• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra tiga generasi perempuan dalam novel Tarian Bumu karya Oka Rusmini : analisis kritik sastra feminis - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Citra tiga generasi perempuan dalam novel Tarian Bumu karya Oka Rusmini : analisis kritik sastra feminis - USD Repository"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Skripsi

CITRA TIGA GENERASI PEREMPUAN

DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS

Oleh

Susana Widyaningsih NIM: 024114018

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum. tanggal 19 Juli 2010

Pembimbing II

(3)

Skripsi

CITRA TIGA GENERASI PEREMPUAN

DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS

Dipersiapkan dan disetujui oleh Susana Widyaningsih

NIM: 024114018

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 28 Juli 2010

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua : Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ... Sekretaris : Drs. Hery Antono, M. Hum ... Anggota : Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum. ... S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum. ... Drs. B. Rahmanto, M. Hum ...

(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau

menjadi bijak di masa depan. (Amsal 19:20)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Sang Gembala Baik, Yesus Kristus

Ayahanda (alm) Agustinus Djumadi Hadi Susanto dan Ibunda Agustina Sutarmi, sumber kekuatanku

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa penulis panjatkan atas segala limpah karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena itulah kritik dan saran dari berbagai pihak akan penulis terima guna lebih tersempurnakannya penelitian ini. Penulis juga berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Akhirnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yaitu:

1. S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum. sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas bimbingan, masukan dan kesabaran yang selama ini diberikan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum. sebagai dosen pembimbing II, terima kasih telah meluangkan waktu guna memberi masukan dan bimbingan dalam menyelasaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen Jurusan Sastra Indonesia, yang dengan pengertian dan sabar membimbing saya selama menempuh pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia.

(7)

dapat selesai.

5. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk mendukung dan mengingatkan betapa berharganya waktu.

6. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2002. 7. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak membantu dan memberi dukungan sampai skripsi ini selesai.

Yogyakarta, 31 Juli 2010

(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang telah saya tulis ini adalah hasil dari imajinasi dan inspirasi saya sendiri. Saya tidak mengutip hasil karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan-kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya membuat karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2010

Penulis

(9)

ABSTRAK

Widyaningsih, Susana. 2010. CITRA TIGA GENERASI PEREMPUAN DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS. Skripsi (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. UNIVERSITAS SANATA DHARMA.

Penelitian ini mengkaji citra perempuan pada tiga generasi yang menghadapi persoalan kehidupan manusia bersinggungan dengan adat yang sudah terpakem, mentradisi, dan tidak boleh dilanggar, kekangan adat, dominasi laki-laki, keprestisiusan kaum bangsawan-khususnya di Bali, juga kemiskinan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan identifikasi tiga generasi tokoh perempuan (dan tokoh perempuan lain) serta mendeskripsikan citra tiga generasi perempuan pada novel Tarian Bumi.

Dengan menggunakan teori kritik sastra feminis penulis hasilkan pembahasan mengenai identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi dan citra tiga generasi perempuan dalam novel tersebut. Dari hasil analisis diketahui ada dua golongan (kasta) yang diceritakan yaitu brahmana dan sudra. Identitas sebagai bangsawan (brahmana) dan non-bangsawan (sudra) sangat berpengaruh pada tiga generasi perempuan dalam teks Tarian Bumi. Kebangsawanan mutlak untuk dipertahankan. Namun, apabila seorang perempuan bangsawan melanggar pakem tersebut ia harus menerima konsekuensi logis yaitu keluar dari kastanya kemudian “turun” mengikuti kasta suaminya. Sementara untuk perempuan non-bangsawan, menjadi seorang bangsawan atau memiliki identitas bangsawan merupakan suatu hal yang menjadi dambaan mereka.

(10)

atau keluarga, perempuan brahmana apabila tidak memiliki saudara kandung laki-laki, otomatis akan menjadi ahli waris atau sentana. Menjadi sentana membuat seorang perempuan berkuasa dan berhak memutuskan segala sesuatu di griya Dalam lingkup publik, identitas brahmana memberikan nilai tersendiri di masyarakat. Kaumnyalah yang berhak menyelenggarakan berbagai ritual adat atau pun memimpin upacara keagamaan serta menjadi pemutus suatu ketentuan.

(11)

ABSTRACT

Widyaningsih, Susana. 2010. Woman Imagery Of Three Generation in Tarian Bumi Novel By Oka Rusmini Analysis Feminist Literary Criticsm. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literary Department, Indonesian Literature Faculty, SANATA DHARMA UNIVERSITY.

This research analyzes woman imagery of three generations in Tarian Bumi who face some problem of human life that has been in connect with local custom and should not be violated, customary restraint, male domination, prestige of nobleman-especially in Bali, and also proverty. This research aimed to describe identify three generation of woman character (and other woman) and describe woman imagery of that.

By using the theory of feminist literary criticsm i discussed about identify woman character in this novel and woman imagery of three generation too. There’s two class (caste) in text: brahmanacaste and sudracaste. Identify as a nobleman (Brahmanaman) and non-nobles (Sudraman) strongly affected for woman in this novel. Nobility is absolutely maintained. However, when a nobleman (brahmana women) breaking the grip she had to accept the logical consequence that’s out of her caste then “down” following her husband’s caste. In defiance of the importance in the Balinese hierarchy of a woman not lowering the status of the whole family by marrying beneath her. Meanwhile, for the non-nobles (sudra women) became a nobleman or brahmanacaste is a matter that be their dream.

(12)

power and to have the right for decide something in home (griya). In public sphere, identify of brahmana provide it’s own value in society. The nobility who have the right to carry out of various rituals or to lead some religious ceremonies and also have the right decide a certainty.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 4

1.5 Landasan Teori ... 4

1.5.1 Kritik Sastra Feminis ... 5

1.5.2 Identifikasi Tokoh ... 7

(14)

1.6 Metode Penelitian ... 8

1.6.1 Pengumpulan Data ... 8

1.6.2 Metode Penelitian ... 9

1.6.3 Sumber Data ... 9

1.7 Sistematika Penyajian ... 9

BAB II IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN DAN TOKOH TOKOH PEREMPUAN LAIN DALAM NOVEL TARIAN BUMI ... 11

2.1 Pengantar ... 11

2.2 Konsep Kasta dan Griya ... 12

2.3 Identifikasi Tiga Generasi Tokoh Perempuan dan Tokoh Perempuan Lain dalam novel Tarian Bumi ... 13

2.4.Tokoh Perempuan Brahmana atau Bangsawan ... 14

2.4.1 Perempuan Generasi I Ida Ayu Sagra Pidada ... 14

2.4.2 Perempuan Generasi II Luh Sekar ayau Jero Kenanga ... 19

2.4.3 Perempuan Generasi III Ida Ayu Telaga Pidada ... 27

2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan ... 39

2.5.1 Luh Sari ... 39

2.5.2 Luh Dalem ... 41

2.5.3 Luh Kerta dan Luh Kerti ... 48

2.5.4 Luh Gumbreg ... 51

2.5.5 Luh Sadri ... 55

(15)

2.5.7 Luh Kambren ... 67

2.5.8 Luh Dampar ... 75

2.5.9 Luh Kendran ... 79

2.6 Rangkuman ... 82

BAB III CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL TARIAN BUMI ... 86

3.1 Pengantar ... 86

3.2 Citra Perempuan ... 87

3.2.1 Citra Perempuan Bangsawan ... 88

3.2.1.1 Citra Diri ... 88

3.2.1.1.1 Citra Fisik ... 88

3.2.1.1.2 Citra Psikis ... 90

3.2.1.2 Citra Sosial ... 97

3.2.1.2.1 Citra dalam Lingkup Domestik ... 97

3.2.1.2.2 Citra dalam Lingkup Publik ... 98

3.2.2 Citra Perempuan Sudra ... 100

3.2.2.1 Citra Diri ... 100

3.2.2.1.1 Citra Fisik ... 100

3.2.2.1.2 Citra Psikis ... 101

3.2.2.2 Citra Sosial ... 103

3.2.2.2.1 Citra dalam Lingkup Domestik ... 103

3.2.2.2.2 Citra dalam Lingkup Publik ... 104

(16)

3.4 Rangkuman ... 108

BAB IV PENUTUP ... 112

4.1 Kesimpulan ... 112

4.2 Saran ... 118

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra sebagai hasil dari budaya manusia senantiasa mengkomunikasikan berbagai pengalaman-pengalaman yang dialami oleh manusia. Karya sastra berisi tentang bagaimana seseorang dalam hidup ini mengalami, merasakan, dan mengatasi romantika hidup dalam jiwanya. Melalui karya sastra yang diciptakan tidak jarang dapat tergambar seluruh muatan batin diri manusia. Gambaran-gambaran itu terekspresikan lewat pengarang yang mempunyai ide untuk menciptakan suatu karya berdasarkan muatan batin tersebut sebagai wujud tertulis dari buah pikir seorang pengarang.

Bali merupakan salah satu daerah yang mempunyai tradisi begitu kuat dan penuh fenomena. Dengan novel Tarian Bumi (selanjutnya ditulis TB), Oka Rusmini berusaha menggambarkan Bali yang sesungguhnya. Nuansa Bali sebagai kawasan masyarakat etnik tercermin dari budaya dan masyarakatnya. Lewat tokoh Telaga, didobraklah konsep-konsep Bali yang masih sangat terjaga.

(18)

nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Dari pernikahannya ini lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada (Telaga). Dalam pandangan Telaga, kasta brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga pun tertarik pada seorang lelaki jaba alias kasta rendah bernama Wayan Sasmitha. Sampai akhirnya Telaga hamil dan menanggalkan gelar kebangsawanannya untuk hidup bersama Wayan. Kebingungan Telaga untuk memilih membela ibunya atau neneknya, dan banyaknya rintangan yang dihadapi Telaga membuat atmosfer pemberontakan terasa. Bias masalah kasta dengan segala aturan dan peraturannya mewarnai kehidupan Telaga yang ingin didobraknya dengan tidak meninggalkan unsur religi Hindu di dalamnya. Segala kemewahan sebagai seorang keturunan bangsawan ditanggalkan demi Wayan Sasmitha, walau kehidupan khas sudra serba kesusahan, namun Telaga bahagia dengan pilihannya. Keteguhannya yang ikhlas membuatnya bertahan mewujudkan impian bahagia dengan Wayan Sasmitha walau hanya dalam waktu yang sebentar.

Luh Sekar, ibu Telaga pun juga diceritakan sebagai seorang perempuan sudra yang sangat mengagungkan nilai kebangsawanan. Tokoh Ida Ayu Sagra Pidada, mertua Luh Sekar, seorang putri bangsawan kaya yang juga mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan, serta tokoh-tokoh lain yang memberikan penilaian terhadap perempuan itu sendiri membuat novel ini sarat dengan penceritaan dan pencitraan manusia yang disebut perempuan.

(19)

dominasi laki-laki, keprestisiusan kaum bangsawan, dan kemiskinan pun diungkap pula dalam novel ini. Begitu pula dengan kekuatan, kemandirian dan kegelisahan para perempuan juga disertakan.

Hal-hal inilah yang menarik penulis untuk memilih novel TB sebagai bahan kajian penelitian. Berdasarkan uraian di atas penulis terdorong untuk meneliti citra tiga generasi perempuan dalam novel TB. Hal lain yang mendorong penulis meneliti novel TB adalah sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti tentang citra tiga generasi perempuan pada novel TB ini. Relevan dengan topik yang diteliti, maka penulis menggunakan pendekatan kritik sastra feminis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dan tokoh perempuan lain dalam novel TB?

1.2.2 Bagaimanakan citra tiga generasi perempuan dalam novel TB?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1.3.1 Mendeskripsikan identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dan

(20)

1.3.2 Mendeskripsikan citra tiga generasi perempuan dalam novel TB.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1 Penelitian ini memperluas aplikasi kritik sastra feminis. 1.4.1.2 Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan apresiasi

sastra karya Oka Rusmini pada novel Tarian Bumi.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan menambah wawasan mengenai studi tentang perempuan melalui karya sastra.

1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan memperkaya studi budaya khususnya budaya Bali.

1.5 Landasan Teori

(21)

1.5.1 Kritik Sastra Feminis

Menurut Djajanegara (2000 : 27) kritik sastra feminis berasal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan.

Kritik sastra feminis sendiri memiliki beberapa ragam. Ragam kritik sastra feminis yang dikemukakan oleh Djajanegara (2000 : 28 - 36) adalah sebagai berikut. Pertama adalah kritik ideologis, kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra dan stereotipe wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra.

(22)

feminis-Marxis mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam karya-karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran.

Kritik sastra feminis-psikoanalitik adalah ragam keempat. Kritik sastra feminis-psikoanalitik diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.

Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik feminis-lesbian yang hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Tujuan kritik sastra feminis ini adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Tujuan penting dari kritik sastra feminis ragam ini adalah agar para pengkritik mampu membentuk suatu kanon sastra lesbian dari karya-karya masa silam. Kemudian, dari kanon sastra lesbian tersebut para pengkritik dapat mengembangkan suatu tradisi menulis sastra lesbian dan strategi membaca dari sudut pandang lesbian, yang dapat diterapkan baik pada teks-teks lama maupun pada teks-teks modern.

Ragam kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis-etnik. Ragam kritik sastra feminis-etnik adalah kritik sastra yang dilakukan oleh para feminis - wanita - kulit hitam Amerika dan wanita Amerika keturunan Cina yang ingin membuktikan keberadaanya beserta karya-karyanya agar diketahui, dilihat dan diperhatikan.

(23)

feminis adalah kritik ideologis. Ragam kritik sastra feminis pada dasarnya merupakan cara menafsirkan suatu teks yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekalipun (Djajanegara, 2000 : 28). Relevan dengan hal itu maka dalam penelitian ini kritik sastra feminis yang digunakan untuk menganalisis teks TB adalah kritik ideologis. Jadi citra perempuan yang menjadi topik kajian ini dianggap ideologi dari teks sastra TB.

1.5.2 Identifikasi Tokoh

(24)

1.5.3 Citra Perempuan

Citra adalah gambar; rupa (Poerwadarminta, 2007 : 240). Citra perempuan dalam kritik sastra feminis meliputi citra diri dan citra sosial.Citra diri meliputi citra fisik dan psikis. Citra fisik berkaitan dengan perawakan tokoh misalnya seorang tokoh digambarkan tinggi dan cantik sedangkan citra psikis berupa perilaku dan watak tokoh. Citra sosial dibedakan dalam lingkup keluarga dan publik. Mengarahkan pada eksistensi dan peran tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat, serta pandangan sekitar tokoh perempuan mengenai si tokoh perempuan tersebut (Sugihastuti, 2005: 74 - 195). Dualisme represantasi perempuan baik dalam lingkup keluarga dan publik dapat menjadi sumber pengungkap citra perempuan. Perempuan bisa distereotipekan dalam dua hal. Menurut Barker dua hal itu adalah ideal dan menyimpang. Ideal mengasuh dan maternal. Perempuan di rumah, sebagai istri, cenderung pasif, dapat menerima kontrol laki-laki dan mengabdi pada mereka. Sedangkan menyimpang mendominasi laki-laki, berontak, lepas dari kekangan laki-laki (2009 : 265).

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pengumpulan Data

(25)

1.6.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini berpangkal dari analisis teks untuk mengungkapkan penerapan kritik sastra feminis serta citra perempuan dalam novel TB. Dalam kajian penelitian ini, penulis mencoba menangkap dan menganalisis kritik ideologis dan citra perempuan tokoh novel TB yang menjadi ideologi dari teks sastra TB. Penyampaian hasil analisis teks sastra Tarian Bumi ini menggunakan metode deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau penelitian pada saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1985 : 63).

1.6.3 Sumber Data

Judul novel : Tarian Bumi Pengarang : Oka Rusmini Penerbit : Indonesiatera Tahun terbit : 2004, cetakan ke IV Tebal : 224 halaman

1.7 Sistematika Penyajian

(26)
(27)

BAB II

IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN

DAN TOKOH PEREMPUAN LAIN DALAM NOVEL TARIAN BUMI

2.1 Pengantar

Novel Tarian Bumi adalah novel yang sarat penceritaan dan pencitraan perempuan. Dari pembacaan penulis, penulis menemukan delapan belas tokoh perempuan, sembilan tokoh laki-laki, dan beberapa tokoh lain yang tidak disebutkan namanya. Dalam bab II ini akan dibahas penerapan kritik sastra feminis pada novel TB yakni identifikasi tokoh wanita; mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat, mencari tujuan hidupnya, mengetahui perilaku dan watak serta mencari pendiriannya yang terungkap lewat ucapan (dialog) si tokoh serta dengan meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang berkaitan dengan tokoh wanita dalam teks TB.

(28)

penghegemonian sikap atas tindakan tersebut. Oka Rusmini dengan karyanya ini mencoba mengungkap apa yang terjadi dengan kaum perempuan yang merasakan tindakan tersebut. Lewat tokoh-tokohnya, digambarkan manusia perempuan yang berani memberontak adat yang telah mentradisi dan mampu menjalani konsekuensi yang harus diterima.

Pada bab ini akan dipaparkan hasil kajian tahap satu dan dua. Fokus pembahasan pada tahap satu yaitu identifikasi tiga generasi tokoh perempuan (brahmana dan sudra). Pembahasan tahap dua yaitu meneliti tokoh laki-laki yang disajikan secara terintegrasi pada bahasan identifikasi tokoh perempuan.

2.2 Konsep Kasta dan Griya

(29)

melaksanakan roda pemerintahan. (b) ksatria adalah mereka yang memiliki sikap pemberani, jujur, tangkas dan memiliki kemampuan managerial dalam dunia pemerintahan, (c) vaisya (atau waisya) adalah mereka yang memiliki keahlian berbisnis, bertani dan berbagai profesi lainnya yang bergerak dalam bidang ekonomi, dan (d) sudra adalah mereka yang memiliki kecerdasan terbatas, sehingga mereka lebih cenderung bekerja dengan kekuatan fisik, bukan otak. Contoh profesi sudra adalah pembantu rumah tangga, buruh angkat barang, tukang becak dan sejenisnya. Griya adalah rumah tempat tinggal kasta brahmana (Rusmini, 2004: 7).

2.3 Identifikasi Tiga Generasi Tokoh Perempuan dan Tokoh Perempuan

Lain dalam Novel Tarian Bumi

(30)

Berikut akan penulis bahas identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dan tokoh perempuan lain dalam teks TB.

2.4 Tokoh Perempuan Brahmana atau Bangsawan

Tiga generasi tokoh perempuan brahmana atau bangsawan ini adalah Ida Ayu Sagra Pidada, Luh Sekar atau Jero Kenanga, dan Ida Ayu Telaga Pidada.

2.4.1 Perempuan Generasi I Ida Ayu Sagra Pidada

Ida Ayu Sagra Pidada seorang bangsawan tulen yang berkarakter keras. Baginya kebangsawanan harus tetap dipertahankan sesuai dengan adat dan tradisi para leluhur. Sebuah aib apabila seorang bangsawan menikah dengan kasta dibawahnya (sudra). Waktu mudanya, ia adalah perempuan tercantik di desanya. Ia menikah dengan Ida Bagus Tugur karena dijodohkan oleh orang tuanya dengan alasan karena ialah satu-satunya keturunan yang dimiliki keluarga. Dia meninggal satu bulan setelah anak laki-laki satu-satunya yang bernama Ida Bagus Ngurah Pidada meninggal di tempat pelacuran.

(31)

menyebabkan Ida Ayu Sagra Pidada mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat dibandingkan perempuan lainnya. Watak kerasnya terbawa sampai ia sudah bercucu. Kata-kata kasar, caci maki dan sumpah serapah selalu terucap untuk menantunya - Luh Sekar (yang kemudian menjadi Jero Kenanga), seorang sudra yang dianggapnya tidak bisa membahagiakan anak laki-lakinya. Karakter keras itu makin menjadi-jadi saat anak laki-lakinya ditemukan mati di tempat pelacuran.

(1) “Biarlah dia pergi Kenanga! Makin cepat makin baik. Dulu kupikir kau bisa menjadi perempuan yang dibutuhkan anakku. Nyatanya kau tidak mampu! Untuk apa air matamu? Simpanlah baik-baik. Tidak ada gunanya. Kelak air mata itu kauperlukan untuk sebuah peristiwa besar yang lain, bukan untuk menangisi laki-laki yang kaunikahi ini. Kau dengar kata-kataku!” Suara Nenek terdengar tegas. Tidak ada air mata, tak ada tangisan di depan jasad anak satu-satunya itu (Rusmini, 2004: 24).

Pada akhirnya Ida Ayu Sagra Pidada mempunyai pemikiran dan harapan yang berkaitan dengan “perbaikan nasib” perempuan. Pemikiran dan harapan itu diucapkan pada cucunya, Ida Ayu Telaga Pidada, dalam dua kutipan berikut.

(2) “Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.”(Rusmini, 2004: 21).

(3) “Apa saja yang dilakukan Kenanga di kamarmu?” Suara nenek Telaga terdengar ketus.

“Kami bicara banyak, Tuniang.”

“Tentang apa?”

“Tentang banyak hal.”

“Hati-hati kau mendengar nasihatnya. Jangan-jangan didikannya akan membuatmu sesat!”

Tuniang!”

(32)

Pernyataan Ida Ayu Sagra Pidada pada kutipan (2) menyiratkan bahwa perempuan harus berani mengambil sikap dalam hidup, perempuan harus tegas, dan perempuan harus mandiri Perempuan tidak selalu harus tergantung pada laki-laki atau suami, melainkan harus bisa mandiri dengan mengembangkan potensi dirinya tanpa ada kekangan. Pada kutipan (3) ia memberi tekanan pada cucunya supaya si cucu bisa lebih baik dari dirinya dan ibunya.

Pada bagian tersebut secara jelas Ida Ayu Sagra Pidada merendahkan kaum perempuan, ini sangat bertentangan dengan feminisme (kutipan (3)). Feminisme menolak perendahan perempuan. Perempuan harus bisa setara dengan laki-laki inilah yang didukung feminisme, kesetaraan gender. Ida Ayu Sagra Pidada membicarakan menantunya, Luh Sekar atau Jero Kenanga, secara sinis bahwa seorang perempuan penari (penari joged) biasa dijamah oleh laki-laki yang berarti itu melecehkan martabat perempuan itu sendiri. Namun karena bias tingkatan kasta yang berlaku menjadikan ini sesuatu yang lumrah dilakukan oleh Ida Ayu Sagra Pidada karena ia adalah seorang Brahmana sedangkan menantunya seorang Sudra. Perempuan yang erat dikaitkan dengan urusan dapur tampak juga pada diri Ida Ayu Sagra Pidada pada kutipan (4) ketika ia mulai menyiapkan makan pagi dan makan malam untuk Tugur, suaminya.

(33)

Perjodohannya dengan Ida Bagus Tugur membuat Ida Ayu Sagra Pidada bak pahlawan bagi Ida Bagus Tugur. Namun kenyataan bertentangan sama sekali.

(5) Terwujudnya impian itu telah membuat Ida Bagus Tugur merasa baru memiliki kekuasaan yang sesungguhnya. Laki-laki itu lupa, dia punya seorang anak laki-laki. Dia juga lupa telah beristri. Dia lupa, bahwa pernah nyentanain.

Uang dan kedudukan membuat Kakek seperti terlepas dari himpitan kemiskinan. Himpitan keluarga istrinya yang sering sekali dia anggap merendahkan derajatnya sebagai laki-laki. Padahal Nenek telah berusaha menempatkan laki-lakinya sederajat dengan laki-laki lain di

griya (Rusmini, 2004: 17-18).

(6) “Memang, dulu Nenek merasa sangat bersalah. Dia selalu menempatkan dirinya sebagai perempuan terhormat, karena berkat dirinyalah Kakek bisa mendapatkan jabatan seperti saat ini. Dulu, dia juga memandang sebelah mata pada laki-laki itu. Dan kakek tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Hormat pada Nenek, hormat pada orang tua Nenek. Dia juga menjalankan fungsinya sebagai laki-laki terhadap perempuan dengan baik.” (Rusmini, 2004: 19).

Di Bali tradisi nyentanain masih berlaku. Nyentanain adalah perkawinan dengan seorang perempuan yang telah dijadikan ahli waris, yang berarti perempuanlah yang berkuasa di rumah maka pihak perempuan dipandang sebagai laki-laki dan sebaliknya yang laki-laki dipandang sebagai pihak perempuan. Ida Ayu Sagra Pidada ada dalam posisi ini. Namun karena makin besar rasa cintanya pada Ida Bagus Tugur, ia mulai berubah dan sadar akan kewajiban sebagai seorang perempuan kebanyakan. Bahkan ketika Ida Bagus Tugur mulai jarang di rumah ia takut menanyakan ke mana saja Ida Bagus Tugur pergi karena ia takut ditinggalkan.

(34)

menyiratkan penilaian terhadap diri Ida Ayu Sagra Pidada yaitu kutipan berikut ini.

(7) “Orang-orang griya juga heran kenapa Nenek tidak menolak. Belakangan mereka baru tahu, sesungguhnya Nenek sangat mencintai laki-laki pilihan keluarga besar itu.” (Rusmini, 2004: 22-23).

Asumsi penulis dari kutipan tersebut adalah bahwa “orang-orang griya” - bisa perempuan bisa juga laki-laki - yang memberikan penilaian terhadap Ida Ayu Sagra Pidada itu. Kutipan (7) menyiratkan bahwa tokoh Sagra Pidada adalah orang yang pandai menyembunyikan sesuatu dan ia adalah sosok yang cenderung tertutup terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Masih oleh orang-orang griya, Tugur suami Sagra bukan laki-laki yang tepat untuk Sagra karena perbedaan pandangan antara Tugur dan Sagra.

Menurut pandangan orang-orang griya, Sagra tidak bisa menerima apabila ada laki-laki dan perempuan bangsawan brahmana dinikahkan dengan sesama kerabat di griya tersebut. Sagra telah menganggap para lelaki di griya seperti saudara sendiri. Namun ketika Sagra dinikahkan dengan Tugur, Sagra mau karena Sagra diam-diam mencintai Tugur juga.

Keberadaan Tugur sebagai suami yang “diminta” oleh Sagra membuatnya bersikap pasif pada Sagra. Tugur tidak bahagia dengan kondisi nyentanainnya sehingga Tugur pun menduakan Sagra dengan seorang perempuan penari, seorang janda Sudra beranak dua (tidak disebutkan namanya dalam teks TB). Kenyataan seperti ini membuat Sagra takut ditinggalkan Tugur.

(35)

rajin tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga menyebabkan semua pekerjaan kerumahtanggaan dibebankan pada perempuan. Pada keluarga Tugur kemungkinan besar hal tersebut tidak dialami Sagra, istrinya, karena di sini peran Tugur dianggap sebagai perempuan. Namun, karena adanya pandangan seperti di atas lambat laun Sagra pun mulai mengerjakan “pekerjaan” perempuan tersebut.

Selama Tugur hidup dengan Sagra, ia tak merasakan bahagia karena adanya adat nyetanain tadi. Kebahagiaan Tugur adalah bersama dengan perempuan simpanannya. Pernyataan di atas secara tersirat mengungkapkan keinginan Tugur agar bisa bahagia menurut caranya sendiri bukan bahagia karena diatur atau dipaksakan oleh suatu sistem adat seperti nyentanain yang dialami oleh Tugur dan Sagra.

2.4.2 Perempuan Generasi II Luh Sekar atau Jero Kenanga

(36)

dan terpandang di masyarakat sehingga mampu keluar dari jerat kemiskinan. Berikut ini adalah kutipan yang menyatakan hal tersebut.

(8) “Aku capek jadi perempuan miskin, Luh. Tidak ada orang yang bisa menghargaiku.” (Rusmini, 2004: 27).

(9) “Aku capek miskin, Kenten. Kau harus tahu itu. Tolonglah, carikan aku seorang Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar, aku siap!” (Rusmini, 2004: 27).

(10) “Kalau Meme, Meme banyak menderita. Meme pernah tidak makan satu hari. Belum lagi menjadi perempuan yang tersisih. Meme banyak berjuang keras untuk hidup ini.” (Rusmini, 2004: 93).

Tiga kutipan di atas menunjukkan bahwa hidup seorang Sudra sangat menderita, bisa disebut miskin. Sistem kasta menempatkan Sudra berada di bawah sehingga kaum Sudra banyak dijadikan pekerja di griya kaum Brahmana. Keadaan demikian membuat Luh Sekar kerap nekad dan berambisi untuk menjadi perempuan terhormat. Tujuannya hanya satu yaitu menjadi istri dari seorang Ida Bagus. Sadar dengan keadaan fisiknya yang memungkinkan dia menjadi penari maka Luh Sekar pun juga berambisi menjadi penari.

(11) “Apa pun yang akan terjadi dengan hidupku, aku harus jadi seorang rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki-laki itu, aku tak akan pernah menikah!” Suara Luh Sekar terdengar penuh keseriusan (Rusmini, 2004: 26).

(12) “Aku tak peduli! Aku malah berdoa dan memohon setiap

purnama, bulan terang, dan tilem, bulan mati, agar para dewa tahu apa yang kuinginkan!” (Rusmini, 2004: 26-27).

(13) “Aku ingin jadi penari Kenten.” Suatu hari dia berkata sungguh-sungguh pada Luh Kenten sahabatnya yang dia percaya (Rusmini, 2004: 31).

(37)

Pendirian dan watak kukuhnya akan sebuah keinginan menjadi perempuan terhormat, lepas dari jerat kemiskinan dan keadaan tertekan sebagai seorang Sudra lebih terungkap lewat kutipan berikut.

(15) “Dengar baik-baik. Untuk mewujudkan keinginan itu kita harus yakin bahwa kita sungguh-sungguh menginginkannya. Aku marah, Kenten, marah sekali! Tidakkah para tetua adat desa ini menyadari bahwa aku layak jadi penari? Aku layak jadi perempuan terhormat. Kau harus yakin bahwa keinginanku akan terkabul. Kalau kau yakin, dewa-dewa pasti akan menolong kita. Ayo, Kenten, konsentrasilah. Demi aku. Aku capek jadi perempuan melarat. Aku capek melihat keluargaku tidak dapat tempat dalam masyarakat ini. Aku capek tersisih. Sakit, sakit sekali menjadi orang seperti aku. Aku ingin jadi orang nomer satu. Perempuan yang pantas mengambil keputusan untuk orang banyak. Ayolah, Kenten!” Sekar menatap mata Luh Kenten (Rusmini, 2004: 48-49).

Sistem kasta menempatkan Sudra ada di bagian paling bawah dalam hierarki kekastaan. Perbedaan kelas yang ada dalam masyarakat mengerucut ke tindakan menekan dan memarginalkan perempuan di dalam lingkungan keluarga ataupun di luar keluarga. Pun juga dalam hal perkawinan. Adat yang sangat dipengaruhi oleh sistem kasta mengharuskan perkawinan sedapat mungkin dilakukan dengan yang berkasta sama (antara satu kasta saja). Menikah dengan sesama kasta bertujuan untuk menjaga kemurnian ras keluarga bangsawan. Apabila seorang anak perempuan dari kasta bangsawan menikah (kawin) dengan laki-laki dari kasta lebih rendah dianggap memalukan serta menjatuhkan harga diri seluruh keluarga si perempuan.

(38)

tinggi (untuk menjadi seorang penari dan menjadi istri dari seorang Ida Bagus). Dua kutipan berikut memperjelas pendapat Kenten tentang Luh Sekar.

(16) “Dengarkan aku! Kau cantik, Sekar. Sangat cantik! Kau pandai menari. Aku akan memberi tahu bahwa seorang laki-laki

brahmana sering menanyakan dirimu….”

“Siapa Kenten? Apa dia sungguh-sungguh tertarik padaku?” “Kau! Sabar dulu.”

“Jangan berbelit-belit. Siapa dia? Aku akan mengabdi padanya. Apa dia sanggup mengangkat derajatku dari kemiskinan dan penghinaan orang-orang?” Suara Luh Sekar terdengar sangat getir.

“Entahlah.”

“Siapa dia, Kenten?” Luh Sekar merajuk. “Ngurah Pidada.” (Rusmini, 2004: 28).

(17) “Kau adalah bintang joged. Sekar. Kau cantik. Hanya matamu sering tidak hidup. Kau seperti tidak ada ketika menari. Hanya itu kekuranganmu.” Suara Kenten terdengar samar-samar (Rusmini, 2004: 57).

Dua kutipan tersebut merupakan pendapat dari Luh Kenten, sahabat Sekar.

Kutipan (18) berikut ini adalah penilaian Sagra Pidada atas diri Sekar.

(18) “Aku bicara yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin seorang penari joged yang tubuhnya biasa disentuh laki-laki menasihati cucuku dengan baik.” (Rusmini, 2004: 92).

(39)

pada diri Sekar bahwa Sekar cantik dan hal ini terbukti dengan seringnya Ngurah Pidada datang ketika Sekar menari dan seringnya Ngurah Pidada menyelipkan uang tambahan untuk Sekar.

(19) Di antara seluruh laki-laki muda yang ada di desa hanya Ngurah Pidada yang sering memberinya banyak uang. Bahkan uang itu cukup untuk menambal empat mulut dalam keluarga Luh Sekar selama seminggu. Luh Sekar tidak perlu lagi berpikir harus menjual daun pisang ke pasar hanya untuk membeli beras setengah liter dan sedikit ikan asin (Rusmini, 2004: 28-29).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ngurah Pidada memperhatikan Sekar - untuk kemudian memperistrinya. Tidak terungkapkan lewat dialog, namun kiranya dapat disimpulkan bahwa menurut Ngurah Pidada, Sekar layak menjadi istrinya.

Penilaian lain adalah dari Ida Bagus Tugur yang merupakan mertua laki-laki Sekar. Ketika Sekar telah mempunyai anak bernama Telaga, caranya mendidik anaklah yang tidak disetujui Tugur. Sekar yang waktu ini telah berganti nama menjadi Jero Kananga (jero adalah nama yang harus dipakai perempuan kebanyakan yang menikah dengan lelaki bangsawan), memaksakan kehendak dan keinginan-keinginannya pada Telaga. Berikut adalah pernyataan Tugur tentang Sekar.

(20) “Kau jangan terlalu memaksakan kehendakmu sendiri, Kenanga.” (Rusmini, 2004: 157).

(40)

Dua kutipan di atas merupakan penilaian Tugur atas Sekar yang berbeda pendapat tentang bagaimana seorang ibu harus bersikap pada anaknya. Diam-diam, tokoh Tugur pun sering memperhatikan Sekar dan Telaga. Sikap pasif Tugur perlahan memudar menjadi lebih tegas terlebih pada Sekar, menantunya. Tugur dapat bersikap tegas karena dia tak mau masa lalunya terulang pada cucunya atau generasi selanjutnya. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut ketika Tugur berusaha menasihati Sekar atau Jero Kenanga ini.

(22) “Dia masih anak-anak. Kau jangan menambah bebannya.” Suara kakek Telaga terdengar tegas (Rusmini, 2004: 81).

(23) “Dengar baik-baik Kenanga. Hidupku memang tidak bersih. Tetapi aku berharap kau bisa memetik sebagian pengalaman hidupku. Menjadi laki-laki berstatus perempuan itu menyakitkan. Kalau saja aku mampu, aku tidak akan nyentanain. Aku tidak lagi memiliki hak seperti layaknya laki-laki. Aku harus mengikuti apapun kata istriku, karena dia meminangku. Dia yang menghendaki aku menjadi suaminya. Apa pun kata dia, itulah kebenaran. Ini pilihan yang sesungguhnya tidak kuinginkan. Aku perlu hidup, untuk itu aku harus mengorbankan hidup itu sendiri!” (Rusmini, 2004: 158).

Beberapa dialog di bawah ini pun merupakan percakapan Tugur dengan Sekar yang secara tersirat mengungkap ketidaksepahaman Tugur atas sikap Sekar pada Telaga.

(24) “Dari mana kau bisa tahu dia bahagia atau tidak?”

“Tiang bisa tahu hal itu. Tiang ibunya. Perempuan yang mengandungnya hampir sepuluh bulan, Ratu!”

“Kenanga-Kenanga, kau ukur kebahagian anakmu dengan kriteriamu sendiri.” (Rusmini, 2004: 159).

(41)

Pemikiran-pemikiran bijak Tugur yang lain yang ingin diungkapkan untuk Sekar tampak pula dalam hal bagaimana orang tua mendidik dan mengarahkan anaknya bukan dengan cara yang kolot karena zaman yang kian berubah. Orang tua harus memahami zamanya dulu berbeda dengan zaman anaknya sekarang, sehingga diperlukan pengetahuan yang cukup untuk menciptakan keinginan yang saling mengimbangi dua generasi. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut percakapan Tugur dengan Sekar atau Jero Kenanga ini.

(26) “Biarkan dia berkembang, Kenanga. Tugasmu hanya memberi nasihat bila diperlukan. Kalau kau terus mengaturnya, Telaga akan berontak.“ (Rusmini, 2004: 158-159).

(27) “Jangan memaksanya untuk memilih laki-laki yang kau mau.”

Tugeg sudah wajar memiliki seorang pendamping usianya sudah cukup.”

“Seleranya beda dengan seleramu.” (Rusmini, 2004: 160). (28) “Itu namanya egois, Kenanga. Biarlah Telaga melakkukan

apapun. Aku percaya dia tahu yang terbaik untuknya. Kecemasanmu justru membuatmu makin takut menghadapai hidup ini.“ (Rusmini, 2004: 162).

Tokoh lain yang terkait erat dengan Sekar ini adalah suaminya, Ida Bagus Ngurah Pidada. Sekar adalah seorang penari yang dikaguminya. Luh Sekar pandai mengambil kesempatan itu sehingga Ngurah Pidada mau menikahinya.

(42)

nakalnya. Sering sekali tangannya meremas pantat Sekar. Atau dengan gerak yang sangat cepat, tangan itu sudah berada di antara keping dadanya, dan Sekar tidak bisa berbuat apa pun, karena laki-laki itu sangat mahir sehingga gerakannya tidak akan dilihat oleh penonton, juga oleh para penabuh gamelan bambu. Pada saaat saat seperti itu Sekar tidak berteriak-teriak, tapi membiarkan tangan itu semakin dalam (Rusmini, 2004: 28-29).

Kutipan di atas selain menggambarkan seperti apa pribadi Ngurah Pidada, juga menggambarkan tindak pelecehan yang dilakukan oleh Ngurah Pidada pada perempuan (Luh Sekar). Hidayati-Amal dalam Sugihastuti (2005 : 217) menuliskan bahwa laki-laki berusaha menguasai perempuan dan ia beranggapan bahwa perempuan pun sebenarnya ingin dikuasainya. Pernyataan ini adalah gambaran yang terjadi pada Ngurah Pidada. Ngurah Pidada melakukan jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh (Fakih, 2003 : 19). Tetapi di sini, Sekar merasa tidak mendapat kekerasan - pelecehan dari Ngurah Pidada, justru Sekar memanfaatkannya sebagai sarana untuk meluluskan keinginannya menjadi istri dari seorang Ida Bagus yakni Ngurah Pidada. Ngurah Pidada diperalat Luh Sekar agar mau menjadikannya istri. Hal ini berdasar pada kenyataan teks TB bahwa pada saat Sekar menari, Ngurah Pidadalah yang paling rajin datang setiap kali ada kesenian joged. Pidadalah pula yang sering menanyakan keberadaan Sekar.

(43)

konsekuensi logis yakni dikucilkan di lingkungannya.

2.4.3 Perempuan Generasi III Ida Ayu Telaga Pidada

Ida Ayu Telaga Pidada, seorang perempuan Brahmana anak dari Ida Bagus Ngurah Pidada dengan seorang Sudra, Luh Sekar (Jero Kenanga). Ia bersuamikan Wayan Sasmitha, seorang Sudra, dan mempunyai anak berumur tujuh tahun bernama Luh Sari.

Masa kecil Telaga sebagai seorang perempuan bangsawan, kaya dan cantik diisi dengan berlatih tari. Tak mengherankan bila Telaga menjadi penari yang hebat. Telaga tidak begitu mengenal ayahnya karena baginya ayahnya adalah laki-laki yang tolol. Ayahnya mati di tempat pelacuran. Ketika menikah dengan Wayan Sasmitha, Telaga menikah tanpa restu orang tua. Sejak inilah Telaga mulai merasakan betapa sulitnya menjalani kehidupan sebagai seorang Sudra. Enam tahun hidup bersama Wayan menjadikannya seorang perempuan tangguh yang berani menghadapi tantangan hidup. Setelah Wayan meninggal, kehidupan Telaga mengalir dalam keadaan makin susah karena tingkah iparnya - Luh Sadri dan Putu Sarma - membuat nelangsa hatinya. Sampai akhirnya mertuanya menyuruh Telaga untuk melakukan upacara patiwangi sebagai tanda lahirnya Telaga baru yaitu sebagai seorang perempuan Sudra.

Dengan patiwangi, Telaga yang dianggap sebagai sumber malapetaka dan kesialan mertuanya - Luh Gumbreg - menjelma menjadi seorang perempuan Sudra seutuhnya.

(44)

kebangsawanannya untuk menjadi perempuan Brahmana. Telaga kecil yang belum akilbalig mencoba sebisanya memahami bagaimana menjadi perempuan Brahmana seperti pada kutipan berikut.

(30) “Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu. Cucuku seorang

brahmana, bukan sudra. Bagaimana kamu ini! Kalau sering kau bawa pulang ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar kebangsawanan. Kau mengerti, Kenanga!” Suara mertuanya terdengar melengking. Sekar terdiam.

Telaga paham, dan mencoba menyadari alangkah sulitnya menjadi perempuan (Rusmini, 2004: 75-76).

Pada kutipan ini Telaga yang waktu itu masih kecil melihat bagaimana neneknya mengajari ibunya cara menjadi seorang Brahmana. Status kebangsawanan seorang anak diwariskan dari kedua orang tuanya. Apabila ayah ibunya berstatus bangsawan praktis sang anak pun seorang bangsawan pula. Namun yang paling menentukan adalah status sosial sang ibu, apabila sang ibu bukan berasal dari golongan bangsawan meski anak termasuk bangsawan status sang ibu tetaplah seperti perempuan non-bangsawan. Dengan keadaan inilah Sekar atau Kenanga - ibu Telaga, masih tetap seperti perempuan Sudra. Kenanga tetap harus berbicara dengan bahasa yang halus kepada orang-orang griya. Telaga tak habis pikir berapa banyak lagi peraturan yang harus dipelajari ibunya untuk menjadi seorang bangsawan. Satu hal lagi yang dipelajari dari kejadian yang dialami oleh ibunya tentang kedudukan seorang bangsawan ketika menghadapi sesuatu.

(45)

kabar itu Ibu menjerit-jerit. Telaga masih ingat ekspresi yang penuh luka itu. Begitu juga maki-makian dari Nenek.

Kata Nenek, tidak pantas Ibu berlaku seperti itu. Seorang perempuan bangsawan harus bisa mengontrol emosi. Harus menunjukkan kewibawaan. Ketenangan. Dengan menunjukkan hal-hal itu berarti Ibu sudah bisa menghargai suaminya. Telaga tidak pernah paham, berapa aturan lagi yang harus dipelajari Ibu agar diterima sebagai bangsawan sejati.” (Rusmini, 2004: 78).

Jelas bahwa kedudukan sebagai seorang bangsawan haruslah penuh dengan kewibawaan. Telaga banyak menyimpan tanya tentang apa arti menjadi seorang Brahmana. Dan sebagai seorang Brahmana menjadi seorang penari adalah hal yang mutlak harus bisa dilakukan. Oleh Ibunya, didatangkannyalah guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa bermana Luh Kambren.

(32) “Telaga harus belajar menari setiap sore hari. Guru itu bernama Luh Kambren, guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa. Jarang ada orang yang bisa merayunya untuk mengajarkan keahlian dan rahasia-rahasianya yang kadang-kadang sulit diterima pikiran Telaga. “ (Rusmini, 2004: 94).

(33) Telaga mulai bersiap-siap. Tari yang diajarkan Kambren adalah Legong Keraton. Sebuah tari yang memiliki kekuatan tersendiri karena gerak-geraknya sangat feminin, anggun, dan semakin menyempurnakan wujud perempuan Telaga.

Telaga mulai menari. Terus menari sampai tak terasa lagi sebuah senja miliknya telah hilang, menguap dan digantikan malam (Rusmini, 2004: 99).

(34) “Sekarang Tugeg sudah menjadi perempuan yang sangat lengkap. Tugeg cantik, pandai menari, dan seorang putri bangsawan.

Tugeg memilki seluruh keindahan bumi ini.” (Rusmini, 2004: 115).

(46)

(35) “Laki-laki yang dicintainya sejak umur sepuluh tahun! Sampai hari ini, cinta itu tidak berkurang satu senti pun. Tidak juga bergeser. Dia tetap terjaga dengan baik, bahkan makin hari makin tumbuh subur saja. Rasa cinta Telaga pada Wayan membuat Telaga hampir meledak. Kerinduannya pada laki-laki itu telah sampai di ubun-ubun. Mengaliri seluruh sungai dan laut dalam tubuhnya.” (Rusmini, 2004: 164).

(36) “HIDUP terus berjalan. Ketika keberanian itu muncul dan semakin matang, Telaga harus berhadapan dengan Luh Gumbreg, Ibu Wayan. Perempuan itu memekik.” (Rusmini, 2004: 173).

(37) “Tiang dan Wayan telah mencobanya, Meme. Berkali-kali, bertahun-tahun. Tidak bisa.” Telaga tidak ingin menangis. Dipandangnya perempuan itu. Telaga berharap sebagai sesama perempuan Luh Gumbreg memahami perasaannya.

Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan

brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana

adalah surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya?” (Rusmini, 2004: 173-174).

Keputusan besar dibuat Telaga tentang perkawinannya dengan Wayan. Dari sinilah kehidupan Telaga berubah total dari seorang terhormat menjadi golongan rendah yang serba susah setelah Telaga memutuskan untuk menikah dengan Wayan.

(38) “Meme, rencananya tiga hari lagi kami kawin.” Perempuan itu tetap diam. Dia balikkan tubuhnya. Telaga terus bicara.

“Tiang sudah hamil lima bulan Meme.” Suara Telaga terdengar getir. Perempuan itu membalikkan tubuhnya kembali.

“Tugeg!” Ditatapnya mata Telaga dalam-dalam. Luh Gumbreg mencari kebenaran capan perempuan itu.

“Tugeg tidak sedang bermain-main ’kan?” “Ini serius.” Telaga berkata tegas.

***

PERKAWINAN itu berlangsung. Hidup jadi berubah total. Bangun pagi-pagi tidak ada pelayan yang menyiapkan segelas susu dan roti bakar. Yang ada hanya segelas air putih. Itu pun air putih kemarin. Telaga meneguknya. Matanya sedikit berair (Rusmini, 2004: 184-185).

(47)

mau dia harus mulai belajar dari nol sebagai Sudra.

(39) “Tidak apa-apa, Meme. Tiang harus belajar. Ini pilihan tiang

sendiri.”

“Memasak pakai kayu bakar.”

Tiang akan coba.” (Rusmini, 2004: 185)

Telaga pun juga harus berhadapan dengan mertuanya, Luh Gumbreg, yang sebenarnya tidak menyetujui pernikahan dirinya dengan Wayan. Hal ini tampak dari kutipan berikut.

(40) “Itulah. Sudah tiang katakan, jangan kawin dengan perempuan

brahmana. Susah. Kau tidak bisaa hidup di sini. Tidak akan pernah bisa!” Perempuan itu berkata keras.

Telaga diam (Rusmini, 2004: 186).

(48)

perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan tidak pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kesalahan. Kalau sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi!” Luh Gumbreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang.

“Jangan terlalu dekat dengan tubuh anak tiang. Sudah kubilang jangan kawin dengan Wayan. Kau masih membandel!” Suara Gumbreg makin menjadi-jadi (Rusmini, 2004: 193).

Dalam keadaan ini posisi Telaga sungguh sulit. Selalu saja ia jadi sasaran kemarahan Gumbreg dan Luh Sardri. Telaga tidak bisa berbuat banyak, karena kematian Wayan dianggap sebagai “akibat” dari perkawinan antara Telaga dan Wayan. Namun sesungguhnya Wayan mati karena kelainan jantung yang dideritanya sejak kecil. Karena inilah menjadi alasan Gumbreg untuk menyuruh Telaga melakukan patiwangi, pamit pada leluhur di griya.

(42) “Dulu, ketika kau dikawini anak tiang, kau belum pamit ke

griya. Kau juga belum melakukan upacara patiwangi. Aku ingin kau melakukan semua itu. Demi keluarga ini!” Suara Gumbreg mirip perintah. Telaga mengangkat wajahnya, berharap dirinya sedang bermimpi.

Meme sungguh-sungguh?” “Ya!” (Rusmini, 2004: 209).

Enam tahun hidup bersama Wayan dan beberapa tahun tinggal bersama mertuanya Telaga makin menyadari perannya sebagai seorang Sudra bukan Ida Ayu lagi. Dengan perintah Gumbreg untuk melakukan patiwangi Telaga menjelmakan dirinya menjadi Sudra.

(49)

mengacuhkan aturan peraturan yang mentradisi kuat itu. Bahwa sebagian orang ingin kehidupan yang lebih baik seperti halnya ibunya - Luh Sekar (Jero Kenanga) yang akhirnya menjadi istri dari seorang Ida Bagus, dianggap sebagai sebuah prestasi. Tidak bagi Telaga, kutipan berikut nampak sekali bahwa Telaga tidak menyesali keputusannya sekaligus ketidaksetujuannya tentang pengkastaan yang menjadi ukuran seorang untuk mendapat nilai dalam masyarakat.

(43) “Terimakasih Meme. Meme harus tahu, tiang tidak menyesal menjadi istri Wayan. Yang tiang sesalkan, begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya.” Telaga menjauh (Rusmini, 2004: 221).

Telaga merupakan tokoh yang berkepribadian keras. Dia berani bertanggung jawab atas akibat buruk sekalipun dari perkawinannya dengan Wayan. Terbukti dari sikapnya menghadapi hidup, Gumbreg, dan Sadri juga bagaimana perilaku dia menghadapi kehidupan sebagai sudra ia jalani dengan tetap bertahan dan menguatkan dirinya, mensugesti dirinya bahwa ia sanggup melewatinya.

Pandangan tokoh lain kepada Telaga terlebih dari tokoh laki-laki tak lepas dari keberadaan Telaga sebagai seorang putri bangsawan yang pandai menari, namun berani memberontak budayanya sendiri. Tokoh lain seperti teman-teman Telaga pun pada akhirnya bersikap mencibir kepada Telaga. Telaga dianggap tidak bisa menjaga nama baik keluarga griya.

(50)

Keterampilan menari Telaga ini dikagumi banyak orang.

(44) “Semua orang desa sudah tahu, tak ada yang bisa mengalahkan Ida Ayu3 Telaga Pidada menari Oleg. Sebuah tari tentang nikmatnya merakit sebuah percintaan.” (Rusmini, 2004: 4).

(45) “Karena dia seorang putri, brahmana, maka para dewa memberinya taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang. Luar biasa. Lihat! Ketika perempuan itu menari seluruh mata seperti melahap tubuhnya. Alangkah beruntungnya perempuan itu. Sudah bangsawan, kaya, cantik lagi. Dewa-dewa benar-benar pilih kasih!” Seorang perempuan berkata sedikit sinis. Bau iri melukis matanya yang tajam dan sangat tidak bersahabat itu (Rusmini, 2004: 5).

Kutipan (45) adalah pernyataan Luh Sadri tentang pendapatnya atas diri Telaga dan ketidaksukaannya pada Telaga. Luh Sadri memang iri pada Telaga karena seluruh kecantikan para perempuan di desa ada pada diri Telaga. Sampai Telaga menikah dengan Wayan pun Luh Sadri masih menyimpan rasa iri dan tidak suka itu. Namun semua itu disikapi Telaga dengan tetap bersikap baik pada keluarga Sadri.

Tokoh Putu Sarma memberi pendapat dan pengandaian tentang Telaga.

(46) “Sayang dia seorang brahmana. Andaikata perempuan itu seorang sudra, perempuan kebanyakan, akau akan memburunya sampai napasku habis. Kalau dia minta napasku, aku akan memberikan hari ini juga.” (Rusmini, 2004: 9).

(51)

melawan pelecehan baik berupa perkataan atau tindakan dari laki-laki. Perempuan diposisikan sebagai sebuah kelas setelah laki-laki. Adanya pemosisian perempuan yang demikian membuat legitimasi akan segala hal yang dibuat oleh laki-laki adalah benar dan kelas perempuan tadi tidak berhak melakukan hal yang sama dengan laki-laki. Kutipan berikut adalah perkataan para lelaki tentang diri Telaga.

(47) “Ya. Sayang sekali para dewa pilih kasih. Kenapa hanya perempuan bangsawan yang diberi seluruh kecantikan bumi! Apa komentarmu kalau kucuri perempuan itu dari penjagaan ketat para dewa?” sambung laki-laki muda di sebelahnya. Tangannya mencubit pantat perempuan di depannya. Perempuan muda di depannya melotot. Para lelaki itu tidak peduli, pura-pura merasa tidak bersalah (Rusmini, 2004: 10-11).

(48) “Mereka semua tertawa. Mata mereka masih liar mengupas tubuh Telaga.

Telaga hanya bisa diam mendengar semua itu (Rusmini, 2004: 11).

Kemahiran Telaga menari tak lepas dari peran Luh Kambren, guru tari paling hebat di desanya. Berikut adalah pendapat Kambren tentang Telaga.

(49) Luh Kambren menatap bocah lima belas tahun itu sungguh-sungguh. Entah mengapa, perempuan itu merasa bahwa bocah ini akan memiliki cerita lebih banyak dari hidupnya sendiri. Untuk pertama kali Kambren melihat bahwa perempuan yang berdiri di depannya adalah perempuan yang tepat untuk diberi taksu miliknya. Taksu yang di dapat dari para dewa tari. Taksu yang tidak akan pernah menetes lagi.

Dulu, Kambren mengira taksu yang didapatnya dari dewa tari akan dia bawa sampai mati. Tapi begitu melihat Telaga, pikiran itu menguap. Tiba-tiba saja dia merasa bocah perempuan di depannya adalah anaknya. “Hyang Widhi, akhirnya kutemukan juga laut yang tepat untuk menumpahkan limbahku.” Kambren berkata pada dirinya sendiri, lalu menarik napas dalam-dalam (Rusmini, 2004: 96-97).

(52)

berjuang melawan kerasnya manusia-manusia yang menolaknya dan kehidupan itu sendiri. Pada Luh Gumbreg, ketika Telaga mengutarakan akan menikah dengan Wayan, penolakan serta merta dilontarkan Gumbreg.

(50) “Tugeg, pikirkan lagi keputusan ini. Tolonglah, ini semua demi kebaikan kami.” Suara perempuan tua itu terdengar penuh iba (Rusmini, 2004: 173).

(51) Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu (Rusmini, 2004: 173).

(52) “Meme perempuan kolot, Tugeg perempuan kampung.

Meme tetap tidak bisa menerima hubungan ini. Aib!” Luh Gumbreg duduk di kursi. Matanya semakin sembab (Rusmini, 2004: 175).

(53) “Carilah siapa saja perempuan yang kau mau, Wayan. Jangan Dayu Telaga.” (Rusmini, 2004: 176).

Telaga sudah hamil lima bulan ketika mengutarakan maksudnya ini pada Luh Gumbreg. Dengan nada getir mengungkapkan kehamilannya yang membuat pernikahannya dengan Wayan segera dilaksanakan. Hampir Gumbreg tidak percaya namun Telaga menegaskan bahwa pilihan ini adalah tidak main-main dan serius untuk dijalani. Wayan sendiri sadar, betapa sistem kasta sangat mengekang dirinya juga Telaga. Di saat perasaan yang sama ingin disatukan, tradisi menolak dan memandang hal tersebut sebagai aib yang pantang dilakukan. Kelakuan nekad Wayan dan Telaga pada akhirnya berhasil membuat Wayan dan Telaga bersatu meski rintangan luar biasa beratnya. Kutipan berikut menyatakan ungkapan perasaan Wayan pada Telaga yang bernada penuh emosi dan harapan.

(54) "Tugeg rasakan apa yang tiang katakan lewat mata tiang?" "Tiang takut, Wayan."

"Tiang tahu."

"Jangan lakukan itu pada tiang."

(53)

sebagai Wayan Sasmitha. Dan tiang juga berharap Tugeg tidak menyesali peran Tugeg sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Tugeg mengerti maksud

tiang?"

Telaga menarik napas. Ada air melintas di mata beningnya. "Tiang tidak ingin menyesali atau memaki perasaan tiang. Ini pilihan. Tiang harus berani melakukan untuk untuk diri tiang sendiri.

Tiang sadar ini tidak pantas, tetapi perasaan tiang tidak bisa tiang

bohongi. Menjadi manusia yang utuh harus berani bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Tugeg jangan menangis." Wayan menyentuh pipi Telaga.

"Tiang takut. Tiang juga takut dengan diri tiang sendiri." "Kita akan hadapi ini, Tugeg. Tugeg harus yakin. Tiang

percaya Tugeg mengerti apa yang ingin tiang katakan. Saat ini tiang tidak bisa janji apa-apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan inmpian ini. Impian yang tiang simpan berpuluh tahun. Sakit rasanya menyimpan terlalu lama."

"Kau tahu perasaan tiang, Wayan?" "Ya. Sejak dulu."

Mereka berdua terdiam. Wayan menggenggam tangan Telaga erat-erat (Rusmini, 2004: 171-172).

Keadaan Telaga yang telah menyudra setelah patiwangi menjadikan Putu Sarma, iparnya, makin berani pada Telaga. Dari dulu Putu Sarma memang memendam rasa tertarik pada Telaga. Karena terkungkung dalam lingkaran tingkatan kasta, Sarma hanya bisa melihat saja ketika Telaga menari. Setelah beripar dengannya, kekurangajaran Sarma makin menjadi-jadi dengan nada dan tindakan yang terkategorikan sebagai pelecehan.

(55) Bayangan Wayan tenggelam saat Telaga merasakan tubuhnya diikat oleh tubuh laki-laki. Telaga berusaha menjerit tapi suaranya tidak keluar. Tangan itu terlalu kukuh. Napas laki-laki itu juga memburu. Lidahnya menelusuri leher Telaga. Telaga harus memberontak. Tapi semakin dia bergerak, tubuh itu semakin rapat.

“Kau tetap cantik Dayu, dalam kondisi apa pun. Sekarang kecantikanmu makin sempurna. Tubuhmu lebih indah. Kau terlihat lebih kasar dan mengundang gairah. Dulu, aku sering menonton tubuhmu di panggung dan berharap bisa menyentuh tubuh porselen itu. Sekarang tubuhmu lain, lebih hidup. Menjadi perempuan sudra memang menarik. Kecantikanmu sebagai perempuan makin lengkap.

(54)

robek. Laki-laki itu begitu terlatih untuk menguasai tubuh perempuan (Rusmini, 2004: 210-211).

Pelecehan terjadi di sini. Sarma tak punya adab, dia selalu rakus akan makhluk bernama perempuan tidak peduli siapa itu, pelacur atau bahkan iparnya sendiri – dalam hal ini Telaga. Telaga mengalami pelecehan baik secara fisik maupun mental. Telaga mengalami salah satu bentuk pelecehan seksual. Menurut Fakih (2003 : 20) menyentuh, atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan adalah bentuk suatu kekerasan yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Ketika Telaga menikah dengan Wayan, Telaga menikah tanpa restu orang tua. Bahkan tak satu pun keluarga griya datang pada pernikahannya. Dan, setelah sepuluh tahun Telaga datang dan ingin melakukan patiwangi di griya. Saat inilah di sisa hidupnya Tugur ingin menjadi berarti bagi orang disekitarnya terlebih pada Telaga. Tugur masih menyambut Telaga dengan hangat, seolah Tugur mendukung dan berpihak pada diri Telaga. Bagian berikut akan memperjelas sikap Tugur pada Telaga.

(56) “Kau terlihat lebih kurus dan tidak terurus, Telaga.“ Suara Kakek masih bersahabat.

Ratu...” Telaga hampir saja menangis. Tetapi di depan orang-orang griya dia harus menunjukkan harga dirinya. Telaga tidak ingin memperlihatkan kelemahannya.

“Jangan panggil tiang seperti itu. Tiang belum tentu lebih suci darimu. Ke mari. “ Lelaki tua dan tetap gagah itu memluk Telaga erat-erat (Rusmini, 2004: 214).

(57) “Sejak dulu meme-mu cantik. Sama seperti kau juga terlihat makin matang.“ Suara Kakek begitu bersahabat (Rusmini, 2004: 215). (58) “Kau adalah perempuan luar biasa. Tiang bangga

(55)

Tiga kutipan di atas menyatakan dukungan Tugur sebagai laki-laki kepada Telaga sebagai perempuan yang luar biasa. Tugur bisa mengerti dan memahami Telaga yang berani mengambil resiko atas apa yang menjadi pilihanya. Tugur bisa menghargai Telaga bukan karena Telaga mampu bertahan selama itu hidup dalam kemiskinan namun karena sikap Telaga yang membuat Tugur membanggakanya. Ida Bagus Tugur memberi penilaian lebih baik - positif atas diri Telaga. Dia bisa legowo menerima Telaga dan bisa memahami jalan pikiran Telaga meski Telaga tidak lagi merupakan anggota keluarga griya. Pendek kata Telaga sanggup bertanggung jawab atas pilihan yang dipilihnya.

2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan

Perempuan sudra yang ada pada teks TB yaitu: Luh Sari, Luh Dalem, Luh Kerta dan Luh Kerti, Luh Gumbreg, Luh Sadri, Luh Kenten, Luh Kambren, Luh Dampar, dan Luh Kendran. Bahasan identifikasinya sebagai berikut.

2.5.1 Luh Sari

Luh Sari bocah tujuh tahun yang lahir tanggal 30 September anak dari Wayan Sasmitha dan Ida Ayu Telaga Pidada. Bocah yang lucu dan nakal serta tidak menyukai neneknya. Meskipun lahir dari seorang Ida Ayu, Luh Sari bukan merupakan Brahmana karena ibunya menikah dengan seorang Sudra.

(56)

(59) “Apa yang Luh bawa hari ini ? Hadiah lagi?” “Ya. Tadi ada lomba membaca cepat di sekolah.”

“Semua ini hadiahmu? Banyak sekali.” Telaga menarik napas sambil membelai rambut bocah perempuannya.

“Ya. Luh Sari membulatkan bola matanya. Berusaha meyakinkan perempuan di hadapannya (Rsmini, 2004: 1).

(60) “Sari akan belajar dengan baik, Meme. Kalau Sari besar nanti kita tinggalkan Odah. Meme bisa hidup dengan Sari. Sari bisa membuatkan Meme rumah bagus. Ada tamannya, Meme bisa menanam bunga-bunga sampai muntah. Meme bisa …” Luh Sari terus mengemukakan keinginan-keinginannya. Suara bocah itu membuat Telaga diam (Rusmini, 2004: 3).

Selain itu, sedari kecil Sari menunjukkan ketidasukaannya kepada sang Nenek. Ketidaksukaan itu tampak pada saat Wayan, ayahnya meninggal. Setelah mengerti, Sari membela ibunya dengan menumpahkan amarahnya kepada neneknya. Kutipan berikut adalah ekspresi Sari.

(61) Mata Sari tidak bersahabat menantang mata neneknya.

“Kau juga memihak ibumu, Luh? Suara Gumbreg terdengar agak pelan, Luh Sari tetap memandang mata neneknya, Telaga merasa bocah itu melindungi dirinya.

“Bapak mati karena sakit. Kenapa Odah salahkan Meme!” Sari memekik (Rusmini, 2004: 193-194).

Layaknya orang dewasa Sari kadang berpikir seperti orang dewasa pula.

(62) Luh Sari terdiam menatap ibunya tidak mengerti. Orang-orang dewasa memang aneh. Mereka selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah dipahami anak-anak. Mereka juga sering menangis diam-diam, padahal tidak ada orang yang memarahi mereka. Aneh, aneh sekali. Luh Sari bergumam sendiri (Rusmini, 2004: 213).

(57)

(63) “Tiang bertemu dengan cucu tiang. Dia lucu dan nakal. Persis kau ketika kecil. Dia sering memandang tiang. Atau kalau bersalaman dengan tiang, dia genggam tangan tiang lama-lama. Dia tidak tahu siapa laki-laki yang sering datang ke sekolahnya dan memberi beasiswa untuk anak-anak yang pandai itu. Dia luar biasa, Telaga.” (Rusmini, 2004: 214).

(64) “Jangan kuatir, tiang sudah bicara pada kepala sekolah anakmu. Beasiswa untuk Luh Sari tiga kali lipat dari siswa lainnya.” (Rusmini, 2004: 215).

Luh Sari merupakan anak Telaga satu-satunya. Padanya, semua keinginan dan harapan Telaga, ibunya, disandarkan. Keberadaan Sari memberi warna pada hidup Telaga terlebih setelah kematian Wayan.

2.5.2 Luh Dalem

Luh Dalem, perempuan Sudra, ibu dari Luh Sekar (Jero Kenanga). Ia adalah seorang perempuan sederhana. Karena tidak memiliki kemampuan apa pun pekerjaan Luh Dalem hanya berkebun dan beternak babi. Suami Luh Dalem diceritakan sebagai seorang laki-laki yang terlibat gerakan yang tidak jelas (tidak disebutkan namanya pula). Karena itu Luh Dalem dan keluarganya tidak mendapat tempat di lingkungan masyarakat – dikucilkan. Orang-orang disekitarnya menganggap suami Luh Dalem sebagai seorang pemberontak.

(58)

(65) TIDAK ada baju, tidak ada sepatu, kue atau permen. Tidak juga uang. Luh Sekar melihat ibunya dibopong orang-orang sedesa. Tubuh perempuan itu berlumuran darah. Luh Sekar menjerit-jerit.

Hampir satu minggu perempuan teramat dicintainya itu tidak bergerak. Kata orang-orang, ibu Luh Sekar dirampok (Rusmini, 2004: 59).

(66) Sejak ditemukan dalam kondisi pingsan dan kedua mata terluka, Luh Dalem lebih sering menyendiri. Yang pergi ke pasar Luh Sekar.

Terseok-seok Luh Sekar menyeret babi yang akan dijual. Dari orang-orang pasar Luh Sekar baru tahu mengenai malapetaka yang menimpa ibunya. Kata orang-orang di pasar Luh Dalem juga diperkosa. Pantas, ketika ditemukan tubuh ibunya seperti tidak memakai pakaian.

Kata orang-orang itu Ibu Luh Sekar diperkosa oleh lebih dari tiga laki-laki. Luh Sekar bergidik mendengar cerita itu (Rusmini, 2004: 59-60).

Akibat kejadian ini Luh Dalem hamil, namun karena kehamilan ini bukan keinginannya ia berusaha untuk menggugurkannya. Menurut Luh Dalem benih yang tumbuh bukan benih cinta namun lebih nafsu jahat. Keadaan benih ini tidak direncanakan juga tidak diinginkan.

(67) “Belikan Meme nanas muda Luh. Sepuluh biji!” Suara ibunya terdengar kasar, penuh kemarahan yang hampir meledak. Tidak ibunya juga semakin kurus.

Entah apa yang dilakukan ibunya hanya makan nanas muda, tanpa makan nasi.

Kalau bukan karena mulut orang-orang pasar Badung, Luh Sekar tidak akan tahu bahwa nanas muda yang dimakan ibunya adalah untuk mengeluarkan calon adiknya (Rusmini, 2004: 63-64).

(59)

anak kembar, perempuan semua. Bidan itu memberi nama Luh Kerti dan Luh Kerta. Namun, semakin lama bertambah dewasa, Luh Kerti dan Luh Kerta sering membuat ulah. Hal inilah yang dirasakan Luh Dalem atas anak kembarnya tersebut.

Di akhir hidupnya pun nasib baik seolah memang tidak tertakdirkan ada pada diri Luh Dalem. Ia mati hanyut di sungai. Jasadnya pun disemayamkan di jalan raya.

(68) “Perempuan itu tidak boleh diabenkan. Dia harus dikubur selama 42 hari. Perempuan itu mati salah pati, mati yang salah menurut adat.” (Rusmini, 2004: 102).

(69) Kematiannya dianggap kematian yang salah. Akhirnya, Luh Dalem disemayamkan di jalan raya. Mayatnya tidak boleh masuk rumah (Rusmini, 2004: 103).

Sebagai perempuan yang sering dikucilkan, Luh Dalem serasa tidak berdaya menghadapi tekanan hidup yang demikian. Namun sebagai seorang ibu, Luh Dalem hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya, Luh Sekar. Rasa tanggung jawab ini nampak dalam kutipan berikut.

(70) “Dulu, ketika Luh Sekar berusia sembilan tahun, tulang punggung keluarga berpusat pada Luh Dalem, perempuan sederhana yang tidak memiliki kemampuan apa pun. Luh Dalem hanya bisa berkebun atau beternak babi.” (Rusmini, 2004: 58).

(71) “Belajarlah dengan baik, Luh. Meme tidak apa-apa pergi sendiri. Ingat kunci pintu rapat-rapat, ya? “Luh Sekar mengangguk.

Masih jelas dalam ingatan Sekar senyum ibunya yang tulus. Bahkan Sekar masih ingat teriakan perempuan itu.

(60)

anak-anaknya, ia ingin agar anak-anaknya (khususnya Luh Sekar) mempunyai nasib yang lebih baik dari dirinya.

(72) “Kau bukan lagi Ni Luh Sekar anakku yang dulu. Kau adalah masa depanku. Kau satu-satunya impian yang kuinginkan. Sejak aku kehilangan laki-lakiku, aku hanya memiliki impian. Impian yang tinggi untuk membangun generasi yang lebih baik. Aku selalu memohon pada dewa-dewa di sanggah agar kau bisa keluar dari lingkaran karmaku. Kau harus menjadi makhluk baru dengan karmamu sendiri. Ini satu-satunya kinginan Meme.” (Rusmini, 2004: 71-72).

Pernyataan Dalem pada kutipan (72) memberikan suatu penyadaran kepada kaum perempuan bahwa semestinya (semua) perempuan haruslah mempunyai kesadaran atas nasib, hak dan cita-cita mereka yang lebih baik. Kesadaran ini membuat Luh Dalem merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan anaknya – Luh Sekar – agar nasib Sekar tidak sepertinya. Dalem ingin manusia perempuan harus tumbuh sebagai manusia yang punya peranan besar di kaumnya dan di dalam masyarakatnya. Kelemahan dan kebodohan Dalem bukanlah karena ia seorang perempuan namun lebih karena tekanan sekitarnya dan statusnya sebagai Sudra.

(61)

(73) “Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (Rusmini, 2004: 31).

Pernyataan Dalem sangat sederhana namun bisa membuka mata hati seorang perempuan (pembaca) atas pembacaan perempuan Bali. Ia pun juga pantang “meminta-minta” meskipun ia ada dalam kemiskinan itu sendiri. Kutipan berikut menyatakan bahwa meskipun Dalem miskin, ia masih menjunjung artinya harga diri.

(74) Masalahnya hanya ibu. Perempuan itu selalu protes setiap Sekar membawa keranjang penuh berisi buah-buahan dan sedikit beras atau ikan kering.

“Kau minta-minta Luh?” Suara Dalem terdengar getir. “Tidak, Meme! Mereka yang memberi semua ini. Ketika

mau dibayar, mereka menolak. Kata mereka untuk Meme.” (Rusmini, 2004: 61).

Ketegasan Dalem pun sangat kentara pada saat ia memarahi Kerti dan Kerta karena bersikap sinis pada Luh Sekar yang kala itu sudah menikah dengan seorang Ida Bagus seperti kutipan (75).

(75) “Kerti! Apa-apaan kamu! Apa kamu salah merasa lebih baik daripada kakakmu!” Suara Luh Dalem terdengar kasar. Perempuan tua itu memukulkan tongkatnya ke tanah penuh kemarah-marahan. Luh Kerta dan Luh Kerti masuk ke dalam rumah (Rusmini, 2004: 70).

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses ini, pertama-tama user akan diberi pertanyaan mengenai sebab yang paling umum dialami untuk semua macam kerusakan mesin Isuzu Panther.. User diberikan pilihan

Sebagai upaya edukasi publik, kedua elemen dasar brand Ekonomi Syariah ini harus tetap dimunculkan guna memberi pernyataan tegas bahwa gerakan ini merupakan master-brand

Berdasarkan hasil yang diperoleh setelah melakukan penilaian maka diberikan rekomendasi perbaikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat kematangan yang

Sedangkan prioritas wilayah yang diarahkan untuk pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan mengikuti kriteria seperti yang telah dikemukakan pada

akan melanjutkannya dengan mengerjakan kegiatan yang dipilih selanjutnya. Setelah semua anak sudah selesai melaksanakan 3 kegitan yang akan. disediakan kemudian anak guru

Tujuan Penelitian ini adalah mencari cara alternatif untuk mengetahui jumlah buku yang terjual perminggu dengan menggunakan bentuk polinomial dalam matematika..

Oleh karena itu, dari lingkungan eksternal perusahaan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kinerja perusahaan pada Sentra Industri Kecil dan Menengah Batik Tulis di

Gambar 3.96 Rancangan Layar Transaksi Laporan Absensi Siswa per Term...456. Gambar 3.97 Rancangan Layar Transaksi Laporan Absensi Siswa