• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Macam-macam Terapi

Pada Umumnya, terapi menampilkan empat gambaran kegiatan, yaitu:24

a. Membangun hubungan murni atau genuine yang bersifat memelihara hubungan antara terapis dan pasien atau klien.

b. Membantu klien melakukan eksplorasi diri dengan cara-cara psikologis. c. Terapis dan kliennya bekerja sama memecahkan masalah psikologis

klien dan mengembangkan fungsi pribadi (personal function) klien. d. Terapis membangun sikap dan mengajarkan keterampilan kepada klien

untuk menanggulangi stress dan mengendalikan kehidupannya secara dengan sendirinya dan efektif.

22 Nawazir, “Pengertian Terapi”, artikel diakses pada 8 Mei 2014 dari

http://www.id.shvoong.com/pengertian-terapi/2014/0508/html.

23

J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, penerjemah: Kartini Kartono, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 507.

24

Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Klinis (Bandung: PT. Refika Aditama 2007), h. 9.

Hawari dalam bukunya Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotik, Alkohol, dan Zat Adiktif) telah menemukan metode terapi (detoksifikasi) tanpa anestesi (pembiusan) dan subtitusi (pengganti yang masih turunan putaw/opiate) khususnya pada detoksifikasi putaw (opiate). Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (toksin) NAZA dari tubuh seseorang. Secara singkat metode Prof. Dadang Hawari ini adalah sebagai berikut:25

a. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikofarmaka)

Akibat penyalahgunaan NAZA adalah terganggunya sistem neuro-transmitter pada susunan saraf pusat otak yang menimbulkan gangguan mental dan perilaku. Gangguan mental dan perilaku ini masih berlanjut meskipun NAZA sudah hilang dari tubuh setelah menjalani terapi detoksifikasi. Selain daripada itu pada pasien penyalahguna/ketergantungan NAZA proses mental adiktif masih berjalan; artinya rasa ingin (craving) masih belum hilang, sehingga kekambuhan dapat terulang kembali.

Untuk mengetahui gangguan tersebut di atas digunakan obat-obatan yang berkhasiat memperbaiki gengguan dan memulihkan fungsi neuro-transmitter pada susunan saraf pusat (otak), yaitu yang dinamakan psikofarmaka golongan major transquilizer yang tidak menimbukan adiksi dan dependensi (tidak berakibat ketagihan dan ketergantungan). Selain psikofarmaka golongan major transquilizer terjadi pada pasien penyalahguna/ketergantungan NAZA juga diberikan jenis obat anti-depressant. Obat anti-depressant perlu diberikan karena dengan

25

Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotik, Alkohol, dan Zat Adiktif) (Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2006), h. 103.

diputuskannya NAZA seringkali pada pasien penyalahguna/ketergantuungan NAZA akan timbul gejala depresi. Dengan terapi psikofarmaka baik dari golongan major transquilizer maupun anti-depressant tadi, maka gangguan mental dan perilaku dapat diatasi.

b. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikoterapi)

Pada pasien penyalahguna/ketergantungan NAZA selain terapi dengan obat (psikofarmaka) juga diberikan terapi kejiwaan (psikologik) yang dinamakan psikoterapi. Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan, misalnya:

1. Psikoterapi suportif, yaitu memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar pasien penyalahguna/ketergantungan NAZA tidak merasa putus asa untuk berjuang melawan ketagihan dan ketergantungannya.

2. Psikoterapi re-edukatif, yaitu memberikan pendidikan ulang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan diwaktu lalu dan juga dengan pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan baru yang kebal (imun) terhadap penyalahgunaan NAZA.

3. Psikoterapi rekonstruktif, yaitu memperbaiki kembali (rekontruksi) kepribadian yang telah mengalami gangguan akibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjadi kepribadian semula. 4. Psikoterapi kognitif, yaitu memulihkan kembali fungsi kognitif (daya

fikir) rasional yang mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, dan mana yang halal dan haram.

5. Psikoterapi psiko-dinamik, yaitu menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.

6. Psikoterapi perilaku, yaitu memulihkan gangguan perilaku (maladaptif) akibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjadi perilaku yang adaptif, yaitu mantan penyalahguna/ketergantungan NAZA dapat berfungsi kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah. Sekolah/kampus, di tempat kerja dan lingkungan sosialnya. 7. Psikoterapi keluarga, yaitu ditujukan tidak hanya kepada individu

penyalahguna/ketergantungan NAZA tetapi juga kepada keluarganya. Dengan terapi ini diharapkan hubugan kekurangan dapat pulih kembali dalam suasana harmonis dan religius sehingga resiko kekambuhan dapat dicegah.

Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut di atas adalah untuk memperkuat struktur kepribadian mantan penyalahguna/ketergantungan NAZA, misalnya meningkatkan citra diri (self esteem), mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat “ego” (ego strength), mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life), memulihkan kepercayan (self confidence), mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dan lain sebagainya. Keberhasilan psikoterapi dapat dilihat apabila mantan penyalahguna/ketergantungan NAZA tadi mampu mengatasi masalah kehidupan tanpa harus melarikan

diri ke NAZA. Selama proses psikoterapi berlangsung, terapi psikofarmaka dan psikoreligius dapat diintegrasikan secara bersamaan.

c. Terapi Medik-Somatik

Terapi medik-somatik adalah penggunaan obat-obatan yang berkhasiat terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya NAZA dari tubuh (detoksifikasi), yaitu gejala putus NAZA (withdrawal symptoms) maupun kompilkasi medik berupa kelainan organ tubuh akibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA.

d. Terapi Psiko-Sosial

Terapi psiko-sosial adalah upaya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi penyalahguna/ketergantungan NAZA ke dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana diketahui akibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA adalah gangguan mental dan perilaku yang bercorak anti-sosial. Dengan terapi psiko-sosial ini diharapkan perilaku anti-sosial tersebut dapat berubah menjadi perilaku secara sosial dapat diterima (adaptive behavior).

e. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap pasien penyalahguna/ketergantungan NAZA ternyata memegang peranan penting, baiki dari segi pencegahan (prevensi), terapi, maupun rehabilitasi. Clinebell (1981) menyampaikan hasil penelitiannya pada 1st Pan Pasific Conference on Drugs and Alcohol di Canberra, Australia. In the Prevention and Treatment of Addiction The Growth and Councelling Perspectives.

Dari hasil penelitian itu ditemukan bahwa setiap diri manusia (meskipun ia atheis sekalipun) terdapat kebutuhan dasar spiritual (basic spiritualneeds). Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan dan ke-Tuhan-an yang karena paham materialisme dan sekulerisme menyebabkan kebutuhan dasar tadi terabaikan dan terlupakan tanpa disadari.

Berdasarkan jenis-jenis terapi yang sudah penulis paparkan di atas, psikoterapi terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Dalam penelitian ini, art therapy bagi pasien dual diagnosis masuk ke dalam kategori psikoterapi atau terapi kejiwaan.

Psikoterapi adalah salah satu cara pengobatan atau penyembuhan terhadap suatu gangguan atau penyakit yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara sukarela, dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu, dan menumbuhkembangkan kepribadian yang positif. Psikoterapi umunya dilakukan melalui wawancara terapi atau melalui metode-metode tertentu, misalnya: relaksasi, bermain, dan sebagainya. Dapat dilakukan secara individual atau kelompok. Tujuan utamanya adalah untuk menguatkan daya tahan mental penderita, mengembangkan mekanisme pertahanan diri yang baru dan lebih baik, serta untuk mengembalikan keseimbangan adaptifnya.26

26

Benjamin. J dan Virginia A. Sadock, Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi. 2 (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran/EGC, 2010), h. 142.

Dokumen terkait