• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM DUA NOVEL SASTRA PERANAKAN CINA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM DUA NOVEL SASTRA PERANAKAN CINA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Fransiska Firlana Laksitasari NIM : 034114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

U n tu k Ye s u s ya n g Es a , ka re n a cin ta- Mu a ku be ra d a

U n tu k a lm a rh u m B a p a k ya n g d i s u rga , m e s ki Ka u ta k s e m p a t

m e n ja d i te m a n u n tu k m e n cu ra h ka n h a ti ke tika ku d e w a s a .

Ib u ku ya n g s e tia m e n d a m p in gi d a n m e m p e rju a n gka n m a s a

d e p a n ku , w a ja h m u s e la lu m e lu lu h ka n a irm a ta ku . D a n a ku

m e n ja d i ku a t ka re n a m u .

D im a s Rizky ya n g s e n a n tia s a a d a , s a ya p in i s e m a kin ku a t

m e n ge p a k ka re n a s u d a h m e n e m u ka n s a ra n g u n tu k p u la n g.

D ite rb a n gka n ta kd ir a ku ( ka n ) s a m p a i…..b e gitu s ya ir S a p a rd i

le m b u t ka u la gu ka n u n tu kku .

S krip s i in i ju ga ku p e rs e m b a h ka n b a gi s ia p a s a ja ya n g

(5)

v

S abar dan s adar dal am ket er bat as an akan membuat mu mampu men en t ukan pil ihan . D an B iar l ah s akit mu men j adi kekuat an mu.

An gin adal ah t an da dan wakt u adal ah ker j a r as a. Ger akku adal ah keber adaan ku.

(6)
(7)

Yang bertandatangan di bawah ini, saya, mahasiswa Sanata Dharma: Nama : Fransiska Firlana Laksitasari

Nomor Mahasiswa : 034114023

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM DUA NOVEL SASTRA

PERANAKAN CINA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

:”, beserta perangkat yang diperlukan.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 30 Juni 2008 Yang menyatakan

(8)

vii

Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Kisah pernyaian menjadi motif paling dominan dalam Sastra Peranakan Cina. Hubungan antara nyai dengan lelaki berkebangsaan Cina menjadi alat pengarang untuk menyampaikan ideologinya dalam menanggapi kondisi sosial masyarakat pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Penelitian ini memusatkan kajian pada novel Cerita Nyai Soemirah dan novel Kota Medan Penu dengen Impian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan eksistensi tokoh nyai dalam dua novel tersebut. Metode penelitian deskripsi analisis digunakan dalam penulisan ini, sedangkan pendekatan yang diterapkan adalah struktural dan Sosiologi Sastra.

Politik rasial yang diberlakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda mempengaruhi keharmonisan hubungan antarbangsa. Untuk itu, keberadaan nyai ditanggapi dengan pro dan kontra. Situasi ini tidak menghalangi nyai dalam memerdekakan pilihannya, tetapi justru mendorong para nyai untuk mengaktualisasi keberadaannya. Sistem lama yang mengikat justru mendukung nilai baru yang dipertentangkan. Menjadi nyai bukanlah suatu paksaan, melainkan suatu pilihan untuk mewujudkan kehendak. Nyai Soemirah dan Nyai Ros Mina dengan rela dan sadar menjadi nyai dari lelaki berkebangsaan Cina.

(9)

viii

Department, Faculty of Letters. Sanata Dharma University. Yogyakarta.

The story of nyai becomes the most dominant motive in Peranakan Chinese Literature. The relation between nyai with a man Chinesse nationality becomes the author is tool to convey his ideology to read the society social condition in the era of Netherland Colonial government. This study focuses its discussion to the novels entitled Cerita Nyai Soemirah and Kota Medan Penu dengen Impian. The objective of this study is to analyse and to describe the existence of nyai in those two novels. The method used in this study is an analysis descriptive method, while the approach applied is a structural and literally Sociology Approach.

Racial politic practiced by Netherland Colonial government influences the harmonization of the relation among nation. Therefore, the existence of nyai has a pro and contra. This situation does not abstruct nyai to free her choice, but it encourages her actualize her choice. The old system which bind exactly agree with the new value which is contradictory. Becoming a nyai is not a force, but a choice to realize her will. Nyai Soemirah dan Nyai ros Mina are in favour and conciously become nyai of a man with Chinesse nationality.

(10)

ix

suatu proses harus dilampaui. Penelitian ini merupakan hasil dari sebuah proses yang tidak berkesudahan. Terima kasih untuk Gusti Allah yang setia dan senantiasa memberi hawa penyegaran dalam proses hidup ini. Dukungan dari banyak pihak telah membantu penyelesaian penelitian ini, untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada:

1. S.E. Peni Adji, S. S., M. Hum dosen pembimbing yang membuatku melakukan harmonisasi kodrati perempuan.

2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, dosen pembimbingku. Hal yang selalu kuingat dan kupegang dari perkataan Bapak “Kalian harus tahan banting!”.

3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum, dosen penguji, terima kasih peluangnya. 4. Serta segenap dosen Prodi Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M. Hum,

Drs. P. Ary Subagyo, M. Hum, Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum, Drs.Yosef Yapi Taum, M. Hum, Drs. F.X. Santoso.

Penelitian ini sudah tentu masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari para pembaca akan sangat membantu kesempurnaan penelitian ini. Penulis berharap semakin banyak orang yang peduli dengan Sastra Peranakan Cina, meski sekadar membacanya. Semoga setiap manusia memiliki semangat kesadaran akan eksistensinya di dunia ini. Terima kasih.

(11)
(12)

xi

PERANAKAN CINA ... 2.1Kondisi Sosial Masyarakat Cina ... 2. 2 Masyarakat dan Sastra Peranakan Cina ... 2. 3 Perkawinan Campur dan Tradisi Nyai ... BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN NYAI SOEMIRAH DALAM

NOVEL CERITA NYAI SOEMIRAH DAN NYAI ROS MINA DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN... 3. 1 Tokoh dan Penokohan Nyai Soemirah ... 3. 2 Tokoh dan Penokohan Nyai Ros Mina ... 3. 3 Rangkuman... BAB IV EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM NOVEL CERITA NYAI

(13)

xii

4. 4. 1. 2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina ……….. 4. 4. 2 Nyai dalam Novel Kota Medan Penu dengen Impian …. 4. 4. 2. 1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi …… 4. 4. 2. 2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina ………..

4. 5 Rangkuman ………. BAB V PENUTUP ...

5. 1 Kesimpulan ... 5. 2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ………. BIODATA PENULIS ………..

(14)

1.1 Latar Belakang

(15)

sudah kepalang tanggung, akhirnya dengan sengaja menjadi nyai dari lelaki-lelaki Cina supaya bisa hidup bersenang-senang.

Hubungan dengan lelaki lain bangsa ini membuat Soemirah dan Ros Mina berstatus nyai. Sosok nyai hanya berstatus sebagai istri sementara dan tidak resmi. Menjadi nyai dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap bangsa. Namun demikian, Soemirah dan Ros Mina memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi pendapat masyarakat terhadap sosok nyai. Mereka memiliki perjuangan dan pemikiran sendiri dalam menghadapi nilai- nilai sosial yang sangat membatasi hak serta eksistensi mereka. Sebagai manusia, Soemirah dan Ros Mina menyadari bahwa kehadiran mereka di dunia bukan sekadar ‘berada’ seperti benda mati. Bagi mereka yang terpenting adalah soal baga imana menyadari keberadaan tersebut serta mempertanyakan makna keberadaan itu sendiri. Pengakuan dan perhatian eksistensi personal mereka juga dibutuhkan.

Keberadaan Soemirah dan Ros Mina melibatkan lingkungan serta tradisi kolot masa itu (kolonial). Misalnya saja ketika Soemirah memiliki perasaan khusus terhadap lelaki Cina. Menurut pandangan sang ibu, hubungan itu diharamkan karena orang Cina kafir (tidak beragama Islam). Selain itu, sebagai keturunan bangsawan, sang ibu merasa perlu untuk menjaga martabat keluarga.

(16)

ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, situasi sosial, serta proses sosialnya (Semi 1989: 52). Berkiblat dari pendapat Lukacs dalam Taum (1997: 50,51) yakni sastra sebagai cermin masyarakat, penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa yang hadir dalam novel yang dianggap sebagai gejala masyarakat pada waktu itu. Akan tetapi, pencerminan tersebut bukanlah pengekspresian gejala masyarakat secara konkret dan menyeluruh. Fokus penelitian ini adala h perempuan berstatus nyai yang diwakili oleh Soemirah dan Ros Mina terkait dengan eksistensinya. Kedua nyai tersebut mempunyai cara berbeda dalam mengaktualisasikan diri di tengah zaman yang mengikat pada masa itu.

Kedua novel ini sengaja dipilih karena tokohnya memiliki kesamaan status sebagai nyai dari lelaki Cina. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapi tradisi dan nilai pada kondisi serta situasi yang hampir sama (masa pemerintahan kolonial). Bagi Soemirah, apa yang dilakukan berlandaskan rasa cinta. Ia merasa bahwa mencintai dan berhubungan dengan lelaki dari bangsa manapun sah-sah saja dan tidak menganggap sebagai suatu kesalahan. Meskipun demikian, ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan suaminya, dikucilkan dari keluarga. Berbeda dengan Ros Mina, semua yang dijalaninya demi kesenangan semata. Meski awalnya tersiksa, namun pada akhirnya ia menikmati karena alasan materi.

(17)

Peranakan semakin menonjol. Novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas (1928) masuk dalam masa keemasan (1925-1942) yakni puncak perkembangan sastra Melayu-Rendah. Novel merupakan salah satu jenis sastra yang banyak ditulis dan diterbitkan oleh kaum Peranakan. Perbedaan periodisasi ini ternyata tidak mempengaruhi tema-tema yang muncul, terutama dominasi tema pernyaian. Para pengarang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengemas tema nyai pada sebuah cerita. Kesamaan tema tersebut membuktikan bahwa problematika seorang nyai masih berlangsung. Nyai seolah menjadi motif sastra yang terus mendapat perhatian bahkan menjadi subjek utama dalam cerita berbahasa Melayu Rendah.

Lan (1962: 7) berpendapat bahwa Sastra Indonesia-Cina merupakan hasil karya segolongan penduduk Cina yang pada waktu itu disebut Tionghoa-Peranakan. Menurut Salmon (1985: xv), ditemukan 3005 judul karya yang 1398 diantaranya berupa novel dan cerpen asli. Menurut Watson dalam Faruk dkk (2000: 35) salah satu ciri Sastra Peranakan Cina adalah bercerita tentang nyai. Hal tersebut tidak mengherankan karena pada masa kolonial sosok nyai cukup menjadi sorotan masyarakat. Sosok nyai begitu dekat dengan penguasa-penguasa, kondisi sosial politik yang tidak memihak pribumi membuat status nyai dianggap sebagai kehinaan dan pengkhianatan.

(18)

memang seperti itulah hidup dan kehidupan perempuan pribumi yang menjadi nyai. Terlebih mengingat pengarang-pengarang tersebut hidup pada masa ‘larisnya’ para nyai. Sebagai pengarang, mereka ingin menggambarkan situasi dan kondisi suatu masa di mana mereka hidup terkait dengan problematika nyai. Sosok nyai dihadirkan untuk membalut ideologi- ideologi yang sedang berkembang saat itu, misalnya soal nasionalisme. Kisah dan kiprah para nyai menjadi cerminan perempuan pribumi pada masa itu. Hal ini diyakinkan dengan pendapat dari tokoh dan pemerhati Sastra Peranakan Cina berikut.

(1) “Dalam sastera sesuatu bangsa dalam sesuatu masa jang tertentu tertjerminlah keadaan kemasjarakatan bangsa itu selama kala itu terbajang perkembangan kemasjarakatan bangsa itu”. (Lan, 1962: 33)

Karya sastra yang lahir pada suatu masa tertentu merupakan cerminan kondisi masyarakat, akan tetapi kenyataan-kenyataan yang ada sudah dipantulkan oleh pengarang. Cerita Soemirah dan Ros Mina yang muncul era 1800-an hingga 1900-an diciptakan untuk mewakili situasi kemasyarakatan pada saat itu. Situasi sosial maupun politik yang tersirat dalam novel merupakan gambaran perkembangan sejarah masa itu.

(19)

Keduanya merupakan tokoh utama yang berstatus nyai dan paling dominan dalam penceritaan. Namun sebelumnya, akan dibahas kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa kondisi sosial masyarakat memiliki pengaruh dalam penciptaan karakter tokoh. Selain itu, pembahasan tersebut memiliki fungsi sebagai cerminan dalam perwujudan eksistensi tokoh.

1.2 Rumusan Masalah

Fokus permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina?

1.2.2 Bagaimanakah deskripsi tokoh dan penokohan Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo?

1.2.3 Bagaimanakah eksistensi Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel

Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen

Mas karya Jovenile Kuo dalam kajian Sosiologi Sastra?

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1.3.1 Mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina.

1.3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo.

1.3.3 Menganalisis dan mendeskripsikan eksistensi Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo dalam kajian Sosiologi Sastra.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain : 1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.l Melengkapi perkembangan khazanah sastra dalam hal penelitian sastra mengingat belum banyak yang meneliti novel- novel Sastra Peranakan Cina.

(21)

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Memperkenalkan Sastra Peranakan Cina khususnya novel bagi masyarakat yang belum mengenal Sastra Peranakan Cina. Sampai sekarang keberadaan sastra ini belum mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia.

1.4.2.2 Memperkenalkan tokoh-tokoh nyai dari lelaki Cina yang muncul dalam karya sastra karangan kaum Peranakan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sumarjo dalam buku Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal

(2004) mengulas novel Cerita Nyai Soemirah dengan judul yang sama dengan tokohnya. Pembahasan ini seturut alur cerita, namun kurang detail dari segi tokoh dan penokohan. Dominasi pembahasannya adalah perihal pendidikan Barat dan Timur; tidak secara khusus membahas tokoh perempuannya (Soemirah). Sepanjang penulusuran peneliti, novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas belum pernah dibahas, namun seringkali dicantumkan dalam penggolongan jenis novel Sastra Peranakan Cina.

(22)

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori struktural dan Sosiologi Sastra. Teori struktural untuk membahas tokoh dan penokohan, sedangkan teori Sosiologi Sastra untuk mengkaji eksistensi tokoh.

1.6.1 Teori Struktural

Teori struktural merupakan sebuah pendekatan ya ng mengkaji unsur-unsur pembangun karya sastra. Mursal Esten (1990: 18) menyebutkan bahwa struktur karya sastra terdiri atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik karya sastra meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, dan gaya. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan psikologi merupakan unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra. Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas unsur tokoh dan penokohan mengingat kajian utama penelitian ini adalah sosok nyai terkait dengan eksistensinya.

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan

(23)

dan kurang penting dalam perkembangan alur cerita (Nurgiyantoro, 2002: 176,177).

Penokohan adalah arti yang membedakan antara satu tokoh dengan tokoh lain. Tokoh dapat diamati dari segi fisik, sosial, psikologis, dan moral. Unsur-unsur segi fisik antara lain terlihat dari jenis kelamin, umur, bentuk tubuh, dan warna kulit. Segi sosial dapat dilihat dari status ekonomi, profesi, agama, dan hubungan keluarga. Unsur kebiasaan, sifat, minat, motivasi, suka atau tidak suka seorang tokoh tergolong dalam psikologis. Segi psikologis menunjukkan pula kerja batin gabungan antara emosi dan intelektual yang menuntun perjalanan laku. Segi moral selalu ada dalam teks sastra. Sebuah keputusan berdasarkan moral akan membedakan pilihan para tokoh ketika dalam kondisi krisis moral. Keputusan tersebut menunjukkan apakah sang tokoh berwatak tidak mementingkan diri sendiri, hipokrit, atau kompromis (Yudiaryani, 2005).

1.6.2 Sosiologi Sastra

(24)

yang diciptakan oleh sastrawan yang juga bagian dari anggota masyarakat (2002: 2). Pengarang adalah anggota masyarakat yang hidup dan berelasi dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada proses kreatif pengarang. Masyarakat, pengarang, dan karya sastra memiliki hubungan yang erat sehingga karya sastra menjadi pencerminan pengalaman pengarang (Sumarjo, 1979: 15).

George Lukas seorang krtitikus Marxis menggunakan istilah “cermin” dalam keseluruhan karyanya. Novel tidak sekadar menampilkan realitas, tetapi lebih menampakkan sebuah permenungan atau refleksi realitas yang lebih lengkap dan luas. Sebuah karya sastra diartikan sebagai proses yang hidup. Karya sastra tidak sekadar memberikan bentuk cloning dunia nyata, tetapi lebih pada koreksi diri (Taum, 1997: 50,51).

1.6.2.1 Eksistensi

Eksistensi berasal dari kata Latin existere (ex ‘keluar’ dan istere

(25)

benar dan mana yang tidak benar (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 253). Dalam penelitian ini yang dimaksud eksistensi adalah keberadaan manusia yang memiliki aktualitas yang merdeka tanpa memandang benar salah, namun bertanggung jawab dengan pilihannya.

Hakikat eksistensi adalah gabungan dari unsur- unsur subjektif, seperti etos, moral, kemampuan, kompetensi, kecakapan, dsb. Eksistensi bukanlah suatu kondisi personal yang ajeg (tidak berubah). Eksistensi identik dengan proses kehidupan manusia. Proses kehidupan tersebut antara lain meliputi sosialisasi, idealisme, dan loyalitas (Panuju, 1996: 8).

(26)

manusia dituntut untuk bertanggung jawab dan jujur dalam menjalankan pilihannya (Panuju, 1996: 9-12).

Seorang manusia tidak cukup hanya dianggap ‘berada’ karena mereka bukanlah ‘benda’ (mati). Manusia mampu bergerak dan bukan sekadar digerakkan oleh dorongan dari luar. Seorang manusia memiliki daya dalam dirinya untuk bergerak. Menurut Irwanto, daya penggerak ini disebut motivasi. Motivasi bisa muncul dari lingkungan (desakan, situasi lingkungan), individu (instink, emosi, nafsu), dan dari tujuan atau nilai suatu objek (kepuasan atas pekerjaan, status, dan tanggung jawab) (2002: 193). Selain itu, keberadaan akan lebih bermakna bila seseorang memiliki peran dalam lingkungannya. Peran merupakan perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999:751). Untuk mendukung peran tersebut tidak lepas dari pandangan masyarakat sebagai wujud pengakuan eksistensi seseorang.

1.6.2.2 Nyai

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘nyai’ memiliki tiga pengertian yakni (i) panggilan untuk orang perempuan yang sudah kawin atau sudah tua, (ii) panggilan untuk orang perempuan yang usianya lebih tua daripada orang perempuan yang memanggilnya, (iii) gundik orang asing (terutama orang Eropa), sebutan kepada wanita piaraan orang asing (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 695). Selain pengertian di atas,

(27)

’Nyahi’ adalah sebutan bagi seorang perempuan pengatur rumah tangga yang dimiliki oleh seorang pria Eropa (Suyono, 2005: 16). Di dalam

Kamus Moderen Bahasa Indonesia disebutkan pengertian ’nyai’ (ejaan lama: ’njai’) sebagai berikut, (i) adinda, kekasih, isteri: kakanda sekalian, pengantin, tunanganku, bakal isteriku, (ii) (Djw) nji, nyonya besar, (iii) perempuan piaraan bangsa Eropa yang tidak dikawini; (iv) (Sunda) upik, genduk (Zain, 517). ’Nyai’ memiliki empat pengertian, (i) sebutan perempuan muda kebanyakan, (ii) istri pejabat rendah, (iii) sebutan untuk perempuan pribumi yang menikah dengan orang asing yang beragama Islam, seperti Arab, Keling, dan Turki, (iv) bila menikah atau ’kumpul kebo’ dengan orang asing yang tidak beragama Islam disebut ’nyai- nyai’ (Rosidi, 2000: 455).

Pengertian-pengertian ’nyai’ dalam referensi di atas mengalami perkembangan. Semula ’nyai’ digunakan untuk menyebut perempuan yang dikasihi, namun pada akhirnya pengertian ’gundik’ yang bertahan hingga sekarang. Pengertian awal ’nyai’ pun sudah tidak pernah dipakai lagi. Pengertian ’nyai’ sebagai sebutan gundik juga tercantum dalam Kamus Indonesia Jawa (Sudaryanto, 1991: 218) dan Bausastra Jawa Indonesia jilid 2

(Prawiroatmojo, 1981: 18).

(28)

tetapi, mereka mampu memaknai keberadaan tersebut sehingga muncul pengakuan dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan cara dan sikap dalam mengaktualisasi diri sebagai wujud eksistensi personal. Teori eksistensi dalam penelitian ini digunakan sebagai kerangka berpikir dalam analisis.

1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan Sosiologi Sastra. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang membatasi diri pada penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi intrinsik meliputi tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (Semi, 1989: 44,45). Penelitian ini hanya membahas unsur tokoh dan penokohan. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang bertolak bahwa sastra merupakan percerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1989: 46).

1.7.2 Metode

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Secara etimologis, deskripsi dan analisis mempunyai arti menguraikan. Namun demikian, metode analisis tidak hanya menguraikan tetapi memberi pemahaman dan penjelasan (Ratna, 2004: 53). Penelitian ini dilakukan dengan cara memaparkan fakta- fakta yang disusul dengan penjelasan.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

(29)

dengan permasalahan penelitian. Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan dan dikaji berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan. Tahap akhir adalah penyajian hasil analisis data.

1.7.4 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua sumber data berupa novel dalam buku seri terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Cerita Nyai Soemirah atawa Peruntungan Manusia (jilid 1) dan Cerita Nyai Soemirah Pembalasan yang Luput (jilid 2) yang terbit awal pada tahun 1917 terdapat dalam buku

Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 2 yang terbit tahun 2001 dan disunting oleh Marcus A.S dan Pax Benedanto. Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas terbit awal tahun 1928 terdapat dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia

Jilid 7 yang terbit pada tahun 2003 dan disunting oleh Marcus A.S danYul Halmiyati. Demikian data novel secara rinci.

1.7.4.1 Judul Novel : Cerita Nyai Soemirah atawa Peruntungan Manusia (jilid 1) dan Cerita Nyai Soemirah

Pembalasan yang Luput (jilid 2)

Pengarang : Thio Tjin Boen

Penerbit Awal : Drukkerij Kho Tjeng be dan Co Tahun Terbit Awal : 1917

(30)

1.7.4.2 Judul Novel : Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas

Pengarang : Jovenile Kuo Penerbit Awal : -

Tahun Terbit Awal : 1928

Tebal Novel : 136 hlm (hlm 262 sampai hlm 398)

Dalam pembahasan selanjutnya, novel yang pertama hanya disingkat dengan Cerita Nyai Soemirah dan novel yang kedua hanya disebut dengan

Kota Medan Penu dengen Impian.

1.8 Sistematika Penyajian

(31)

BAB II

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN SASTRA PERANAKAN CINA

Pembahasan eksistensi nyai tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial masyarakat bangsa Indonesia yang pada waktu itu di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Kehadiran para nyai dirasa penting bagi lelaki- lelaki lain bangsa yang datang ke Nusantara. Keberadaan seorang nyai terkait erat dengan kekuasaan seorang pejabat pemerintahan. Para nyai hadir sebagai bukti kekuasaan sekaligus pemuas kejantanan penguasa. Akan tetapi, tidak semua lelaki menganggap seorang nyai hanya sebagai ‘gundik’. Perempuan-perempuan pribumi yang mendampingi lelaki bangsa asing memiliki penghayatan tersendiri dalam memandang sosok nyai. Kaum Peranakan mengangkat kisah para nyai ke dalam karya sastra yang berbentuk novel. Antara lain novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Kota Medan Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo yang menjadi objek penelitian ini.

(32)

Indonesia pada suatu masa tertentu. Menurut Lan, sastra tidak bisa lepas dari pengalaman pengarang yang hidup pada masa tertentu. Pengalaman itulah yang menghidupi karya pengarang. Oleh sebab itu, sastra suatu bangsa merupakan cermin jiwa suatu bangsa (1962: 33-28).

Pembahasan pada bab ini diperlukan untuk menunjang analisis bab selanjutnya yakni karakterisasi tokoh dan eksistensi nyai dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Kota Medan Penu dengen Impian

karya Jovenile Kuo. Penulis menyadari bahwa sekalipun karya sastra bersifat otonom, lingkungan tetap memiliki pengaruh dalam proses penciptaan. Deskripsi pada bab ini menunjukkan adanya gambaran gejala kemasyarakatan yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi seorang nyai. Para nyai hadir dengan cara tersendiri untuk mengaktualisasikan diri dalam menanggapi kondisi zaman dan tradisi yang mengikat pada era kolonial.

2.1 Kondisi Sosial Masyarakat Cina di Indonesia

(33)

Sebelum abad ke-19 terjalin hubungan yang harmonis antara masyarakat Cina dengan pribumi. Pada masa itu, golongan tertinggi -golongan elite- adalah orang-orang pribumi. Oleh karena itulah, orang-orang Cina mendekati dan melebur ke dalam masyarakat prib umi. Hubungan harmonis tersebut terlihat dengan adanya perkawinan campur antara orang Cina dengan perempuan pribumi. Mereka juga mengawini perempuan dari golongan bangsawan pribumi. Perkawinan tersebut dilakukan untuk mempermudah pergerakan dan perluasan kekuasaan. Dengan status bangsawan, orang-orang Cina ini pun memperoleh kemudahan, misalnya dalam hal perniagaan. Namun, sejak abad ke-19 yang menjadi golongan elite di negeri ini adalah orang-orang Belanda. Pendekatan pun mengarah ke penguasa yang menjadi golongan elite baru. Mereka mencoba melebur dalam pergaulan bangsa Barat yang saat itu menguasai Hindia Belanda. Akan tetapi, orang-orang Cina tidak diterima dan tidak berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan golongan gubernur jenderal. Hal inilah yang menyebabkan mereka menjadi golongan tersendiri dan menjadi minoritas (Ham, 2005: 1,2,3).

Pada abad ke-19 hubungan erat antara Jawa dengan Cina dibelokkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan bangsa dipisahkan. Hal ini didasari oleh ketidaksukaan pemerintah Hindia Belanda akan kecenderungan percampuran berbagai bangsa seperti Timur Asing, Cina, Bugis, dan lain- lain. Pemerintah ingin bangsa-bangsa itu dipisahkan dan tidak dicampuradukkan (Ham, 2005: 12,13). Pengaruh politik devide et impera

(34)

Orang-orang Belanda secara politik dan ekonomis menduduki tempat teratas, Cina dan Arab masuk golongan kedua, dan pribumi masuk dalam golongan terbawah. Orang Cina dan Arab menduduki tempat khusus dalam kota-kota kolonial karena mereka tidak berperan dalam birokrasi kolonial tetapi berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi. Penggolongan tersebut menimbulkan kecemburuan masyarakat pribumi karena orang-orang Cina tampak dianakemaskan oleh pemerintah. Kebencian pribumi terhadap orang Cina pun mulai terpupuk.

Selain adanya pembagian golongan bangsa-bangsa secara rasial, pemerintah kolonial juga memberlakukan wijkenstelsel dan passenstelsel. Wijkenstelsel merupakan sistem perkampungan berdasarkan kelompok etnik, dalam konteks ini orang Cina diharuskan tinggal terpisah dengan penduduk pribumi. Passenstelsel adalah sistem izin jalan yang diberlakukan terhadap orang Cina yang akan pergi keluar dari kampung Cina (Ham, 2005: 37). Aturan-aturan pemerintah Hindia Belanda tersebut dibuat untuk menghindari persatuan antarbangsa yang akan menentang pemerintahan. Peraturan ini menghambat proses asimilasi antarbangsa sehingga kekerabatan sulit terjalin. Stereotipe-stereotipe negatif pun muncul. Hal itu dikarenakan tidak adanya komunikasi secara teratur sehingga tidak saling mengerti adat dan budaya masing- masing. Masyarakat pribumi yang notabene beragama Islam menganggap orang Cina kafir karena kebiasaan makan daging babi.

(35)

Suyono, para buruh atau kuli dari Cina menjadi pilihan para kolonial karena dikenal sebagai pekerja yang rajin (2005: 102). Alasan itu juga yang membuat orang-orang Cina terjebak dalam ’perbudakan’ kolonial. Selain mendatangkan kuli dari Cina, pemerintah kolonial juga mencari tenaga buruh dari penduduk Jawa. Menutur Ham, Di Sumatera Timur, penduduknya tidak banyak dan tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan (1983: 33). Oleh karena itu, pemerintah banyak mendatangkan buruh dari Jawa dan Cina.

(36)

Perkawinan antarbangsa pribumi dengan Eropa (juga Cina tentunya) sampai dengan tahun 1930 masih belum bisa diterima. Memelihara wanita simpanan menj adi suatu pilihan yang tidak bisa dihindari. Bagi kalangan pekerja perkebunan, memelihara gundik merupakan suatu kewajaran (Suyono, 2005: 278). Tidak adanya keterikatan yang resmi membuat lelaki- lelaki bebas ’membuang’ nyainya bila sudah bosan. Seorang nyai harus rela menerima perlakuan demikain apabila status mereka secara ekonomi lebih rendah. Hal itu menunjukkan salah satu contoh perlakuan orang Cina terhadap perempuan pribumi. Namun, tidak sedikit pula orang Cina yang benar-benar memperlakukan perempua n pribumi selayaknya istri sah. Perkawinan antarbangsa dianggap tidak resmi, akan tetapi dengan kehadiran keturunan menunjukkan sebuah keseriusan hubungan. Menurut Salmon hal itu bisa dimaklumi karena hingga akhir abad ke-19 sedikit sekali wanita Cina yang merantau ke Nusantara. Tidak ada pilihan lain, para perantau laki- laki ini pun akhirnya ’mengawini’ perempuan pribumi (1985: 1). Lamanya mereka tinggal di Nusantara membuat lupa dengan tradisi asal. Hal ini menyebabkan keturunan mereka tidak mengenal negeri leluhurnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, mereka cenderung menggunakan bahasa Melayu dibanding dengan bahasa Cina.

(37)

mereka sangat dikenal dengan kepiawaiannya berdagang. Strategi dagang mereka sangat mempengaruhi perekonomian kaum pribumi. Hal itu juga yang membuat pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang Cina pada posisi kedua dalam pembagian golongan ras (Soekisman, 1975: 24).

Keberartian orang Cina juga tampak dalam karya sastra yang lahir dari para sastrawan Peranakan. Karya sastra muncul karena lamanya mereka menetap di Indonesia dan timbulnya kebutuhan hiburan yang dekat dengan identitas pribadi mereka. Karya sastra hadir sebagai wujud pembauran warga keturunan dengan bangsa Indonesia. Pembauran ini tampak dalam latar cerita, pemakaian tokoh-tokoh pribumi, dan yang jelas adalah penggunaan bahasa Melayu Rendah dalam penulisan karya mereka.

2.2 Masyarakat dan Sastra Peranakan Cina

(38)

satu-satunya (Lan, 1962: 7,8). Menurut Skinner (dalam Tan, 1979: x), orang Peranakan adalah mereka ya ng sudah mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Para sastrawan Peranakan seringkali memasukkan ideologi, adat, atau filsafat Tiongkok dalam karya mereka meskipun sudah menganggap Indonesia sebagai tanah air. Akulturasi budaya yang mereka lakukan bukan berarti menghapuskan kebudayaan asal leluhur. Misalnya dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen. Sang pengarang memunculkan tokoh Cina totok, Tan Bi Liang, dan perempuan pribumi, Soemirah, yang akhirnya hidup bersama. Pengarang menampilkan latar tempat yang detail dalam cerita, yakni Sumedang dan Bandung. Sejarah kota Sumedang juga digambarkan. Pengarang tahu betul dengan tempat-tempat yang menjadi latar cerita novel. Hal tersebut memperlihatkan kedekatan emosional pengarang dengan lingkungan bangsa Indonesia.

(39)

membuktikan bahwa proses akulturasi kaum Peranakan tidak sepenuhnya menghapuskan hubungan kekerabatan dengan tanah asal mereka.

Kemunculan kaum Peranakan di bumi Indonesia bukanlah tanpa disengaja. Menurut Soekisman sampai saat ini belum ada yang tahu pasti kapan permulaan perantauan orang Cina ke Indonesia. Akan tetapi, sejak dahulu kala manusia memiliki naluri untuk cenderung berpindah dari daerah yang lebih sulit ke daerah yang lebih mudah untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga yang dialami orang Cina. Para perantau ini datang tidak bersama anggota keluarga mereka. Awal kedatangan mereka hanyalah untuk berdagang, namun seir ing waktu atas dasar pertimbangan-pertimbangan praktis, mereka pun mengawini perempuan-perempuan pribumi. Mereka memanfaatkan para “istri” ini sebagai penjaga dan pengurus usaha dagangnya selama mereka pulang ke Cina. Dari perkawinan campur ini, anak laki- laki dibawa ke negeri leluhur untuk mendapat pendidikan asli Cina (1975: 3,5). Selain untuk urusan ekonomi, sisi praktis lainnya tentu saja urusan biologis maka tidak heran bila perkawinan itu menghasilkan keturunan. Menurut Suryadinata (1996: 6,7) masyarakat perantau harus berbaur dengan masyarakat lokal karena jumlah mereka yang sedikit. Keturunannya pun tidak lagi menguasai bahasa leluhur dan memakai bahasa Melayu untuk berkomunikasi.

(40)

mereka ingin mengetahui keadaan dan kebudayaan Cina. Hal itu menjadi peluang usaha bagi orang Cina yang pandai berbisnis. Mereka pun mulai menerjemahkan cerita-cerita Tiongkok ke dalam bahasa Melayu (Suryadinata, 1996: 7).

Karya kreatif penulis Peranakan muncul pada awal abad ke-20 lebih dini dari awal kemunculan sastra Balai Pustaka yang dinyatakan hadir tahun 1920. Novel-novel modern ini kebanyakan ditulis oleh wartawan. Oleh karenanya, cerita-cerita yang muncul didasarkan pada berita-berita koran pada waktu itu yang tentu saja sudah ‘dibumbui’ (Suryadinata, 1996: 10). Bisa disimpulkan bahwa permasalahan yang ada dalam karya sastrawan Peranakan mencerminkan kejadian pada zaman itu. Permasalahan yang sering muncul antara lain soal perkawinan campur, hubungan antar etnik, pendidikan Barat, dan juga ‘pernyaian’. Hal tersebut juga tampak dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan novel karya Jovenile Kou yang berjudul

Kota Medan Penu dengen Impian yakni novel yang menjadi objek penelitian ini.

(41)

digunakan secara nyata dalam pergaulan masyarakat luas dan kurang terstandarisasi. Bahasa Melayu jenis ini sering disebut dengan bahasa Melayu Pasar. Penggunaan bahasa Melayu Rendah menjadi alasan mengapa Sastra Peranakan Tionghoa termarginalkan dari kesusastraan Indonesia. Pemakaian bahasa ini dianggap tidak layak digunakan sebagai alat ekspresi sastra.

Karya sastra pada masa itu tidak selalu membicarakan kisah romantika saja. Namun, lebih banyak mengungkap fakta sosial keseharian mereka. Tema-tema nyai cukup mendominasi Sastra Peranakan Cina. Keberadaan nyai dalam kenyataan digunakan pengarang untuk mengungkapkan ideologi pengarang ketika dalam masa pergolakan. Kehadiran para nyai dalam dunia sastra memiliki pengaruh dalam konflik yang mewakili suatu zaman. Karakter yang muncul dalam tokoh nyai sangat dipengaruhi ole h latar sosial yang melingkupi mereka. Rupa-rupa tentang nyai menjadi motif sastra yang selalu mendapat perhatian dan selalu menjadi subjek utama cerita berbahasa Melayu Rendah.

(42)

Menurut Salmon, periodisasi Sastra Peranakan Cina dibagi menjadi 4 yakni (i) dari awal mula hingga tahun 1910, (ii) dari 1911-1923, (iii) dari 1924-1942, dan (iv) dari 1945-1960-an. Menurutnya, novel Kota Medan Penu dengen Impian muncul kurang lebih pada tahun 1922 dan tidak diketahui nama pengarangnya atau anonim. Novel itu pun masuk dalam periodisasi tahun 1911-1923 (1985: 58). Akan tetapi, sesuai dengan buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (jilid 7) tertera bahwa novel tersebut karya Jovenile Kuo dan terbit pada tahun 1928. Dalam hal ini, peneliti menggunakan data berdasarkan buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (jilid 7) karena lebih up to date. Oleh karena itu, peneliti memasukkan novel Kota Medan Penu dengen Impian dalam periodisasi dari tahun 1924-1942. Novel Cerita Nyai Soemirah yang terbit pada tahun 1917 masuk dalam periodisasi 1911-1923. Hal ini kiranya perlu diluruskan karena kemunculan novel tersebut berdampak pada situasi sosial masyarakat yang melatarbelakangi ideologi pengarang.

(43)

perubahan masyarakat Peranakan. Selain itu, benturan antara nilai- nilai tradisi Cina (sekaligus Jawa) dengan nilai- nilai Barat juga dimunculkan. Pengertian perkawinan yang diatur orangtua (pribumi) bertentangan dengan pengertian Barat. Misalnya, dalam hal cinta dan pengaruhnya pada kehidupan keluarga. Para gadis terutama yang disalahkan atas pengaruh buruk dari pendidikan Eropa. Mereka dianggap seenaknya mematuhi adat istiadat yang sudah mapan. Emansipasi perempuan dipandang sebagai kesempatan kepada perempuan untuk terhanyut oleh hawa nafsu dan digambarkan dengan negatif (Salmon 1985: 59,60).

Sosok nyai dipandang sebagai tokoh pembawa gaya modern perempuan Indonesia. Tema itu juga yang sering ditemui dalam karya sastra Peranakan Cina. Modernitas yang dialami seorang nyai memunculkan dorongan untuk melakukan segala cara demi terwujudnya suatu keinginan. Modernitas seringkali lekat dengan perempuan Indonesia karena perempuan dirasa paling dekat dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, nyai dianggap memiliki hubungan paling dekat dengan modernitas. Perempuan-perempuan seperti merekalah yang memiliki kekerabatan dengan penguasa asing dan karenanyalah mereka dengan mudah merasakan pembaharuan-pembaharuan yang berkiblat Barat.

2.3 Perkawinan Campur dan Tradisi Nyai

(44)

nyai kurang peduli dengan fungsi hubungan tersebut maka nyai akan jatuh ke arah kedud ukan sebagai pelacur. Seorang nyai dapat dipulangkan ke kampung setiap waktu, apabila majikannya sudah tidak menghendaki dan tidak peduli apakah ada keturunan atau tidak (Suyono, 2005: 33). Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang nyai harus siap menerima kesewenang-wenangan majikan.

Pada umumnya, istilah “nyai” dipandang sebagai perempuan lacur, gundik orang asing, dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Julukan-julukan dan

image negatif istilah “nyai” tampak pada tokoh Nyai Ros Mina dalam novel

Kota Medan Penu dengen Impian. Akan tetapi, “nyai” juga memiliki pengertian sapaan penghormatan bagi perempuan seperti dalam novel Cerita Nyai Soemirah. Tokoh Soemirah yang keturunan bangsawan memiliki sebutan Nyai Raden Soemirah, padahal waktu itu ia belum berhubungan dengan lelaki lain bangsa. Lelaki lain bangsa dan lelaki pribumi juga menyebutnya nyai saat Soemirah masih lajang. Namun, setelah Soemirah mempunyai anak dengan Tan Bi Liang, lelaki Cina itu memanggilnya dengan menyebut nama saja.

(45)

bisa terjadi apabila orangtua pihak perempuan menyetujui, merestui dan meresmikannya di depan umum melalui berbagai cara misalnya, kenduri atau pesta. Perkawinan menjadi sah sepenuhnya bila dua sejoli telah tinggal untuk jangka waktu tertentu di rumah para besan (Toer, 1987: 51-53).

Kondisi pernyaian di kalangan masyarakat bangsa asing di Nusantara ini dilatarbelakangi oleh faktor simbiosis mutualisme. Keluarga miskin rela menjual anak perempuannya pada lelaki bangsa lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Lelaki- lelaki bangsa lain membutuhkan kehadiran perempuan karena tuntutan biologis, mengingat perantauan yang mereka lakukan tidak disertai istri. Keberadaan perempuan sebangsa pun sangat minim. Namun seiring waktu, kerelaan menjadi nyai tidak datang karena paksaan orangtua lagi, tetapi karena keinginan pribadi. Hal ini tergambar pada tokoh Soemirah dalam Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan tokoh Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo, objek penelitian ini.

(46)
(47)

DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN

Pada bab ini hanya dibahas unsur tokoh dan penokohan untuk mempersempit kajian. Unsur tokoh dan penokohan sangat berpengaruh pada pembahasan selanjutnya yakni eksistensi nyai. Eksistensi nyai terkait erat dengan personality atau individu. Pembahasan ini dipersempit lagi dengan hanya membahas tokoh utamanya saja dan masing- masing hanya diambil satu tokoh perempuan yang berstatus sebagai nyai. Nyai Soemirah merupakan tokoh utama dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina merupakan tokoh utama dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo. Kedua tokoh ini senantiasa hadir dalam penceritaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Nyai- nyai tersebut mendominasi pengkisahan. Oleh karena itu, kedua nyai tersebut tergo long sebagai tokoh utama. Tokoh-tokoh pendukung juga terlibat dalam pembahasan, karena watak tokoh utama sangat dipengarui tokoh lain.

(48)

jasmani, sosial, psikologis, dan moral tokoh dilukiskan secara langsung oleh pengarang. Keberadaan para pengarang dalam cerita sangat jelas dan seringkali menyapa pembaca secara langsung. Misalnya seperti pada kutipan di bawah ini.

(2) “Baeklah sampe di sini saja, kita tunda dulu perjalanannya itu tiga orang. Kerna ini cerita ada tersangkut dengen laen riwayat, yang pembaca harus tau lebi dulu”. (Kuo, 2003: 328)

Pengarang seringkali memberikan penilaian terhadap tokoh sehingga mempengaruhi opini pembaca untuk menjadikan tokoh tertentu sebagai sosok yang patut diberi simpati atau tidak. Nyai Ros Mina oleh pengarangnya sering disebut dengan perempuan jalang, bunga raya, setan kuntilanak, dan perempuan geladak. Secara langsung julukan-julukan tersebut menimbulkan penilaian negatif terhadap Nyai Ros Mina.

3.1 Tokoh dan Penokohan Nyai Soemirah

(49)

Soemirah gadis terpelajar, ia memiliki guru les berkebangsaan Belanda yang bernama Juffrow Herling. Keberadaan Juffrow Herling tidak hanya membuat Soemirah mahir berbahasa Belanda, akan tetapi juga mempengaruhi pola pikir Soemirah dalam beberapa hal. Misalnya saja dalam menyikapi ajaran agama Islam yang diterapkan ibunya dengan kolot. Seperti perempuan pada umumnya di masa itu, Soemirah juga bisa menjahit.

Sebagai keturunan keluarga bangsawan (Keraton Surakarta), Soemirah memiliki sifat yang halus. Akan tetapi, Soemirah memiliki watak dasar ya ng keras. Misalnya saja ketika menghadapi Ardiwinata, seorang buronan polisi yang sudah berkali-kali ditampiknya. Soemirah begitu berani melawan Ardiwinata yang terus memaksanya. Soemirah seringkali mengeluarkan kata-kata pedas dan lugas sehingga memancing amarah Ardi.

(3) Soemirah angkat matanya memandang sesaat pada sudara misan itu, kemudian ia kata:

“Angkau sala, ‘kang. Sekalipun angkau tida tersangkut itu perkara, aku tida bisa trima angkau punya lamaran. Apa bole buat, dihadapan ini dua tetamu aku musti terangken lagi itu perkara, yang tentu bikin angkau tidak enak, tetapi apa aku bisa tulung?”

“Kalu begitu, tida sala dugaanku, tentu ada orang lain yang suda angkau pilih?” kata Ardi dengen senyum sindir.

“Itu ada aku punya perkara, ‘kang, kalu aku pili lain orang, siapa mau larang?” bales Soemirah dengen suara menyataken hilang sabar (Boen, 2001: 22).

(50)

yang tidak bisa mengerti dan seringkali memaksa. Hal itu membuat Soemirah hilang kesabaran hingga memunculkan amarah dalam dirinya.

Ardiwinata masih misan Soemirah dan sangat menginginkan Soemirah menjadi istrinya. Ardiwinata sering bertindak kasar terhadap Soemirah. Soemirah tidak menyukai Ardiwinata dan hal itu membuat Ardiwinata mencoba bertindak tidak senonoh. Suatu ketika Ardiwinata datang ke rumah Soemirah bersama dua orang tukang pukul. Penolakan Soemirah membuat Ardiwinata marah dan mencoba menculik paksa Soemirah. Soemirah diselamatkan Tan Bi Liang, seorang Cina totok. Tan Bi Liang berhasil melumpuhkan Ardiwinata dan anak buahnya. Soemirah meminta Tan Bi Liang untuk melepaskan Ardiwinata dan tukang pukulnya. Soemirah tidak ingin memperpanjang masalah dan ia tidak ingin keluarganya mendapat malu. Soemirah merasa perlu untuk menjaga nama baik keluarganya. Selain itu, Soemirah juga menjaga perasaan Rolia, adik Ardiwinata yang ikut keluarga Soemirah. Soemirah tidak terbawa emosi meski keselamatannya terancam. Ia begitu baik sehingga melepaskan buronan yang hampir saja mencelakainya. Soemirah mampu memilah emosinya. Ia sama sekali tidak berlaku kasar atau bahkan mengusir Rolia meski Ardiwinata, kakak Rolia, menyakitinya. Hal ini membuktikan kebaikan hati dan rasa belas kasih Soemirah yang besar.

(51)

berkebaya pendek warna biru langit sehingga kulit mukanya yang putih bersih semakin nyata. Kain batik puger membalut rapat di bawah, tidak longgar seperti perempuan Sunda pada umumnya. Kondenya tergantung di tengkuk seperti orang Jawa. Kulitnya putih langsat, matanya sedikit besar, alisnya kereng seperti digambar, hidungnya sedikit tinggi serasi dengan mulutnya yang kecil dan bibirnya yang merah. Badannya tinggi langsing. Kecantikan dan keanggunan Soemirah dilukiskan pengarang sebagai gadis pribumi yang tanpa cacat. Penampilan Soemirah semakin mendukung kecantikannya yang alami. Tidaklah heran bila Ardiwinata dan Tan Bi Liang tergila-gila pada gadis itu.

Soemirah merupakan sosok pujaan sehingga para lelaki rela mengorbankan diri demi gadis itu. Ardiwinata yang seorang buronan rela keluar persembunyian untuk mengejar Soemirah. Dengan tindakannya itu, Ardiwinata bisa saja ditangkap polisi. Tan Bi Liang, lelaki berkebangsaan Cina, dengan berani mempertaruhkan nyawanya, berkelahi melawan tiga orang sekaligus. Tan Bi Liang juga berani melanggar peraturan passenstelsel demi menolong Soemirah. Passenstelsel merupakan sistem izin jalan yang diberlakukan terhadap orang Cina yang akan pergi keluar dari kampung Cina. Dengan pelanggaran itu, Tan Bi Liang bisa saja ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara. Sosok Soemirah membuat Tan Bi Liang dan Ardiwinata tidak peduli dengan segala resiko yang dihadapi. Konflik ini membuktikan bahwa Soemirah merupakan figur perempuan idaman

(52)

hati. Perasaan itu membuat Soemirah membiarkan Tan Bi Liang menggandeng tangannya. Soemirah merasakan bahwa lelaki itu juga mencintainya. Perasaan Soemirah semakin bahagia ketika Tan Bi Liang mengakui bahwa kedatangannya di rumah Soemirah bukanlah kebetulan. Tan Bi Liang sengaja datang untuk menyelamatkan Soemirah setelah mengetahui rencana Ardiwinata dari seorang jongos hotel. Sebagai ucapan terima kasih Soemirah menjabat tangan Tan Bi Liang. Hal ini menunjukkan kesantunan Soemirah. Pengarang menggambarkan rona kekaguman gadis pribumi terhadap Tan Bi Liang. Dalam hati Soemirah senantiasa memuji Tan Bi Liang. Lelaki itu begitu sopan dan sangat menghormati sekaligus menghargai Soemirah. Perkataan Tan Bi Liang seringkali membuat Soemirah tidak mampu berkata-kata. Kekaguman ini menunjukkan salah satu kondisi psikologis Soemirah yang digambarkan pengarang.

(53)

berwarna putih sehingga Soemirah kelihatan begitu teduh. Tan Bi Liang terpana melihat Soemirah yang menyambutnya dengan malu- malu. Hal ini menunjukkan bahwa ia juga memiliki stereotipe sifat perempuan yang malu-malu kucing bila berhadapan dengan lelaki idaman hati.

Tan Bi Liang tidak merasa lancang dan terlampau berani mencintai Soemirah yang berdarah bangsawan. Soemirah juga tidak mempedulikan perbedaan ras dan derajat di antara mereka. Ia gadis pribumi dan bergelar bangsawan, sedangkan Tan Bi Liang orang Cina dan hanya rakyat biasa. Sikap Soemirah memperlihatkan sifatnya yang tidak membeda-bedakan. Hal ini sekaligus menunjukkan kenekatan Soemirah. Soemirah menyadari bahwa hubungan antara dirinya dengan Tan Bi Liang akan ditentang ibunya. Kebangsawanan keluarga Soemirah tentu saja menjadi alasan utama penolakan Ibu Soemirah. Derajat tersebut membuat ibu Soemirah tidak mau menyerahkan Soemirah pada lelaki lain bangsa demi uang, seperti orangtua kebanyakan yang rela melepaskan anaknya demi ekonomi keluarga. Kesadaran Soemirah ini tidak membuatnya mundur tetapi tetap berusaha untuk menghadapi. Hal tersebut menunjukkan kegigihan Soemirah dalam menghadapi pertentangan yang sudah diduganya.

(54)

tampak seperti kurang pertimbangan. Soemirah telah melupakan etika puteri keraton. Akan tetapi, hal tersebut menunjukkan bahwa Soemirah tetaplah manusia biasa, kebangsawanan yang melekat dalam darahnya hanyalah status. Soemirah merasa tidak ada yang salah dengan tindakannya, karena semua itu dilandasi rasa cinta. Keberanian Soemirah menerima Tan Bi Liang di rumah ketika tidak ada orang lain, membuat ibunya menaruh curiga. Ibu Soemirah berpendapat bahwa kedatangan Tan Bi Liang hanyalah untuk menuntut balas budi. Soemirah dianggap telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tan Bi Liang sebagai ungkapan balas budi.

(4) “Masa ibu duga begitu dari saya? Ibu mau samaken diri saya dengen ronggeng di Tegal Kalong…” (Boen, 2001: 49).

Kutipan di atas merupakan ungkapan kekecewaan Soemirah kepada ibunya yang telah menganggap dirinya serendah seorang ronggeng di hadapan laki-laki.

(55)

menjadi istri seorang patih. Ia sudah menyia-nyiakan kedudukan yang disembah-sembah banyak orang tersebut.

(5) “Dari satu patih kakek-kakek, yang saya tida bisa cinta? Dan lebi jau saya musti mandah dicampur dengan bebrapa selir. Saya tidak pandang satu patih atau pangeran seperti ayahku kalu saya punya hati tida senang. Apa perlunya disembah-sembah orang kalu hati tida senang? Apa perlunya dapet titel Raden Ayu, kalu itu cuma buat tutupin hati yang berdarah....” (Boen, 2001: 52)

Soemirah tidak gila kedudukan dan merasa tidak mementingkan itu semua karena hal itu tidak menjamin kebahagiaannya. Dalam hal jodoh dan kedudukan, Soemirah senantiasa mengutamakan keinginan hatinya. Ia merasa bahwa status dan kehormatan bukanlah suatu kenikmatan bila tidak didasari oleh keikhlasan hati. Hal ini sekaligus menggambarkan Soemirah yang tidak materialistis.

(6) “Ampun, ibu, saya tida melawan, hanya saya lawan ibu punya pikiran dan pendapet yang tida mufakat dengen pendapet saya. Maafken saya suda berani berkata begini, kalu saya musti bersuami, saya mau menurut hati sendiri, saya tida mau dipandang seperti barang dagangan yang tida berjiwa atau tida berotak, yang orang bole jual dan beli. Waktu itu ibu kawin dengen Romo (ayah), apa ibu cuma sendirian saja, tida ada punya saingan? Apa ibu tida saban hari menipis air mata? Kalu ibu suda mengalami perkara cilaka, apa ibu tega mau saya pikul juga kesengsaraan serupa itu?” (Boen, 2001: 52)

(7) “Bole jadi, tapi sekarang angkau rupanya suda tida mengindahken ibumu lagi?”

“Maaf, ibu punya dugaan begitu ada sala.”

“Kalu betul angkau masih mengindahken ibumu, tida nanti angkau melawan begitu rupa?”

(56)

Keberanian Soemirah dalam menghadapi pendapatan yang bertentangan dengan pemikiranan tampak pada kutipan di atas. Sekalipun yang menentang adalah ibunya sendirinya, bukanlah halangan untuk menunjukkan kebenaran yang dianutnya. Bantahan-bantahan Soemirah merupakan wujud ketidaksetujuannya terhadap pendapat sang ibu. Soemirah tidak sepaham dengan segala pendapat ibunya yang dipandang terlampau sempit dan merasa ibunya tidak berhak menguasai segala keputusannya. Ia tetap menyadari kekuasaan orang tua, tetapi semua itu ada batasnya. Soemirah hanya membela hak dan hal tersebut bukanlah bentuk perlawanan yang tanpa mengesampingkan sikap hormat.

Di mata ibunya, Tan Bi Liang itu orang Cina, dia kafir karena tidak beragama Islam, bukan keturunan bangsawan, dan dicintai seorang Cina tidak membawa peruntungan. Soemirah hanya akan dijadikan gundik, tidak akan ada pernikahan resmi. Hal tersebut tentunya akan mempermalukan keluarganya yang masih berdarah bangsawan. Soemirah tidak mempedulikan semua itu. Pandangannya mengenai pilihan hidup sudah sangat luas dan sangat dipengaruhi pikiran Barat. Ia tidak peduli meski tidak dinikahi sebab ia berkeyakinan bahwa dimana ada cinta disitu ada peruntungan.

(8) “Jadi menurut angkau punya pikiran, tida ada keberatan buat ikut satu lelaki lain bangsa sekalipun tida kawin?”

“Tida ada keberatan, sebab di mana ada cinta, di situlah ada beruntung.” (Boen, 2001: 53)

(57)

karena telah membuat ibunya bersusah hati. Tetapi ia tetap menyesalkan pandangan ibunya yang terlalu kolot. Hal itu membuatnya berkonflik dengan batinnya. Ia terpikir untuk tidak membalas cinta Tan Bi Liang demi menyenangkan hati ibunya. Namun, ia sangsi apa ia sanggup melupakan Tan Bi Liang. Soemirah tidak mau mengingkari sumpah yang sudah dibuatnya dengan Tan Bi Liang. Soemirah juga tidak ingin dianggap sebagai anak tidak berbakti pada orang tua. Pilihan-pilihan ini membuat batin Soemirah mengalami konflik karena ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Soemirah tidak bisa memutuskan pilihannya secara tegas di hadapan ibunya. Akan tetapi di dalam hatinya, ia bersikeras bahwa pendapat ibunya salah. Soemirah mengikuti kehendak hatinya dan berharap pemikiran ibunya bisa lebih luas lagi.

(58)

Akhirnya, Soemirah tidak jadi bunuh diri karena seorang jongos hotel memberitahukan bahwa Tan Bi Liang diserang Ardiwinata dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Soemirah tetap hormat kepada ibunya meski pendapat dan keinginannya selalu ditentang. Dengan alasan balas budi, Soemirah meminta izin ibunya untuk merawat Ta n Bi Liang. Dalam peristiwa ini, pengarang seolah menggambarkan watak para tokoh dari beberapa sudut. Ibu Soemirah yang seorang pribumi dan masih memegang kuat tradisi ketimuran, tidak mengizinkan keinginan Soemirah. Ibu Soemirah menganggap kurang pantas seorang perempuan menginap di rumah lelaki tanpa ikatan. Dokter (berkebangsaan Belanda) yang dimintai rekomendasi mengizinkan Soemirah karena Tan Bi Liang memang membutuhkan seorang perawat untuk kesembuhannya. Soemirah, gadis pribumi, merasa perlu merawat Tan Bi Liang sebagai wujud balas budi. Sebagai gadis yang memperoleh pendidikan Barat, Soemirah merasa tidak ada masalah bila harus menginap di rumah lelaki tanpa ikatan demi rasa kemanusiaan. Soemirah, ibu Soemirah, dan dokter merupakan tokoh yang digambarkan pengarang untuk mewakili pembentukan karakter yang dipengaruhi oleh latar pendidikan kebangsaan yang berbeda. Ketiga tokoh tersebut memiliki benturan nilai yang disebabkan oleh karakter masing- masing.

(59)

merestui hubungan anaknya itu. Sifat keras kepala Soemirah mengalahkan kekolotan ibunya. Akan tetapi, ibu Soemirah merasa bahwa semua itu aib sehingga ia tidak mau tinggal di Sumedang.

Soemirah berhasil mewujudkan kebahagiaannya dengan Tan Bi Liang. Selama dua puluh tahun bersama, mereka memiliki dua orang anak. Anak lelakinya bernama Tan Hie Tjiak, berumur 18 tahun, dan anak perempuannya yang berumur 6 tahun bernama Mience. Kebahagiaan keluarga Soemirah terusik denga n keberadaan Rogaya di rumah Soemirah. Rogaya merupakan anak Rolia, saudara Soemirah. Kehadiran Rogaya, membuat Soemirah menjadi sosok yang kolot. Hal itu disebabkan Tan Hie Tjiak menginginkan Rogaya menjadi istrinya. Soemirah menyesalkan keberadaan Rogaya di tengah keluarganya. Akan tetapi, ia juga mengasihi Rogaya karena masih keponakannya sehingga tidak tega mengusir Rogaya. Gadis itu telah dianggapnya sebagai anak sendiri, oleh karena itu Soemirah memberikan seorang guru les untuk Rogaya. Soemirah pun menyediakan diri untuk dipanggil mama oleh Rogaya. Itulah wujud kebaikan Soemirah pada Rogaya.

(60)

bahwa anaknya telah melupakan adat bangsanya. Ia tidak suka kedekatan Tan Hie Tjiak dengan Rogaya. Soemirah memegang teguh adat Cina dan Jawa dalam hal pergaulan. Ia mengingatkan sekaligus menegur putranya bahwa sekalipun saudara sendiri antara lelaki dan perempuan tidak boleh terlalu dekat. Hal ini menunjukkan kekolotan Soemirah. Ia seolah lupa dengan masa mudanya yang begitu berani melawan kekolotan ibunya. Pendidikan Barat yang diperolehnya dulu telah tergerus oleh nilai tradisi dan kasih sayang yang berlebihan. Soemirah cukup egois dengan pandanganya dalam hal jodoh putranya.

Keinginan Tan Hie Tjiak untuk menyunting Rogaya ditentang Soemirah. Pengalaman masa lalu membuat Soemirah menolak bila anaknya berhubungan dengan gadis pribumi. Ia tidak ingin nasib Tan Bi Liang menimpa Tan Hie Tjiak, putranya. Ia tidak ingin kelak putranya dikucilkan dari keluarga karena memperistri perempuan pribumi. Ia juga tidak ingin putranya mendapat celaan dari orang-orang di sekitar mereka. Hal ini merupakan wujud kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang ditunjukkan Soemirah. Soemirah mampu membuktikan bahwa hidup berumah tangga dengan lelaki bangsa lain bisa membahagiakan. Akan tetapi, ia sendiri ragu atas kemungkinan yang akan dihadapi putranya dan Rogaya.

(61)

karena ia berpikiran bahwa putranya itu harus menikah dengan perempuan sebangsa (Cina). Hal itu dimaksudkan supaya Tan Hie Tjiak tidak mengalami pengalaman pahit seperti nasib Soemirah dan Tan Bi Liang. Penolakan Soemirah tersebut menunjukkan sikap ambivalen, karena tindakannya tersebut bertolak belakang dengan sikapnya dulu ketika memperjuangkannya cintanya pada Tan Bi Liang. Soemirah mengalami konflik dalam batinnya. Ia tidak ingin melihat anaknya sengsara karena mengawini gadis pribumi. Akan tetapi, ia juga akan lebih merasa bersalah bila menghalangi kisah kasih antara putranya dan Rohaya.

Sejak semula Soemirah menaruh curiga perihal kedatangan Rogaya di rumahnya. Soemirah merasa keberadaan Rogaya ada hubungannya dengan Ardiwinata. Bagi pembaca, kecurigaan Soemirah tidak mengandung kejutan. Hal ini dikarenakan sebelumnya pengarang telah menceritakan rencana balas dendam Ardiwinata dengan Rogaya. Pada bab sebelumnya, diceritakan bahwa Ardiwinata kebetulan bertemu Rogaya, anak Rolia. Ardiwinata pun meracuni pikiran Rogaya sehingga timbul kebencian dalam diri keponakannya itu pada Soemirah. Melalui kedua tokoh ini Soemirah dipandang sebagai penjahat karena telah menikah denga n lelaki bangsa lain. Soemirah dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan tindakan Soemirah dilihat sebagai penghinaan terhadap bangsa. Karakter Soemirah dapat dilihat melalui pandangan tokoh lain, seperti Ardiwinata dan Rogaya.

(62)

benar adanya. Soemirah seringkali ketakutan dengan pikiran-pikirannya. Ia menyesal telah menerima Rogaya di rumahnya. Akan tetapi, ia juga merasa kurang adil bila harus mengusir Rogaya. Terlebih karena Rogaya anak saudaranya sendiri dan lagi sudah yatim piatu. Meski takut akan keselamatan keluarganya, Soemirah tidak bertindak gegabah. Ia masih memikirkan kondisi Rogaya meski paman gadis itu sudah berbua t jahat padanya. Dalam pengambilan keputusan di saat dilema semacam ini, Soemirah mampu berkompromi dengan pikiran dan perasaannya. Kepercayaannya kepada Tuhan membawa semua itu pada penyerahan. Ia berusaha menepis ketakutannya. Hal ini merupakan wujud keimanannya.

(63)

Rogaya menyadari kesalahannya, ia juga tidak tega melihat Tan Hie Tjiak, lelaki yang dikasihinya, sekarat akibat kecelakan yang mereka alami. Lantas Rogaya meminum racun yang sebenarnya untuk membunuh keluarga Soemirah. Akan tetapi, Rogaya tidak mati karena racun itu ternyata hanya obat tidur. Pengakuan Rogaya tidak lantas membuat Soemirah berkeinginan untuk membalas dendam. Bahkan ia sama sekali tidak sakit hati pada Rogaya. Tindakan Rogaya yang ingin bunuh diri dengan meminum racun menunjukkan suatu penyesalan. Soemirah menyadari bahwa Rogaya hanya diperdaya oleh Ardiwinata. Ia tetap mengasihi Rogaya. Pada akhirnya, iapun menerima Rogaya sebagai menantu. Keras kepala Soemirah dikalahkan oleh cinta tulus Rogaya dan Tan Hie Tjiak.

(64)

mengembangkan kerajinan dan dengan modalnya ia bisa mengembangkan tanah leluhurnya. Ia juga ingin menjadi perantara dagang antara saudagar yang ada di Tiongkok dengan saudagar Tiongkok yang ada di Hindia Belanda. Selain itu, ia tidak ingin anak perempuannya menikah dengan lelaki Eropa karena ia tidak ingin hilang kebangsaannya.

Peristiwa akhir digambarkan sosok Tan Bi Liang yang begitu cinta tanah airnya. Pengarang begitu jelas dan lugas menyampaikan ideologinya melalui tokoh Tan Bi Liang. Keinginan Tan Bi Liang menetap di Tiongkok tidak mendapat pertentangan Soemirah. Prinsip yang dipegang teguh tokoh Soemirah yang akan selalu mengikuti adat suami digunakan pengarang untuk mendukung ideologinya. Dari sisi kebangsaan sosok Soemirah tampak tidak ada kepedulian. Sapan pengarang secara langsung dengan gaya orang pertama bukan sertaan memberi peluang narator atau pengarang itu sendiri untuk memberikan nasihat dan mempengaruhi pembaca agar seturut dengan tokoh yang ia ciptakan, yang tak lain adalah ideologi pengarang itu sendiri. Misalnya kutipan di bawah ini.

(9) “Siapa orang-orang Tionghoa hartawan suka meniru?” (Boen, 2001: 156).

3.2 Tokoh dan Penokohan Nyai Ros Mina

(65)

tersenyum. Perawakannya kecil tetapi kencang serasi dengan pinggang yang langsing. Baju renda Surabaya dan kain batik panjang menutupi tubuhnya yang elok. Kondenya yang licin terbungkus selendang dadu. Meskipun tubuhnya tidak berhias dengan emas intan, ia tetap tampak cantik hingga menggiurkan mata lelaki. Keelokan wajah dan tubuh Ros Mina membuat lelaki- lelaki hidung putih tertarik, namun Ros Mina tidak pernah peduli. Kecantikan Ros Mina digambarkan pengarang begitu sempurna dan tanpa cacat.

Ros Mina anak semata wayang. Sampai dengan usia empat belas tahun, Ros Mina tinggal bersama ayahnya di Gang Abu, Pecenongan, Betawi. Ibunya yang mantan pelacur sudah lama meninggal. Ayahnya bekerja sebagai jongos di toko Singer di Noordwijk. Bapak Ros Mina hanya bergaji f 15 per bulan maka tidak heran bila keluarga itu hidup melarat. Sejak umur empat belas tahun, Ros Mina terpaksa bekerja sebagai tukang jahit di salah satu toko di Noordwijk, untuk membantu ekonomi keluarganya. Keadaan ini menunjukkan bahwa Ros Mina termasuk keluarga golongan rendah.

(66)

lelaki tetapi tidak peduli bila ada yang menggodanya. Sebagai perempuan Ros Mina cukup genit dan senang mendapat atau mencari perhatian lawan jenisnya. Kesukaannya memoles diri memperlihatkan sikapnya yang tidak menyadari keadaan yang sesungguhnya yaitu kemiskinan keluarganya. Kegemarannya bersolek membuat Ros Mina tidak lagi mempedulikan kondisi ekonomi keluarganya.

Ros Mina sangat materialistis, misalnya ketika bertemu dengan lelaki Cina totok yang mengendarai mobil Fiat dia langsung tertarik. Ros Mina tertarik dengan materi lelaki itu sedangkan sang lelaki tertarik dengan keelokan Ros Mina. Sifat materialistisnya membuatnya lupa diri. Tanpa pikir panjang ia rela dipelihara menjadi istri muda lelaki totok itu (Baba hartawan). Ia melakukan semua itu tanpa sepengetahuan ayahnya. Sikap Ros Mina menunjukkan bahwa dalam dirinya tidak ada rasa hormat dan patuh pada orangtua. Dia sangat mementingkan diri sendiri, semua demi kesenangannya semata. Tanpa kompromi ia mengambil keputusan dan tanpa mempertimbangkan perasaan ayahnya. Ros Mina sama sekali tidak mengenyam bangku pendidikan karena keluarganya yang miskin. Dengan keluguannya, tentu saja ia mudah terbujuk apalagi bila menyangkut dengan segala kesenangan yang ia impikan.

(67)

dengan ajaran agama Islam. Penolakan ayah Ros Mina dikarenakan anaknya itu tidak menikah secara Islam, terlebih karena lelaki yang menjadi pilihan Ros Mina tidak sebangsa dengannya.

Ros Mina tampak kebingungan mencari jalan lain ketika keputusannya mengalami hambatan. Hal ini merupakan dampak dari sikap praktis yang dilakukannya. Ros Mina tidak memikirkan segala resiko yang harus ditanggung dari tindakannya. Keputusan yang dipilihnya hanya bermuatan emosi sesaat. Misalnya ketika mendekati Lebaran, dengan tidak diberi tenggang waktu, Ros Mina diusir karena baba hartawan sudah bosan dengannya. Ros Mina harus pergi karena sudah ada calon penghuni baru (nyai lain). Ros Mina baru menyadari bahwa nasib istri muda sangatlah celaka. Rasa sesal Ros Mina bukan karena keputusannya menjadi istri muda, namun karena dirinya tidak sempat mengeruk kekayaan baba hartawan. Niatan mencari keuntungan seakan menjadi pertimbangan Ros Mina dalam segala keputusan yang diambil. Akibat-akibat yang tidak diduga dari keputusan yang bersifat emosi membuatnya bingung untuk menentukan langkah selanjutnya. Ros Mina tidak mampu mempertimbangkan keputusannya.

(68)

kepraktisannya dalam berpikir. Keputusannya untuk tidak kembali pada ayahnya merupakan sikap keberanian dalam mengambil langkah kehidupan, meskipun tanpa bekal ia berani melangkah sendiri.

Seorang tukang cuci memberi Ros Mina tumpangan. Keberuntungan ini sekaligus merupakan kesialan bagi Ros Mina. Oleh tukang cuci tersebut, Ros Mina dijadikan ladang uang. Ros Mina disuguhkan pada para baba, lelaki hidung belang yang kaya. Ros Mina pun harus rela berpindah dari satu baba ke baba ke yang lain. Ros Mina memang pendek akal. Ia merasa sudah kepalang tanggung. Akhirnya ia memutuskan untuk melacurkan diri dan tinggal di hotel Tiongkok. Hasil dari hotel sudah tentu berlipat ganda, namun semua itu dirasa belum cukup juga. Tidak ada uang yang tersisih. Hal ini dikarenakan biaya hidupnya bertambah besar, terlebih sebagian dari penghasilan haram tersebut dihabiskannya untuk plesiran naik delman. Ros Mina tidak mampu menata hidupnya. Ia merasa kepalang basah dan tidak mampu mawas diri. Ros Mina terus kekurangan uang, meski hanya untuk sewa hotel dan makan ia masih kesusahan.

(69)

Segala keputusan Ros Mina dibuat dengan cepat. Apa yang ada di depan mata selalu langsung diambilnya. Begitu juga ketika bertemu Kasmin yang berhasil meyakinkan Ros Mina. Kegilaannya pada kekayaan dan wawasannya yang tidak luas, menjadi faktor mengapa Ros Mina denga n mudah percaya pada Kasmin. Ros Mina tidak mampu mengontrol emosinya. Kepolosan Ros Mina membuatnya kembali terjerumus. Ia sangat mudah percaya dengan orang dan karenanya ia mudah dibodohi. Setelah menikah dengan Kasmin di depan penghulu, Ros Mina dibawa ke Medan. Semua harapan Ros Mina sirna, ternyata Kasmin melacurkan dirinya. Kasmin seorang pengeret dan pemadat. Oleh karena tidak tahan dengan kelakuan suaminya, Ros Mina meninggalkan Kasmin tanpa membawa surat nikah. Ros Mina menyadari penindasan Kasmin terhadap dirinya. Tindakan ini merupakan wujud kesadaran dan keberanian Ros Mina.

(70)

Ros Mina merasa tidak berdaya menyingkirkan Kasmin dari kehidupannya. Ia menyadari bahwa perjalanan hidupnya yang sedemikian rupa pasti tidak akan terjadi bila ia tidak gemar plesiran. Ros Mina merasa hidupnya tidak akan sehina bila memiliki pasangan yang didasari perasaan saling cinta. Ros Mina menyesali dirinya. Ia berpikir lebih bahagia hidup miskin dan mendapat upah cukup dari menjahit. Akhirnya, dengan terpaksa, ia kembali masuk ke dalam permainan Kasmin. Ia takut pada Kasmin karena surat nikah mereka masih di tangan suaminya dan hal itu bisa membuatnya masuk penjara.

Ros Mina menuruti segala apa kata suaminya itu. Pada Tuan Kebon, Kasmin mengaku sebagai paman Ros Mina. Dengan begitu Kasmin bisa terus tinggal dan mengawasi sekaligus memperdaya Ros Mina sambil mengeruk kekayaan Tuan Kebon. Sikap patuh Ros Mina pada Kasmin awalnya dilandasi rasa takut, namun Ros Mina akhirnya menikmati segala tipu daya suaminya. Ros Mina terbuai dengan harapan-harapan yang dilukiskan Kasmin. Demi menutupi kedoknya, Kasmin memberi uang pada Ros Mina. Bagi Ros Mina, suaminya menunjukkan sikap baik karena mau berbagi uang dengannya. Ros Mina tidak menyadari bahwa itu hanyalah politik Kasmin terhadapnya. Sikap Kasmin ini membuat Ros Mina kembali suka pada suaminya itu. Ros Mina juga rela bercinta lagi dengan Kasmin. Mereka sepakat untuk mengeruk kekayaan Tuan Kebon. Perilaku ini menunjukkan bahwa dengan sifat materialistisnya, Ros Mina mampu menikmati penindasan.

(71)

seorang Hoofdtandil, seorang totok yang sudah memiliki dua orang nyai Singapura. Tidak cukup itu, anak tuan Hoofdtandil dari perkawinan resminya di Tiongkok yang bernama Tjoe Keng, juga dijanjikan kemolekan Ros Mina. Kecerdikan dan kelicikan Kasmin mampu memperdaya lelaki- lelaki berkantung emas tersebut. Semula hal ini tanpa persetujuan Ros Mina sehingga menunjukkan adanya pemanfaatan Ros Mina sebagai objek seksual dan ekonomi. Pemanfaatan itu secara tidak langsung disadari Ros Mina, namun juga tidak dipedulikannya. Apabila dijanjikan plesiran dan perhiasan oleh Kasmin, Ros Mina rela melakukan apa saja. Melalui tokoh Kasmin, pengarang menampilkan sosok Ros Mina yang mudah terbuai dengan janji manis dan harta.

Ros Mina termasuk orang yang tidak pernah puas. Baru beberapa hari dipelihara Tuan Kebon, ia mau saja melayani Hoofdtandil sekaligus anaknya, Tjoe Keng. Semua itu demi keuntungan yang lebih banyak. Ketika bertemu dengan Tjeo Keng, yang sengaja dibawa Kasmin ke rumah Tuan Kebon, Ros Mina pun pandai berlagak. Hal tersebut dilakukannya supaya Tjoe Keng lebih tertarik dan rela memberikan apa saja untuknya. Begitu juga ketika Hoofdtandil datang, Ros Mina dengan mudah menaklukkan Tuan Besar ini. Ros Mina bersikap malu- malu dan merend ah di hadapan Tuan Besar.

(10) “Ach, mana iya, Tauwkeh blon tau liat prampuan yang lebi cantik dari saia,” jawab Ros Mina dengen senyum manis. (Kuo, 2003: 308)

(11) “Ach barangkali, Tauwkeh cuma cinta di mulut saja, tetapi di hati tida, apa bukan begitu?”

Referensi

Dokumen terkait

kecemburuan sosial. Dari Ada untuk dirinya sendiri dan Ada untuk yang lain menumbuhkan faktor pendorong eksistensi perempuan pejuang yaitu a) dorongan membela agama, b)

Tujuan penelitian ini (i) menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Maryam yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar, (ii) menganalisis dan memaparkan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang berjudul “ Gambaran Kehidupan Kota Urban dalam Novel Winter In Tokyo Karya Ilana tan : Kajian

Berdasarkan uraian data diatas dapat dimaknai bahwa tokoh Ayna memang memiliki aspek iman kepada Allah di dalam dirinya sehingga ia meyakini dengan rasa syukurnya

“Mapassulu yang baru di gelar menghabiskan hampir semua uang yang saya dapatkan dari kedua mayat yang saya curi sebelumnya.” (PKP/ 2015 : 131) Dari kutipan di atas, sikap Allu

Satu sepatu lolos melewati atas kepala perempuan itu, yang satunya lagi mengenai buah dada sebelah kiri perempuan itu (Telembuk, 2017: 89). Aku masih merasakan sakit di

Perkawinan antara laki-laki Minangkabau dengan perempuan luar Minangkabau yang diceritakan dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terjadi ketika khadijah

memiliki perasaan sayang kepada ibunya yang dijadikan sebagai objek untuk bertahan hidup; (2) Renjani dominan terhadap id dan insting hidup, ia memperlakukan