• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi yaitu untuk mengetahui pengaruh Citra merek dan Locus Of Control terhadap Pembelian impulsif pada konsumen yang berbelanja di Toko daring Zalora

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi produsen Toko daring Zalora untuk mengetahui pengaruh Citra merek dan Locus of control terhadap Pembelian impulsif pada konsumen yang berbelanja di toko mereka. Produsen diharapkan mampu lebih memahami tentang pentingnya membangun serta meningkatkan Citra Merek pada Toko daring Zalora guna memberikan kesan positif dan tentunya income bagi produsen.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembelian Impulsif

2.1.1 Definisi Pembelian impulsif

Rook (dalam Verpalnaken, 2001) mendefinisikani Pembelian impulsif sebagai pembeliani yang tidaki rasional dan pembelian yang cepat serta tidak direncanakan, diikuti dengan adanya konflik fikiran dan dorongan emosional.

Dorongan emosional tersebut berhubungan dengan adanya perasaan yang mendalam yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk membelii suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negatif, merasakan kepuasan dan mengalami konflik didalam pemikiran.

Pembelian impulsif adalah suatu kondisi yang terjadi ketika seseorang mengalami perasaan terdesak secara tiba-tiba yang tidak dapat dilawan atau dihindari. Kecendrungan untuk membeli secara spontan ini umumnya dapat menghasilkan pembelian ketika konsumen percaya bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar (Solomon, 2011)

Selaini itu menuruti Sumarsonoi (dalam Septila 2017) Pembelian impulsif ialahi perilaku membeli yang tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk memenuhi hasrat dan konsep diri serta tuntutan gaya hidup. Penyebab dari kemunculan kondisi seperti ini adalah adanya stimulus lingkungan yang membangkitkan dan mengoptimalkan fungsi hasrat tersebut. Namun terkadang pembelian yang didasari oleh hasrat justru

menghilangkan pengendalian diri sehingga terjadinya pembelian yang seharusnya tidak dilakukan.

Pembelian yang terjadi ketika konsumen melakukan pembelian dengan sedikit pertimbangan atau bahkan tidak ada sama sekali dikarenakan adanya perasaan mendesak secara tiba-tiba yang memunculkan keinginan untuk memiliki atau merasa membutuhkan benda tersebut juga dikenal sebagai Pembelian impulsif (Hawkins dalam Septila, 2017).

Hirschman & Stern (dalam Manggiasih, 2016), mendefinisikan impulsif buying sebagai kecendrungan konsumen untuk melakukan pembelian secara spontan, tidak terefleksi, terburu-buru dan disorong oleh aspek psikologis emosional terhadap suatu produk serta tergoda oleh persuasi dari pemasar. Selanjutnya menurut Mowen dan Minor (dalam Manggiasih, 2016) juga mendefinisikan Pembelian impulsif sebagai suatu tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko.

Selanjutnya menurut Huang & Hsieh (dalam Ramadhan 2018), mendefinisikan Pembelian impulsif sebagai dorongan tanpa henti untuk membeli secara langsung. Pembelian impulsif dipicu tidak hanya oleh rangsangan internal motivasi hedonis dan keterlibatan produk, tetapi oleh rangsangan eksternal seperti lingkungan dan pemasaran belanja komunikasi.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli tersebut, maka peneliti menyimpulkan Pembelian impulsif ialah suatu perilaku

membeli yang dilakukan tanpa adanya rencana, dilakukan secara mendadak dan tanpa pemikiran matang untuk memnuhi hasrat atau tuntutan gaya hidup.

2.1.2 Aspek-aspek Pembelian Impulsif

Verplanken dan Herabadi (dalam Henrietta, 2015) mengatakan bahwa terdapat dua aspek penting dalam pembelian impulsif, yaitu:

a. Kognitif (Cognitive)

Aspek ini fokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu yang meliputi:

1. Kegiatan pembelian yang dilakukan tanpa pertimbangan harga suatu produk.

2. Kegiatan pembelian tanpa mempertimbangkan kegunaan suatu produk.

3. Individu tidak melakukan perbandingan produk.

b. Emosional (Affective)

Aspek ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi:

1. Adanya dorongan perasaan untuk segera melakukan pembelian 2. Adanya proses pembelian yang dilakukan tanpa perencanaan

3. Adanya perasaan kecewa yang muncul setelah melakukan pembelian

Sedangkan menurut Menurut Rook dan Fisher (dalam Kharis, 2011), pembelian impulsif memiliki beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:

a. Spontanitas

Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga, serta sering menjadi respon terhadap stimulasi visual langsung ditempat penjualan.

b. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas

Adanya motivasi untuk mengesampingkan semua hal dan bertindak dengan seketika.

c. Kegairahan dan stimulasi

Adanya desakan secara mendadak untuk membeli barang dan disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai menggairahkan, menggetarkan atau liar.

d. Ketidakpedulian akan akibat

Desakan untuk membeli barang menjadi sulit untuk ditolak sehingga akibat negatif sering diabaikan.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pembelian Impulsif

Menurut Loudon & Bitta (dalam Septia & Aprilia, 2017) faktor-faktor yang dapat memengaruhi munculnya Pembelian impulsif, di antaranya yaitu:

karakteristik produk, karakteristik pemasaran, dan karakteristik konsumen.

a. Karakteristik produk, setiap produk memiliki karakteristik yang berbeda- beda, dan setiap produsen selalu berusaha menciptakan produk yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga konsumen memiliki persepsi khusus terhadap produk tersebut. Karakteristik produk ini meliputi: 1) memiliki harga yang rendah, 2) ukurannya kecil dan ringan, serta 3) mudah disimpan.

b. Karakteristik pemasaran, yang meliputi distribusi dalam jumlah banyak outlet yang self service, iklan melalui media massa yang sangat sugestibel dan terus menerus, iklan dititik penjualan, posisi display dan lokasi toko yang menonjol.

c. Karakteristik konsumen seperti kepribadian, jenis kelamin, sosial demografi atau karakteristik sosial ekonomi, yang merupakan karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang. Kepribadian didalamnya mencangkup kontrol diri, yakni pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang.

Selain itu menurut Thai (dalam Shofwan, 2010) faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif ialah:

a. Kondisi mood dan emosi konsumen. Keadaan mood konsumen dapat mempengaruhi perilaku konsumen, misalnya kondisi mood konsumen yang sedang senang atau sedih. Pada konsumen yang memiliki mood negatif, pembelian impulsif lebih tinggi dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kondisi mood yang negatif (Verplanken & Herabadi, 2002).

b. Pengaruh lingkungan. Orang-orang yang berada dalam kelompok yang

memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi akan cenderung terpengaruh untuk melakukan pembelian impulsif juga.

c. Kategori produk dan pengaruh toko. Produk-produk yang cenderung dibeli secara impulsif adalah poduk yang memiliki tampilan menarik (bau yang menyenangkan, warna yang menarik), cara memasarkannya, tempat dimana produk itu dijual. Tampilan toko yang menarik akan lebih menimbulkan dorongan pembelian impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001).

d. Variabel demografis seperti kondisi tempat tinggal dan status sosial.

Konsumen yang tinggal di kota memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi daripada konsumen yang tinggal di daerah pinggiran kota.

e. Variabel kepribadian individu, memiliki pengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001).

2.2 Citra merek

2.2.1 Definisi Citra merek

Sebelum menjelaskan definisi dari Citra merek itu sendiri, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai brand (merek) dikarenakan setiap produk yang beredar dipasaran memiliki brand, dimana brand tersebut berfungsi sebagai pembeda antara satu produk dengan produk yang lain.

Menurut America Marketing Association (dalam Kotler, 2012) brand merupakan nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa penjual

atau kelompok penjual dan untuk mendeferensiasikannya. Secara umum image dapat dideskripsikan dengan karakteristik-karakteristik tertentu seperti manusia, semakin positif deskripsi tersebut maka semakin kuat citra merek dan semakin banyak kesempatan bagi pertumbuhan merek tersebut (Davis, 2000).

Maka dari itu Citra merek ialah persepsi dan keyakinan yang dilakukan oleh konsumen, seperti tercermin dalam asosiasi yang terjadi dalam memori konsumen.

Surachman (dalam Musay, 2016) mendefinisikan citra merek sebagai bagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat dijelaskan, seperti lambang, desain huruf, warna khusus, atau persepsi pelanggan atas sebuat produk atau jasa yang diwakili oleh mereknya Dapat juga dikatakan bahwa citra merek merupakan konsep yang diciptakan oleh konsumen karena alasan subyektif dan emosi pribadinya.

Selain itu Citra merek didefinisikan sebagai representasi dari keseluruhan persepsi terhadap merek dan dibentuk dari informasi dan pengalaman masa lalu terhadap merek itu. Citra terhadap merek berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap suatu merek.

Konsumen yang memiliki citra yang positif terhadap suatu merek akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian (Setiadi, 2013).

Citra merek juga berkaitan dengan asosiasi dengan brand karena ketika kesan-kesan brand yang muncul dalam ingatan konsumen meningkat disebabkan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi

atau membeli brand tersebut. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal, adanya asumsi bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari serta memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal lebih sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak terkenal (Aaker dalam Indasari, 2016).

Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa citra merek merupakan suatu keyakinan pada suatu nama.

Symbol, design dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu merek yang diperoleh berdasarkan informasi tentang fakta-fakta yang kemudia menggunakan merek tersebut, sehingga kesan yang muncul ini relative jangka panjang yang terbentuk dalam benak konsumen.

2.2.2 Aspek-aspek Citra merek

Menurut pendapat Keller (2009) pengukuran citra merek adalah subjektif, yang artinya tidak ada ketentuan baku untuk pengukuran citra merek.

Pengukuran citra merek dapat dilakukan berdasarkan pada aspek sebuah merek, yaitu strengthness, uniqueness, dan favorable.

a. Strengthness (Kekuatan)

Strengthness dalam hal ini adalah keunggulankeunggulan yang dimiliki oleh sebuah merek yang bersifat fisik dan tidak ditemukan pada merek pesaing lainnya. Keunggulan merek ini mengacu pada atribut-atribut fisik atas merek tersebut sehingga biasa dianggap sebagai sebuah kelebihan

dibandingan dengan merek pesaing lainnya. Yang termasuk dalam kelompok strengthness ini antara lain, penampilan fisik produk, kualitas yang dimiliki semua fasilitas produk, harga produk dibandingkan dengan produk lainnya, maupun penampilan fasilitas pendukung dari produk tersebut.38 Sebuah organisasi harus mampu mengetahui kekuatan tentang produk atau layanan yang dimilikinya, sehingga hal tersebut dapat memudahkan dalam membangun citra yang positif

b. Uniqueness (Keunikan)

Keunikan adalah kemampuan untuk membedakan sebuah merek diantara merek lainnya. Keunikan ini muncul dari atribut produk yang menjadi kesan unik atau diferensiasi antara produk satu denganproduk lainnya yang memberikan alasan bagi konsumen bahwa mereka harus membeli produk tersebut. Perusahaan harus bisa membuat produk mereka unik dan beda dengan produk pesaing. Contohnya, dengan cara yang sama konsumen akan mengekspektasikan bahwa sebuah pedagang online akan melayani mereka dengan segala kemudahan, variasi layanan, cara pilihan pengiriman, prosedur pembelian yang aman, pelayanan konsumen yang bertanggung jawab, pedoman privasi yang ketat, dan berbagai hal lainnya yang diharapkan konsumen adalah yang paling baik dan berbeda dibandingkan dengan pedagang online lainnya.

Singkatnya, untuk membuat produk berbeda dari yang lain, pemasar harus membuat dan memastikan hal-hal dalam produk yang kuat

(strength) dalam merek agar merek tidak hanya disukai (favorable) tapi juga memiliki keunikan dan berbeda dengan merek pesaingnya. Yang termasuk dalam kategori unik ini adalah hal berbeda yang paling dominan dalam sebuah produk dengan produk pesaingnya, variasi layanan, variasi harga, fisik produk itu sendiri seperti fitur produk dan variasi produk yang tersedia, penampilan atau nama yang unik dari sebuah merek yang memberikan kesan positif, cara penyampaian informasi kepada konsumen, pedoman privasi yang ketat dari perusahaan, serta prosedur pembelian yang terjamin Keunikan sebuah produk atau layanan tak lepas dari kreatifitas organisasi atau lembaga yang memproduksinya. Oleh sebab itu, keunikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam memasarkan produk atau jasa. Sebab dengan adanya keunikan yang berbeda dengan pesaing-pesaing yang lain, tentunya akan dapat menarik minat konsumen untuk menggunakan produk atau layanan tersebut.

c. Favorable (Keunggulan)

Untuk memilih mana yang disukai dan unik yang berhubungan dengan merek, pemasar harus menganalisis dengan teliti mengenai konsumen dan kompetisi untuk memutuskan posisi terbaik bagi merek tersebut.

Kesukaan (favorable) mengarah pada kemampuan merek tersebut agar mudah diingat oleh konsumen. Yang termasuk dalam kategori favorable ini antara lain kemudahan merek produk untuk diucapkan, kemudahan merek produk untuk dapat dikenal, kemampuan merek untuk tetap diingat oleh konsumen, kemudahan penggunaan produk, kecocokan konsumen

dengan produk, serta kesesuaian antara kesan merek di benak pelanggan dengan citra yang diinginkan perusahaan atas merek bersangkutan.

Analisa yang cukup penting tentang keadaan pasar serta tentang yang menjadi kebutuhan dan keingginan konsumen merupakan sebuah prioritas dalam membangun citra produk atau layanan. Oleh sebab itu, dibutuhkan analisa tentang produk atau layanan yang menjadi kesukaan para konsumen.

Apa yang dipersepsikan oleh pengguna layanan tentunya didasarkan oleh pengalaman yang telah dilaluinya selam mendapat pelayana tersebut, hal ini bisa didasarkan kepada keunggulan yang dimiliki layanan tersebut dari pihak-pihak lainnya, keunikannya yang dimilikinya, serta kesukaan pelanggan atas penyedia jasa yang mudah dikenali maupun kecocokan antara keduannya.

Peters (dalam Jasfar, 2012) menjelaskan bahwa sebuah organisasi memiliki citra yang baik apabila:

a. Mempunyai kualitas manajemen yang baik

b. Dapat diukur dari laba atau penghasilan yang diperoleh,

c. Perhatian yang tinggi terhadap lingkungan, kualitas bahan mentah, dan tingkat keamanan,

d. Mempunyai kesan baik dari sudut pandang karyawan, e. Selalu melakukan pembaharuan (innovation),

f. Selalu berorientasi kepada keinginan-keinginan konsumen

(marketoriented),

g. Mempunyai kontribusi penting dalam perekonomian nasional,

h. Mampunyai harapan untuk berkembang lebih lanjut di masa yang akan datang,

i. Mempunyai kualitas barang dan jasa yang tinggi,

j. Aktif di dalam memberikan informasi mengenai aktivitas-aktivitas perusahaan kepada masyarakat.

Penilaian citra merek lembaga pendidikan didasarkan kepada penilaian pengguna layanan pendidikan itu sendiri, yaitu siswa, orang tua siswa dan masyarakat. Akan tetapi penilaian ini tidak serta merta dilakukan oleh pengguna layanan, lembaga pendidikan pun dapat mempengaruhi penilaian tersebut dengan ikut memberikan pengertian dan pemahaman kepada pengguna layanan bahwa layanan yang telah mereka terima merupakan pelayanan terbaik dari lembaga pendidikan tersebut.

2.2.3 Dampak dari Citra merek

Keuntungan kompetitif yang dapat diperoleh dengan adanya citra merek adalah sebagai berikut:

a. Merek tersebut memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang kompetitif.

b. Lebih mudah meluncurkan perluasan merek karena kredibilitasnya yang tinggi.

c. Mempu menetapkan harga yang lebih tinggi dari pesaing karena terdapat keyakinan konsumen terhadap kredibilitas barang tersebut.

d. Posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor dan pengecer sebab pelanggan mengharapkan memiliki merek tersebut.

e. Menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena tingkat kesadaran dan kesetiaan merek konsumen tinggi.

Pengelolaan citra merek perlu dilakukan dengan cermat mengingat para pelanggan akan sangat terikat dengan hal tersebut pada waktu akan melakukan hubungan dengan perusahaan. Oleh karena pemahaman pelanggan berdasarkan citra merek menjadi critical view bagi pemasar. Salah satu dampak lain dari terciptanya citra merek ialah munculnya perilaku pembelian impulsif pada para konsumen, hal ini sejalan dengan penelian yang dilakukan oleh (Widiyati &

Ghozi, 2018) yang menyatakan bahwa citra merek berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian impulsif pada mahasiswa. Hal ini dikarenakan citra merek mampu memberikan kesan dibenak pembeli. Dengan semakin diketahui dan diingatnya sebuah merek dibenak seseorang akan semakin meningkatkan pembelian impulsif.

2.3 Locus Of Control

2.3.1 Definisi Locus Of Control

Locus of control merupakan suatu aspek kepribadian yang dipunyai setiap individu (Magdalena, 2000). Locus of control adalah persepsi seseorang terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam melakukan berbagai kegiatan di dalam hidupnya yang dihubungkan dengan faktor eksternal individu yang di dalamnya mencakup nasib, keberuntungan, kekuasaan atasan dan

lingkungan kerja serta dihubungkan pula dengan faktor internal individu yang di dalamnya mencakup kemampuan kerja dan tindakan kerja yanng berhubungan dengan keberhasilan dan kegagalan kerja individu yang bersangkutan (Johan, 2002).

Menurut Spector (dalam Ancok & Kusumowardhani, 2006), locus of control merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang telah dibuktikan memiliki peran yang penting dalam menjelaskan perilaku individu dalam organisasi. Dengan kata lain, locus of control adalah variabel sentral dalam struktur kepribadian yang implisit dalam proses belajar, mempengaruhi tingkah laku aktual, mewarnai sikap dan kehidupan perasaan, pusat hirarki pada pola pikir serta mendasari tingkah laku penyesuaian diri maupun antisipasinya

Pada dasarnya, locus of control menggambarkan di mana letak keyakinan dan seberapa kuat kontrol pada individu, apakah kontrolnya menjadi dasar pembentukan serta tingkah lakunya itu bersumber dari dalam dirinya atau dari luar dirinya (Purboningsih, 2004). Menurut Rotter (dalam Kuncoro, 2004) locus of control yaitu suatu konsep yang merujuk pada keyakinan seseorang mengenai penentu perilakunya sehingga adanya anggapan bahwa akibat-akibat yang diterima memiliki hubungan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan. Dalam konsepnya tersebut Rotter menjelaskan bahwa individu akan mengembangkan suatu harapan terhadap kemampuan mengendalikan kejadian-kejadian dalam hidupnya.

Individu yang memiliki persepsi kontrol eksternal yang tinggi percaya

bahwa mereka secara pribadi dipengaruhi factor diluar dirinya atas apa yang terjadi.

Menurut Solomon & Oberlander (dalam Magdalena, 2000) locus of conrol bukan merupakan suatu konsep yang tipologik, akan tetapi konsep ini merupakan suatu kontinum yaitu locus of control internal di satu sisi dan locus of control di sisi lain. Locus of control individu terletak sepanjang kontinum tersebut, hal ini berarti semakin dominan locus of control internal seseorang akan semakin rendah locus of control dan sebaliknya.

Selanjutnya menurut Robbins (dalam Zakiyah, 2017) menyatakan bahwa locus of control mengacu kepada cara pandang individu memaknai peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya sebagai akibat dari tindakan individu tersebut, dengan demikian kejadian tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya sehingga diluar kontrol pribadinya

Levenson (1981) menyatakan bahwa locus of control adalah keyakinan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-peristiwa yang dialami dalam kehidupannya. Seseorang juga dapat memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengatur kehidupannya atau justru orang lainlah yang mengatur kehidupannya dan bisa juga individu berkeyakinan faktor nasib, keberuntungan atau kesempatan yang memiliki pengaruh besar di dalam kehidupannya. Selain itu, menurut Lefcourt (1976), locus of control adalah salah satu trait kepribadian seseorang yang menggambarkan sejauh mana

keyakinan orang tersebut bahwa mereka mempunyai kendali atas nasib mereka sendiri.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah keyakinan individu dalam mengendalikan dan mengatribusikan penyebab keberhasilan dan kegagalan dari kejadian dalam kehidupan mereka.

2.3.2 Aspek Locus Of Control

Dalam mengungkap kecenderungan pusat kendali seseorang itu termasuk dalam internal atau external maka Rotter menciptakan skala yang dinamakan skala Internal-External (Skala I-E). Levenson memperbaiki skala I-E kemudian skala I-E di susun kembali dan diberi nama skala Internal, Powerful Others and Chance (Skala IPC-Locus of Control). Levenson (1997) membagi pusat pengendali (locus of control) dalam skala IPC ke dalam tiga aspek yaitu:

a. Aspek Internal (I)

Merupakan keyakinan bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang ditentukan dirinya sendiri

b. Aspek Powerful Others (P)

Merupakan keyakinan seseorang bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh orang lain

c. Aspek Chance (C)

Merupakan Keyakinan seseorang bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh keberuntungan, nasib dan kesempatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis berpendapat bahwa Levenson memodifikasi skala I-E dan memberi nama skala IPC yaitu skala Internal, eksternal powerful others, eksternal chance. Dalam skala IPC, Levenson membagi pusat pengendali (locus of control) ke dalam tiga aspek yaitu aspek internal, aspek powerful others, aspek chance.

2.3.3 Dampak dari Locus Of Control

Phares (dalam Mutamimah, 2019) menjelaskan bahwa locus of control memiliki dampak dalam kehidupan individu, yaitu:

a. Sikap terhadap lingkungan

Individu dengan locus of control internal cenderung melakukan usaha yang lebih besar dalam mengontrol lingkungannya dengan mencari, menggunakan, mengelola informasi yang relevan dan menganalisa situasi dengan lebih terarah. Rotter (1966) menambahkan bahwa individu dengan locus of control internal cenderung memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap perpindahan maupun perubahan, begitu pula sebaliknya. Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya dan mempunyai kesehatan mental yang lebih baik (Rotter, 1966).

Individu dengan orientasi locus of control eksternal cenderung lebih pasif dalam mengontrol keadaan lingkungannya dikarenakan keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang dialaminya disebabkan oleh adanya

faktor lain di luar dari dirinya. Individu dengan locus of control eksternal juga cenderung lebih tinggi dalam merasakan suasana hati yang negatif, seperti depresi, marah, frustrasi, hingga agresi dalam berhadapan pada situasi sulit.

b. Konformitas dan perubahan sikap

Individu dengan locus of control internal lebih mampu bertahan terhadap pengaruh dan tekanan dari lingkungan, sehingga menunjukkan konformitas yang cenderung lebih rendah dibandingkan invidu dengan kecenderungan locus of control eksternal. Hal ini dikarenakan perubahan sikap individu dengan locus of control internal bergantung pada keinginan dan kendali dirinya sendiri.

c. Perilaku menolong dan atribusi tanggung jawab

Individu dengan locus of control internal lebih sering menunjukkan perilaku menolong dari pada individu dengan kecenderungan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal cenderung mengatribusikan tanggung jawab pada dirinya sendiri, yang artinya individu

Individu dengan locus of control internal lebih sering menunjukkan perilaku menolong dari pada individu dengan kecenderungan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal cenderung mengatribusikan tanggung jawab pada dirinya sendiri, yang artinya individu

Dokumen terkait