BAB I. PENDAHULUAN
1.5 Manfaat Penelitian
1) Menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan serta bahan dalam penerapan ilmu metode penelitian, khususnya mengenai implementasi wilayah bebas korupsi di lingkungan pemerintahan.
2) Dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Dapat dijadikan sebagai bahan acuan pemerintah atau instansi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui Pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Implementasi Kebijakan
Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab,2008:65) Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier mengatakan bahwa Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian- kejadian dan kegiatan - kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman- pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.Menurut Dunn (2003) implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan,2003) implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.
Rippley dan Franklin (dalam Dunn,2003) juga berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan, atau suatu jenis keluaran yang nyata. Istilah implementasi tersebut merujuk pada tujuan tujuan program dan hasil hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.
2.1.1 Model Implementasi Kebijakan Randall B. Rippley dan Grace Franklin
Dalam mengkaji suatu proses pelaksanaan kebijakan atau program maka dapat dilakukan berbagai model pendekatan kebijakan. Dalam penelitian Implementasi Pembangunan Zona Integritas di Kementrian Agama Medan peneliti memakai model implementasi kebijakan Rippley dan Franklin.
Pandangan Ripley dan Franklin (dalam Parsons,2005 dan Alfatih,2010) bahwa untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan perlu didasarkan pada tiga aspek, yaitu:
1. Tingkat kepatuhan (baik tingkat kepatuhan bawahan kepada atasan, atau kepatuhan implementor terhadap peraturan) dalam mengimplementasikan sebuah program. Kepatuhan tersebut mengacu pada perilaku implementor itu sendiri sesuai dengan standar dan prosedur serta aturan yang ditetapkan oleh kebijakan. Implementasi kebijakan akan berhasil apabila para implementornya mematuhi aturan- aturan yang diberikan. Berdasarkan hal tersebut terdapat 2 indikator dalam pendekatan kepatuhan:
a. Perilaku Implementor
b. Pemahaman Implementor terhadap Kebijakan 2. Kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan
Pendekatan ini melihat bagaimana implementasi berlangsung serta untuk melihat faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi suatu program Ripley dan Franklin menjelaskan ada 5 indikator dalam menjelaskan pendekatan ini. Seperti yang terdapat dalam buku Policy Implementation and Bureaucracy antara lain :
a. Banyaknya Aktor yang Terlibat(The Profusion of Actors)
Proses implementasi melibatkan banyak aktor. Dengan kata lain, semakin kompleks suatu program yang dijalankan oleh pemerintah, maka semakin banyak aktor yang terlibat. Pelaksana kebijakan harus
memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan menghambat pelaksanaan kebijakan.
b. Kejelasan Tujuan(The Multiplicity and Vagueness of Goals)
Kejelasan dan konsistensi tujuan dapat dipahami sebagai kejelasan isi kebijakan. Semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan, maka kebijakan tersebut akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata, sebaliknya ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.
c. Perkembangan dan Kerumitan Program(The Proliferation and Complexity of Government Programs)
Kerumitan program dilihat dari tingkat kerumitan aturan program yang bersangkutan. Dinamisnya petunjuk pelaksanaan yang dibuat akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya program diimplementasikan.
d. Partisipasi pada Semua Unit Pemerintahan(The Participation of Governmental Units at All Territorial Levels)
Partisipasi pada semua unit pemerintahan yang dimaksud adalah partisipasi dari semua aktor yang terlibat dalam implementasi program tersebut.
e. Faktor-Faktor yang Tidak Terkendali yang Mempengaruhi Implementasi(The Uncontrollable Factors That All Affect Implementation)
Faktor yang tidak terkendali ini yaitu apakah ada faktor-faktor di luar teknis (yang telah melampaui batas kontrol dari implementor) yang secara tidak langsung berhubungan dengan pengimplementasian program, sehingga dapat menghambat, bahkan menggagalkan implementasi program yang telah dirancang sebelumnya.
3. Terwujudnya dampak yang diinginkan
Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki dari semua program-program yang dikehendaki. (dalam Haedar, Jurnal Administrasi Publik:Volume 1 (Nomor 1) tahun 2010). Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program.
Oleh karena itu, dilihat dari perspektif perilaku, kepatuhan kelompok sasaran, banyaknya aktor yang terlibat, kejelasan tujuan, perkembangan dan kerumitan program, partisispasi pada semua unit pemerintahan, faktor-faktor yang tidak terkendali yang terkait dengan implementasi, dan terwujudnya dampak yang
diinginkan merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi model implementasi kebijakan Rippley dan Franklin karena variabel yang ditawarkan oleh kedua ahli tersebut bisa melihat masalah lebih dalam dan menjawab permasalahan penulis dalam Implementasi Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani di Kementrian Agama Kota Medan.
2.2 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Pembangunan Zona Integritas merupakan bagian dari pembaharuan tata pemerintahan Indonesia ke arah yang lebih baik. Tata kelola pemerintahan yang baik berarti terdapat kualitas pelayanan publik yang semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan masyarakat sejalan dengan pengertian good governance menurut World Bank dan OECD adalah penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif (dalam Serdamayanti,2003). Selain itu good governance juga dapat menciptakan segala urusan publik yang efektif seperti menurut Robert Charlick (dalam Santosa,2008) mengatakan bahwa good governance adalah pengelolaan semacam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan. Sejalan dengan pemikiran itu Sumarto juga memberikan makna good governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara
pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah- masalah publik (Sumarto,2003).
Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dari dalam menjelaskan konsep good governance maka tidak mengherankan jika kemudian terdapat banyak pemahaman yang berbeda-beda mengenai good governance ini.
Namun secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik good governance menurut Dwiyanto(2008) antara lain : Pertama, praktik good governance harus memberi ruang kepada aktor lembaga non-pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan non-pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Kedua, dalam paktik good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai tersebut seperti efesiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai penting.
Ketiga, praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta berorientasi pada kepentingan publik.
Terdapat beberapa prinsip dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik seperti disampaikan oleh Santosa (2008) diantaranya :
1. Partisipasi Masyarakat (Participation), setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan/kebijakan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi masyarakat ini bermaksud menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat.
2. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law), kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparansi (Tranparency), transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat dipahami dan dapat dimonitor. Jadi semua tindakan pemerintah harus terbuka dan mudah diakses.
4. Daya Tanggap (Responsiveness), setiap lembaga-lembaga pemerintahan harus melayani setiap pihak dengan tanggap yang berkepentingan demi terciptanya good governance.
5. Berorientasi pada Konsensus (Consensus Orientation), berperran sebagai penengah atau perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur
6. Kesetaraan (equity), seluruh warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Efektivitas dan Efisiensi (effectiveness and efficiency), segala proses dan lembaga yang diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan dan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki sehingga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat.
8. Akuntabilitas (accountability), para pembuat keputusan dalam pemerintahan atau para pejabat, sektor swasta, dan masyarakat madani bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga yang telah memberinya wewenang dalam mengurus mereka. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Visi Strategi (Strategic Vision),pandangan strategis ke depan dalam menghadapi berbagai masalah. Pemimpin dan pejabat publik harus mampu melihat ke masa yang akan datang dalam pengembangan manusia yang luas dan sejalan dengan yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah suatu penyelenggaraan pemerintahan yang solid memungkinkan adanya pembagian peran antara pemerintah dengan lembaga non-pemerintah serta partisipasi dari masyarakat untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih efektif dan efisien serta terwujudnya partisipasi, transparansi, penegakan hukum, daya tanggap dan akuntabilitas publik. Akan tetapi ada perspektif lain yang berbeda dari seorang ahli Gabriel Lele yang berargumen bahwa perwujudan good governance membutuhkan tipikal kapasitas tertentu seperti akuntabilitas, transparansi dan lain-lain akan tetapi
terdapat kapasitas yang selama ini cenderung diabaikan atau hanya mendapatkan perhatian minor yaitu kapasitas etika. Lebih lanjut Gabriel menjelaskan bahwa etika merupakan roh penggerak penyelenggaraan pemerintahan dan urusan publik.
Karena good governance pada hakekatnya bergerak pada level proses sebagai salah satu instrumen penting untuk memperbaiki potret sektor publik, maka peningkatan kapasitas etika pegawai negeri sipil harus mendapatkan perhatian serius(dalam Kumorotomo & Ambar,2010:25-27). Tidak berbeda jauh dari pendapat ahli tersebut Serdamayanti juga mengatakan agar kepemerintahan yang baik (good governance) dapat menjadi kenyataan dan berjalan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat, good governance yang efektif menuntut adanya
‘alignment”(koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi(Serdamayanti,2003). Dari pengertian ini, seorang pejabat publik atau birokrat harus memilki etika dan integritas atau komitmen dalam melaksanakan pelayananannya sehingga terhindar dari KKN.
Secara lebih konkrit Kartasasmita (l996: 26-7) menjelaskan masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan (concern) yang sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya; tetapi masyarakat banyak.
Disamping itu birokrasi bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat menurut Lewis dan Catron
“public service is a public trust”artinya peranan pemerintah dalam pelayanan masyarakat merupakan peranan kepercayaan masyarakat(dalam Muhammad,2016). Jadi wajar jika rakyat mengharap adanya jaminan bahwa para
birokrat yang dibiayai oleh negara harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan kedudukannya.
Etika Birokrasi menurut Haryatmoko (2011:3) adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggungjawab pelayanan publik. Selain itu Darwin (dalam Sinambela,2010) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi.
Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai fungsi, yaitu sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, akuntabilitas dan transparansi.
Prinsip dasar dalam etika administrasi publik yaitu apa yang baik dan buruk bukan benar dan salah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan publik. Seperti disampaikan Kartasasmita (dalam Rohman, dkk:
2010: 25-27) ada dua pendekatan dalam etika pelayanan publik yaitu : a) Pendekatan Teleologi
Pendekatan teleologi dalam etika berdasarkan apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat publik. Pendekatan ini memiliki acuan utama yaitu nilai kemanfaatan yang diperoleh. Penilaian baik dan buruk didasarkan atas konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam kaitannya dengan pelayanan publik pendekatan teleologis misalnya mengukur pencapaian sasaran kebijakan publik, seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan.
b) Pendekatan Deontologi
Pendekatan ini lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan, karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pendekatan ini lebih melihat moral masing-masing individu, pelayanan publik akan beretika jika diisi oleh orang-orang yang mau dan mampu menegakkan prinsip-prinsip moral. Mewujudkan pendekatan ini dalam manajemen pelayanan publik tidaklah mudah. Namun, jika sudah melembaga dalam pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi akan dapat menjadi teladan.
Dari kedua pendekatan tersebut maka seorang birokrat atau pejabat publik harus memiliki nilai-nilai atau kode etik dalam melaksanakan tugasnya, berkaitan dengan nilai-nilai terebut Waldo dalam “The Enterprise of Public Administration”, menyatakan bahwa petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban etis. Oleh karena itu, setiap petugas administrasi pemerintahan wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kewajiban moral, kemudian membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu dalam melaksanakan tugasnya. Waldo mengemukakan berbagai asas etis (Sukidin, 2011: 26-29) yang pokok dalam administrasi pemerintahan, yaitu:
1. Pertanggungjawaban (responsibility)
Asas etis ini menyangkut hasrat petugas untuk merasa memikul kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan, dan dengan cara paling memuaskan pihak yang menerima pertanggungjawaban.
Pertanggungjawabannya itu tertuju kepada rakyat umumnya, instansi pemerintahnya, maupun pihak atasan langsung.Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab atau
keinginan untuk melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain atau pun kebiasaan mengajukan dalih “hanya melaksanakan perintah” (just following orders), harus dihilangkan dari diri setiap aparatur pemerintah. Dengan demikian setiap petugas administrator pemerintahan harus siap untuk memikul pertanggung jawaban mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah.
2. Pengabdian (dedication)
Pengabdian merupakan suatu keinginan untuk menjalankan tugas-tugas pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran atau mental dan fisik), seluruh semangat kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa yang bersifat pribadi, misalnya ingin cepat naik pangkat atau diberi tanda jasa. Setiap petugas dalam administrasi pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus selalu dan terus menerus menunjukkan keterlibatan diri (involvement of selself) dan penuh antusiasme. Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi, tidak boleh ada dalam diri setiap petugas yang baik.
Pengabdian itu terarah pada jabatannya, keahliannya, dan bidang profesinya.
3. Kesetiaan (loyality)
Kesetiaan merupakan suatu kebajikan moral, yaitu sebagai kesadaran seseorang petugas untuk setulusnya patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi Negara, peraturan perundang-undangan, badan/instansi, tugas/jabatan, maupun atasan demi tercapainya cita-cita bersama yang diharapkan. Pelaksanaan tugas pekerjaan dengan ukuran rangkap, pertimbangan untung-rugi, atau bahkan dengan kebiasaan sabotase, tidak dikenal dalam setiap petugas yang baik.
Kalau seorang petugas tidak dapat menjalankan tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan, tidak bersedia terikat patuh pada badan/instansinya, atau tidak merasa cocok dengan kebijakan pihak pimpinannya, maka tindakan etis adalah mengundurkan diri dari jabatannya.
4. Kepekaan (sensitivity)
Asas etis ini mencerminkan kemauan dari kemampuan seseorang petugas untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru, situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi secara sebaik-baiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai atau tidak mau susah payah melakukan pembaharuan harus disingkirkan dari setiap petugas administrasi pemerintahan yang baik.
5. Persamaan (equality)
Salah satu kebajikan pokok dari badan pemerintahan yang bertujuan mengabdi kepada seluruh rakyat dan melayani
kepentingan umum ialah perlakuan adil. Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan dengan memberikan perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak.
Persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian harus diberikan oleh setiap petugas kepada publik tanpa memandang hubungan kerabat, ikatan politik, asal-usul keturunan, atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan secara semena-mena atau berdasarkan kepentingan pribadi, tidak boleh dilakukan oleh petugas administrasi pemerintahan yang adil.
6. Kepantasan (equity)
Persamaan perlakuan terhadap semua pihak sebagai suatu asas etis, tidak selalu mencapai keadilan dan kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam masyarakat sangat beraneka ragam, sehingga memerlukan perbedaan perlakuan asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Demikian pula, sesuatu faktor khusus atau situasi tertentu dapat membuat persamaan yang ketat menjadi suatu perlakuan yang tidak adil.
Dengan demikian terhadap suatu kelompok tertentu dan untuk suatu keadaan tertentu, perlu diberikan perlakuan yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan berdasarkan kondisi khusus yang berlainan, mungkin perlu ada perlakuan yang tidak sama. Untuk itu, asas yang harus diindahkan ialah kepantasan yang juga merupakan salah satu makna keadilan. Asas kepantasan mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Dalam menjalankan nilai-nilai tersebut, maka sangat dibutuhkan komitmen atau integritas dari seorang pejabat publik. Integritas berasal dari bahasa Latin yang sama seperti halnya kata integer dan secara historis telah dipahami mengandung arti yang sama, yakni arti utuh : orang yang berintegritas, seperti sebuah angka yang utuh, adalah sebuah pribadi yang utuh, seorang pribadi yang entah bagaimana tak terpecah-pecah (Carter,1999). Lebih lanjut Carter menyederhanakan kata integritas dengan istilah yang membutuhkan tiga langkah yaitu : Pertama, membedakan apa yang benar dan apa yang salah artinya menangkap gagasan integritas sebagai sesuatu yang menuntut derajat perenungan moral seseorang. Kedua, melaksanakan apa yang telah anda kaji, bahkan bila menderita dan rugi sendiri artinya hal ini membawa masuk cita-cita seseorang
untuk memiliki integritas sebagai orang yang teguh. Ketiga, mengatakan secara terbuka bahwa seseorang sedang melaksanakan seseuatu berdasarkan pemahamannya mengenai apa yang salah dan apa yang benar artinya bahwa seseorang yang memiliki integritas tidak malu melakukan hal yang benar (Carter,1999). Dari pendapat tersebut integritas diartikan sebagai seseorang yang memiliki nilai yang kokoh dan tidak mampu digoyahkan oleh hal apapun dalam melakukan suatu kebenaran.
Sementara itu Haryatmoko juga memberikan istilah “integritas” biasanya dikontraskan dengan “korupsi” dimana korupsi dipahami sebagai ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan.
Menurut Haryatmoko, Integritas publik adalah kualitas perilaku seseorang atau organisasi yang sesuai dengan nilai-nilai, standar, dan aturan moral yang diterima oleh anggota organisasi dan masyarakat(Haryatmoko,2011). Kemudian Fleishman (dalam Haryatmoko,2011) melihat integritas sebagai kejujuran dan kesungguhan untuk melakukan yang benar dan adil dalam setiap situasi sehinggga mempertajam keputusan dan tindakannya dalam kerangka pelayanan publik. Dari defenisi tersebut diatas Haryatmoko menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor dan cara mengukur integritas publik antara lain:
1. Visi, perilaku, dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai atau standar etika, artinya jujur sepenuh hati menjalankan pelayanan publik.
2. Bersikap adil dan responsif terhadap kebutuhan publik.
3. Kompeten untuk menepati janji dan kewajiban terhadap tanggunjawab jabatannya demi kepentingan publik karena menghormati hak-hak warga negara
Dengan demikian integritas publik merupakan komitmen atau nilai yang harus dimiliki seeorang dalam melakukan sesuatu yang benar tanpa ragu
melakukannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik sehingga mencegah pejabat publik dari bentuk pelanggaran terhadap integritas publik yang meliputi KKN.
2.3 Pelayanan Publik Yang Bebas Korupsi dan Bersih Melayani
Pelayanan publik (public service) adalah suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas –fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini suatu
Pelayanan publik (public service) adalah suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas –fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini suatu