• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ART THERAPY BAGI PASIEN DUAL DIAGNOSIS (NAPZA-

1. Pelaksanaan Program Art Therapy di

Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) sejak tahun 2003 mulai membuka layanan rehabilitasi. Orientasi program rehabilitasi yang diterapkan adalah Therapeutik Community (TC) berbasis Rumah Sakit. Program ini ditujukan pada pasien dengan berbagai latar belakang kasus NAPZA yang digunakan, baik pengguna aktif maupun mereka yang berada pada masa remisi. Seluruh pasien menjalani program yang sama dan diperlakukan sama antara pasien yang satu dengan pasien lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu terlihat bahwa beberapa pasien memiliki kondisi fisik dan mental tertentu yang kurang tepat untuk mengikuti program tersebut. Selain tetap mempertahankan program berorientasi TC, Instalasi Rehabilitasi juga mulai mengembangkan Program Khusus (PK) bagi pasien-pasien berkebutuhan khusus.

Program art therapy dibentuk pada tahun 2007 oleh Pak Isrizal yang berprofesi sebagai Psikolog di RSKO. Kemudian beliau mengajak seorang Pekerja Sosial yaitu Pak Syarifuddin sebagai asisten pelaksana kegiatan

art therapy. Namun semenjak Pak Isrizal sudah tidak menjadi Psikolog di RSKO, pelaksanaan art therapy sepenuhnya diserahkan kepada Pekerja Sosial yang ada di RSKO yaitu Pak Syarifuddin dan Pak Agus Darmawan.

Program art therapy dibentuk saat para konselor mengadakan rapat program atau meeting programme bersama dengan profesional seperti Pekerja Sosial, Dokter, Psikolog, dan juga Perawat untuk membahas program yang tepat untuk pasien Special Programme (SP). Seperti yang dipaparkan oleh Konselor RSKO, Bro Okto:

“Jadi, waktu itu kita mengadakan rapat program atau meeting program bersama dengan profesional seperti Pekerja Sosial, Dokter, Psikolog, dan juga Perawat untuk membahas program apa yang cocok untuk pasien SP. Setelah didiskusikan ternyata art therapy cocok dijadikan program untuk pasien SP...”1

Program art therapy yang berada di RSKO ditujukan secara khusus bagi pasien yang berada pada fase Special Program (SP). Alasan dibentuknya kegiatan art therapy telah dijelaskan oleh Pekerja Sosial RSKO, Bapak Agus Darmawan:

“...karena mereka terbatas geraknya untuk mengikuti berbagai kegiatan di Instalasi Rehabilitasi. Maka dari itu, dibuatlah program art therapy sebagai salah satu alternatif kegiatan pasien dual diagnosis

untuk mengisi waktu luang yang mereka miliki untuk menyalurkan ekspresi mereka melalui seni...”2

Pasien yang berada di SP mendapat kontrol secara khusus dari para pendamping (konselor). Maka dari itu, mereka tidak dapat mengikuti banyak kegiatan karena dapat memicu tingkat stress mereka. Hampir semua pasien yang masuk ke dalam kelas SP di RSKO dinyatakan menderita dual diagnosis.

Istilah dual diagnosis sudah lama terdengar di bidang NAPZA. RSKO menerapkan penatalaksanaan pasien dual diagnosis seiring dengan munculnya perilaku kekerasan, gangguan mood, gangguan pola pikir, dan

1

Wawancara Pribadi dengan Konselor Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Jakarta 20 Mei 2014.

2

gejala waham pada beberapa pasien, serta tidak adanya perkembangan positif selama mengikuti program rehabilitasi berbasis Therapeutik Community (TC) pada pasien-pasien tersebut. Oleh karena itu, RSKO memodifikasi program untuk diterapkan pada pasien dual diagnosis

tersebut, yang sering disebut sebagai Program Khusus (PK). Sekalipun fokus utamanya adalah untuk menangani pasien dual diagnosis, namun PK ini juga dapat mengakomodasi pasien dengan keterbatasan fisik akibat komplikasi fisik yang dialaminya, pasien dengan keterbatasan kemampuan kognitif, serta pasien lain dengan kebutuhan khusus.

Menurut beberapa ahli, art therapy merupakan salah satu saluran karena pasien dual diagnosis kaya akan fantasi yang luar biasa. Sehingga,

art therapy dapat mewadahi. Dengan kata lain, seni dapat dijadikan sebagai kegiatan untuk mengekspresikan diri atau menceritakan pengalaman pasien. Art therapy mengubah keadaan seseorang dari kurang baik menjadi lebih baik karena pasien dapat mencurahkan isi hatinya sehingga menjadi alternatif penyembuhan diri.3

Prinsip dan strategi perawatan dalam PK melibatkan kerjasama dari para profesional dan petugas lain, yaitu: Dokter Umum, Psikiater, Neurolog, Dokter Penyakit Dalam, Psikolog, Perawat, Pekerja Sosial, Konselor Adiksi dan Ahli Gizi.

Dalam menjalankan PK, diperlukan komunikasi yang baik antara tim karena akan mempengaruhi keberhasilan pemulihan pasien. Art therapy

3

merupakan salah satu bagian dari Program Khusus (PK). Adapun kegiatan-kegiatan PK lainnya di RSKO, meliputi:4

1. Pemeriksaan rutin psikiatri dan pemeriksaan fisik. Saat ini sudah ada satu orang Dokter Umum dan satu orang Psikiater yang bekerja tetap pada Instalasi Rehabilitasi.

2. Program diskusi harian, yang diberlakukan bagi seluruh jenis pasien. 3. Program diskusi mingguan, dimana dilakukan diskusi tentang pasien

oleh profesi profesional yang menanganinya.

4. Program dinamika kelompok, baik yang difasilitasi oleh Perawat, Konselor, Pekerja Sosial, ataupun Psikolog. Secara khusus program kelompok yang difasilitasi oleh Perawat adalah terapi aktifitas. Sedangkan program art therapy difasilitasi oleh 2 (dua) orang Pekerja Sosial.

5. Program kunjungan rumah (Home Visit). Tujuan dari kunjungan rumah adalah untuk mempersiapkan keluarga dalam menerima pasien kembali dan membantu pasien untuk berinteraksi kembali dengan keluarga. Biasanya kunjungan rumah dilakukan oleh Pekerja Sosial ataupun tim Konselor.

6. Pendidikan kesehatan bagi keluarga, baik yang diberikan secara individual maupun secara kelompok oleh profesi profesional. Selain itu pendidikan bagi keluarga dalam wadah Family Support Group

(FSG) dilakukan secara rutin, dua kali dalam sebulan.

4Elly Hotnida Gultom, “Buletin Ilmiah Populer RSKO Tantangan Penanganan Masalah

Adiksi NAPZA (Peran Perawat dalam Program Terapi dan Pemberdayaan Pasien dengan Dual

7. Program kegiatan rekreasi outdoor, yang umumnya dilakukan satu kali dalam sebulan guna menghindari kejenuhan pasien yang selalu berada di dalam ruang rehabilitasi.

Pasien yang mengikuti kegiatan art therapy adalah mereka yang berada pada fase Special Program dan mengalami dual diagnosis.

Dual diagnosis adalah adanya kombinasi segala bentuk penyakit maupun disabilitas (termasuk disabilitas sensoris, fisik dan intelektual), gangguan mental dan penyalahgunaan zat. Gejala dual diagnosis yang sering muncul adalah cemas, depresi, skizofrenia, halusinasi, waham, perilaku kekerasan dan gangguan mood. Apabila kondisi yang dialami pasien dual diagnosis tidak mendapatkan perawatan yang baik, maka akan berdampak buruk pada perkembangan mental dan sosial pasien.

Menurut Mueser dalam buletin ilmiah RSKO, strategi yang dilakukan untuk pasien di program dual diagnosis adalah:5

1. Grup dual diagnosis : berfokus pada dukungan sosial, berbagai pengalaman dan tukar menukar ide atas tujuan hidup masing-masing. Diharapkan kegiatan kelompok dapat merangsang fungsi kognitif pasien dengan cara mengepresikan perasaan, menyampaikan pendapat dan berbagai pengalaman.

2. Meningkatkan struktur: penyedia kegiatan yang mengarah pada peningkatan potensi klien, antara lain kegiatan melukis, berkebun atau kegiatan yang mampu dilakukan pasien.

5

3. Rehabilitasi: latihan sosialisasi dan latihan bagaimana menggali potensi diri. Umumnya kegiatan ini ditujukan bagi pasien yang sudah stabil.

4. Grup mandiri: menawarkan sokongan dukungan sebaya. Penggunaan konsep terapi mileu, mengkonsumsikan pasien seperti berada dalam lingkungan keluarga, dimana didalamnya mereka saling memberikan dukungan dan saling berbagi.

5. Strategi motivasional: berbagaimana meningkatkan motivasi pasien untuk menghilangkan perilaku ketergantungannya. Bentuk kegiatan adalah konseling, yang dapat dilakukan baik secara individu maupun kelompok.

6. Pemecahan masalah dan dukungan keluarga: melibatkan keluarga secara aktif dalam proses perkembangan pasien.

Prinsip keperawatan dalam merawat pasien NAPZA, dapat dilakukan pada program terapi pasien dual diagnosis, yaitu:

1. Memberi motivasi untuk menghentikan penggunaan zat. 2. Menguatkan keterampilan koping individual.

3. Memberikan pendidikan tentang cara-cara baru menurunkan ansietas.

4. Meningkatkan keterlibatan keluarga dalam program rehabilitasi. 5. Memudahkan pertumbuhan/perkembangan keluarga.

6. Memberikan informasi tentang kondisi, perkembangan dan perlunya suatu terapi untuk pasien.6

b. Tujuan Program Art Therapy di RSKO Jakarta

Tujuan program art therapy di RSKO merujuk kepada pemulihan dari masing-masing pasien dual diagnosis yang menjalani rehabilitasi di RSKO. Adapun tujuan dari program art therapy adalah sebagai berikut:7

1. Menghibur diri pasien agar tidak terjadi kebosanan dan kejenuhan. 2. Mengetahui konflik-konflik yang tidak disadari.

3. Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah-masalah dalam diri (inner problem).

4. Mengaktikfan fungsi kognisi pasien. 5. Mengasah motorik pasien.

6. Melalui seni pasien memproyeksikan diri dalam seninya.

7. Mempelajari perasaaan-perasaan dan emosi melalui puisi dan gambar.

8. Meningkatkan rasa percaya diri dan pemahaman akan lingkungan sekitar.

9. Memberikan simulasi peran dalam drama supaya pasien dapat menerapkan perannya ke dalam lingkungan masyarakat (pasien dapat bersosialisasi dengan baik)

10.Meningkatkan kreatifitas.

6

Elly Hotnida Gultom, Buletin Ilmiah popoler, peran perawat dalam program terapi dan pemberdayaan pasien dengan dual diagnosis, hal. 41.

7

Sedangkan tujuan diadakannya program art therapy di RSKO antara lain:

1. Tugas yang sudah diprogramkan oleh Instalasi Rehabilitasi. 2. Art therapy diharapkan dapat mengisi waktu luang pasien.

3. Art therapy sebagai program terapi penunjang bagi pasien dual diagnosis atau pasien SP, dan

4. Art therapy dapat melatih emosi pasien agar dapat lebih stabil.

c. Bentuk Kegiatan Art Therapy di RSKO Jakarta

Jenis kegiatan yang diterapkan dalam pelaksanaan art therapy di RSKO sebagai berikut:8

Tabel 4

Jadwal Kegiatan Art Therapy

No Minggu I Minggu Ke II Minggu Ke III Minggu Ke IV Minggu Ke V 1. Membuat foto dengan perantara kertas yang dibolongi persegi empat. Membuat puisi dan membacakan nya. Permainan musik bumi. Lomba baca puisi dan menceritakan makna yang terkandung. Menggambar berdua dengan menarik garis atau titik awal.

Menggambar diri orang lain. Mengolah vokal dan praktek membaca cepat. No .

Minggu VI Minggu VII Minggu VIII Minggu IX Minggu X 2. Observasi dan menyatukan gambar yang terpisah-pisah. Tentang nama yang dibalik dan sejarah nama. Menulis tujuan hidup, mengolah vokal dan permainan. Menggambar teman dan permainan botol. Membuat puisi perjuangan. 8

Kegiatan atau materi-materi yang sudah tertera di jadwal tidak tetap. Artinya sewaktu-waktu jadwal tersebut dapat berubah atau dapat digantikan dengan materi yang lain atau terapi yang lain.

Dari data di atas dapat saya simpulkan bahwa peserta (pasien) dapat menjalani kegiatan art therapy disesuaikan dengan keadaan dan kegiatan pasien yang lain selama menjalani rehabilitasi atau pemulihan di RSKO. Sehingga Pekerja Sosial dituntut untuk selalu inovatif dalam menciptakan kegiatan yang baru agar tidak monoton di setiap kegiatan art therapy.

Terkadang kegiatan art therapy tidak dapat dilakukan sesuai jadwal karena ketidakhadiran Pekerja Sosial yang sedang mengikuti seminar/pelatihan di luar RSKO ataupun para pasien yang sedang mendapatkan kegiatan lain dari program rehabilitasi (Therapeutic Community).

Dengan demikian dalam memberikan pelayanan kepada klien atau pasien dual diagnosis, Pekerja Sosial harus memahami peran dan fungsinya, serta memahami dinamika pasien dual diagnosis.

2. Kasus Pasien Dual Diagnosis (NAPZA-Skizofrenia)

Beberapa jenis NAPZA dapat memicu timbulnya gangguan psikiatrik atau gangguan kejiwaan. Zat psikoaktif seperti kanabis (ganja), alkohol dan amfetamin juga akan menimbulkan gangguan psikatrik pada saat putus zat. Selain karena pengaruh intoksikasi (keracunan) zat, gejala psikiatrik yang timbul umumnya karena pasien mengalami gangguan infeksi pada otak.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pasien sebagai penunjang keberhasilan namun, didalam penelitian ini tidak semua pasien

dapat penulis jadikan sebagai responden. Hal ini dikarenakan kondisi pasien yang belum mampu untuk diajak berkomunikasi dengan baik dan pasien masih dalam masa perawatan khusus oleh Dokter, Perawat, Pekerja Sosial, dan Konselor. Penulis mendapatkan izin untuk melakukan wawancara maupun pengambilan data-data pasien dengan jumlah responden sebanyak 3 (tiga) orang.

Dengan latar belakang di atas penulis mendapatkan 3 (tiga) orang pasien untuk dijadikan responden yang diharapkan mampu mewakili pasien yang lain dalam memberikan informasi yang diinginkan. Penulis tidak dapat menjelaskan secara rinci mengenai biodata diri pasien maupun latar belakang kehidupan pasien dikarenakan kode etik Rumah Sakit yang bertujuan untuk menjaga nama baik pasien dan keluarga pasien.

Berikut gambaran kasus dari tiga orang klien atau pasien dual diagnosis (NAPZA-Skizofrenia) yang sedang menjalani rehabilitasi di RSKO Jakarta:

a. Kasus 1

Identitas Pasien Nama pasien/klien : “T”

Jenis Kelamin : Laki-laki Nama Ayah : Bapak “YLT”

Nama Ibu : Ibu “T”

Usia : 32 Tahun

Alamat : Nagoya, Batam Pekerjaan pasien : Tidak bekerja Pekerjaan Ayah : Wiraswasta

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMP

Agama : Budha

Klien “T” menggunakan NAPZA jenis psikotropika yaitu methamphetamine. Selain itu, klien “T” juga menggunakan NAPZA jenis

narkotika yaitu shabu. Klien “T” mengalami gelisah, sulit tidur, dan klien “T” mengalami gangguan mental akibat zat stimulan. Klien “T” mendapat diagnosa dual diagnosis (NAPZA-Skizofrenia). Kondisi fisik klien “T”

juga mengalami sakit, yaitu klien menderita Hepatitis B. Klien “T” sudah

memiliki satu orang anak, namun ia mengalami perceraian. Keadaan

ekonomi keluarga klien “T” berkecukupan.9

Klien “T” dibawa ke RSKO oleh kakak kandungnya dengan cara dibohongi dengan alasan mengajak klien “T” untuk jalan-jalan. Menurut

pengakuan dari klien “T”, ia tidak terima dibohongi oleh kakaknya. Namun kini klien “T” sudah menerima kenyataan dan keadaan hidupnya untuk menjalani pemulihan di RSKO. Sedangkan, keluarga klien “T”

menetap di Batam. Seperti yang dipaparkan oleh Klien “T”:

“Perasaan saya enggak terima, saya dibohongin sama kakak

saya. Katanya mau diajak jalan-jalan. Ternyata saya malah dibawa ke sini, tapi sekarang sih udah terima. Keluarga semua di Batam, saya

disini”10

Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada saat pertama kali mengikuti kegiatan art therapy bersama pasien dual diagnosis, klien “T”

bersikap pendiam dan menutup diri. Hal tersebut dapat diketahui dari cara

klien “T” berkomunikasi dengan penulis. Klien “T” menjawab pertanyaan

9Studi Dokumen, Buku Rekam Medik Pasien RSKO, klien “T”. 10Wawancara Pribadi dengan Klien “T”, Jakarta 29 April 2014.

penulis dengan singkat dan menundukkan kepalanya. Sebelum dilaksanakan kegiatan art therapy, klien “T” terlihat murung dan kurang

bersemangat. Terlihat dari kedua tangannya membawa papan sebagai alas tulis, buku dan pulpen. Klien mendapatkan tugas dari konselor sebagai ketua kelas SP.

Klien “T” menjalani pemulihan di RSKO kurang lebih selama enam bulan. Pada saat pertama klien “T” masuk ke Instalasi Rehabilitasi, klien “T” menjalani detoksifikasi selama satu bulan. Setelah itu klien

dipindahkan oleh petugas RSKO untuk menjalani rehabilitasi. Klien “T”

menjalani rehabilitasi pada fase Special Programme (SP). Pengobatan yang diberikan oleh RSKO kepada klien “T” yaitu farmakoterapi,

psikoterapi, dan rehabilitasi Therapeutic Communitty (TC) berbasis Rumah Sakit.

Selama menjalani rehabilitasi di RSKO, klien “T” rutin mengikuti

berbagai kegiatan atau terapi yang sudah dijadwalkan, termasuk rutin mengikuti kegiatan art therapy. Seperti yang diungkapkan oleh Klien “T”: “Sejak masuk kesini saya rutin ikut kegiatan yang ada disini, termasuk kegiatan art therapy.11

Selama kegiatan art therapy berlangsung, penulis melihat klien “T”

mampu diajak berkomunikasi dan menerima instruksi yang diarahkan oleh Pekerja Sosial/Terapis. Hal tersebut juga diungkapkan oleh klien “T”:

Kegiatannya mudah diikuti kok.. Saya bisa mengerti apa yang diarahkan sama petugasnya.12

Klien “T” mengungkapkan bahwa ia sangat suka dengan permainan -permainan yang diberikan karena membuat perasaannya menjadi senang. Menurut pengakuannya, setelah mengikuti kegiatan art therapy klien merasa relaks. Seperti yang dipaparkan oleh klien “T”: “Perasaan saya

senang. Bisa relaks jadinya betenya hilang.”13 Klien “T” merasa puas dan

mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan art therapy. Seperti yang

diungkapkan oleh klien “T”: “Saya mendapat banyak manfaat. Saya mendapatkan pengalaman baru, stress saya hilang, terus jadi membuat perasaan saya senang. 14

Selain itu, kegiatan art therapy menambah motivasi dalam hidupnya dalam menjalani pemulihan. Hal tersebut juga

diungkapkan oleh klien “T”: “Bagi saya sangat berpengaruh bagi pemulihan saya. Semangat saya jadi bangkit lagi.15

Berdasarkan hasil pemeriksaan Dokter pada bulan Mei 2014, klien

“T” sudah tenang, relaks, dan sudah mulai bisa tidur. Resep yang

diberikan oleh Dokter juga diminum secara rutin. Obat yang Dokter

berikan kepada klien “T” yaitu THP dan clozaril.16

Dari data di atas dapat saya simpulkan bahwa, terdapat beberapa tujuan art therapy di RSKO yang sudah tercapai pada perubahan diri klien

“T” antara lain: klien “T” merasa terhibur atau senang dengan adanya kegiatan art therapy, klien “T” menjadi relaks, dan motivasi di dalam diri

12Wawancara Pribadi dengan Klien “T”, Jakarta 29 April 2014. 13

Wawancara Pribadi dengan Klien “T”, Jakarta 29 April 2014. 14Wawancara Pribadi dengan Klien “T”, Jakarta 29 April 2014. 15Wawancara Pribadi dengan Klien “T”, Jakarta 29 April 2014. 16Studi Dokumen, Buku Rekam Medik Pasien RSKO, klien “T”.

klien “T” meningkat. Dengan demikian, program art therapy di RSKO berpengaruh terhadap proses pemulihan dan membawa perubahan bagi

klien “T” ke arah yang positif, walaupun tidak semua tujuan program art therapy di RSKO dapat dicapai.

b. Kasus 2

Identitas Pasien Nama pasien/klien : “IW”

Jenis Kelamin : Laki-laki Nama Ayah : Bapak “SK”

Nama Ibu : Ibu “SH”

Usia : 34 tahun

Alamat : Pondok Kelapa, Duren Sawit. Jakarta Timur. Pekerjaan pasien : Tidak bekerja

Pekerjaan Ayah : Wiraswasta

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SLTA

Agama : Islam

Klien “IW” menggunakan NAPZA jenis narkotika yaitu shabu dan putaw (opiat). Selain itu, klien “IW” juga menggunakan NAPZA jenis

psikotropika yaitu amphetamine. Klien “IW” mengalami halusinasi dengan

melihat bayangan-bayangan dan mendengar suara-suara aneh, sulit tidur,

emosi tinggi, dan curiga berlebihan. Klien “IW” mendapat diagnosa dual diagnosis (NAPZA-Skizofrenia). Kondisi fisik klien “IW” juga mengalami

mengalami perceraian dan telah memiliki satu orang anak. Latar belakang ekonomi keluarga klien berasal dari keluarga golongan menengah keatas.17

Klien “IW” diintervensi oleh keluarganya ke RSKO. Sebelumnya

klien “IW” sudah pernah menjalani rehabilitasi di RSKO. Klien “IW”

tidak terima diintervensi oleh keluarganya ke RSKO dan sempat melakukan perlawanan kepada petugas RSKO dan keluarganya. Setelah

klien “IW” kembali menjalani rehabilitasi di RSKO, kini klien “IW” sudah menerima keadaannya. Seperti yang diungkapkan oleh klien “IW”:

“Awalnya sih saya enggak terima dibawa kesini, bawaannya tuh curiga terus sama keluarga juga curiga. Sempet ngamuk juga sih dulu.. Akhirnya selama ngejalanin disini saya bawa enjoy aja. Sekarang sih udah enggak apa-apa.”18

Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada saat pertama kali mengikuti kegiatan art therapy bersama pasien dual diagnosis, klien “IW”

terlihat tidak bersemangat. Sebelum memulai kegiatan art therapy tidak

terlihat satupun alat tulis yang klien “IW” bawa. Dari ekspresi raut wajah

klien “IW” nampak mengkhawatirkan sesuatu. Ditanggapi dari pernyataan

klien “IW”: “Sebelum kegiatan perasaan saya bad gitu. Terasa hambar kayaknya ada yang kurang. Kepikiran pengen pulang terus ke rumah.19

Klien “IW” menjalani pemulihan di RSKO selama tiga bulan. Pada saat pertama klien “IW” masuk ke Instalasi rehabilitasi, klien “IW” menjalani detoksifikasi selama satu bulan. Setelah itu klien “IW” dijemput

oleh Konselor untuk menjalani rehabilitasi. Klien “IW” menjalani

rehabilitasi pada fase Special Programme (SP). Pengobatan yang diberikan

17

Studi Dokumen, Buku Rekam Medik Pasien RSKO, Klien “IW”. 18Wawancara Pribadi dengan Klien “IW”, Jakarta 30 April 2014. 19Wawancara Pribadi dengan Klien “IW”, Jakarta 30 April 2014.

oleh RSKO kepada klien”IW” yaitu farmakoterapi, psikoterapi, dan rehabilitasi Therapeutic Communitty (TC) berbasis Rumah Sakit.

Selama menjalani rehabilitasi di RSKO, klien “IW” rutin mengikuti

berbagai kegiatan atau terapi yang sudah dijadwalkan, termasuk rutin mengikuti kegiatan art therapy. Seperti yang diungkapkan oleh klien

“IW”: “Seinget saya setiap kegiatan saya ikutin, tapi saya pernah enggak ikut. Waktu itu saya lagi bersih-bersih jadi enggak bisa ikutan kegiatan

itu. Cuma sekali doang kok. Selebihnya saya ikut terus.”20

Selama kegiatan art therapy berlangsung, penulis melihat klien “IW”

dapat diajak berkomunikasi dengan baik. Ia juga dapat menerima instruksi yang diberikan oleh Pekerja Sosial/Terapis. Hal tersebut juga diungkapkan oleh klien “IW”: “Enggak sulit.. petugas lebih memakai bahasa yang

mudah dicerna. Jadi lebih menyesuaikan karena kita enggak ngerti kalo pakai bahasa medis atau bahasa-bahasa yang berat.”21

Kegiatan yang paling berkesan bagi klien “IW” adalah permainan

dan relaksasi. Alasannya, karena dapat membuat dirinya tertawa lepas dan membuat dirinya menjadi relaks dan lebih tenang. Seperti yang diungkapkan oleh klien “IW”:

“Dulunya saya anggep program art therapy seperti kegiatan untuk anak TK, soalnya banyak permainan gitu tapi lama-lama saya jadi suka. Kalo yang berkesan buat saya, permainan tangkap tupai. Soalnya sangat membuat saya menjadi tertawa lepas. Relaksasi juga saya suka. Bisa ngebawa diri saya jadi enjoy.”

“Art therapy bikin feeling jadi good. Saya jadi merasa lebih

bijak dan merasa diri saya menjadi lebih baik. Senang aja gitu.”22

20Wawancara Pribadi dengan Klien “IW”, Jakarta 30 April 2014. 21

Wawancara Pribadi dengan Klien “IW”, Jakarta 30 April 2014. 22Wawancara Pribadi dengan Klien “IW”, Jakarta 30 April 2014.

Klien “IW” merasa puas dengan adanya kegiatan art therapy di RSKO. Selain itu, banyak manfaat yang bisa ia dapatkan dari kegiatan tersebut. Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh klien “IW”:

“Manfaatnya banyak yaa buat saya. Beberapa diantaranya

feeling saya jadi senang, membantu saya jadi lebih bijak, membuat

Dokumen terkait