dulu, ketika kau dikawini anak tiang, kau belum pamit ke

griya. Kau juga belum melakukan upacara Patiwangi. Aku ingin kau melakukan semua itu. Demi keluarga ini.” Suara Gumbreg mirip perintah (Rusmini, 2004: 208-209).

Kutipan (89) dan (90) menunjukkan bahwa Gumbreg pada dasarnya mudah diajak kerja sama dan memikirkan kebahagiaan keluarganya.

Secara personal pandangan tokoh lain terutama tokoh laki-laki hanya sedikit antara lain dari sesama Sudra yang menyayangkan pernikahan Wayan dan Telaga serta dari Kakek Telaga.

(91) “Belum lagi tatapan orang-orang sudra yang menyesali semua aib yang terjadi (Rusmini, 2004: 175).

(92) “Sejak lama tiang berusaha mengerti apa artinya menjaga nama baik. Apalagi yang diinginkan mertuamu?” (Rusmini, 2004: 216).

Kutipan (92) adalah perkataan Kakek Telaga yang merujuk pada diri Gumbreg yang menginginkan patiwangi pada diri Telaga.

Gumbreg menggambarkan perempuan sudra kebanyakan yang tertakdirkan selalu hanya sebagai pekerja di griya-griya para Brahmana menjadi hamba dan tak berdaya, serta masih percaya pada mitos lokal yang begitu ia percaya.

(93) Ketu pernah mencintai seorang perempuan sudra yang tidak mau dia nikahi. Perempuan itu adalah perempuan luar biasa.

“Jangan pernah menikah dengan tiang tidak pantas. Tiang

rela demi cinta itu sendiri. Tiang tidak ingin jadi istri di griya. Bagi tiang, melihatmu saja tiang tetap hidup. Perempuan itu berkata serius, karena dia tahu sesungguhnya Ketu bukan seorang laki-laki. Dia memiliki kekasih seorang laki-laki sudra. Karena cintanya yang besar pada Ketu, perempuan itu rela menikah dengan kekasih Ketu. Mereka punya dua anak, Wayan Sasmitha dan Luh Sadri (Rusmini, 2004: 145).

Pada Kutipan (93) apabila dibaca ulang, menurut pembacaan penulis perempuan yang ingin dinikahi Ketu adalah Luh Gumbreg - ibu dari Wayan Sasmita, murid lukisnya. Pada bagian ini diceritakan lewat bisik-bisik orang griya bahwa sesungguhnya Wayan adalah anak kandung Ketu.

Gumbreg perempuan sudra ini merupakan cerminan dari keadaan menghamba yang memang tertakdirkan melekat pada kaum ini. Keberadannya sebagai seorang yang miskin hanya berhak memiliki pekerjaan di griya kaum brahmana

Dokumen terkait