• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spiritualitas Alam Sebagai Paradigma Nila

AKTUALISASI NILAI QURANI DALAM LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI AMANAH KONSERVAS

D. Spiritualitas Alam Sebagai Paradigma Nila

Dalam pembahasan ini sebetulnya tidak akan berbicara dalam konteks bahwa paradigma nilai spiritual itu tidak didapat melalui media yang dipakai oleh manusia, dalam hal ini adalah media sains440 dalam perspektif Barat dan Timur (ajaran-ajaran keagamaan atau khazanah perenialisme). Kajian ini akan melihat bagaimana media dalam bentuk sains, baik sains sekuler maupun sains yang didasarkan pada

439

Lihat misalnya Q.S. az-Zukhruf (32): 43; at-Taubah (9): 103; al-Isra' (17): 26-27.

440

Sains dalam konteks penelitian ini adalah ilmu pengetahuan yang mengkhususkan kajiannya pada riset yang mencakup bidang tertentu dan fenomena spasio-temporal mencakup disiplin ilmu fisika dan biologi dengan berbagai macamnya, antara lain kimia, organik-non organik, fisiologi, biotik-abiotik dan lain sebagainya.

pandangan keagamaan mampu diartikulasikan oleh manusia sebagai perangkat paradigmatik dalam mengakomodir nilai-nilai spiritualitas dalam alam.

Dengan membahas secara umum bagaimana sains Barat melihat alam dengan sains kealamannya, maka berdasarkan tema kajian dalam penulisan tesis ini, melihat dan mengkaji alam sebetulnya harus dilihat dari sisi aksiologisnya pada manusia, yaitu segi pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia, sebagaimana yang ada di Barat. Di samping itu melihat dan mengkaji alam juga memiliki dimensi aksiologis dalam bidang spiritual, sebagaimana yang ada dalam sains Timur, khususnya Islam, bahwa alam merupakan ayat-ayat kekuasaan Tuhan, firman Tuhan. Disini sains dan teknologi juga terlihat sebagai bagian dari lingkungan, karena fungsinya sebagai media dalam memudahkan manusia memahami alam. Dalam sebuah hadis Qudsî441

diuraikan bahwa berfikirlah tentang ciptaan Tuhan tapi jangan kau berfikir tentang Tuhan. Dalam konteks hadis ini sebetulnya mengisyaratkan bahwa alam jika ditelusuri akan mengantarkan manusia pada Tuhan. Inilah yang disebut dengan dimensi aksiologis dalam bidang spiritual. Karena manusia sebagai makhluk multidimensional membutuhkan dua hal di atas. Dengan demikan sains mampu mengungkap alam yang dalam pandangan banyak orang masih dianggap sebagai misteri yang tidak akan selesai untuk diungkap dan dipecahkan. Dari sebagian misteri alam itu, sains modern mampu menyumbangkan pemahaman kepada manusia tentangnya, bahkan dengan sains modern tersebut manusia mampu mendapatkan manfaat dari alam tersebut.

Dari awal pembahasan tesis ini, sudah dijelaskan bahwa alam bisa mengantarkan manusia pada tingkat ketaqwaan dan kedekatan pada Tuhan, disamping alam juga mampu mengantarkan manusia pada mengenal Tuhan.442 Dalam

441

Hadis yang kandungan maknanya dari Allah dan redaksinya disusun oleh Nabi. Lebih lanjut tentang hadis, baca Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts: Ulûmuhu wa Mushtalahuhu

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), Ibnu Taimiyyah, 'Ilmu al-Hadîts (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985)

442Dalam hal ini penulis tidak bermaksud masuk ke dalam pandangan sufistik tentang alam,

konteks Islam, alam merupakan entitas mahluk Tuhan yang hidup, sehingga dalam ayat-ayat yang dipandang sebagai ayat kauniyyah (ayat-ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan) mengisyaratkan bahwa gunung juga sujud dan bertasbih, air juga bertasbih dan menyembah kepada Tuhan.

ﺢﺒﺴﺗ

ﻪﹶﻟ

ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ

ﻊﺒﺴﻟﺍ

ﺽﺭَﻷﹾﺍﻭ

ﻦﻣﻭ

ﻦِﻬﻴِﻓ

ﻥِﺇﻭ

ﻦﻣ

ٍ

ﺀﻲﺷ

ﺢﺒﺴﻳﱠﻻِﺇ

ِ

ﻩِﺪﻤﺤِﺑ

ﻦِﻜﹶﻟﻭ

ﹶﻥﻮﻬﹶﻘﹾﻔﺗﱠﻻ

ﻢﻬﺤﻴِﺒﺴﺗ

ﻪﻧِﺇ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﺎﻤﻴِﻠﺣ

ﺍﺭﻮﹸﻔﹶﻏ

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji- Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia

adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Q.S. al-Isra' (17): 44)

Bertasbih dalam terminologi al-Quran adalah menyebut nama Allah atau mengingatnya dalam setiap perbuatan (Q.S. Ali Imran (3): 191). Al-Quran secara jelas menyebut semua entitas alam itu bertasbih. Semua wujud yang ada di alam merupakan makhluk hidup yang akan mengantarkan manusia pada peningkatan nilai spiritualitas atau ketaqwaan pada Tuhan. Alam merupakan cerminan kearifan Tuhan

(hikmah) dan keinginan-Nya (Irâdah) sebagaimana dikatakan al-Quran bahwa alam

tercipta dengan kebenaran, bukan kedustaan (Q.S. Fushshilat (41): 53443). Sebagai wujud yang benar (haq) maka alam juga memiliki wujud yang nyata. Berbeda halnya dengan pandangan yang menyatakan bahwa alam adalah semu (mayapada) sehingga dengan sendirinya berarti bahwa pengalaman hidup manusia juga semu. Akibatnya, pengalaman semu itu tidak dapat memberikan kebahagiaan hidup kepada manusia. Atas dasar bahwa alam diciptakan secara haq maka al-Quran mengajarkan manusia untuk berusaha mencari kebahagiaan dunia akhirat (Q.S. al-Baqarah (2): 201).

Tuhan, lewat alam Tuhan menampakkan dirinya. Dalam pantheisme Barat, bahwa alam memiliki keserupaan dengan Tuhan atau konsep Tasyabbuh ibn Arabi.

443

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.

Pandangan yang demikian, oleh Nurcholish Madjid disebutnya sebagai pandangan positif-optimis,444 dimana alam memiliki keterkaitan erat dengan manusia untuk memperoleh kebahagiaan. Sejauh manusia mampu mengaktualisasikan dirinya dalam alam dengan hubungan yang harmonis, maka dengan sendirinya alam akan mendatangkan kebahagiaan baginya.

Meski demikian, alam juga diciptakan bukan sekedar untuk dimanfaatkan bagi manusia, melainkan juga sebagai cerminan kreasi kekuasaan Tuhan dan keagungan-Nya. Semua entitas dalam alam tidak hanya memiliki hubungan dengan manusia dan melalui mereka dengan Tuhan, masing-masing entitas juga memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dengan nilai-nilai religius. Seyyed Hossein Nasr mengutip syair yang disampaikan Jalaluddin Rumi tentang alam, sebagai berikut445:

Jika makhluk ciptaan Tuhan memiliki lidah

Mereka dapat mengalunkan selubung misteri ketuhanan

Fenomena alam mengandung makna yang mendalam secara spiritual. Arti alam tidak hanya berdasarkan atas penampakan luar saja, akan tetapi setiap fenomena adalah simbol yang berhubungan dengan Tuhan. Alam tidak saja berarti kuantitas, sumber kekuasaan dan sumber daya. Lebih dari itu, alam adalah rumah spiritual dan sumber perenungan dan pemahaman kearifan ketuhanan.446 Dengan demikian, perlakuan terhadap alam mesti diiringi dengan sikap etik karena alam merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kemampuan untuk memahami Tuhan dan

444

Semua bentuk pengalaman manusia di dunia adalah nyata. Manusia bias mendatangkan kebahagiaan untuk dirinya, atau sebaliknya, tergantung kemampuan manusia dalam menangani pengalaman itu. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005) cet. 5, h. 288.

445

Seyyed Hossein Nasr, "Masalah Lingkungan di Dunia Islam Kontemporer", dalam Fachruddin M. Mangunjaya, et.al (ed), Menanam Sebelum Kiamat: Ekologi,dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) cet. 1, h. 56.

446

memuji-Nya, sebagaimana halnya manusia (Q.S. al-Hasyr (59): 1).447 Tumbuhan, hewan dan makhluk lain dalam alam memiliki hak masing-masing yang harus dihormati. Kebebasan manusia dalam alam tidak berarti memperlakukan setiap makhluk sehendaknya. Kebebasan tersebut harus diiringi dengan tanggung jawab untuk merawat dan menjaga kestabilan alam. Tanpa itu, maka bertolak belakang dengan peran manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi, yang menjalankan pengabdian atas Tuhan dengan aturan-aturan alam yang telah dibuat- Nya.

Walaupun alam memiliki kedudukan lebih rendah dibanding manusia sebagai khalifah, namun hal itu hanya dalam hirarki kosmis yang batiniah, yang terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Seluruh entitas di alam dan manusia itu sendiri adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Sejalan dengan teks al-Quran:

ﺎﻣﻭ

ﻦِﻣ

ٍﺔﺑﺁﺩ

ﻲِﻓ

ِﺽﺭَﻷﹾﺍ

ٍﺮِﺋﹶﺎﻃﹶﻻﻭ

ﲑِﻄﻳ

ِﻪﻴﺣﺎﻨﺠِﺑ

ﻵِﺇ

ﻢﻣﹸﺃ

ﹶﺜﻣﹶﺃ

ﻢﹸﻜﹸﻟﺎ

Tidaklah seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak pula seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya itu melainkan umat-

umat seperti kamu juga (Q.S. al-An'âm (6): 38)

Kata kunci dalam pemaknaan teks di atas adalah "umamun amtsâlukum" yang berarti bahwa manusia memiliki sisi dan potensi yang sama dengan makhluk di hadapan Tuhan. al-Quran memberikan informasi bahwa sebelum al-Quran diturunkan kepada Muhammad saw., terlebih dahulu ditawarkan kepada gunung, akan tetapi gunung menolak karena besarnya tanngung jawab yang akan diemban atas amanat itu, bahkan gunung akan hancur jika menerimanya disebabkan oleh ketakutannya kepada Tuhan.448 Pesan teks ayat di atas terkait dengan berbagai penjelasan tentang alam beserta semua entitas di dalamnya yang senantiasa bertasbih kepada Allah

447

Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

448

SWT. Meskipun manusia adalah wakil Tuhan di bumi, dan sekalipun alam diposisikan lebih rendah, namun interaksi manusia dan alam harus disertai dengan sikap rendah hati, dengan melihat alam sebagai makhluk Tuhan dan menyertainya dalam bertasbih kepada Tuhan, antara lain melalui pemeliharaan dan menumbuhkannya ke arah yang baik (ishlâh) dan tidak melakukan kerusakan di bumi

(fasâd fî al-ardh).449 Seluruh komunitas dalam ekosistem merupakan satu keluarga

ekosistem. Komunitas manusia dengan flora dan fauna memiliki hubungan persaudaraan dalam arti luas. Dengan begitu, manusia bukan milik lingkungan dan lingkungan juga bukan milik manusia. Manusia adalah bagian integral dari ekosistem, ia juga saudara ekologis sesama komponen lingkungan dalam ekosistem.450

Dalam pandangan perenialisme, alam tunduk pada ketentuan Tuhan berdasarkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Demikian juga semua entitas wujud yang ada memiliki hukum yang telah ditentukan (Q.S. al-A'lâ (87): 3). Descartes melahirkan ide tentang hukum alam. Baginya, Tuhan merupakan pengatur alam denagan hukum-hukum yang telah ditetapkan sejak awal mula penciptaan. Sebagai sebuah hasil observasi, alam memiliki cara alamiah untuk menghindari kompetisi antar beragam organisme yang ada di dalamnya.451 Pertama, isolasi geografis, banyak spesies yang memiliki kecenderungan untuk memangsa spesies lainnya, tetapi ini tidak terjadi karena hidup dalam daerah yang terpisah satu dengan yang lainnya. Kedua, jika organisme yang hidup dalam habitat yang sama, dan jika persediaaan makanan terbatas, maka mereka masih bisa bertahan hidup dalam sebuah

niche.452 Ketiga, alam membuat suatu spesialisasi makanan yang memungkinkan

449

Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 296.

450

Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan, h. 154.

451

Pandangan ini paradoks dengan teori evolusi Darwin tentang seleksi alamnya, bahwa yang bertahan hidup adalah organisme yang kuat.

452

Niche adalah terminologi yang disebutkan oleh Greg Soetomo. Niche berbeda dengan habitat. Habitat adalah tempat dimana sebuah organisme hidup, sedangkan niche menyangkut cara hidup dari organisme itu. Niche tidak hanya berkaitan dengan tempat bagi tanaman atau binatang secara fisik belaka, tetapi juga mencakup apakah tempat tadi cocok atau decomposer, bagaimana energi digunakan, jenis predator dan sebagainya. Lihat Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan, h. 85.

spesies satu dengan lainnya terhindar dari permusuhan. Keempat, dengan dilakukannya pemisahan ruang dalam suatu habitat terkadang sudah cukup mencegah adanya permusuhan.453 Maka dengan meninjau ulang alam beserta semua entitas wujud di dalamnya, baik yang hidup maupun yang mati (benda-benda yang disinyalir sains barat sebagai yang tidak memiliki daya hidup, seperti, batu, tanah, air dsb) sebetulnya dapat menghantar nilai spiritual pada manusia.

Namun untuk menghindari penilaian bahwa sains modern Barat yang salah, sebagaimana pandangan para kelompok gerakan islamisasi sains, maka penulis perlu menekankan peran manusia sebagai kontrol dari alam dan semua perangkat yang digunalan untuk mengkaji dan mengambil manfaat dari alam. Manusia dalam konteks agama, terutama Islam dipandang sebagai khalifah di muka bumi, yang bertugas mengatur stabilitas alam, karena alam telah ditundukkan Tuhan untuk manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran:

ﺮﺨﺳﻭ

ﻢﹸﻜﹶﻟ

ﻲِﻓﺎﻣ

ِﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ

ﻲِﻓﺎﻣﻭ

ِﺽﺭَﻷﹾﺍ

ﺎﻌﻴِﻤﺟ

ﻪﻨﻣ

ﱠﻥِﺇ

ﻲِﻓ

ﻚِﻟﹶﺫ

ٍﺕﺎﻳَﻷ

ٍﻡﻮﹶﻘﱢﻟ

ﹶﻥﻭﺮﱠﻜﹶﻔﺘﻳ

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi

kaum yang berfikir (Q.S. al-Jâtsiyah (45):13).

Ayat ini memang mengandung pengertian dominasi manusia atas alam sekitarnya, akan tetapi memiliki kaitan dengan ayat lain yang meniscayakan prinsip peran serta manusia dalam memelihara alam (Q.S. al-Baqarah (2): 30). Jika peran itu tidak jalankan dengan baik, maka izin untuk mendominasi alam tidak bisa diberikan padanya. Hal itu karena Tuhan, meskipun memiliki dominasi sepenuhnya atas alam, namun Dia sangat peduli dengan ciptaan tersebut melalui aturan-aturan, prinsip dan hukum alam yang disandarkan pada penciptaan-Nya. Pelestarian lingkungan

453

menuntut perhatian serius dari manusia karena termasuk dalam sistem keberimanan masyarakat beragama. Artinya, sumber daya alam dan lingkungan diciptakan oleh Tuhan dengan hukum-hukum yang menyertainya, sebagai daya dukung bagi kehidupan manusia secara optimum (Q.S. al-Jâtsiyah (45): 15). Dengan begitu, jika kembali pada ajaran-ajaran perenialisme, baik dalam agama, tradisi yang bersifat

local wisdom, maka bencana alam atau krisis alam dapat dihindari, dan penggunaan

teknologi menjadi terkontrol, tidak melampaui batas-batas hukum alam dan entitas wujud yang ada di dalamnya. Maka hikmah material dan spiritual akan didapat oleh manusia. Seyyed Hossein Nasr menyebutkan, bahwa aspek material dan spiritual adalah bagian penting dari hubungan erat antara manusia, alam dan Tuhan,454 yang dalam al-Quran hal ini merupakan pusat perhatian dari ajaran agama.455 Krisis lingkungan adalah bagian dari pola keyakinan yang mengabaikan Tuhan sebagai basis spiritual dalam komunikasi dengan alam. Dimensi etis dalam hubungan dengan lingkungan adalah keingkaran terhadap kepentingan diri dan penghargaan terhadap nilai-nilai yang dikandung dalam alam. Manusia yang beragama akan berpegang teguh pada aspek moralitas sehingga tidak merusak atau menghancurkan lingkungan. Ayat yang menunjukkan bahwa segala entitas di alam bertasbih dan bersujud kepada Tuhan adalah bentuk penghargaan alam kepada penciptanya. Dengan kesatuan tujuan itu, maka setiap entitas pada alam memiliki kewajiban dalam rangka menjaga, memelihara dan menstabilkan sistem kehidupannya.

Nilai spiritualitas dalam menyikapi alam adalah etika yang menghargai alam sebagai wujud yang memiliki kesamaan dengan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dengan demikian alam menjadi sesuatu yang bermakna dan manusia memanifestasikan dirinya dengan cara-cara yang bijak dan jauh dari perilaku kejam, baik untuk diri maupun lingkungan hidupnya. Namun setelah sains modern

454

Seyyed Hossein Nasr mengisyaratkan kosmologi riil dalam arti tidak diabaikannya aspek metafisika dalam alam. Lebih lengkap baca Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature

(California: University of California Press, 1984) h. 34-36.

455Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: State University of New

mengalami sekularisasi di Barat, ditambah dengan, makin cerdas dan berkuasanya masyarakat modern, sains dan teknologi berfungsi secara aksiologis sebagai media untuk eksploitasi alam,456 dan hasil dari serapan sains pada alam semata-mata untuk peningkatan kesejahteraan manusia dalam bidang material-ekonomi semata. Dan banyak dari ilmuan dan intelektual menganggap hal tersebut sebagai implikasi dari paradigma sains yang sekular dan lepas dari metafisika, serta masyarakat modern yang rasionalis dan antroposentris.

Paradigma (asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban, misalnya sains dan teknologi)457 sains yang secara objek ilmu pengetahuan hanya fokus pada realitas yang bisa diindrakan atau empirik belaka, atau pengetahuan yang lebih diarahkan pada alam dan dunia fisik-material semata.458 Material itu bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, sedangkan dimensi spiritual adalah kebutuahan rohaniah manusia. Para pengkritik sains dan teknologi modern ini melihat, bahwa karena tidak dapat diaksesnya nilai spiritualitas pada alam adalah disebabkan oleh paradigma epistemologi sains modern Barat yang cenderung sekular- materialis-empirik dan pragmatis. Sehingga yang dikedepankan adalah aspek material ekonomi dari alam. Dan sikap seperti ini akan melahirkan sikap dominasi alam untuk kebutuahan material manusia.

Manusia modern sebagai manusia yang rasional telah melakukan suatu kesalahan dalam fungsionalisasi sains sebagai sarana untuk mengeksploitasi alam. Secara umum dengan pola hidup yang telah terbuang dari ajaran agama, maka landasan etika moral masyarakat modern adalah hukum logika. Sesuatu akan dipandang baik dan buruk apabila sesuai dengan logika. Masyarakat modern adalah masyarakat yang instan dan pragmatis. Ekonomi dan kesenangan material-duniawi adalah hal yang paling didambakan. Maka tidak heran keserakahan telah menjadi ciri dari manusia modern tersebut, segala cara akan dilakukan demi tercapainya

456

Husain Heriyanto, Paradigma Holistk, h. 39.

457Armahedi Mahzar, "Pengantar", dalam Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, h. xiii. 458

kemapanan ekonomi. Di samping itu, gaya hidup yang mewah, dengan mendirikan bangunan-bangunan yang megah, juga telah berdampak pada sikap eksploitasi alam. Hutan ditebang secara besar-besaran demi membuka lahan untuk dijadikan bangunan. Industri dan perusahaan telah menjadi pasak bumi, menggantikan gunung-gunung yang dalam ajaran Islam, gunung dijadikan sebagai pasak bumi dan penjaga keseimbagan alam (QS. al-Fushshilat (41): 10).459

Berulang kali ayat-ayat al-Quran mengingatkan manusia untuk berlaku takwa,460 yaitu memegang prinsip-prinsip nilai etika pada lingkungan. Sikap demikian menurut ibnu Mas'ud dalam pengantar tafsir Ibnu Katsir, dianalogikan seperti rasa takut melewati jalan berduri, berhati-hati, penuh perhitungan. Hal ini juga dikaitkan dengan dimensi masa depan manusia (QS. al-Hasyr (59): 18), yakni masa dimana manusia dimintai segala pertanggungjawaban atas perilakunya dalam lingkungan secara luas. Dengan begitu, penghayatan atas ajaran Islam yang memandang alam sebagai makhluk religius karena memiliki hubungan langsung dengan Tuhan akan berpengaruh kepada perilaku manusia baik secara individu maupun sosial untuk meletakkan dirinya dan alam secara sejajar. Jika tidak, maka akan terjadi malapetaka karena sikap yang sewenang-wenang terhadap alam.

Dari Spiritualitas menuju Aksi (komprehensifitas Ajaran Islam)

459

Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam pandangan spiritual, kalimat "gunung berfungsi sebagai pasak bumi", dapat diibaratkan dengan hukum-hukum spiritual dan tuntunan ilahi yang ditanamkan dalam jiwa manusia. Fungsi gunung dalam alam fisika sama dengan fungsi wahyu dan ilham dalam alam spiritual. Pemaknaan yang lebih luas terhadap gunung tidak berarti menghilangkan eksistensinya sebagai pasak bumi, melainkan sebagai bukti kesatuan sistem dalam alam dan firman Allah SWT., mengenai hal itu sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Lihat Quraish Shihab, Dia Dimana; Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2007) cet. v, h. 71.

460Nabi Muhammad SAW memadukan dimensi akhirat dan masa depan bumi dalam satu nilai

ketakwaan kepada Tuhan. Manusia diingatkan untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah di kemudian hari. Manusia dianjurkan untuk menanam pohon walaupun seandainya ia tahu esok hari akan kiamat. Bahkan di dalam kondisi dan situasi kemanusiaan genting sekalipun, yaitu peperangan, manusia diminta dengan tegas untuk tidak menghancurkan pepohonan, rumah ibadah, di samping tidak membunuh anak-anak dan wanita.

Terhadap krisis lingkungan yang sedang terjadi, terdapat sedikitnya dua pandangan yang merespon isu ini. Pertama, pandangan ekologi dalam (deep ecology) yang mencoba menyelesaikan permasalahan dengan menumbuhkan kesadaran yang berdimensi spiritual. Gerakan ini digulirkan pertama kali pada 1972 oleh Arne Naess, asal Norwegia. Gerakan ini bermaksud mendobrak cara pandang manusia modern yang mekanistik terhadap lingkungan menuju pandangan yang tidak antroposentris melainkan ekosentris dengan memandang manusia sebagai bagian integral tak terpisahkan dari alam kosmis. Kedua, pandangan ekologi dangkal (shallow ecology), yang bersifat superfisial, dangkal dan parsial karena terbatas pada isu-isu polusi, kelangkaan SDA dan penyehatan lingkungan tanpa merubah cara pandang terhadap lingkungan.461

Berbeda dengan masing-masing gerakan lingkungan ini, Islam lebih bersifat komprehensif dalam merespon krisis lingkungan yang terjadi. Islam mampu merangkul kedua bentuk gerakan tersebut, ia tidak hanya berisi ajaran yang tertulis secara kaku, melainkan sebuah pemahaman yang bersifat terbuka dan sempurna. Tawaran Islam sesuai dengan spiritualitas yang ditawarkan deep ecology, pada saat yang sama juga bersikap apresiatif terhadap aktifitas sains dan riset ilmiah yang ditentukan oleh shallow ecology. Atas dasar inilah maka Islam merespon aktifitas ilmiah sebagai bagian dari upaya melakukan pembangunan berkelanjutan untuk kelestarian lingkungan. Pembahasan ini perlu untuk dihadirkan pada bagian akhir tesis sebagai wujud komprehensifitas ajaran Islam dalam merespon krisis lingkungan hidup.

Harus diakui bahwa keberhasilan manusia dewasa ini, secara individu maupun sosial diukur dari kemampuannya menguasai ilmu pengetahuan.462 Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengarahkan manusia menuju pola

461

Husain Heriyanto, "Respon Realisme Islam terhadap Krisis Lingkungan", dalam Fachruddin M. Mangunjaya (ed), Menanam Sebelum Kiamat, h. 95.

462Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia

hidup modern. Laju kehidupan modern yang disertai dengan perubahan gaya hidup kemudian berdampak pada kurangnya daya dukung alam terhadap kebutuhan manusia. Untuk itulah maka dibutuhkan perencanaan yang berkelanjutan untuk mendukung keberlangsungan hidup manusia di masa mendatang dengan ketersediaan sumber daya alam yang memadai.

Setelah memaparkan beberapa hal terkait dengan upaya merekonstruksi paradigma manusia menuju sikap yang proporsional terhadap lingkungan, dimana alam, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-An'âm (6): 38, adalah

ﻢﹸﻜﹸﻟﺎـﹶﺜﻣﹶﺍﻢـﻣﹸﺍ

(makhluk yang memiliki persamaan dengan manusia), sehingga tuntutan untuk memperlakukan alam dengan baik akan selalu ada pada manusia sebagai pemegang amanat Tuhan di muka bumi. Selanjutnya, untuk melengkapi usaha keluar dari permasalahan degradasi lingkungan yang sedang berlangsung saat ini, maka perencanaan melalui program-program lingkungan hidup adalah keniscayaan. Karena itulah Seyyed Mohsen Miri, sebagaimana penulis sampaikan di atas, menekankan aspek ini sebagai pelengkap atas rekonstruksi paradigma tadi. Dalam al-Quran, Tuhan telah mengingatkan, Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat, amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu