• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Konsep dan Teori

1.5.1 Konsep

1.5.1.5 Masyarakat

Masyarakat merupakan satu kesatuan golongan yang mendiami suatu lokasi tertentu dan mempunyai kepentingan yang sama. Seperti; sekolah, keluarga, perkumpulan. Masyarakat juga merupakan salah satu satuan sosial sistem, atau kesatuan hidup manusia. Menurut Koentjaraningrat (1994)

masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat bersambung dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama. Masyarakat Pesisir sibolga memiliki sistem kekerabatan yanag dikenal dengan adat sumando yang diikuti masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga.

Adat sumando merupakan ikatan batin yang sangat kuat baik itu dalam hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dimana keputusan mengenai masalah adat dan keluarga dikatakan tidak sah, tanpa melibatkan semua musyawarah anggota keluarga baik dari keluarga pihak laki-laki, maupun pihak perempuan yang telah bersatu dengan adat sumando Pesisir dan disahkan berdasarkan agama Islam, dan didalam adat sumando Pesisir garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki (patrilinear) dimana dalam hal ini pihak Ayah di masyarakat Pesisir adalah orang yang pertama mengambil keputusan dalam suatu rumah tangga dan apabila dalam keluarga tersebut lahir anggota keluarga baru dalam hal ini anak, maka si anak akan memakai gelar / marga yang dimiliki Ayah

1.5.1.6 Adat Pernikahan Masyarakat Pesisir Sibolga

Pernikahan dalam masyarakat Pesisir Sibolga memiliki beberapa rentetan dalam pelaksanaannya, mulai dari Dimulai dari Risik-risik (memastikan seorang calon), Sirih Tanyo (bertanya kesediann calon), Maminang (menanyakan uang mahar), Manganta kepeng (mengantar uang mahar yang telah disepakati), Mato Karajo (akad nikah), Adat Malam Sikambang, Manjalang-jalang (mohon doa restu orangtua laki-laki). Selain itu ada upacara adat yang dilaksanakan pada malam hari sebelum perkawinan, acara adat ini disebut Malam Baine. Pada malam

baine akan digelar kegiatan kesenian Sikambang dimulai dengan tari Saputangan yang diiringi oleh lagu Kapri sebagai pembuka. Tarian ini berupa tarian muda mudi dimana menceritakan tentang bagaimana perkenalan hingga meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan, tentunya dalam tarian tersebut ada musik dan nyanyian sebagai pengiring tari, dimana nyanyian pada tari Saputangan berisi nasehat atau wejangan yang dilantukan oleh pemain musik Sikambang. Pada perkawinan masyarakat Pesisir diwaktu belakangan ini sudah sangat jarang dijumpai perkawinan yang memakai kesenian Sikambang dalam perkawinannya mengingat besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

1.5.1.7 Baralek

Istilah baralek adalah istilah yang digunakan masyarakat Minangkabau untuk menyebutkan sebuah kegiatan pesta yang merujuk pada pesta perkawinan dan pesta untuk pengangakatan penghulu atau disebut juga dengan “baralak gadang”. Dari sisi kata, kata baralek terdiri dari kata kerja, alek/pesta, yang dilakukan oleh suku Minagkabau dalam berbagai kegiatan seperti “ pernikahan, pengangkatan penghulu, membangun rumah dan sebagainya, namun baralek lebih identik dan dikenal dengan acara respsi perkawinan ala adat Minangkabau, dengan tata dan cara masing-masing dalam pelaksanaanya. Secara gadis besar tata cara yang dilakukan merujuk kepada aturan adat baku di Minangkabau dan tidak melanggar tuntunan syariat Islam.

Kata baralek juga digunakan oleh suku Melayu Pesisir Sibolga untuk menunjukkan kegiatan pesta perkawinan, dengan tata cara yang tidak jauh

berbeda dengan baralek bagai suku Minangkabau. Penyebutan “baralek” , dikarenakan, suku Minangkabau banyak mendiami daerah Sibolga sejak lama, mereka berbaur dengan masyarakat setempat dan masyarakat pendatang lainnya, serta menikah dengan suku-suku lain. kelompok masyarakat ini kemudian membentuk kelompok baru, yang dikenal dengan suku Melayu Pesisir Sibolga.

Adat istiadat yang dilakukan banyak mengadopsi dari kebudayaan Minangkabau, seperti pemakaian bahasa, kesenian, dan lain-lainnya termasuk adat perkawinan.

Dalam konteks kegiatan malam baine dalam rangkaian perkawinan Pesisir Sibolga, tari Saputangan merupakan bagian dari acara bersama kesenian sikambang dengan tari Saputangan dimana tarian ini sebagai tarian pembuka dari kesenian sikambang dan sebagai bagian dari prosesi adat.

1.5.1.8 Anak Daro

Anak daro adalah sebutan bagi pengantin perempuan di Minangkabau.

Istilah anak daro sendiri berasal dari kata anak dan dara yang artinya anak perempuan. Pasangan dari anak daro disebut marapulai (laki-laki) setelah sah dalam agama dan adat karena telah melakukan pernikahan sebelumnya. Pada saat ini anak daro tidak hanya ditemukan di acar baralek saja, tapi dapat juga berada di acara lainnya. Seperti pada acara pawai budaya, lomba pakaian adat, dan pada kegiatan adat lainnya.

Seorang anak daro jelas dikenali dari pakaiannya, yang terdiri dari sunting (accesoris untuk kepala) lengkap dengan baju tradisional yang didominasi warna-warna merah dan kuning keemasan. Sunting menjadi pertanda seorang anak daro.

Pada awalnya sunting yang dikenakan terbuat dari logam emas, namun sekarang

sunting terbuat dari perak dan logam meski warnanya tetap kuning keemasan.

Motif bunga yang menghiasi sunting menjadi simbol anak daro yang sedang mekar-mekarnya. Disamping sebagai hiasan kepala, sunting juga menyimpan filosofi yang dilihat dari ukuran yang cukup besar dan berat yang memiliki arti, bahwa seorang wanita dituntut kuat secara fisik ia juga harus kuat memikul tanggungjawab dalam rumah tangga nantinya.

Pada acara malam bainai, anak daro biasanya memakai sunting yang kecil, serta memakai baju khusus yang disebut baju tokah. Baju tokah dilengkapi dengan selendang yang disilangkan di dada calon pengantin perempuan (anak daro). Kegiatan ritual malam baine ini dimaksudkan untuk menjaga calon anak doro dari terhindar dari hal-hal buruk.

1.5.2 Teori

Teori merupakan suatu cara dimana dapat mengaitkan hal-hal tertentu sampai bisa mengatasi masalah yang terjadi dalam topik pembahasan yang peneliti teliti. Dalam memecahkan suatu permasalahan peneliti berpedoman pada beberapa teori yang berkaitan tentang struktur, fungsi dan makna dalam tari Saputangan Pesisir Sibolga. Marckward et al (1990:302), berpendapat bahwa teori memiliki tujuh pengertian, yaitu:

1. Sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan.

2. Sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan dan peranan ilmu pengetahuan.

3. Abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik.

4. Penjelasan awal atau rancangan hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang.

5. Spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang.

6. Dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek.

7. Ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang di eksekusi.

Untuk mengkaji objek penelitian yang peneliti lakukan peneliti memakai beberapa teori yaitu:

1.5.2.1 Teori Struktur

Dalam mencari struktur tari Saputangan, peneliti akan menganalisis dan mendeskripsikan pola gerakan-gerakan yang disajikan dalam tari Saputangan.

Dimana nantinya peneliti akan mendeskripsikan pola gerakan satu ke pola gerakan lainnya dan menjabarkan secara terperinci maksud dalam gerakan tersebut. Landasan teori ini akan difungsikan untuk mempertajam analisis untuk mengembangkan kepekaan atas fenomena di dalam eksistensi tari Saputangan.

Dengan demikian penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji maupun membuktikan suatu teori, melainkan sebagai alat untuk menguji maupun membuktikan suatu teori. Dalam teori ini juga akan membantu dalam menganalisis beberapa elemen penting sebagai pendukung dalam tari Saputangan seperti; penari, gerak, pola lantai, properti, busana, musik iringan dan pendukung tari lainnya.

Strukturalisme pada hakikatnya adalah sebuah komperatif, sebab strukturalisme berusaha menemukan isomorfim dalam dua atau lebih isi. Sekali unit-unit, bagian-bagian, atau elemen-elemen itu dipisahkan secara analitis, mereka dapat digabungkan, digabungkan ulang, dan ditransformasikan untuk menciptakan model-model baru. Strukturalisme berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen menyeluruh melalui prosedur-prosedur sistematis, dimana metode analisis adalah strukturalis ketika makna, menurut obyek yang dianalisis, diambil bergantung pada susunan bagian-bagiannya.

Menurut teori, strukturanalisme bekerja dengan sistem makna tertutup yang elemen-elemennya dapat diperoleh dan dipisahkan menurut beberapa prinsip atau aturan. Dengan demikian fenomena-fenomena semacam itu dapat dipahami sebagai sistem penandaan atau simbol yang terbuka untuk dikaji.

Budiman (1999: 111-112), berpendapat bahwa strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur, yaitu di dalamnya akan menitik beratkan pada usaha mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya.

Disamping itu, strukturalisme memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau tersusun secara konkrit, sebagai “teks”, fenomena teoritis yang dihasilkan oleh definisi-definisi dan operasi-operasi teoritis (Foucoult, 1973: 47).

Sumandiyo Hadi dalam bukunya yang berjudul Kajian Tari Teks dan Konteks menyatakan bahwa kajian tekstual artinya fenomena tari dipandang sebagai bentuk fisik (teks) yang relatif berdiri sendiri, yang dapat dibaca, ditelaah atau dianalisis secara tekstual atau “men-teks” sesuai dengan konsep pemahamannya. Semata-mata tari merupakan bentuk atau struktur yang nampak

secara empirik dari luarnya saja atau surface struktur tidak harus mengaitkan dengan struktur dalamnya (deep structur). Adanya suatu kesamaan dalam menganalisa tari dan karawitan secara tekstual, maka berangkat dari pemahaman di atas, paradigma yang digunakan dalam menganalisis tekstual tari Saputangan antara lain: analisis komposisi, dan analisis penanda.

Dalam Penelitian nantinya peneliti lebih terfokus memakai teori yang dikemukakan oleh Sumandiyo Hadi untuk mendeskripsikan pola gerakan tari Saputangan dari satu pola gerakan ke pola gerakan berikutnya. Adanya suatu kesamaan dalam menganalisa tari Saputangan secara tekstual, maka berangkat dari pemahaman di atas, paradigma yang digunakan dalam menganalisis tekstual tari Saputangan adalah analisis komposisi yang akan mendeskripsikan bagaimana uraian mengenai beberapa elemen yang dimiliki tari Saputangan antara lain:

Penari, gerak, pola lantai, properti, busana, musik iringan, dan pendukung pertunjukan.

1.5.2.2 Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi sosio budayanya tari Saputangan dalam kebudayaan masyarakat Pesisir Sibolga maka peneliti menggunakan beberapa teori dari para pakar teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara istitusi-institusi (pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya

By the definition here offered „function‟ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Dalam kaitannya dengan tari Saputangan pada upacara perkawinan adat Sibolga, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari saputangan dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Pesisir Sibolga.

Teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Radcliffe-Brown mengatakan, bahwa berbagai aspek

prilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.

Selanjutnya Malinowski dalam Koentjaraningrat, 1987:167), menyatakan bahwa pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintergrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaru atau efeknya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlat untuk berlangsungnya secara intergrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.

Menurut peneliti teori fungsional ini memfokuskan pada fungsi-fungsi sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi itu

adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan Bersama.

Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda juga mengemukakan fungsi tari pada masyarakat dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5)sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritualperburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).

Soedarsono membagi fungsi tari ke dalam 3 kelompok besar dengan berdasar pada pengamatan terhadap tari tersebut. Adapun pembagian fungsi tari menurut Soedarsono adalah sebagai berikut:

1. Pengamatan terhadap tarian yang difungsikan sebagai upacara. Fungsi tari sebagai upacara, pemujaan atau ritual memiliki cirri-ciri yakni dipentaskan pada waktu, tempat dan penari yang terpilih serta dilengkapi dengan sesajian.

2. Pengamatan terhadap tarian yang difungsikan sebagai hiburan pribadi. Tari yang berfungsi sebagai hiburan bagi pribadi dicirikan dengan gerakan yang spontan contohnya saat ada pertunjukan musik di hajatan lalu seseorang secara spontan ikut menari. Ini adalah hiburan secara pribadi menurut Soedarsono.

3. Pengamatan terhadap tarian yang difungsikan sebagai penyajian yang estetis. Tari yang berfungsi sebagai sajian estesis adalah seni tari yang dipersiapkan sebaik mungkin untuk dipentaskan pada khalayak umum baik itu di gedung kesenian ataupun media semacam televisi.

Dalam penelitian nantinya peneliti akan menggunakan teori Fungsionalisme yang dikemukakan oleh Radcliffe-Brown sebagai acuan untuk mencari fungsi tari Saputangan pada upacara pernikahan masyarakat Pesisir Sibolga, digunakannya teori ini karena peneliti melihat peran masyarakat maupun organisasi budaya dalam menyepakati fungsi tari tersebut dalam suatu kegiatan budaya masyarakat Pesisir Sibolga.

Sejalan dengan pendapat Soedarsono, Jazuli (1994:4–46) mengatakan bahwa fungsi tari diantaranya adalah untuk upacara, tari sebagai hiburan, tari sebagai pertunjukan, dan tari sebagai media pendidikan.

A. Tari untuk sarana Upacara

Fungsi tari sebagai sarana upacara dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

1). Upacara keagamaan yaitu jeinis tari yang diguakan dalam perisritiwa keagamaan . jenis tarian semacam I n masih bias dilihat di pulau Bali sebagai pusat prkembangan agama HJindu. Jenis tarian in I diselenggarakan di pura-pura pada waktu tertntu dan merupakan tarian esaji yang bersifat religi.

2). Upacara adat berkaitan dengan peristiwa alamiah. Upacara adat merupakan upacara yang berlangsung sesuai dengan kepentingan masyarakat di lingkungannya. Selama adat masih dipergunakan upacara semacam itu akan berlangsung terus secara turun temurun.

3). Upacara adat berkaitan dengan peristiwa kehidupan manusia, adalah upacara yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang erat hubungannya dengan keberadaan hidup manusia, seperti kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan kematian. Juga peristiwa kebutuhan hidupnya, seperti berburu, berperang, penyembuhan dari sakit, penyambutan dan sebagainya. Jenis tari-tarian ini banyak kita jumpai didaerah-daerah di Indonesia.

B. Tari sebagai Hiburan.

Tarian ini lebih menitik beratkan kepada pemberian kepuasan perasaan, tanpa mempunyai tujuan yang lebih dalam dengan tujuan untuk hiburan itu sendiri.

C. Tari sebagai Seni Pertunjukan atau tontonan.

Seni Pertunjukan adalah seni yang dipertunjukkan untuk menarik perhatian bila ditonton. Seni pertunjukan memerlukan pengamatan yang lebih serius daripada sekedar untuk hiburan. Penyajiannya selalu mempertimbangkan nilai-nilai artistik, sehingga penikmat dapat memperoleh pengalaman estetis dari hasil pengamatannya.

D. Tari sebagai Media Pendidikan.

Pendidikan seni merupakan pendidikan sikap estetis guna membantu membentuk manusia seutuhnya yang seimbang dan selaras dengan perkembangan fungsi jiwa, perkembangan pribadi yang memperhatikan lingkungan sosial, budaya, dan dalam hubungannya dengan Tuhan.

1.5.2.3 Teori Semiotika

Untuk mengkaji makna tari yang terkandung dalam tari Saputangan, peneliti menggunakan teori semiotik. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan akan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika ialah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa memiliki lambang bunyi tersendiri.

Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam prilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss yaitu Ferdinand de Saussure. Menurutnya semiotika merupakan kajian mengenai “kehidupan tanda dengan masyarakat yang mengguanakan tanda-tanda itu”. Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul kepermukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Saussure dan karya-karya filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.

1. Charles Sanders Peirce menggunakan segitiga makna yang terdiri dari tanda, object dan interpretant. Tanda adalah suatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk

kepada hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol, ikon, dan indeks, acuan tanda ini disebut object (konteks sosial).

2. Ferdinand de Saussure membagi kedalam dua bagian yaitu penanda dan pertanda. Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya tari saputangan. Dalam konteks penelitian ini adalah struktur tari saputangan yang terdapat dalam karya tari suku Pesisir Sibolga dalam acara pesta perkawinan, khususnya yang difungsikan dalam acara malam baine. Sedang pertanda adalah makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam tari saputangan. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.

Berdasarkan teori semiotik Saussure, tari saputangan akan di lihat dari sisi penanda dan petanda dalam perwujudannya pada acara malam baine.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memahami permasalahan yang telah ditetapkan. peneliti juga menerapkan penelitian kualitatif, yaitu tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), Tahap kerja lapangan, Analisis data dan penulisan laporan 27 (Moleong, 2002:109). Di samping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, peneliti juga menggunakan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir. Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan

ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data. Dalam hal ini digunakan dua macam metode, yakni menggunakan daftar pertanyaan tertulis (questionnaires), dan menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut, dalam penelitian ini digunakan pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian (Djarwanto, 1984:25). Nantinya metode ini akan membantu mencari bagaimana sebuah gerakan dilakukan dalam sebuah tarian bagaimana pola dalam tarian tersebut dan mendeskripsikannya. Deskriptif menurut sukardi (2003: 15) adalah metode yang berusaha menggambarkan obyek atau subyek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik obyek yang diteliti secara tepat.

ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data. Dalam hal ini digunakan dua macam metode, yakni menggunakan daftar pertanyaan tertulis (questionnaires), dan menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut, dalam penelitian ini digunakan pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian (Djarwanto, 1984:25). Nantinya metode ini akan membantu mencari bagaimana sebuah gerakan dilakukan dalam sebuah tarian bagaimana pola dalam tarian tersebut dan mendeskripsikannya. Deskriptif menurut sukardi (2003: 15) adalah metode yang berusaha menggambarkan obyek atau subyek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik obyek yang diteliti secara tepat.