• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia Sebagai God's Vicegerent ( Khalifah Pada Alam )

KONSEP ALAM DAN DIALEKTIKA MANUSIA A ALAM DAN PRINSIP KESEIMBANGAN EKOLOG

B. MANUSIA DAN EKSISTENSINYA DI ALAM

1. Manusia Sebagai God's Vicegerent ( Khalifah Pada Alam )

Keberadaan manusia jika dilihat dari segi ontologisnya di muka bumi, maka akan terlihat bahwa eksistensinya bukan karena keinginan manusia itu sendiri, melainkan rencana dan kehendak Tuhan. Manusia menempati posisi sebagai yang diciptakan atau makhluk Tuhan. Disamping itu manusia juga merupakan wujud yang belakangan hadir dibandingkan dengan bumi. Bumi dijadikan lebih dulu, tapi telah ditakdirkan untuk sarana dan tempat tinggal manusia. Di bumi manusia berkembang dan tumbuh menjadi komunitas yang besar, menciptakan budaya, keluarga, masyarakat dan bangsa. Maka karena manusia sudah ditentukan dan ditempatkan di bumi, tentunya ada sebuah tugas dan tujuan yang diembannya. Inilah yang menjadi tema dalam pembahasan ini.

Sebelum membahas lebih spesifik tentang manusia sebagai khalifah, terlebih dahulu akan dikaji apa yang dimaksud dengan manusia tersebut. Ada beberapa pendekatan yang bisa dipergunakan untuk mengkaji manusia: pertama, melalui pendekatan bahasa. Dari perspektif ini akan menemukan beragam penamaan tentang manusia, dalam bahasa Arab disebutkan beberapa istilah, di antaranya; insân asal katanya adalah nasiya, yang berarti lupa, namun jika dilihat dari kata dasarnya yakni

al-unsâ, maka berarti jinak. Jadi manusia dalam perspektif bahasa dapat difahami

sebagai manusia sebagai makhluk yang pelupa dan jinak, dinamakan sebagai

294

Afzalur Rahman, Ensiklopediana, h. 48.

295Nasaruddin Umar, "Dimensi Spiritual Relasi Manusia dan Alam Semesta", Jurnal Bimas

makhluk yang mampu beradaptasi dengan segala keadaan kondisi yang dihadapinya.296

Kedua, kemampuan berfikirnya, dengan kemampuan ini manusia menciptakan

ilmu pengetahuan dan mampu menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya, dengan segala macam bentuk kreatifitas yang dimiliki, kemampuan berpikir inilah yang menjadi pembeda yang sangat fundamental manusia dengan makhluk yang lain. Dengan demikian manusia adalah makhluk yang berfikir. Ketiga adalah dari karya yang diciptakan manusia. Ini merupakan bentuk aktualisasi dari proses berfikir kreatif manusia. Dari karya yang diciptakan tersebut manusia bisa difahami. Keempat adalah melalui pendekatan teologis, dari sudut pandang ini akan difahami hakekat penciptaan manusia, kedudukannya sebagai makhluk Tuhan, peran dan fungsinya, serta tujuan penciptaannya. Media pemahaman lewat pendekatan teologis ini mengacu pada kajian wahyu atau teks-teks keagamaan atau al-Quran.297

Secara jasmaniah manusia memiliki persamaan dengan binatang, namun sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa yang membedakannya adalah akal.298 Dengan akal ini manusia memiliki ilmu pengetahuan, kesadaran dan memiliki tujuan dalam hidupnya.299 Roger G. Barker300 menilai bahwa karakter perilaku manusia adalah keanekaragaman. Setiap hari manusia ditandai dengan berbagai atribut; mempertontonkan kecepatan berbuat, ekspresi emosi, cara bicara, meraih tujuan, persahabatan, humor, dan energi. Pada hakikatnya setiap hari terdapat perubahan

296

Hafizh Dasuki (ed), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoev,1993) h. 227.

297

Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan masalah tersebut di antaranya, Q S. at-Taubah (9): 105 dan Q.S. Hûd (11): 17. Kandungan kedua ayat ini menyebutkan bahwa yang dilihat dari manusia adalah amal perbuatan dan pekerjaannya atau dengan kata lain karya-karya yang diciptakan.

298Murtadha Mutaharri,

Perspektif Quran Tentang Manusia dan Agama, (selanjutnya disebut Perspektif Quran), (Bandung: Mizan, 1997) cet. IX, h. 117.

299

Murtadha Mutaharri, Perspektif Quran, h. 62.

300

pada manusia.301 Dengan kemampuan tersebut manusia dalam Islam dipandang sebagai khalifah,302 yaitu menjadi wakil Tuhan di muka bumi.

Konsep khalifah bagi manusia menawarkan pendekatan yang sehat terhadap alam, jauh dari pelanggaran yang dilakukan oleh kebudayaan industri yang sedang merajalela dimana-mana dengan segala dampak negatifnya. Melalui konsep tersebut hubungan manusia dengan alam dilandasi dengan semangat "menghormati". Melalui semangat ini manusia harus mampu menghindari kemungkinan gangguan yang tidak wajar terhadap kehidupan makhluk lain, alam dan lingkungan dengan alasan apapun, meskipun dengan dalih untuk kesejahteraan manusia. Penguasaan manusia tidak boleh melampui right dominion (penguasaan yang wajar)303

Dalam konteks pandangan Barat, setelah terjadi renaisans pada sekitar abad ke-14304 dan lahirnya modernitas, renaisans datang dengan paradigma baru tentang hakekat manusia yang menitikberatkan kesadaran individual sebagai subjek yang otonom. Dalam semangat humanisme-ontroposentris tersebut, maka dengan rasionya manusia dipandang mampu melakukan segala hal dan menjadi pusat segala sesuatu. Pandangan yang demikian tercermin lewat konsep dan ide yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh pemikir Barat seperti Rene Descartes (1596-1650), dengan cogito orgo sum (aku berpikir maka aku pun ada).305

Manusia disimbolkan dengan istilah hayawân nâtiq, yakni binatang yang berfikir. Manusia juga dikatakan sebagai makhluk yang paling mulia di antara

301

Roger G. Barker, "The Ecologycal Environment", pada Rudolf H. Moos (ed), Issues in Social Ecology: Human Milieus, (National Press Books, t.th.) cet. 1, h. 74.

302

Khalifah yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan dalam tataran konsep khalifah yang masuk dalam pembahasan pengganti Rasulullah atau pimpinan ummat dan pemuka agama, melainkan khalifah dalam artian bahwa manusia secara keseluruhan merupakan makhluk Tuhan yang memiliki potensi untuk memelihara alam dengan sebaik-baiknya.

303

Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999) cet. 5, h. 164.

304

Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan

(Bandung: Mizan, 2003), cet. 1, h. 121.

305

Husain Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (selanjutnya disebut Paradigma Holistik),(Jakarta: Traju, 2003) cet. 1, h. 30- 31.

makhluk yang lain. Manusia juga dipandang sebagai sebaik-baik ciptaan. Semua predikat tersebut didasarkan pada kelebihan yang dimiliki manusia, yakni kemampuan berpikir atau akal budi, hati yang dengannya manusia bisa merasakan dan mengetahui, indra yang dengannya manusia mampu menyerap realitas di sekitarnya.

Namun derajat yang begitu mulia dan lebih itu bisa saja jatuh menjadi yang lebih rendah dengan binatang jika kemampuan berfikirnya tidak dipergunakan secara maksimal. Posisi manusia yang serba bisa ini sebetulnya merupakan posisi yang sensitif, dalam artian manusia juga bisa menjadi dan menempati posisi apa saja di muka bumi. Kenapa manusia dipandang sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya dengan makhluk yang lain? Ini disebabkan oleh beberapa hal.

1. Manusia dalam al-Quran digambarkan sebagai makhluk yang sangat penting di muka bumi, yakni sebagai khalifah Tuhan (Q.S. al-Baqarah (2):30)306

2. Dibandingkan dengan makhluk yang lain, manusia memiliki intelegensi yang lebih tinggi.

3. Manusia memiiliki kemampuan untuk dekat dengan Tuhan. Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan atau beragama, dikatakan sebagai fitrahnya. Walaupun demikian manusia dalam kehidupan sosialnya dan dengan kemampuan memilihnya bisa saja tidak mau mengakui adanya Tuhan. 4. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Manusia dibekali Tuhan dengan risalah

yang diturunkan melalui para nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab, serta kemampuan-kemampuan lain sebagai dasar untuk membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lain.

306

Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau". Tuhan berfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui

Menurut Seyyed Hossein Nasr, Manusia pada dasarnya memiliki dua dimensi; spiritual (ruhani) dan material (jasmani). Manusia berada di antara ciptaan spiritual dan material karena manusia diciptakan dari dua elemen tersebut. Dalam diri manusia terdapat seluruh ciptaan dalam arti esensialnya, bukan material atau substansial. Manusia diciptakan menurut gambaran Tuhan; di satu sisi ia merupakan pancaran dunia spiritual dan di sisi lain, ia merupakan pancaran dunia binatang.307 Keterangan Seyyed adalah penjabaran mendalam tentang kesempurnaan manusia sebagai ciptaan Tuhan sebagaimana tercantum dalam Q.S. at-Tîn (95): 4.

Mujiono Abdillah memperkuat analisanya mengenai kesempurnaan manusia dalam hirarki struktural ekologis dengan Q.S. al-Isrâ' (17): 70. Posisi ini dicapai manusia dengan dua hal, yakni karena manusia memiliki potensi biotik fisik yang spesifik dan memiliki potensi ruhaniah yang berkembang secara diamik. Kedua hal ini didasarkan pada fakta empiris dan semangat spiritual religius Islam yang memberikan kelebihan tertentu kepada manusia dibandingkan makhluk lain.308 Dua kelebihan yang dimiliki manusia tersebut dirinci sebagai berikut: