• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN

4.2 Motivasi Tokoh Menjadi Nyai

4.2.1 Motivasi Nyai Soemirah

Soemirah adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Surakarta. Setelah ayahnya meninggal, Soemirah tinggal bersama ibunya di Pawenang, Sumedang. Dengan status kebangsawanannya, ia mampu mengenyam pendidikan. Peraturan pemerintah kolonial Hindia Belanda menyatakan bahwa hanya Pribumi yang dianggap kaya yang diperbolehkan mengeyam pendidikan (sekolah). Soemirah beruntung karena ia memiliki guru berkebangsaan Eropa yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir Soemirah (pemikiran Barat). Hal ini mempengaruhinya dalam memandang status nyai yang melekat pada dirinya. Menurutnya, menjadi seorang nyai (pendamping lelaki lain bangsa) bukanlah suatu masalah. Ia memiliki firasat bahwa hidupnya akan bahagia meskipun banyak perbedaan antara dirinya dengan Tan Bi Liang, lelaki Cina totok yang dicintainya. Soemirah tidak berkeberatan bila harus ikut lelaki lain bangsa meskipun tidak menikah. Ia termotivasi karena firasatnya mengatakan bahwa

bila ada cinta, pasti akan ada peruntungan. Soemirah pun terus memperjuangkan cintanya meski harus berstatus nyai. Keyakinan Soemirah menunjukkan suatu penegasan bahwa status nyai bukanlah suatu penghambat dalam menjalani kehidupan.

Motivasi paling kuat yang menyebabkan mengapa Soemirah tetap ingin hidup bersama Tan Bi Liang adalah rasa tanggung jawab terhadap sumpahnya. Sumpah sehidup semati antara Soemirah dan Tan Bi Liang harus dipertanggungjawabkan. Ketika Soemirah merasa tidak bisa memenuhi sumpah dan pengharapannya, ia berusaha bunuh diri. Setelah menjadi nyai dari Tan Bi Liang dan memperoleh keturunan, ia pun mempertanggungjawabkannya. Ia setia pada Tan Bi Liang dan (sebagai seorang ibu) bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Rasa tanggung jawabnya terlihat ketika ia menasihati Tan Hie Tjiak perihal jodoh.

Lingkungan juga menjadi salah satu motivasi Soemirah rela menyandang status nyai. Soemirah melihat bahwa pernikahan bagi bangsanya seringkali dianggap sebagai perhiasan semata. Pemikiran ini muncul mengingat banyaknya kasus perceraian yang terjadi padahal baru setengah bulan menikah. Soemirah jarang sekali melihat satu pribumi bersuami satu kali seumur hidup. Selain itu, pernyataan Soemirah pada kutipan (16) menegaskan jika lelaki bangsa sendiri tidak lebih setia dari lelaki bangsa lain. Lelaki pribumi cenderung memiliki selir dan memperlakukan perempuan dengan tidak adil. Bila perempuan sudah dianggap tidak berguna lagi, maka para lelaki akan membuangnya begitu saja. Soemirah memandang lelaki- lelaki pribumi terlalu

munafik dalam menjalankan hukum perkawinan, lelaki memperlakukan perempuan dengan seenaknya.

(16) “Trima kasi buat ibu punya cinta hati kepada saya, selamanya saya memang dijunjung di atas batu kepala. Tetapi coba ibu bisa bilang pria mana tida berselir? Orang siapa tida biasa sia-siaken bininya? Perampuan siapa dari bangsa kita yang begitu dijunjung oleh suaminya dari idup sampe mati? Betul ada aturan sarat perkara kawin begini dan begitu. Memang bagus kalu dijalanken tetapi ampir semua perampuan bangsa kita dibikin seumpama tebu saja oleh suami, abis air-sepah dibuang.” (Boen, 2001: 52)

Situasi lingkungan membuat Soemirah berpandangan dan memutuskan bahwa meskipun tidak kawin, kesetiaan satu sama lain jauh lebih berguna. Pandangan ini kembali menekankan bahwa lebih baik menjadi nyai atas dasar cinta daripada menikah resmi tetapi diperlakukan tidak adil dan bercerai kemudian.

Motivasi- motivasi dalam diri Soemirah mampu menunjukkan eksistensinya. Ia berhasil menentukan pilihannya, berjodoh dengan Tan Bi Liang, dan tidak termakan oleh kekolotan ibunya. Dengan pilihannya itu, ia mampu mengaktualisasikan diri dan mempertanggungjawabkannya dengan pembuktian bahwa ia mampu bertahan dan hidup bahagia dengan Tan Bi Liang hingga dikaruniai dua orang anak. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat yang menyatakan bahwa keberuntungan nyai bersifat sementara atau semu (Christanty, 1994: 28). Dengan pertanggungjawabannya itu, Soemirah seolah ingin menunjukkan bahwa meski berstatus nyai, ia mampu membentuk keluarga bahagia dan sebagai perempuan berhasil menjaga martabatnya. Ia tetap setia meskipun mendapat penilaian kurang baik dari masyarakat. Ia

mampu bertahan pada pilihannya, menunjukkan keberadaannya sekaligus aktualisasinya.

Pengaruh pendidikan Barat membuat Soemirah mampu membangun motivasi dalam dirinya. Pemikiran tersebut antara lain menyangkut persoalan memilih jodoh berdasarkan keinginan sendiri, sekalipun harus berstatus nyai. Pemikiran Barat dan perilaku lingkungan membawa nilai-nilai baru bagi Soemirah. Oleh karena itu, proses sosialisasi Soemirah membuatnya mampu menentukan pilihan dan mempertanggungjawabkannya. Keyakinan Soemirah bahwa jika ada cinta di situ ada peruntungan, memunculkan idealisme tersendiri. Keyakinan itu menjadi landasan filosofi sikapnya dalam mewujudkan idealisme, yakni ia akan berjodoh dengan lelaki pilihannya sekalipun lain bangsa dan tidak menikah secara Islam. Hidup dengan orang asing adalah dosa karena menjauhkan dari agama Islam, namun idealisme Soemirah tentang cinta mampu memupus pernyataan tersebut. Ia pun melakukan pilihan itu dengan loyalitas yang tinggi, terbukti kehidupannya dengan Tan Bi Liang mampu bertahan hingga puluhan tahun dan memiliki dua orang keturunan. Perjalanan cinta Soemirah menyiratkan adanya arus yang berkembang yang berorientasi pada nilai- nilai baru yang berasal dari kebudayaan Barat (Esten, 1984: 57).

Kebanyakan perempuan yang menjadi nyai berasal dari keluarga petani maupun keluarga kelas bawah lainnya. Mereka dijual oleh orangtuanya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Nyai yang berasal dari keluarga priyayi biasanya diserahkan ayahnya pada penguasa asing untuk

mengamankan kedudukan dan jabatan sang ayah (Christanty, 1994: 26). Selain itu, pada masa sebelum Perang Jawa, orang-orang istana menjodohkan anak gadisnya pada lelaki Cina. Hal ini dikarenakan mereka membutuhkan sumber pinjaman uang dan ahli perdagangan (Carey, 1986: 12). Namun, semua itu bukanlah alasan Soemirah menjadi nyai. Soemirah berasal dari keluarga bangsawan, jadi tidak ada alasan hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomi, ia menjadi nyai. Ibu Soemirah juga tidak perlu mengamankan kedudukan keluarganya dengan menjodohkan anak gadisnya dengan lelaki bangsa lain. Soemirah juga tidak dijodohnya ibunya dengan Tan Bi Liang hanya untuk urusan pinjaman dana. Ibu Soemirah justru menentang kemauan Soemirah dan tidak menginginkan anaknya itu menjadi nyai dengan alasan apapun. Keputusan Soemirah menjadi nyai dilandasi rasa cinta bukan karena materi atau kekuasaan. Soemirah dengan rela dan penuh kesadaran menyediakan diri menjadi nyai bukan karena paksaan dan tuntutan siapapun.