• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN

4.4 Nyai dalam Pandangan Pribumi dan Cina

4.4.1 Nyai dalam novel Cerita Nyai Soemirah

4.4.1.1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi

Ardiwinata, saudara misan Soemirah, berpandangan bahwa seorang lelaki lain bangsa tidak pantas mencintai gadis pribumi (terlebih keturunan bangsawan seperti Soemirah).

(32) “Saya rasa sobat percuma saja kalu musti turut hati akan gilain seorang perampuan Bumiputra yang masi gadis, apa lagi kalu ada darah bangsawan!” (Boen, 2001: 9)

Kutipan di atas merupakan percakapan antara Ardiwinata dengan Tan Bi Liang. Ardiwinata merasa Tan Bi Liang sia-sia mencintai gadis pribumi seperti Soemirah. Ardiwinata (bangsawan) merasa bahwa Tan Bi Liang tidak akan mampu bersaing dengannya untuk mendapatkan Soemirah. Faktor lain yang melatarbelakangi pendapat Ardiwinata tersebut adalah adanya ketidakharmonisan antara orang pribumi dan Tionghoa karena politik rasial kolonial. Ketika politik rasial belum berjalan, dimungkinkan seorang Tionghoa, meskipun hanya pedagang, bisa menjadi pendamping puteri bangsawan pribumi. Namun, setelah kolonial memerintah dan muncul politik rasial, hubungan tersebut menjadi terputus dan melahirkan asumsi negatif satu sama lain. Pengaruh politik devide et impera tersebut menumbuhkan beragam stereotipe sehingga menjadi pendukung kebencian rasial.

Pemerintah Hindia Belanda yang menganakemaskan bangsa Cina menimbulkan kebencian orang pribumi. Sikap Ardiwinata terhadap Tan Bi Liang pada dasarnya dilatarbelakangi kondisi tersebut. Kebencian Ardiwinata semakin meruncing dengan sifat cemburunya sebagai lelaki. Selain itu, Ardiwinata ingin menunjukkan bahwa Soemirah sendiri pasti tidak mau dengan Tan Bi Liang demi menjaga kehormatan keluarganya.

(33) “Sebab angkau pikir semua perampuan Bumiputra bole dibuat permainan, bukan?” (Boen, 2001: 9)

Pernyataan Ardiwinata tersebut menyiratkan bahwa tidak semua perempuan pribumi, termasuk Soemirah, mau menjadi pendamping lelaki lain bangsa. Ardiwinata menyatakan bahwa seorang lelaki lain bangsa memiliki kecenderungan suka mempermainkan perempuan pribumi. Pada masa itu memang banyak perempuan pribumi yang menjadi “permainan” lelaki lain bangsa. Pernyataan Ardiwinata di atas tersirat adanya keyakinan bahwa sosok Soemirah merupakan gadis terhormat dan karenanya tidak mau bersanding dengan lelaki lain bangsa. Ardiwinata memandang Soemirah berbeda dengan perempuan pribumi pada umumnya yang demi uang rela menjadi permainan lelaki lain bangsa, terlebih lagi lelaki itu hanya seorang Cina totok yang tidak jauh lebih kaya dibandingkan keluarga Soemirah.

Pernyataan Ardiwinata di atas me nggambarkan bahwa Tan Bi Liang hanya akan menjadikan Soemirah sebagai nyai. Di mata Ardiwinata, nyai dalam pernyataan tersebut memiliki pengertian nyai pada umumnya yakni gundik. Dengan kata lain, pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa seorang perempuan bangsawan pribumi selayaknya dihargai dan sepatutnya dinikahi bukan sekadar dijadikan gundik. Nyai bukan saja memiliki pengertian sebagai gundik, nyai juga merupakan predikat kehormatan bagi perempuan bangsawan seperti yang diungkapkan jongos hotel sebagai berikut.

(34) “Nyai Raden Soemirah.”

“Begimana?” tanya Bi Liang dengen kaget.

“Besok malam antara pukul sebelas, ia suruh Endjon bawa lagi teman pergi di rumanya Nyai Soemirah buat bawa lari itu orang perampuan.” (Boen, 2001: 18, 19)

Percakapan tersebut terjadi antara Tan Bi Liang dan jongos hotel. Jongos hotel yang merasa kedudukannya lebih rendah dari Soemirah, menggunakan istilah nyai setiap kali menyebut nama Soemirah. Selain predikat kebangsawanan, kata nyai yang mengikuti nama Soemirah memiliki arti sapaan penghormatan bagi seorang perempuan.

Kondisi sosial politik yang terjadi (pada masa itu) mempengaruhi pengarang dalam memunculkan pandangan tokoh Ardiwinata terhadap Soemirah, pribumi yang bersuamikan lelaki Cina. Menjadi pendamping tidak resmi (nyai) di masa itu masih dianggap tidak wajar oleh masyarakat pribumi. Berdampingan dengan lelaki bangsa lain sama saja dengan menjual diri dan menghina bangsa sendiri. Ardiwinata merasa bahwa seharusnya Soemirah dan ibunya merasa malu karena menjalin kerabat dengan lelaki Cina. Pernyataan Ardiwinata tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini.

(35) “Apa bibi tida malu bermantu orang Cina?”

“Soemirah sendiri tida malu berlaki Cina?” (Boen, 2001: 51)

“...dan bibi yaitu ibumu, rupanya suda lupa malu sampe menjual anaknya yang perampuan pada seorang Cina!Fuah!”

“Ya, angkau suda dijual pada seorang kafir!...” (Boen, 2001: 80) Seorang nyai dianggap sebagai bagian dari orang-orang kulit putih (Eropa, Cina). Kebencian rakyat terhadap orang kulit (prasangka rasial) membuat perempuan pribumi yang menjadi nyai terpaksa ikut menanggung kebencian bangsanya. Perempuan-perempuan ini dianggap sebagai pengkhianat bangsa (Christanty, 1994: 24). Saat itu sedang berkembang

nasionalisme Indonesia, jadi siapa saja ya ng berhubungan dengan orang asing akan dianggap telah mengingkari bangsa ini.

Kaum Cina dianggap minoritas dan mempunyai nilai negatif di mata pribumi, hal ini mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap siapapun yang berhubungan dengan lain bangsa. Sikap inilah yang ditunjukkan Ardiwinata pada Soemirah. Rasa malu yang muncul akibat berhubungan dengan lain bangsa ini juga ditunjukkan oleh ibu Soemirah, meskipun ibu Soemirah pada akhirnya merestui hubungan Soemirah dan Tan Bi Liang dengan mengajukan syarat seperti kutipan di bawah ini.

(36) “Tapi ada juga aku punya mau yang angkau musti turut. Angkau tida bole unjuk itu di hadapan orang banyak di sini, aku juga tida bisa tinggal lebi lama di Sumedang.”

“Bi Liang nanti pulang ka Bandung, ka mana saya mengikut dan ibu juga turut, bukan?”

“Ya, aku tida bisa lagi tinggal di Sumedang.” (Boen, 2001:76) Ibu Soemirah merasa sangat malu sehingga ia meminta pindah atau pergi dari kota Sumedang. Ia malu terhadap orang-orang Pawenang dan karenanya ia tidak bisa hidup di kota leluhurnya itu. Karena rasa malunya, ia tidak mau hubungan Soemirah da Tan Bi Liang diketahui banyak orang. Syarat tersebut memperlihatkan situasi sosial yang sama sekali menolak hubungan pribumi dengan orang asing. Sikap ibu Soemirah juga menunjukkan bahwa antara Soemirah dan Tan Bi Liang tidak terjalin hubungan resmi. Menurut pandangan masyarakat pribumi, pernikahan yang resmi terjadi bila disahkan secara agama. Pada masa itu, perkawinan bisa terjadi apabila orang tua pihak

perempuan menyetujui, merestui, dan meresmikannya di depan umum melalui berbagai cara, misalnya, kenduri atau pesta (Pram, 1987: 51-53).

Rasa malu ibu Soemirah muncul karena takut akan asumsi masyarakat sekitar bahwa ia pasti dinilai tega telah menjual anak gadisnya pada seorang kafir. Hal ini seperti yang dilontarkan Ardiwinata pada Soemirah. Meskipun kenyataannya, ibu Soemirah tidak menjual anaknya karena derajatnya lebih tinggi dibandingkan Tan Bi Liang. Jadi, ia menyerahkan Soemirah pada totok itu bukan karena uang.

(37) “...saya, tida bisa kasi permisi anak saya jadi Baba punya bini, sebab pertama kita orang ada berlainan bangsa dan kedua yang inilah paling berat, saya pandang satu gadis bangsa saya sampe jadi bininya seorang lain bangsa, itu perampan akan jadi penghinaan dari semua orang bangsa saya.” (Boen, 2001: 60)

Ibu Soemirah begitu kolot dalam pandangannya tentang pilihan jodoh anaknya. Hal itu dilakukan demi menjaga nama baik keluarga dari penghinaan orang-orang sebangsanya. Tindakan Soemirah dianggap sebagai sumber penghinaan, ia meyangsikan Soemirah akan berbahagia dalam menentukan pilihannya itu. Alasannya adalah banyak perbedaan antara Tan Bi Liang dan Soemirah. Semangat nasionalisme tampak jelas dalam penolakan ibu Soemirah dalam hal perkawinan. Ibu Soemirah juga memandang bahwa perkawinan antarbangsa merupakan suatu penghinaan terhadap bangsa. Nasionalisme Indonesia ditandai dengan adanya pergerakan misalnya berdirinya Sarekat Dagang Islam (1911). SDI berdiri dilatarbelakangi oleh keprihatinan kaum muda terhadap industri batik yang dikuasai pedagang Cina. Hal ini menjadi

faktor pendukung kebencian orang pribumi terhadap orang Cina. Sikap Ardiwinata dan ibu Soemirah menunjukkan suatu kepedulian terhadap pergerakan nasionalisme. Sikap Soemirah pun dipandang sebaliknya.

Secara personal, ibu Soemirah menyukai Tan Bi Liang karena pembawaannya yang halus dan memiliki sopan santun. Akan tetapi, karena Tan Bi Liang seorang Cina, tidak beragama Islam (oleh sebab itu disebut kafir), makan babi, membuat ibu Soemirah tidak bisa menerima Tan Bi Liang sebagai menantu. Penolakan Ibu Soemirah menunjukkan adanya benturan pemahaman nilai agama Islam dengan tradisi Cina. Misalnya tradisi makan daging babi di kalangan orang Cina tentu bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mengharamkan daging tersebut. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut dirasa ibu Soemirah akan mempersulit kebahagiaan. Ketika tahu Soemirah telah jatuh hati pada Tan Bi Liang, ia merasakan hal itu sebagai musibah. Dalam pandangan ibu Soemirah, mencintai lelaki lain bangsa tidak dihalalkan sekalipun dia penolong keluarga.

(38) “Angkau masih mau mendustai aku, ibumu? Inget orang yang mau membersiken dirinya dengen jalan berdusta, dosanya jadi semingkin besar, apa lagi kalu satu anak berani mendustai ibunya...Angkau punya hati rupanya suda lumer, angkau tidak lagi inget ibumu, angkau tida hargaken kebangsaanmu, angkau turunken sendiri kedudukanmu. Ini hari terang sekali ia dateng kemari di waktu aku tidak ada, dan angkau sembuniken perkara itu, terang sekali angkau suda bikin cemar nama ibumu...” (Boen, 2001: 48)

Ibu Soemirah merasa bahwa demi lelaki lain bangsa Soemirah rela mendustai dirinya. Dengan alasan sakit, Soemirah tidak mau diajak ibunya ke pesta, tetapi justru berduaan dengan Tan Bi Liang (di rumah). Ba gi ibu

Soemirah anak perempuannya tidak bisa menghargai dirinya sendirinya sekaligus kehormatan ibunya. Soemirah dianggap tidak menghargai bangsanya karena telah menyerahkan dirinya pada Tan Bi Liang.

Di sisi lain, Soemirah merasa dianggap seperti ronggeng yang mau digoda lalu menyerahkan diri pada lelaki lain bangsa demi uang. Soemirah tersinggung, ia merasa masih menjaga kehormatan dan merasa tidak melanggar batas meski Tan Bi Liang sudah menyatakan hatinya. Demikian kutipannya.

(39) “Saya pegang teguh saya punya kehormatan, meski betul ia dateng menyataken ia punya hati, tetapi tida melanggar batas.” (Boen, 2001: 50)

Kutipan di atas menegaskan bahwa Soemirah tidak sehina seperti yang dituduhkan ibunya. Ibu Soemirah terlalu cepat menyimpulkan pandangannya terhadap Soemirah. Soemirah sudah memutuskan untuk hidup bersama dengan Tan Bi Liang. Ibu Soemirah marah dan menganggap Soemirah sudah gila karena hanya mengikuti hawa nafsu sehingga mau saja menerima Tan Bi Liang.

(40) “Soemirah, Soemirah, apa angkau suda gila, suda gendeng? Angkau tida bilang dulu pada ibumu berani turut saja hawa nafsu iblis? Apa artinya darah bangsawan yang mengalir dari dirimu? Sedikitnya angkau bisa menjadi Raden Ayu Patih dan angkau buang itu kedudukan yang disembah oleh milliaran manusia cuma sebab seorang muda lain bangsa.” (Boen, 2001: 51)

Pernyataan ibu Soemirah itu seolah membenarkan adanya penyimpangan tradisi priyayi yang dilakukan oleh Soemirah.

Guru Soemirah yang berkebangsaan Eropa dianggap telah mempengaruhi pemikiran Soemirah. Soemirah dianggap telah berani melawan ibunya karena sikap modernitas yang diterimanya. Nasionalisme ibu Soemirah dibalut pengarang dengan nilai agama dan feodalisme Jawa yang berbenturan dengan nilai-nilai Barat. Benturan-benturan nilai inilah yang sering terjadi dalam masa pergerakan. Terlepas dari semangat nasionalisme, kesadaran Soemirah mengenai haknya untuk memilih jodoh sendiri bukan saja dikarenakan pendidikan Barat yang diperolehnya, namun karena faktor lingkungan.

(41) “Dari satu patih kakek-kakek, yang saya tida bisa cinta? Dan lebi jau saya musti mandah dicampur dengen bebrapa selir. Saya tida pandang satu patih atau pangeran seperti ayahku kalu saya punya hati tida senang. Apa perlunya disembah-sembah orang kalu hati tida senang? Apa perlunya dapet titel Raden Ayu, kalu itu cuma buat tutupin hati yang berdarah....”

“Jadi angkau berani melawan ibu?”

“Ampun, ibu, saya tida melawan, hanya saya lawan ibu punya pikiran dan pendapet yang tida mufakat dengen pendapet saya. Maafken saya suda berani berkata begini, kalu saya musti bersuami, saya mau menurut hati sendiri, saya tida mau dipandang seperti barang dagangan yang tida berjiwa atau tida berotak, yang orang bole jual dan beli. Waktu itu ibu kawin dengen Romo (ayah), apa ibu cuma sendirian saja, tida ada punya saingan? Apa ibu tida saban hari menipis air mata? Kalu ibu suda mengalami perkara cilaka, apa ibu tega mau saya pikul juga kesengsaraan serupa itu?”

“Aku tida nanti membuat angkau cilaka begitu rupa, tetapi aku mau supaya angkau dapet suami yang setara betul dengan derajatmu.” “Trima kasi buat ibu punya cinta hati kepada saya, selamanya saya memang dijunjung di atas batu kepala. Tetapi coba ibu bisa bilang pria mana tida berselir? Orang siapa tida biasa sia-siaken bininya? Perampuan siapa dari bangsa kita yang begitu dijunjung oleh suaminya dari idup sampe mati? Betul ada aturan sarat perkara kawin begini dan begitu. Memang bagus kalu dijalanken tetapi ampir semua perampuan bangsa kita dibikin seumpama tebu saja oleh suami, abis air-sepah dibuang.” (Boen, 2001: 52)

Soemirah memandang bahwa tidak perlu bergelar Raden Ayu dan mempertahankan martabat serta derajat hanya untuk menyakiti diri sendiri. Soemirah merasa apa gunanya menikah dengan lelaki yang sederajat, tetapi disia-siakan dan harus berbagi cinta dengan banyak selir. Pernyataan ini memperlihatkan keyakinan Soemirah bahwa ia tidak akan dimadu Tan Bi Liang meski tidak menikah secara agama.

Soemirah menyatakan bahwa lelaki pribumi, yang berstatus bangsawanpun, pasti memiliki kecenderungan untuk berselir atau dengan kata lain tidak lebih setia dari lelaki lain bangsa. Ibu Soemirah sendiri seorang selir pangeran Surakarta yang tentu mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan. Dalam pengertian Jawa, selir diartikan sebagai perempuan yang dijadikan istri tidak resmi atau gundik. Nyai dipandang hina karena hanya dijadikan istri sementara dan tidak resmi lelaki lain bangsa. Status ini tentu tidak jauh berbeda dengan selir, yang membedakan hanyalah kebangsaan pasangan. Hal inilah ya ng tidak disadari ibu Soemirah mengenai statusnya. Selir merupakan lambang tradisi raja-raja kraton. Melalui pengkisahan ini, pengarang menunjukkan bahwa hal yang berhubungan dengan orang asing adalah hina meskipun secara status memiliki pengertian yang sama.

Hal inilah yang mempengaruhinya Soemirah berpandangan bahwa seorang gadis memiliki hak dalam menentukan jodohnya. Islam sendiri memberi perempuan kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri. Dalam hal perkawinan, orang tua tidak berhak mengawinkan anak perempuannya dengan lelaki yang tidak dikehendaki sang anak (Muthahhari

dalam Suharto, 2005: 243). Melalui tokoh Soemirah, pengarang menyadarkan bahwa setiap manusia memiliki hak menentukan pilihan dalam pertimbangan nilai apapun. Nasionalisme, agama, dan adat istiadat bukanlah penghalang untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Melalui peristiwa ini, pengarang ingin menunjukkan adanya benturan nilai tradisi Timur dengan Barat. Salmon menyatakan bahwa pengertian perkawinan yang diatur orangtua (pribumi) bertentangan dengan pengertian Barat. Misalnya, dalam hal cinta dan pengaruhnya pada kehidupan keluarga. Para gadis terutama yang disalahkan atas pengaruh buruk dari pendidikan Eropa. Mereka dianggap seenaknya mematuhi adat istiadat yang sudah mapan. Emansipasi perempuan dipandang sebagai kesempatan kepada perempuan untuk terhanyut oleh hawa nafsu dan digambarkan dengan negatif (1985: 59,60). Demikian yang tergambar dalam perdebatan antara Nyai Soemirah dan ibunya.

(42) “Kawin ?Itu perkara ada orang tua punya urusan.”

“...Baba pikir saja mama sama papa ada laen bangsa dan berpisa begitu jau, ketambahan mama ada anak satu pangeran dari kraton solo, toch bisa ketemu sampe sekarang?”

“Na, papa sama mama toch menurut pilihannya sendiri.”

“Itu laen perkara, sebab papa suda tida punya orang tua dan mama suda tida punya ayah, kalu masi ada, saya rasa tida bisa jadi ini juga menandaken jodo orang ada dalem tangan Allah.” (Boen, 2001:127)

Percakapan pada kutipan di atas terjadi antara Roga ya dan anak lelaki Soemirah. Rogaya yang gadis pribumi, memandang bahwa perkawinan yang terjadi antara Soemirah dan Tan Bi Liang karena faktor jodoh dari Tuhan. Pada prinsipnya ia masih berpegang pada adat Jawa bahwa jodoh adalah urusan

orang tua. Pernyataan Rogaya menyiratkan bahwa selama ada orang tua, seorang anak tidak memiliki hak memilih jodoh. Akan tetapi, ia juga tidak bisa memungkiri bahwa pada kenyataannya Soemirah sebagai perempuan pribumi mampu hidup bahagia dengan Tan Bi Liang meskipun berbeda bangsa.

(43) “Ya betul, tetapi barangkali sebab mama suda lama terpisa dari bangsanya maka suda lupa itu adat, tetapi juga tida bole jadi lupa sama sekali. Jangan kata orang Jawa yang masi tetep di tana Jawa, sekalipun orang Jawa yang suda puluhan taon tinggal di laen negri, tida bisa lupa adatnya yang aseli, laen bicara kalu itu tempo dibawa pinda ke laen negri masi anak-anak sekali dan belon tau begimana cara adatnya ia punya bangsa.” (Boen, 2001: 126-127) Sikap Soemirah dalam memilih jodoh dianggap telah melupakan adat bangsanya. Soemirah dinilai sudah mengingkari bangsanya. Untuk itulah, keputusannya itu dipandang hina. Sikap Soemirah tidak bisa dimaklumi oleh Rogaya. Soemirah bertumbuh hingga besar di tanah Jawa, seharusnya mampu berpegang teguh pada adat Jawa. Bagi Rogaya, sikap Soemirah dianggap sebagai kejahatan. Rogaya berpikir bahwa Soemirah telah begitu tega menjebloskan pamannya ke penjara demi membela orang kafir. Rogaya menilai bahwa bibinya itu telah meninggalkan hukum agama karena telah menjadi nyai dari seorang yang bukan Islam. Dia sendiri berpegang tidak akan mau menjadi pendamping lelaki lain bangsa sekalipun dia kaya.

(44) “Jahat sekali, kenapa dia belain orang kapir? Kenapa dia mau berlaki sama orang kapir makan babi? Kalu saya, biar kaya, kalu kapir, saya tida mau.” (Boen, 2001: 101)

Tokoh Rogaya diciptakan pengarang untuk mewakili tokoh pribumi yang memiliki pandangan munafik terhadap lelaki lain bangsa dan nyai.

Keteguhan ajaran agama yang dipegangnya ternyata luluh oleh cinta, karena pada akhirnya Rogaya mau menerima anak lelaki Soemirah. Alasan apa pun untuk menghalalkan perkawinan antarbangsa tidak bisa diterima ibu Soemirah. Bagi ibu Soemirah, anaknya itu hanya akan dijadikan gundik semata. Akan tetapi, bagi Soemirah bila terpaksa tidak bisa menikah resmi di masjid bukanlah halangan untuk meneruskan hubungannya dengan Tan Bi Liang. Dalam benak Soemirah, menjadi seorang nyai bukanlah suatu penghinaan atau bahkan dosa. Nyai hanyalah status yang diberikan orang, dia tidak akan mempedulikan hal itu, yang terpenting adalah mewujudkan cintanya itu. Nyai juga seorang perempuan yang mampu menjaga martabat sebagai perempuan. Seorang nyai juga mampu menjadi seorang istri sepenuhnya. Demikian kutipan percakapan antara Soemirah dan ibunya.

(45) “Betul ada begitu, tetapi jangan angkau serambian saja. Lain dari itu apa namanya kalu satu gadis Bumiputera musti ikut jadi gundiknya seorang Cina?” (Boen, 2001: 52, 53)

“Gundik kalu dipiara saja, tetapi kalu dinikahken....” “Di mesjid?”

“Orang perempuan musti turut lelaki, jadi kawin itu musti turut aturan kebangsaan laki. Tetapi saya punya tau, kawin itu buat bangsa kita lumrahnya cuma buat perhiasan saja. Apa namanya kalu kawin setenga bulan saja suda bercerai lagi? Jarang ada satu Bumiputera yang bersuami satu kali seumur idupnya. Sekalipun tida kawin, kalu memang setia satu sama lain, itulah yang paling berguna.”

“Jadi menurut angkau punya pikiran, tida ada keberatan buat ikut satu lelaki lain bangsa sekalipun tida kawin?”

“Tida ada keberatan, sebab di mana ada cinta, di situlah ada beruntung.”(Boen, 2001: 53)

Soemirah juga berpandangan bahwa bukanlah masalah bersuamikan lelaki yang dianggap kafir seperti yang dilontarkan ibunya.

(46) “Angkau pikir tida ada halangannya satu perempuan Bumip utera jadi bininya seorang kafir?”

“Maaf, ibu, saya kepingin tau ibu punya pemandangan begimana dengen itu nama kafir?”

“Orang yang tida Islam itulah kafir.” “Ibu tau artinya kafir dan bahasa apa itu?”

“Aku tida mau lawan bicara seperti dihadapan satu hakim, tetapi aku pandang hina sekali kalu satu gadis Bumiputera musti ikut lelaki lain bangsa.”

“Jadi ibu punya pendapet, orang Cina atau Belanda itu hina?” “Bukan hina, tetapi kafir.”

“Saya tau, ibu dan begitu juga orang-orang lain punya pendapet, kafir itu lantaran bukan Islam dan makan daging babi. Tetapi kalu begitu, orang Belanda juga bilang siapa yang bukan Kristen, dia itu kafir alias kesasar. Juffrow Herling, saya punya guru (di Manonjaya) sering cerita begitu yaitu menurut kitab injil sekalipun ia sendiri tida ambil pusing sama itu perkara, sebab ia bukan ada seorang yang biasa memperhatiken perkara agama.” “Biar begitu, aku tetep bilang perampuan Bumiputra yang ikut lain bangsa, adalah orang yang tida baik.”

“Itu ada ibu sendiri punya pendapet, tetapi saya punya tau tida kurang orang-orang cina kaya besar dan menjadi officer juga dan toh ibunya ada seorang bumiputra satu mustahil itu ada perempuan jahat juga?” (Boen, 2001: 53, 54)

Perdebatan tentang kafir dan hina meliputi Soemirah dan ibunya. Istilah kafir dan hina mempengaruhi pandangan ibu Soemirah perihal perempuan pribumi yang ikut lelaki lain bangsa. Soemirah memandang bahwa manusia di bumi itu sama saja. Tidak perlu dipandang kafir atau hina. Seorang perempuan pribumi yang menikah dengan lelaki lain bangsa dan melahirkan