• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Aspek Biologi

5.1 Manajemen Perikanan (Fisheries Management)

1. Keberadaan ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai sumber ekonomi utama masyarakat Desa Basaan menjadi begitu penting untuk diperhatikan. Guna mengoptimalkan nilai ekonominya perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya tersebut supaya berkelanjutan. Sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan (Bab 4.5.2), telah diketahui bahwa jumlah tangkapan optimal (catch optimal) ikan target sebesar 66,36 ton. Dari data yang diperoleh, ternyata jumlah tangkapan nelayan Desa Basaan sejak tahun 2002 hingga 2011 belum pernah mencapai 66,36 ton, tetapi jumlah tangkapan mereka semakin menurun dari tahun ke tahun (tahun 2011 hanya 35,71 ton) karena penurunan jumlah ikan target. Kondisi ini didukung oleh data kelimpahan individu ikan target yang menunjukkan penurunan dari tahun 2002-2011. Penyebab penurunan kelimpahan ikan target selain adanya degradasi terumbu karang juga terindikasikan adanya kelebihan tangkap (over exploitation) ikan target. Indikasi kelebihan tangkap ini berdasarkan kenyataan di lapangan yaitu jumlah trip penangkapan yang dilakukan nelayan sejak tahun 2006 (Lampiran 3) sudah diatas trip optimal yaitu 200,08 trip (Tabel 34) serta banyaknya nelayan dari luar Desa Basaan menjadikan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai wilayah penangkapan (fishing groundi), sedangkan data produksi sebagai bahan analisis hanya dari hasil tangkapan nelayan Desa Basaan. Untuk itu perlu kebijakan dari instansi terkait khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Tenggara untuk melakukan pengawasan serta mengeluarkan aturan terhadap kegiatan

penangkapan ikan target di wilayah terumbu karang. Keberhasilan peningkatan tutupan karang hidup akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan ikan target, yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi perikanan ikan target oleh nelayan. Jika kondisi yang ada sekarang dibiarkan, maka diprediksi pada tahun 2013 produksi ikan target hanya sebesar 20,68 ton. Dengan adanya perbaikan kondisi terumbu karang melalui peningkatan tutupan karang hidup maka diprediksi pada tahun 2019 produksi ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mencapai 66,37 ton dengan nilai sebesar Rp. 1.659.250.000 (asumsi harga per kilogram Rp. 25.000).

Gambar 43 Peningkatan produksi ikan target mengikuti peningkatan tutupan karang hidup

2. Guna keberlanjutan fungsi ekologi terumbu karang sebagai wilayahpemijahan, pembesaran dan mencari makan yang menjadi habitat ikan target, diperlukan suatu bentuk pengelolaan secara spasial dan temporal terhadap kegiatan penangkapan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Kebijakan penangkapan perlu diperhatikan terutama di lokasi Pulau Hogow (Stasiun 3) yang telah ditetapkan sebagai wilayah pemijahan. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 4.3.2, di Pulau Hogow terjadi aktivitas pemijahan ikan target pada bulan Pebruari-April dan September-Nopember. Untuk itu pada bulan-bulan tersebut tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan

target di Pulau Hogow, kegiatan penangkapan dikonsentrasikan di Pulau Putus-Putus (Stasiun 4, 5 dan 6). Hal ini dapat dilakukan karena sesuai data kelimpahan ikan target pada tahun 2011, khususnya yang berukuran besar (lebih besar dari 15cm) di Stasiun 4, 5 dan 6 terdapat kurang lebih 20.000 ekor ikan/hektar/tahun atau 18,71 ton/tahun. Kegiatan penangkapan juga, perlu dibatasi pada Stasiun 1 dan 2 dalam hal penggunaan jenis alat tangkap. Dibuat suatu kebijakan untuk tidak menggunakan jaring dengan mata jaring berukuran kecil (lebih kecil dari 20cm), mengingat lokasi ini sebagai lokasi pembesaran dimana banyak terdapat ikan-ikan berukuran kecil. Penggunaan alat tangkap yang baik di lokasi Stasiun 1 dan 2 adalah pancing dengan selektivitas mata pancing untuk menangkap ikan target berukuran relatif besar. Sosialisasi kebijakan perlu disampaikan kepada masyarakat agar mereka dapat memahami pentingnya tidak menangkap ikan di Pulau Hogow pada bulan Pebruari-April dan September-Nopember serta selektivitas alat tangkap di Stasiun 1 dan 2.

Gambar 44 Kegiatan penangkapan dialihkan ke Pulau Putus-Putus pada bulan Pebruari-April dan Oktober-Nopember saat terjadi pemijahan ikan target di Pulau Hogow

Pebruari - April Oktober - Nopember

5.2Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management-ICM) 1. Terkait dengan degradasi ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia

dan alam (seperti yang sudah di jelaskan pada Bab 4.2), maka prioritas utama kebijakan adalah memperbaiki ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Perbaikan ekosistem ini tidak terbatas pada terumbu karang yang rusak tetapi juga menyangkut perilaku pengguna sumberdaya. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, telah diketahui secara spasial wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan (Bab 4.3), maka untuk mengoptimalkan fungsi ekologi terumbu karang, dalam kegiatan rehabilitasi terumbu karang harus memperhatikan fungsi dari masing-masing wilayah tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan fungsi ekologi terumbu karang sebagai wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan adalah dengan melakukan transplantasi karang, dimana jenis karang yang akan ditransplant harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing lokasi (Bab 4.5.1).

Gambar 45 Tutupan karang hidup jika ada transplantasi karang pada 2% wilayah terumbu karang yang kosong per tahun

Dengan kegiatan ini akan meningkatkan tutupan karang hidup dan mengoptimalkan fungsi ekologi terumbu karang. Jika dalam setahun tutupan karang batu dapat ditingkatkan melalui usaha transplantasi dan kemampuan

y = -0,8374x2 + 14,226x + 6,7091

karang itu sendiri dalam aktivitas recovery, makadalam 6 tahun (dimulai tahun 2013) kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan kembali seperti tahun 2002. Selain itu, perilaku pengguna sumberdaya khususnya masyarakat nelayan perlu dipecahkan permasalahan yang mereka alami seperti tingkat pendidikan, konflik wilayah penangkapan, peningkatan teknologi alat tangkap, alternatif mata pencaharian dan kelembagaan (Bab 4.5.4).

2. Sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka untuk mencegah kerusakan ekosistem terumbu karang maka perlu ditetapkan zonasi seperti kawasan konservasi atau zona inti yang berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh lokasinya yaitu Pulau Hogow sebagai daerah pemijahan, kawasan zona penyangga yaitu Stasiun 1 dan 2 Pulau Putus-Putus sebagai daerah pembesaran dan kawasan pemanfaatan yaitu Stasiun 4, 5 dan 6 Pulau Putus-Putus sebagai daerah mencari makan.

Gambar 46 Usulan penentuan zonasi di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus

Zona Inti

Zona Penyanggah

Selanjutnya diatur mengenai jumlah yang boleh dimanfaatkan, kompensasi atas dampak dari pemanfaatan, kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan pemberian ijin yang ketat, sanksi hukum dan mitigasi bencana. Dalam penerapan kebijakan untuk zonasi ini berbeda dengan penerapan zonasi pada kawasan terumbu karang yang lain, dimana jika pada kawasan terumbu karang yang lain zona inti merupakan daerah atau wilayah larang tangkap, maka pada kawasan zona inti ini pelarangan pemanfaatan/penangkapan hanya pada saat ikan memijah yaitu di bulan Pebruari-April dan Oktober-Nopember.

3. Guna keberhasilan pengelolaan berkelanjutan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus maka dalam kebijakan-kebijakan yang akan dibuat perlu memperhatikan hal-hal yang menyangkut persentase penutupan karang (ekologi); waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang dan ketergantungan kepada sumberdaya sebagai sumber nafkah (ekonomi); tingkat pendidikan dan upaya perbaikan kerusakan ekosistem terumbu karang (sosial); tradisi/budaya dan koperasi (kelembagaan); serta teknologi perahu dan teknologi pasca panen (teknologi). Guna mengatasi hal-hal tersebut, tentu diperlukan campur tangan yang besar dari pemerintah karena sangat tidak mungkin menyerahkan pemecahan masalah-masalah tersebut kepada masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah menciptakan mata pencaharian alternatif seperti budidaya ikan karang dengan teknik jaring apung serta melibatkan masyarakat dalam kegiatan wisata sebagai pemandu wisata yang mulai berkembang di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus seperti wisata selam.

123 6.1 Kesimpulan

Optimasi fungsi ekologi-ekonomi ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus berbasis ikan target berserta status keberlanjutan pengelolaannya telah dapat ditelaah. Hasil-hasil penelaahan yang diperoleh sesuai metode yang diterapkan dapat disimpulkan sebagai berikut :

(1) Penentuan wilayah pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) ikan target pada kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan mengetahui distribusi ukuran panjang ikan target berdasarkan pada ukuran pertama matang gonad (length at first maturity). Ditetapkan wilayah terumbu karang Stasiun 3 (Pulau Hogow) sebagai lokasi pemijahan, Stasiun 1 dan 2 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi pembesaran dan Stasiun 4, 5 dan 6 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi mencari makan. Untuk daerah pemijahan Stasiun 3, secara temporal diketahui waktu pemijahan terjadi pada bulan Pebruari hingga April dan bulan September hingga Oktober. (2) Optimasi ekologi memperoleh tiga komponen bentik pemberi kontribusi

terbesar pada kondisi ekologi terumbu karang yaitu karang batu (x1), soft coral (x2) dan algae (x3). model optimasi yang dihasilkan adalah :

Pemijahan : y = -2,5E-15 + 0,56x1 + 0,09x2 - 0,03x3

Pembesaran : y = -2E-16 + 0,45x1 - 0,06x2 - 0,42x3

Mencari makan : y = -8,3E-16 + 0,18x1 + 0,02x2 + 0,22x3

Untuk optimasi ekonomi, stok optimal sebesar 165,44 ton/tahun, produksi optimal sebesar 66,36 ton/tahun, upaya tangkap optimal sebesar 200,08 trip/tahun dan pandapatan optimal sebesar Rp.396.650.224,17 /tahun. (3) Hubungan luasan tutupan karang hidup dan hasil produksi ikan target

selama kurun waktu tahun 2002-2011 diperoleh optimal coral covered area sebesar 66,82 hektar pada tahun 2008, optimal production of target fish sebesar 61,07 ton pada tahun 2007, optimal revenues sebesar Rp. 370.050.000 pada tahun 2011 dan optimal effort sebesar 289 trip pada tahun 2011.

(4) Keberhasilan pengelolaan berkelanjutan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tidak bisa lepas dari peran yang besar dari pemerintah, maka dalam kebijakan yang dibuat perlu memadukan aspek-aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan serta teknologi.

6.2 Saran

Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi hasil penelitian ini dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah dan pihak terkait lainnya yang terintegrasi sehingga program kegiatan dapat dilaksanakan secara terpadu. Perlu dilakukan kegiatan inisiasi, perencanaan dan implementasi, pemantauan dan evaluasi, serta umpan balik pengelolaan terkait dengan bentuk-bentuk pengelolaan di lapangan dan hendaknya dilakukan secara terbuka antar semua pihak yang terkait untuk menjamin akuntabilitas program. Sehingga program pengelolaan yang disusun tidak hanya memperbaiki satu aspek pengelolaan tetapi bersifat lebih terpadu untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan yang ada.

125

Adrianto L. 2004. Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir. Kumpulan working paper tahun 2004. Bogor: PKSPL.

Adrianto L. 2006. Mewujudkan Tata Kelola Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan: Gelombang Ketiga Tata Kelola Kelautan dan Perikanan. Forum Perguruan Tinggi Kelautan dan Perikanan Seluruh Indonesia. Batam. 15 hlm.

Adrianto L. 2010. Model Keterkaitan Mangrove dan Perikanan di Kawasan Estuari: Pendekatan Ekologi-Ekonomi. Paper. Diseminarkan pada Delta Forum Semarang.

Adrianto L, Matsuda Y, Sakuma Y. 2005. Assessing local sustainability of fisheries system: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima prefecture, Japan. Marine Policy 29:9-23.

Allen GR, Steene R. 1996. Indo-Pacific coral reef field guide. Tropical Reef Research, Singapore. 378 hlm.

Baker LP, Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. Jakarta: The Unesco MAP and COMAR Programmes.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia. BAPPENAS Jakarta.

Barbier EB, Mike A, Ducan K. 1997. Economic valuation of wetlands: a guide for policy makers and planners. Ramsar website.

Barbier EB. 2000. The values of wetlands: landscape and institutional perspectives. Valuing the environment as input: review of applications to mangrove-fishery linkages. Ecological Economics 35: 47–61.

Barnes RDK. 1980. Invertebrate Zoology. Holt-Sauders International. 1089 hlm. Beets J. 1997. Can coral reef fish assemblages be sustained as fishing intensity

increases. Proceedings of the 8th International Coral Reef Symposium in Panama 2(2):2009-2014.

Beets J, Rogers C. 2000. Changes in fishery resources and reef fish assemblages in a Marine Protected Area in the US Virgin Islands: the need for a no take marine reserve. Proceeding of the 9th International Coral Reefs Symposium in Bali 1(2):449-454.

Beller WS, Ayala P, Hein P. 1990. Sustainable development and environmental management of small islands. Paris:UNESCO.

Bengen DG. 2000. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Sinopsis PKSPL. Bogor: FPIK IPB.

Bengen DG. 2002a. Ekosistem dan sumber alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Sinopsis PKSPL. Bogor: FPIK IPB.

Bengen DG. 2002b. Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil. Peluang pengembangan investasi pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta.

Bengen DG. 2003a. Realitas ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau kecil. Pelatihan konservasi dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Bengen DG. 2003b. Definisi, batasan dan realitas pulau-pulau kecil. Validasi jumlah pulau-pulau dan panjang garis pantai di Indonesia. Jakarta.

Bengen DG, Retraubun AWS. 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). ISBN 979-98867-2-4

Birkeland C. 2004. Ratcheting down the coral reefs. BioScience 54(11):1021-1027.

Brooks G, Devine B, Larson RA, Rood BP. 2007. Sedimentary developmentof Coral Bay, St. John, USVI: shift from natural to anthropogenic influences. Caribbean Journal of Marine Science 43(2):226-243.

Buanes A, Jentoft S, Maurstad A, Soreng SU, Karlsen GR. 2005. Stakeholder Participation in Norwegian Coastal Zone Planning. Ocean & Coastal Management 48:658–669.

Cesar H. 1996. Economic Analisys of Indonesian Coral Reefs. The World Bank. 23 hlm.

Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. London: Blackwell Science, Ltd. Oxford University Press.

Choat JH, Bellwood DR. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Reef Fishes: Their history and evolution. Sale PF. Eds. Department of Zoology University of New Hamshire Durham. Hlm 39-47.

Chuenpagdee R. Jentoft S. 2009. Governability assessment for fisheries and coastal systems: A reality check. Hum Ecol 37:109–120.

Chuenpagdee R. Kooiman J. Pullin RSV. 2008. Assessing governability in capture fisheries, aquaculture and coastal zones. The Journal of Transdisciplinary Environmental Studies 7:1-2.

Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Washington, DC: Island Press.

Clark J. 1974. Coastal ecosystems: Ecological considerations for management of the coastal zone. Washington DC: The Conservation Foundation.

Constanza R et al. 1997. Introduction to Ecological Economics. Florida: CRC Press.

Dahuri R. 1999. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang Indonesia. [Makalah] Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang, 22-23 Nopember 1999, Jakarta: LIPI.

Dahuri R. 2002. The application of carrying capacity concept for sustainable coastal resources development in Indonesia. Center for Coastal and Marine Resources Studies (CCMRS) Bogor Agricultural University (EPB).

www.pesisir.or.id/iournal/JournalCarrying%20capacity.PDF. [7 September 2002].

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Edisi revisi. Jakarta: Pradnya Paramita. de Boer BA. 1978. Factor influencing the distribution of the damsefish Chromis

cyanea (Poey), Pomacentridae on a reef Curacao, Netherlands Antilles. Bull. Mar. Sci. 28:550-565.

Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey Methods; Living Resources in Coastal Areas. ASEAN-Australia Cooperative Program On Marine Science Handbook. Townsville: Australian Institute of Marine Science. 166 hlm Donner S, Knutson T, Oppenheimer M. 2007. Model-based assessment of the role

of human-induced climate change in the 2005 Caribbean coral bleaching event. Proceedings of the National Academy of Science 104(13):5483-5488 Dorenbosch M, van Riel MC, Nagelkerken I, van der Velde G. 2004. The

relationship of reef fish densities to the proximity of mangrove and seagrass nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Science 60(1):37-48.

Dorenbosch M, Grol MGG, Nagelkerken I, van der Velde G. 2006. Seagrass beds and mangroves as potential nurseries for the threatened Indo-Pacific humphead wrasse, Cheilinus undulatus and Caribbean rainbow parrotfish, Scarus guacamaia. Biological Conservation 129(2):277-282.

Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Bogor : Yayasan Pustaka Nusantara. 160 hlm.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: Mc Graw Publication.

Emor D. 1993. Hubungan Korresponden Antara Pola Sebaran Komunitas Karang dan Komunitas Ikan Di Terumbu Karang Pulau Bunaken [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 95 hlm.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1999. The development and use of indicators for sustainable development of marine capture fisheries.. Technical guidelines for responsible fisheries 08. Roma: FAO.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Ethical issues in fisheries. FAO Ethics Series. Publ. Manag. Serv. FAO. 30 hlm.

Fabricius K. 2005. Effects of terrestrial runoff on the ecology of corals and coral reefs: review and synthesis. Marine Pollution Bulletin 50:125-146.

Falkland A. 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands: a practical guide. Paris:UNESCO.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, Teori Dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan. Teori, Kebijakan Dan Pengelolaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gardner TA, Côté IM, Gill JA, Grant A, Watkinson AR. 2003. Long-term regionwide declines in Caribbean corals. Science 301:958-960.

Garrison VH et al. 2003. African and Asian dust: from desert soils to coral reefs. BioScience 53:469-480.

Glynn PW. 1993. Coral reef bleaching: Ecological perspectives. Coral Reefs 12(1):1-17.

Glynn PW. 1996. Coral reef bleaching: Facts, hypotheses and implications. Global Change Biology 2(6):495-509

Glynn PW, D‟Croz L. 1990. Experimental evidence for high temperature stress as the cause of El Nino-coincident coral mortality. Coral Reefs 8(4):181-191. Glynn PW, Szmant AM, Corcoran EF, Cofer-Shabica SV. 1989. Condition of

coral reef cnidarians from the northern Florida reef tract: Pesticides, heavy metals, and histopathological examination. Marine Pollution Bulletin 20(11):568-576.

Gratwicke B. Petrovic C. Speight MR. 2006. Fish distribution and ontogenetic habitat preferences in non-estuarine lagoons and adjacent reefs. Environ Biol Fish 76:191–210

Hardle W, Simar L. 2007. Applied multivariate statistical analysis. Second Edition. Berlin Heidelberg: Springer.

Hein PL. 1990. Economic problems and prospects of small islands. Di dalam: Beller W, d‟Ayala P and Hein P, editor. Sustainable development and environmental management of small islands. UNESCO, Paris. Hlm 35-42. Hoegh-Guldberg O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the

world‟s coral reefs. Marine and Freshwater Research 50(8):839-866.

Hughes TP. 1994. Catastrophes, phase shifts, and large-scale degradation of a Caribbean coral reef. Science 265(5178):1547-1551

Hughes TP et al. 2003. Climate change, human impacts, and the resilience of coral ceefs. Science 301(5635):929-933

Hughes TP et al. 2007. Phase Shifts, Herbivory, and the Resilience of Coral Reefs to Climate Change. Current Biology 17(4):360-365.

Hutabarat AA, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bogor: Departemen Kehutanan Indonesia dan Korea International Cooperation Agency SECEM.

Hutomo M, Suharti SR, Harahap IH. 1988. Spatial Variability In The Chaetodontid Fish Community Structure Of Sunda Strait Reefs. Proceeding of The Regional Symposium On Living Resources In Coastal Areas. Marine Science Institute, University Of The Philippines. Hlm 151-162. Jackson JBC et al. 2001. Historical overfishing and the recent collapse of coastal

ecosystems. Science 293(5530):629-638.

Jones GP. 1991. Postrecrutment processes in the ecology of coral reef fish population : A multivactorial perspective. The ecology of fishes on coral reefs. New Hampshire: Sale P.F. ed. Hlm 294-328

Jentoft S. Van Son TJ. Bjørkan M. 2007. Marine protected areas: a governance system analysis. Hum Ecol 35:611–622.

Kadison E, Nemeth R, Herzlieb S, Blondeau J. 2006. Temporal and spatial dynamics of Lutjanus cyanopterus and L. jocu (Pisces: Lutjanidae) spawning aggregations on a multi-species spawning site in the USVI. Revista Biologia Tropical 54(s3):69-78

Kenchington RA, Hudson BET. 1984. Coral reef management handbook. Jakarta: UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East Asia. Knowlton N. 2001. The future of coral reefs. Di dalam: Proceedings of the

National Academy of Science. Hlm 5419-5425.

Kooiman J. Bavinck M. Chuenpagdee R. Mahon R. Pullin R. 2008. Interactive Governance and Governability: An Introduction. The Journal of Transdisciplinary Environmental Studies 7:1-8.

Kuiter RH.1992. Tropical Reef-Fishes of The Western Pasific (Indonesia and Adjacent Water). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kusumastanto T. 2000. Valuasi ekonomi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. [Makalah] Pelatihan untuk pelatih pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor: PKSPL.

La Mesa G. Micalizzi M. Giaccone G. Vacchi M. 2004. Cryptobenthic fishes of the „„Ciclopi Islands‟‟ marine reserve (central Mediterranean Sea): assemblage composition, structure and relations with habitat features. Marine Biology 145: 233–242.

Lalamentik, LTX. 1985. Karang Batu Di Daerah Rataan Pantai Timur Pulau Bunaken; Identifikasi, Kepadatan, Pola Penyebaran, dan Keragaman [tesis]. Manado: Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi.

Lalamentik, LTX. 1996. Studi Potensi Terumbu Karang Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen Sulawesi Utara. Manado: Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi.

Levitus S, Antonov JI, Boyer TP, Stephens C. 2000. Warming of the world ocean. Science 287(5461):2225-2229.

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology; Primer on Methods and Computing. Singapore: John Wiley & Sons.

Manzello DP et al. 2007. Hurricanes benefit bleached corals. Proceedings of the National Academy of Science 104(29):12035-12039.

Miller J, Waara R, Muller E, Rogers C. 2006. Coral bleaching and disease combine to cause extensive mortality on reefs in US Virgin Islands. Coral Reefs 25(3):418.

Morinière C de la, Pollux BJA, Nagelkerken I, van der Velde G. 2002. Post-settlement Life Cycle Migration Patterns and Habitat Preference of Coral Reef Fish that use Seagrass and Mangrove Habitats as Nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Science 55(2):309-321.

Nakamura Y, Kawasaki H, Sano M. 2007. Experimental analysis of recruitment patterns of coral reef fishes in seagrass beds: Effects of substrate type, shape, and rigidity. Estuarine, Coastal and Shelf Science 71(3-4):559-568. Nakamura Y, Tsuchiya M. 2008. Spatial and temporal patterns of seagrass habitat

use by fishes at the Ryukyu Islands, Japan. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76(2):345-356.

Nagelkerken I, van der Velde G, Gorissen MW, Meijer GJ, Van't Hof T, den Hartog C. 2000. Importance of Mangroves, Seagrass Beds and the Shallow Coral Reef as a Nursery for Important Coral Reef Fishes, Using a Visual Census Technique. Estuarine, Coastal and Shelf Science 51(1):31-44. Nazir M. 1988. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nemeth RS. 2005. Population characteristics of a recovering US Virgin Islands red hind spawning aggregation following protection. Marine Ecology Progress Series 286:81-97.

Nemeth RS, Kadison E, Herzlieb S, Blondeau J, Whiteman E. 2006. Status of a yellowfin grouper (Mycteroperca venenosa) spawning aggregation in the US Virgin Islands with notes on other species. Proceedings of the 57th Gulf and Caribbean Fish Institute in St. Petersburg, FL 57:543-558.

Nemeth RS, Nowlis JS. 2001. Monitoring the effects of land development on the