• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN SASTRA PERANAKAN CINA

2.2 Masyarakat dan Sastra Peranakan Cina

Hampir satu abad, antara tahun 1870 hingga 1960, telah dihasilkan 3005 karya sastra produksi sastrawan Peranakan. Karya sastra tersebut berupa sandiwara, syair, terjemahan-terjemahan karya-karya Barat dan Cina, serta novel dan cerpen asli (Salmon, 1985: xv). Sastra Peranakan Cina merupakan sastra yang dihasilkan oleh segolongan penduduk Peranakan yang pada masa itu (berdasarkan masuknya tentara Jepang ke Indonesia, Maret 1942) disebut Tionghoa-Peranakan. Tionghoa-Peranakan merupakan sebutan bagi orang Cina yang sudah beberapa keturunan menetap di Indonesia. Umumnya, mereka sudah tidak berkomunikasi dalam bahasa asli. Hubungan kekeluargaan dengan negeri asal juga sudah terputus. Bagi mereka, Indonesia merupakan tanah air

satu-satunya (Lan, 1962: 7,8). Menurut Skinner (dalam Tan, 1979: x), orang Peranakan adalah mereka ya ng sudah mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Para sastrawan Peranakan seringkali memasukkan ideologi, adat, atau filsafat Tiongkok dalam karya mereka meskipun sudah menganggap Indonesia sebagai tanah air. Akulturasi budaya yang mereka lakukan bukan berarti menghapuskan kebudayaan asal leluhur. Misalnya dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen. Sang pengarang memunculkan tokoh Cina totok, Tan Bi Liang, dan perempuan pribumi, Soemirah, yang akhirnya hidup bersama. Pengarang menampilkan latar tempat yang detail dalam cerita, yakni Sumedang dan Bandung. Sejarah kota Sumedang juga digambarkan. Pengarang tahu betul dengan tempat-tempat yang menjadi latar cerita novel. Hal tersebut memperlihatkan kedekatan emosional pengarang dengan lingkungan bangsa Indonesia.

Pengaruh Cina tampak dalam pemikiran tokoh Tan Bi Liang yang dimunculkan pengarang. Pemikiran itu pun akhirnya mempengaruhi tokoh pribumi, Soemirah, sebut saja pandangan dalam ha l pergaulan. Misalnya saja antara laki- laki dan perempuan meskipun masih saudara tidak diizinkan untuk terlalu dekat atau akrab. Selain itu, bukti bahwa masih adanya pengaruh Cina dalam pemikiran pengarang tampak dalam peristiwa pindahnya Tan Bi Liang dan keluarga ke Tiongkok. Peristiwa tersebut menunjukkan masih adanya hubungan emosional kaum Peranakan dengan tanah leluhur. Hal ini

membuktikan bahwa proses akulturasi kaum Peranakan tidak sepenuhnya menghapuskan hubungan kekerabatan dengan tanah asal mereka.

Kemunculan kaum Peranakan di bumi Indonesia bukanlah tanpa disengaja. Menurut Soekisman sampai saat ini belum ada yang tahu pasti kapan permulaan perantauan orang Cina ke Indonesia. Akan tetapi, sejak dahulu kala manusia memiliki naluri untuk cenderung berpindah dari daerah yang lebih sulit ke daerah yang lebih mudah untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga yang dialami orang Cina. Para perantau ini datang tidak bersama anggota keluarga mereka. Awal kedatangan mereka hanyalah untuk berdagang, namun seir ing waktu atas dasar pertimbangan-pertimbangan praktis, mereka pun mengawini perempuan-perempuan pribumi. Mereka memanfaatkan para “istri” ini sebagai penjaga dan pengurus usaha dagangnya selama mereka pulang ke Cina. Dari perkawinan campur ini, anak laki- laki dibawa ke negeri leluhur untuk mendapat pendidikan asli Cina (1975: 3,5). Selain untuk urusan ekonomi, sisi praktis lainnya tentu saja urusan biologis maka tidak heran bila perkawinan itu menghasilkan keturunan. Menurut Suryadinata (1996: 6,7) masyarakat perantau harus berbaur dengan masyarakat lokal karena jumlah mereka yang sedikit. Keturunannya pun tidak lagi menguasai bahasa leluhur dan memakai bahasa Melayu untuk berkomunikasi.

Pada akhir abad 19, percetakan dan surat kabar berbahasa Melayu muncul. Masyarakat Peranakan sudah tidak menguasai bahasa asal dan juga bahasa Barat (Belanda dan Inggris) tetapi mereka memiliki minat baca yang besar terutama tulisan dengan bahasa yang mereka pahami. Terlebih lagi

mereka ingin mengetahui keadaan dan kebudayaan Cina. Hal itu menjadi peluang usaha bagi orang Cina yang pandai berbisnis. Mereka pun mulai menerjemahkan cerita-cerita Tiongkok ke dalam bahasa Melayu (Suryadinata, 1996: 7).

Karya kreatif penulis Peranakan muncul pada awal abad ke-20 lebih dini dari awal kemunculan sastra Balai Pustaka yang dinyatakan hadir tahun 1920. Novel-novel modern ini kebanyakan ditulis oleh wartawan. Oleh karenanya, cerita-cerita yang muncul didasarkan pada berita-berita koran pada waktu itu yang tentu saja sudah ‘dibumbui’ (Suryadinata, 1996: 10). Bisa disimpulkan bahwa permasalahan yang ada dalam karya sastrawan Peranakan mencerminkan kejadian pada zaman itu. Permasalahan yang sering muncul antara lain soal perkawinan campur, hubungan antar etnik, pendidikan Barat, dan juga ‘pernyaian’. Hal tersebut juga tampak dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan novel karya Jovenile Kou yang berjudul

Kota Medan Penu dengen Impian yakni novel yang menjadi objek penelitian ini.

Karya sastra tersebut dikarang oleh kaum Peranakan dengan menggunakan bahasa Melayu Rendah. Penggunaan bahasa tersebut disesuaikan dengan sasaran pembaca yang notabene adalah kaum Peranakan yang tidak bisa berbahasa Cina maupun bahasa Inggris atau Belanda. Menurut Steinhauer (dalam Faruk dkk, 2000: 25), bahasa Melayu Rendah merupakan bahasa yang umum digunakan dalam surat-surat kabar (media awal Sastra Peranakan Tionghoa). Selain itu, bahasa ini adalah bahasa percakapan sehari-sehari yang

digunakan secara nyata dalam pergaulan masyarakat luas dan kurang terstandarisasi. Bahasa Melayu jenis ini sering disebut dengan bahasa Melayu Pasar. Penggunaan bahasa Melayu Rendah menjadi alasan mengapa Sastra Peranakan Tionghoa termarginalkan dari kesusastraan Indonesia. Pemakaian bahasa ini dianggap tidak layak digunakan sebagai alat ekspresi sastra.

Karya sastra pada masa itu tidak selalu membicarakan kisah romantika saja. Namun, lebih banyak mengungkap fakta sosial keseharian mereka. Tema-tema nyai cukup mendominasi Sastra Peranakan Cina. Keberadaan nyai dalam kenyataan digunakan pengarang untuk mengungkapkan ideologi pengarang ketika dalam masa pergolakan. Kehadiran para nyai dalam dunia sastra memiliki pengaruh dalam konflik yang mewakili suatu zaman. Karakter yang muncul dalam tokoh nyai sangat dipengaruhi ole h latar sosial yang melingkupi mereka. Rupa-rupa tentang nyai menjadi motif sastra yang selalu mendapat perhatian dan selalu menjadi subjek utama cerita berbahasa Melayu Rendah.

Setiap tokoh memiliki image sendiri di mata para tokoh pendukung lainnya (dalam masing- masing novel). ‘Kenyaian’ mereka pun dilekatkan karena faktor- faktor yang berbeda. Kehadiran para nyai dalam kancah sastra yang muncul di Indonesia kiranya memiliki peran penting dalam sejarah bangsa maupun sejarah sastra. Hal itu dikarenakan keberadaan mereka memiliki pengaruh terhadap kekuasaan yang dimiliki seseorang. Kehadiran para nyai dalam novel Sastra Peranakan Cina setidaknya memberi gambaran sejarah eksistensi perempuan Indonesia.

Menurut Salmon, periodisasi Sastra Peranakan Cina dibagi menjadi 4 yakni (i) dari awal mula hingga tahun 1910, (ii) dari 1911-1923, (iii) dari 1924-1942, dan (iv) dari 1945-1960-an. Menurutnya, novel Kota Medan Penu dengen Impian muncul kurang lebih pada tahun 1922 dan tidak diketahui nama pengarangnya atau anonim. Novel itu pun masuk dalam periodisasi tahun 1911-1923 (1985: 58). Akan tetapi, sesuai dengan buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (jilid 7) tertera bahwa novel tersebut karya Jovenile Kuo dan terbit pada tahun 1928. Dalam hal ini, peneliti menggunakan data berdasarkan buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (jilid 7) karena lebih up to date. Oleh karena itu, peneliti memasukkan novel Kota Medan Penu dengen Impian dalam periodisasi dari tahun 1924-1942. Novel Cerita Nyai Soemirah yang terbit pada tahun 1917 masuk dalam periodisasi 1911-1923. Hal ini kiranya perlu diluruskan karena kemunculan novel tersebut berdampak pada situasi sosial masyarakat yang melatarbelakangi ideologi pengarang.

Pada periode 1911-1923 tingkatan sosial politik yang menonjol adalah perubahan-perubahan yang mempengaruhi susunan masyarakat Cina. Nasionalisme Cina semakin meningkat. Orang Cina totok dan Peranakan harus mempertahankan dan mempromosikan kebudayaan Cina dan bersikap anti-penjajah. Pada waktu yang sama nasionalisme Indonesia juga sedang digalakkan. Berbagai kebijakan pun dilakukan pemerintah kolonial untuk melawan pengaruh tersebut (Salmon, 1985: 52). Kondisi ini mempengaruhi proses penulisan karya sastra. Tema-tema yang muncul berhubungan dengan

perubahan masyarakat Peranakan. Selain itu, benturan antara nilai- nilai tradisi Cina (sekaligus Jawa) dengan nilai- nilai Barat juga dimunculkan. Pengertian perkawinan yang diatur orangtua (pribumi) bertentangan dengan pengertian Barat. Misalnya, dalam hal cinta dan pengaruhnya pada kehidupan keluarga. Para gadis terutama yang disalahkan atas pengaruh buruk dari pendidikan Eropa. Mereka dianggap seenaknya mematuhi adat istiadat yang sudah mapan. Emansipasi perempuan dipandang sebagai kesempatan kepada perempuan untuk terhanyut oleh hawa nafsu dan digambarkan dengan negatif (Salmon 1985: 59,60).

Sosok nyai dipandang sebagai tokoh pembawa gaya modern perempuan Indonesia. Tema itu juga yang sering ditemui dalam karya sastra Peranakan Cina. Modernitas yang dialami seorang nyai memunculkan dorongan untuk melakukan segala cara demi terwujudnya suatu keinginan. Modernitas seringkali lekat dengan perempuan Indonesia karena perempuan dirasa paling dekat dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, nyai dianggap memiliki hubungan paling dekat dengan modernitas. Perempuan-perempuan seperti merekalah yang memiliki kekerabatan dengan penguasa asing dan karenanyalah mereka dengan mudah merasakan pembaharuan-pembaharuan yang berkiblat Barat.