• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia, Masyarakat dan Lingkungan Kultural/Budaya di Pekalongan

Dalam dokumen Perjanjian No : III/LPPM/ /82-P (Halaman 83-86)

DI KAUMAN, SUGIHWARAS DAN SAMPANGAN, PEKALONGAN – JAWA TENGAH

5.3. Manusia, Masyarakat dan Lingkungan Kultural/Budaya di Pekalongan

Pekalongan merupakan salah satu kota pesisir yang berada di pantai utara Pulau Jawa, atau

lebih tepat dapat disebut sebagai sebuah kota pesisir di pantai utara Jawa Tengah. Kota ini

pada tahun 2015 berusia 393 tahun (terbentuk pada 25 Agustus 1622). Selain bercirikan

sebagai kota pesisir, Pekalongan mempunyai sebutan sebagai Kota Batik, semboyan kotanya

adalah BATIK yang merupakan akronim dari Bersih, Aman, Tertib, Indah dan Komunikatif.

Kekayaan dalam seni batik di Pekalongan dimulai pada tahun 1800 an dan berkembang pada

saat terjadinya Perang Diponegoro pada tahun 1825 sampai dengan 1830. Saat terjadinya

Perang Diponegoro, masyarakat yang berada di wilayah Solo dan Jogyakarta merasa tidak

nyaman keadaannya, sehingga sebagian masyarakat melarikan diri kearah timur dan kearah

barat. Salah satu kota yang menjadi tempat tinggalnya adalah di Pekalongan. Masyarakat

yang berpindah ke Pekalongan tersebut mengembangkan seni membatiknya secara turun

temurun sampai saat ini. Posisi Pekalongan yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa dengan

pelabuhan laut yang dimilikinya, merupakan lokasi yang mudah disinggahi oleh pendatang

pendatang dari mancanegara (Cina, Timur Tengah/Arab dan Eropa) mempunyai maksud

untuk berdagang. Selain berdagang, sambil menunggu arah angin yang tepat untuk dapat

kembali kenegaranya, mereka sementara tinggal dan menetap di Kota Pekalongan.

Komunikasi dan interaksi yang terjadi diantara penduduk asli Pekalongan (pribumi) dengan

pendatang/pedagang, mengakibatkan beberapa pendatang merasa nyaman untuk menetap di

Pekalongan. Kehadiran para pendatang/pedagang yang menetap di Pekalongan, disertai

dengan adanya perkawinan, menjadikan penduduk Pekalongan saat ini terdiri dari penduduk

asli (pribumi) penduduk keturunan etnis Cina dan penduduk keturunan etnis Arab. Penduduk

keturunan etnis Arab awalnya menetap di daerah yang saat ini disebut sebagai wilayah

Sugihwaras. Hal ini ditandai dengan adanya Mesjid Wakaf yang terletak di Jalan Surabaya

(gambar 5.15). Penduduk keturunan etnis Cina menetap di wilayah yang disebut sebagai

Sampangan, hal ini ditandai dengan adanya Klenteng Po An Thian (gambar 5.16)

Penduduk Pekalongan yang berasal dari Cina dan Timur Tengah dalam hal aktivitas

berdagang, terutama yang berkaitan dengan produk batik, membawa pengaruh terhadap

motif batik yang berkembang di Pekalongan seperti motif Jlamprang yang dipengaruhi oleh

Arab dan Cina. Motif Tiga Negeri yang dipengaruhi oleh Belanda dan motif Hokokai yang

dipengaruhi oleh Jepang mulai berkembang pada saat penjajahan kedua bangsa tersebut di

Indonesia. Aktivitas produksi dan distribusi batik di Pekalongan, mengalami masa pasang

surut, tetapi sejak tahun 2009 dimana United Nations Educational, Scientific and Cultural

Organization (Unesco) secara resmi menetapkan bahwa batik merupakan kekayaan budaya

asli Indonesia, eksistensi batik terus meningkat, baik ditingkat lokal maupun ditingkat

nasional. Bahkan beberapa propinsi di Indonesia berusaha mengembangkan corak batik yang

khas, seperti Papua dengan batik khas bercorak burung cenderawasih, DKI Jakarta dengan

batik bercorak penari topeng betawi dan corak ondel-ondel, Lampung dengan batik bercorak

dengan ikon daerah. Selain kekayaan dalam seni batik, Pekalongan memiliki kekayaan hasil

laut, yang pengolahannya berupa ikan dalam kaleng, ikan fillet, ikan asin dan tepung ikan.

Industri yang berkaitan dengan penangkapan ikan turut berkembang di Pekalongan, seperti

galangan kapal, kapal serat fiber. Sebagai ungkapan terima kasih atas kekayaan laut yang

dimiliki masyarakat Pekalongan, setiap tahun diselenggarakan acara sedekah laut. Acara

sedekah laut diadakan pada bulan Muharram/Syura dengan ritual berupa menghias perahu

kemudian dilengkapi dengan sesaji berupa kepala kerbau, jajan pasar, wayang Dewi Sri dan

Pandawa Lima serta aneka mainan anak-anak; kemudian dilakukan doa-doa untuk memohon

keselamatan dan keberhasilan hasil tangkapan. Setelah selesai acara doa, dilanjutkan dengan

acara melarung seluruh sesajian ketengah laut; kepala kerbau merupakan bagian sesaji yang

paling dahulu dilarung dan diikuti dengan benda sesaji yang lain. Kekayaan hasil laut dengan

budaya Sedekah Laut/Nyadran mempererat kehidupan bermasyarakat serta merupakan obyek

pariwisata. Tradisi sedekah laut pelaksanaannya dapat bersamaan dengan acara budaya cina

Pek Chun (gambar 5.19). Masyarakat keturunan Cina di Pekalongan, melestarikan budaya Pek Chun, yang diadakan pada tanggal lima bulan kelima dalam kalender Imlek. Acara ini

diadakan di daerah Pecinan yaitu di jalan Belimbing (Sampangan), dengan ciri khas berupa

kuliner dalam bentuk makanan yang disebut sebagai bacang (nasi ketan berisi daging

dibungkus daun kelapa) dan acara mendirikan telur di sungai loji (jalan Belimbing) serta

atraksi barongsay. Kekayaan budaya lain di Pekalongan berupa tradisi Syawalan (gambar

5.18), yaitu acara silaturahmi masyarakat yang diselenggarakan oleh penduduk yang tinggal

di daerah Krapyak (Pekalongan Utara) dalam rangka Idul Fitri. Acara ini diadakan seminggu

setelah hari Idul Fitri, dan dihadiri oleh seluruh masyarakat Pekalongan, dengan makanan

utama berupa tumpeng dalam ukuran besar yang terbuat dari lopis (ketan), disebut sebagai

lopis raksasa; makna dari hidangan lopis yang berasal dari ketan adalah mempererat

pemotongan lopis raksasa oleh pemimpin daerah (Walikota), kemudian lopis dibagikan

kepada masyarakat yang hadir. Selain menyediakan makanan berupa lopis raksasa,

masyarakat Krapyak menyediakan pula makanan dan minuman lainnya yang dapat dinikmati

oleh para pengunjung dalam acara silaturahmi ini secara cuma-cuma. Tradisi Syawalan/Lopis

Raksasa (gambar 5.18) merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun dan telah

dilaksanakan lebih dari seratus tahun. Acara Syawalan tidak serta merta selesai setelah

menikmati lopis, tetapi masyarakat melanjutkan acara dengan wisata ke pantai Slamaran.

Tradisi/budaya lainnya yang berkembang di Pekalongan adalah peringatan Hari

Kemerdekaan Republik Indonesia, dimana beberapa Kelurahan menyelenggarakan acara khas,

antara lain pemotongan lontong raksasa/jumbo, pemotongan kue talam raksasa/jumbo dan

karnaval keliling kota. Budaya yang terjadi pada masyarakat Pekalongan merupakan

perpaduan antara budaya Jawa/pribumi, budaya muslim (sedekah bumi dan Syawalan) dan

budaya Cina (pek chun) termasuk diantaranya budaya Bhineka Tunggal Ika (Hari

Kemerdekaan Indonesia).

Gambar 5.18. Tradisi Syawalan/Lopis Raksasa Gambar 5.19. Tradisi Pek Chun

Dalam dokumen Perjanjian No : III/LPPM/ /82-P (Halaman 83-86)