• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia dan Lingkungan

KONSEP ALAM DAN DIALEKTIKA MANUSIA A ALAM DAN PRINSIP KESEIMBANGAN EKOLOG

B. MANUSIA DAN EKSISTENSINYA DI ALAM

2. Manusia dan Lingkungan

Secara ekofilosofis manusia dan lingkungan merupakan keniscayaan. Maksudnya, ada hubungan timbal balik antar keduanya yang terjalin sedemikian erat. Tanpa adanya keterkaitan itu, maka manusia tidak akan bisa bertahan hidup. Hubungan manusia dan lingkungan bersifat dinamis. Artinya, keterjalinan manusia dengan lingkungan adalah keterjalinan sadar yang dihayati dan dijadikan sebagai akar serta inti kepribadiannya.317 Demikian pula, hubungan manusia dengan lingkungan tidak bersifat statis, dalam arti keterjalinannya bukan bersifat deterministis yang harus diterima apa adanya, tapi bersifat sukarela yang dapat difikirkan. Jalinan kerjasama antar keduanya juga tidak verbalistis tanpa makna, tetapi reflektif penuh arti 318

Dalamkerangka dialektika manusia dengan lingkungan, terdapat kaca kunci yang menghubungkan manusia dengan alam, yaitu kata “Taskhîryang berarti bahwa manusia diberi wewenang untuk menggunakan alam raya untuk mencapai tujuan penciptaannya sesuai dengan tuntunan ilahi. Al-Quran menegaskan bahwa Allah

316

Arie Budiman, et.al., Membaca Gerak, h. 125.

317

P. Keenhouwers, Manusia dan Lingkungannya, terj. K.J. Veeger (Jakarta: Gramedia, 1988) h. 79-82.

318

SWT., menciptakan alam raya dengan penghuninya dengan tujuan tertentu, sebagaimana diisyaratkan pada Q.S. Shâd (38): 27.319

Dalam kaitannya dengan lingkungan manusia di alam, al-Quran menyajikan ilustrasi konkrit untuk dijadikan landasan berpijak. Karena pada dasarnya langit dan gunung-gunung berdiri sejajar dan setingkat dengan manusia ketika Tuhan hendak memberikan amanat. Tapi hanya manusia yang menerima amanat itu (Q.S. al-Ahzâb (33): 72):

ﺎﻧِﺇ

ﺎﻨﺿﺮﻋ

ﹶﺔﻧﺎﻣَﻷﹾﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ِﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ

ِﺽﺭَﻷﹾﺍﻭ

ِﻝﺎﺒِﺠﹾﻟﺍﻭ

ﻦﻴﺑﹶﺄﹶﻓ

ﻥﹶﺃ

ﺎﻬﻨﹾﻠِﻤﺤﻳ

ﻦﹾﻘﹶﻔﺷﹶﺃﻭ

ﺎﻬﻨِﻣ

ﺎﻬﹶﻠﻤﺣﻭ

ﹸﻥﺎﺴﻧِﻹﹾﺍ

ﻪﻧِﺇ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﺎﻣﻮﹸﻠﹶﻇ

ﹰﻻﻮﻬﺟ

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Allah SWT., mensejajarkan alam dengan manusia dalam kaitannya dengan perintah verbalnya bahwa alam memiliki kepribadian yang harus dihormati. Hal ini terdapat dalam Q.S. Fushshilat (41): 11:

ﻢﹸﺛ

ﻯﻮﺘﺳﺍ

ﻰﹶﻟِﺇ

ِ

ﺀﺂﻤﺴﻟﺍ

ﻲِﻫﻭ

ﹲﻥﺎﺧﺩ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﺎﻬﹶﻟ

ِﺽﺭَﻸِﻟﻭ

ﺎﻴِﺘﹾﺋﺍ

ﺎﻋﻮﹶﻃ

ﻭﹶﺃ

ﺎﻫﺮﹶﻛ

ﺂﺘﹶﻟﺎﹶﻗ

ﺎﻨﻴﺗﹶﺃ

ﲔِﻌِﺋﺂﹶﻃ

Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:"Datanglah kamu keduanya

319

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah.Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.

menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa".Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati"

Berdasarkan petunjuk al-Quran pada ayat-ayat yang tersebut diatas, tampak jelas bahwa Islam sangat memperhatikan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan yang tanpa batas.320 Antara lingkungan yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan dari segi geografis, iklim, proses geologi, dataran serta flora dan faunanya. Semua unsur pada lingkungan ini memberikan pengaruh pada manusia sebagaimana manusia itu sendiri yang mampu mempengaruhi unsur-unsur tersebut. Saling mempengaruhi antar unsur menunjukkan kadar tertentu yang dimiliki oleh masing-masing entitas (Q.S. al-Hijr (15): 21, al-Qamar (54): 49). Perhatian atas prinsip ini memiliki maksud agar tidak terjadi gangguan dalam sistem ekologi. Sebaliknya, perusakan terhadap lingkungan adalah kesalahan besar yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem. Dengan begitu, sesungguhnya apa yang terjadi dewasa ini –krisis ekologi- merupakan cerminan dari jurang yang maha lebar antara ajaran ideal al-Quran tentang lingkungan dan prakteknya dalam kehidupan penganutnya.321

Alam telah disadari oleh manusia sebagai tempat yang telah tersedia baginya dan dijadikan sebagai objek pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia menciptakan alat-alat yang mendukung ke arah kemudahan tersebut. Namun dalam konteks ini manusia bukan berarti memiliki kekuasaan mutlak atas alam, sehingga alam bisa diperlakukan sekehendaknya. Maka dengan menyadari dirinya dan alam, manusia berada dalam posisi yang sangat sentral. Karena manusia memiliki keinginan- keinginan yang tinggi dalam bidang meterial, maka tidak menutup kemungkinan manusia bersikap semaunya terhadap alam.

Posisi manusia di alam sering disalahartikan. Situasinya dimanipulasi sedemikian rupa sehingga manusia seolah-olah dapat melakukan apa saja dan

320

Ahmad Khalid Allam, al-Quran dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj. Abd. Rahim Mukti, (Jakarta: Gema Insani, 2005) h. 86.

321

cenderung untuk menghalalkan segala cara untuk kepentingannya. Sebagai contoh, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT., menciptakan bumi dan langit untuk kesejahteraan manusia, diinterpretasikan bahwa manusia boleh melakukan sekehendak hatinya terhadap alam (QS. Ibrâhîm (14): 32-33). Penggalan ayat yang sering disalahartikan tersebut adalah kalimat:

ﻭ

ﺮﺨﺳ

ﻢﹸﻜﹶﻟ

ﺭﺎﻬﻧَﻷﹾﺍ

ﺮﺨﺳﻭ

ﻢﹸﻜﹶﻟ

ﺲﻤﺸﻟﺍ

ﺮﻤﹶﻘﹾﻟﺍﻭ

ِﻦﻴﺒِﺋﺁﺩ

ﺨﺳﻭ

ﺮ

ﻢﹸﻜﹶﻟ

ﹶﻞﻴﱠﻟﺍ

ﺭﺎﻬﻨﻟﺍﻭ

Kata

ﺮﺨـﺳ

yang diterjemahkan "menundukkan" pada ayat di atas sering disalahartikan sebagai legalisasi hak manusia untuk menaklukkan alam. Manusia hanya diharapkan untuk menyeimbangkan hak dan kewajibannya terhadap ciptaan Tuhan lainnya.322 Menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang benda, menjadi manusia universal, cermin yang memantulkan semua nama dan sifat-Nya. Dalam pandangan Tuhan, maksud penciptaan adalah untuk mengetahui diri-Nya melalui instrumen pengetahuan-Nya Yang Sempurna, yakni manusia universal. Maka manusia menempati posisi yang sentral di dunia, berada di pusat poros dan millieu kosmos, sekaligus penjaga alam. Hal ini karena manusia telah mendapatkan pengetahuan tentang nama-nama segala benda sehingga ia mampu menguasai benda, tetapi ia diberi kekuasaan ini hanya karena ia adalah khalifah Allah SWT., di bumi dan merupakan alat kehendak-Nya. Manusia diberi hak untuk menguasai alam hanya karena watak teomorfiknya, bukan karena pemberontakannya terhadap langit.323

Manusia merupakan saluran rahmat bagi alam dengan partisipasinya yang aktif di dunia spiritual, ia akan memberikan cahaya ke dalam dunia alam. Pada manusialah diletakkan kunci penjagaan alam. Dalam Islam terdapat pandangan

322

Arie Budiman, et.al., Membaca Gerak, h. 121. Lihat juga Nasaruddin Umar, "Dimensi Spiritual", h. 83.

323

tentang hubungan yang integral tentang alam semesta dan melihat pada keteraturan alam dan kosmos yang di dalamnya terdapat rahmat ilahiyah atau barakah. Manusia mencari wujud yang transenden, dan manusia harus melihat alam sebagai sesuatu yang bersifat profan karena alam merupakan sebuah penciptaan atau makhluk. Namun, profanitas alam terdapat sebuah pengetahuan yang mengantarkan manusia pada kearifan dan peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan, asalkan manusia dapat mempelajari dan merenungkan alam dan tidak menjadikannya terpisah dari realitas, akan tetapi sebuah cermin yang memantulkan sebuah realitas yang lebih tingi yaitu penyebab utama dari alam itu sendiri.324

Henry Lansford menyebut bahwa dalam ekologi, manusia memiliki persamaan dengan makhluk hidup lain. Manusia merupakan suatu unsur dalam berbagai ekosistem. Akan tetapi sekarang manusia kadang mendominasi ekosistem, sehingga peranan unsur-unsur lain tidak tampak jelas. Pada masa pra industri, peranan manusia dalam ekosistem belum begitu melebihi batas keseimbangan; bangsa yang hidup berburu, mengumpulkan benda-benda dan holtikultura sederhan, berjalan dengan semua unsur ekosistem mengisi niche atau tempat khusus dalam ekosistem, akan tetapi tidak mendominasinya.325 Oleh karena itu, agar manusia memiliki aturan main dalam menyikapi diri dan alam atau lingkungan hidup sekitarnya, maka manusia juga harus menyadari aturan atau hukum-hukum yang berlaku pada dirinya dan alam. Hukum-hukum tersebut bisa disingkat menjadi beberapa hal. Pertama, manusia harus mengacu pada etika moral yang telah ditetapkan Tuhan dalam hidupnya, yang bersumber dari agama. Dalam agama ini terdapat hukum-hukum yang tidak boleh dilanggar. Agama menuntut manusia untuk melakukan kebaikan, dan manusia yang paling mulia di sisi Tuhan adalah mereka yang bertaqwa. Dengan demikian ada kesadaran etis manusia dalam bertindak dalam hidupnya. Menyadari bahwa kebutuhan memang harus dipenuhi, tapi dengan jalan

324

Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, h. 117.

325Henry Lansford, "Pencemaran Lingkungan", dalam Grolier International, Inc., Ilmu

yang telah ditentukan Tuhan atau dengan cara halal. Alam merupakan titipan Tuhan. Ini tercermin dalam pernyataan Tuhan bahwa alam adalah milik Tuhan (Q.S. al- Baqarah (2): 248326). Ayat ini memberi informasi tentang Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia untuk kehidupan manusia seluruhnya. SDA ini dipertegas sesuai redaksi ayat, adalah milik Tuhan. Sebagai pemilik alam semesta, Tuhan mengizinkan manusia tinggal di dalamnya dalam rangka memenuhi tujuan Tuhan di bumi sebagai agenda penciptaan-Nya. Dengan demikian sebetulnya dalam ayat-Nya ini Tuhan mengajarkan sikap etis dalam bentuk amanah. Yang bermaksud untuk mencegah sikap serakah manusia sehingga tidak menjadikan alam sebagai objek eksploitasi, sebagaimana yang terdapat dalam prinsip ilmu pengetahuan yang dideklarasikan Bacon, bahwa alam dijadikan sebagai objek pemenuhan kebutuhan manusia, dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan media untuk menggalinya.327

Kedua, kesadaran akan dampak dari pengerusakan alam sebetulnya merusak

manusia itu sendiri. Jika alam rusak maka manusia tidak lagi bisa menghasilkan bahan makanan pokok, manusia tidak bisa bercocok tanam dsb. Satu contoh yang konkrit di Indonesia, bahwa kebanjiran yang melanda Jakarta dan beberapa daerah sekitarnya telah cukup menghambat perekonomian manusia. Ini adalah bukti bahwa alam yang rusak berarti merusak diri sendiri. Demikian pula di pulau Jawa dan di luarnya terdapat terdapat tidak kurang dari 22 daerah aliran sungai yang rusak akibat ulah manusia sehingga menyebabkan erosi yang sangat tinggi. Apabila masalah ini terus berlanjut maka waduk tidak lagi dapat meyediakan air untuk irigasi dan pembangkit listrik, yang memang menjadi kebutuhan pokok manusia.328

326

Kepunyaan Allah-,lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah SWT., akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah SWT., mengampuni siap yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah SWT., Maha Kuasa atas segala sesuatu

327

Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, h. 2-3.

328Chafed Fandeli, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan: Prinsip Dasar dan

Maka tindakan etis sebetulnya jika dihayati akan mengacu pada sebuah hikmah kehidupan. Jika memanfaatkan alam dengan hukum-hukum yang berlaku dan tidak melampauinya, maka alam akan menjadi tempat kehidupan yang memberikan manfaat yang banyak bagi manusia, namun sebaliknya jika alam dikuasai dan digarap dengan melampaui hukum-hukum yang ada pada alam tersebut, maka akan datang bencana bagi manusia.

Manusia telah ditempatkan sebagai pengatur lingkungan dan diposisikan sebagai khalifah di bumi. Dengan akal dan ilmu pengetahuan, manusia mampu melihat dan memanfaatkan alam dengan sebaik mungkin. Jabatan khalifah merupakan amanah demikian juga alam. Dengan menyadari semua itu maka manusia tidak akan berlaku semaunya terhadap alam. Kesadaran bahwa alam adalah milik Tuhan dan manusia sekedar diberikan amanah untuk mengelola dan menjaganya, maka dengan sendirinya akan mendatangkan manfaat bagi manusia itu sendiri, yakni manfaat material-ekonomi dan spiritual. Jadi, manusia sebagai khalifah di sini bermakna, bahwa manusia merupakan pemegang amanah dalam menciptakan stabilitas dan harmonisitas lingkungan hidupnya. Manusia memainkan peran sebagai hamba Tuhan yang memiliki tanggung jawab moral atas kehidupan di alam ini. Manusia harus menjaga alam sebaik mungkin, ini bukan berarti keuntungan untuk Tuhan, tapi bagi manusia itu sendiri.

Tujuan hidup manusia dalam Islam adalah kembali berjumpa dengan Tuhan sebagai pencipta dan asal manusia. Di sinilah manusia akan diminta pertangungjawabannya sebagai wakil Tuhan. Baik atau tidak tempatnya di akhirat tergantung dari cara dan perbuatannya dalam menjalankan amanah Tuhan yang diberikan sebagai makhluk, khalifah di muka bumi.

BAB IV

AKTUALISASI NILAI QURANI DALAM LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI