• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN

4.3 Peran Nyai dalam Keluarga

4.3.1 Peran Nyai Soemirah

Soemirah sebagai seorang anak (sebelum menikah) sangat berperan menjaga nama baik keluarga bangsawannya. Ketika Ardiwinata, misannya, berkali-kali melakukan tindakan tidak senonoh terhadap dirinya, ia tidak melaporkan pada polisi. Ia juga tidak memberitahukan keberadaan Ardiwinata, meskipun saudaranya itu buronan polisi. Hal itu dilakukannya demi menjaga nama baik keluarga bangsawannya.

Sebagai seorang pendamping lelaki lain bangsa dan diberi gelar nyai oleh orang sekelilingnya, Soemirah tidak berperan sebagai nyai pada umumnya. Hal itu dikarenakan Soemirah bukan berasal dari keluarga miskin melainkan dari keluarga bangsawan. Artinya, ia menjadi nyai bukan karena alasan materi. Oleh karena itu, ia tidak memaknai segala sesuatu dengan uang. Soemirah tidak berperan sebagai gundik, tetapi selayaknya seorang istri sah. Dua orang keturunannya membuktikan kesungguhan hubungan kasih antara dirinya dan Tan Bi Liang.

(24) “Orang perempuan musti turut lelaki, jadi kawin itu musti turut aturan kebangsaan laki....” (Boen, 2001: 53)

Perkataan Soemirah pada kutipan di atas menjadi prinsip Soemirah dalam mengarungi rumah tangga bersama Tan Bi Liang. Menurut Mochtar Naim, salah satu ciri pola kebudayaan Jawa bersifat paternalistis (Esten, 1984: 57). Dalam menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu, Soemirah begitu patuh pada suaminya. Hal ini tampak ketika Tan Bi Liang memutuskan meninggalkan Hindia Belanda dan menetap di Tiongkok, Soemirah mengikutinya tanpa penolakan. Prinsip inilah yang dimanfaatkan pengarang untuk memperlihatkan bahwa prinsip adat atau pola kebudayaan Jawa sendirilah yang mengalahkan rasa nasionalisme. Hal itu tentu saja menjadi celah bagi pengarang untuk memasukkan ideologi nasionalisnya. Tanpa paksaan, tokoh pribumi mau mengikuti tokoh bangsa asing (Cina) karena ajaran budaya yang melingkupinya yakni perihal patriarki.

Soemirah memang memutuskan untuk selalu mengikuti apa kata suaminya. Akan tetapi, bukan berarti Soemirah tidak menggunakan haknya untuk melakukan apanya yang ia mau bila ada ketidaksepahaman dengan suaminya. Misalnya dalam hal jodoh putra mereka. Soemirah tidak mengizinkan Tan Hie Tjiak berhubungan dengan Rogaya, gadis pribumi yang juga keponakannya sendiri. Tan Bi Liang justru merestui dan tidak menghalangi kemauannya anaknya, karena ia merasa sudah mengalami hal itu dan segala persoalan bisa diatasi.

“Betul, bukan dia punya sala, tetapi kalu anak kita suda tejaring, tentu susa terlepas lagi, ia nanti belain perampuan pilihannya biar begimana juga, ia tida nanti mau kawin sama satu nona bangsanya.” (Boen, 2001:125)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Soemirah tidak menginginkan nasib Tan Bi Liang menimpa Ta Hie Tjiak. Oleh karenanya, ia tidak mengizinkan anak lelakinya berhubungan dengan Rogaya. Soemirah menginginkan putranya menikah dengan perempuan sebangsa (Cina). Soemirah menyadari kebangsaan Tan Hie Tjiak mengikuti garis keturunan ayah. Hal ini menunjukkan peran Soemirah sebagai ibu, yaitu menjaga dan mendidik anak. Soemirah menasihati putranya bahwa perga ulan antara lelaki dan perempuan meskipun masih saudara tidak boleh terlalu akrab. Nasihat ini dilandasi kekhawatiran Soemirah atas kedekatan putranya dengan Rogaya (gadis pribumi).

Dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, terkadang Soemirah berkompromi dengan orang lain meskipun ia juga sering mengambil keputusan sendiri. Ketika ia tidak diizinkan ibunya berhubungan dengan Tan Bi Liang, ia nekat bunuh diri. Ketika Rogaya datang ke rumahnya, tanpa persetujuan Tan Bi Liang, Soemirah menyuruh Rogaya untuk tinggal bersamanya. Soemirah memiliki kuasa akan dirinya dan menyadari ada hak dalam perannya.

Soemirah tidak memiliki peranan dalam ekonomi keluarga. Sebagai putri bangsawan dan istri seorang ahli niaga yang sukses, tentu saja membuat Soemirah tidak perlu susah payah mencari tambahan permasukan bagi keluarga. Ia hanya menjalankan peran sebagai istri yang memberi perhatian terhadap keluarga. Hal itu ditunjukkan dalam kepatuhan terhadap suami dan

kasih sayang pada anak-anaknya. Soemirah hadir sebagai perempuan, istri, dan ibu yang peduli terhadap keluarga. Faktor utama ia mau menjadi nyai adalah cinta, maka ia pun tidak bertingkah macam- macam, bahkan ia melindungi keluarganya, terutama dari ancaman Ardiwinata. Peranan Soemirah ini tentu dilatarbelakangi oleh status sosialnya. Puteri seorang bangsawan tidak terbiasa dengan urusan uang. Perempuan bangsawan juga tidak lazim bersentuhan dengan pekerjaan di luar rumah, namun memiliki kewajiban untuk melayani suami dan merawat keturunan (Christanty,1994: 36). Demikian juga dengan Soemirah, dirinya tidak pernah terlibat dan melibatkan diri dalam urusan eksternal rumah tangga. Peran dominan Soemirah lebih pada urusan domestik rumah tangga.

Oleh suaminya, meski Soemirah perempuan Jawa yang cantik, ia tidak diperlakukan sebagai objek seksual dan kepentingan practice sosial. Soemirah yang bangsawan juga tidak dimanfaatkan Tan Bi Liang untuk meningkatkan kedudukan atau mempermudah usaha niaganya. Tan Bi Liang benar-benar memperlakukan Soemirah sebagai perempuan yang seutuhnya dan bermartabat, meski status nyai melekat pada istrinya.

Ada tiga sisi yang ditunjukkan Soemirah dalam menjalankan aktualisasi perannya sebagai nyai yakni pendidikan anak, kepatuhan terhadap suami, dan pengambilan keputusan. Dalam perkawinannya, suami Soemirah bertindak sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, pihak Soemirah berlaku sebagai istri dan ibu rumah tangga yang mendidik serta merawat anak. Pembagian peran ini menunjukkan bahwa Soemirah memiliki fungsi sebagai

nyai pada umumnya yakni pengurus rumah tangga dan keluarga. Soemirah tidak menjadi nyai yang menurut pandangan masyarakat adalah gadis lacur. Sebagai nyai, Soemirah berperan sebagai istri sah.

4.3. 2 Peran Nyai Ros Mina

Ros Mina menjadi nyai karena ingin memperoleh harta kekayaan. Oleh karena itu, ia melakukan segala upaya untuk mendapatkan kekayaan. Ros Mina rela berpindah dari satu baba hartawan yang satu ke baba hartawan yang lain. Ia juga sering keluar masuk hotel untuk memperbanyak relasi. Dalam kedudukan sebagai nya i, baik di Jawa maupun Sumatera, Ros Mina hanya berperan sebagai objek seksual. Setiap lelaki menginginkan Ros Mina karena keelokan tubuh dan kecantikan parasnya. Dari sekian banyak tuan yang memeliharanya, tidak satu pun yang menginginkan Ros Mina sebagai istri sah. Seorang asisten perkebunan mempunyai tanggung jawab pekerjaan, bila menikah akan bertambah beban untuk mengurus istri dan anak, untuk itu tidak diijinkan menikah resmi sebelum ada ijin dari direksi perkebunan (Suyono, 2005: 27). Hal ini menjadikan pejabat-pejabat perkebunan hanya menginginkan Ros Mina untuk dipelihara bukan dinikahi secara resmi. Kasmin (lelaki pribumi) mau menikahi Ros Mina yang pelacur karena ia sendiri ingin memanfaatkan Ros Mina sebagai “ladang uang”.

Perlakuan Kasmin menunjukkan bahwa Ros Mina tidak saja berperan sebagai objek seksual, akan tetapi berperan pula sebagai objek ekonomis. Ros Mina rela disuguhkan ke tuan-tuan Kebon disamping melayani Kasmin

selayaknya suami istri. Ros Mina dipaksa menyerahkan materi pada Kasmin. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di Betawi, Ros Mina sudah berperan sebagai penyandang dana keluarga. Pada waktu itu, ia mencari uang dengan cara menjadi tukang jahit di toko kain. Ros Mina melakukan peran tersebut tidak dengan paksaan, berbeda ketika ia berperan sebagai ”ladang uang” Kasmin. Meskipun menikmati peranannya tersebut, akan tetapi pada awalnya Ros Mina mengeluhkan perlakuan Kasmin.

(26) “Saia harep jangan kaka buat gusar dan kecil hati, lantaran sampe sekarang barang mas barang sesuku tida ada melengket di badan saia, bagaimana saia ada itu muka buat pulang ka ruma!” kata itu prampuan...”

“Kalu lu mau pulang toch tidak apa jahatnya, mustahil amat kita tida mau trima, apa lagi sekarang di Lubuk Pakam lantaran ada dateng Komedi Bangsawan dari Medan, bole dibilang saban malem tuan-tuan kebon ada turun nonton.” Begitulah itu jahanam mulai membujuk buat bikin lembek hatinya itu prampuan, kerna lantaran ia mata duitan, maka sering kali ia suda tida meras jiji buat dapet uwang haram dengen dagangken prampuan-prampuan yang ia baek-in (piara) para tuan-tuan kebon yang brani bayar mahal “ (Kuo, 2003: 270).

(27) “Sekarang saia hendak pergi jadi “Babu” di kebon Tebing nanti sekiranya kalu saia suda bisa kumpul sedikit uwang, tentu saya kombali, ka ruma kaka, jangan buat slempang ka!” kata itu prampuan dengen hati yang merasa sanget pilu, kerna sampe di ini waktu ia masi rasaken dirinya seperti di Noraka, blon bisa terlepas juga dari gangguannya itu setan pemadatan” (Kuo, 2003: 271).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan peran awal sebagai istri Kasmin, Ros Mina mengalami tekanan dan ketidakberdayaan. Kasmin menjerumuskan Ros Mina pada perdagangan perempuan sehingga memaksakan Ros Mina untuk berperan sebagai penanggung jawab pokok ekonomi keluarga. Perlakuan ini menunjukkan bahwa perkawinan resmi tidak

menjanjikan kebahagiaan. Menikah dengan lelaki pribumi justru akan lebih menyengsarakan. Perempuan (istri) cenderung menjadi objek sehingga harus menerima segala perlakuan lelaki (suami). Dengan kata lain, pengarang seolah ingin memperlihatkan bahwa menikah resmi dengan lelaki pribumi tidak membawa keuntungan. Perempuan (istri) hanya berperan atas kemauan lelaki (suami).

Berbeda halnya ketika Ros Mina menjadi nyai Tuan Kebon (lelaki Cina), ia mampu berperan sesuai kehendaknya dan mendapat keuntungan. Dengan status nyai tersebut, tentu saja ia tidak dinikah secara resmi, namun ia mampu mengaktualisasi sehingga mampu mewujudkan keinginannya tanpa tekanan. Sebagai nyai Tuan Kebon, Ros Mina me miliki tugas seperti nyai pada umumnya. Ia berperan sebagai istri yang harus melayani urusan biologis sang tuan dan juga mengurusi keperluan makan tuannya.

(28) “Bangun Mina, masak kopi, satu jem lagi aku misti pergi preksa kuli-kuli kerja.” Kata itu Tuan totok sembari goyang-goyang badannya ia punya nyai.

“Masi dingin Tuan!” jawab si Mina, sembari tutupken pulah tubunya dengen slimut, aken tetapi tida brapa lama ia suda sadar, kerna ia takut, yang Tuannya nanti jadi gusar maka ia lalu buru-buru ka dapur buat masak aer.

Setenga jem telah berselang, di atas meja makan suda sedia semuwa barang santapan buat makan pagi.

Ros Mina lalu panggil ia punya Tuan.

Kutika itu Tuan Kebon suda duduk, sang nyai lalu ambil piso potongin rotinya, sembari menanya: “Apa Tua n mau taro mentega?”

“Ya, lekasan,” jawab itu Tuan kebon dengen buru-buru ia lalu minum kopi susu dan makan brapa potong roti (Kuo, 2003: 289)

Melalui perannya sebagai pengurus kebutuhan majikannya, Ros Mina mengenal modernitas. Ia yang semula gadis miskin, mulai mengenal makan dengan mentega, roti, kopi susu, dan peralatan pisau. Ia memotong roti dengan pisau dan melumuri roti dengan mentega. Kenyataan ini menggambarkan Ros Mina mengenal tradisi Barat dan menunjukkan bahwa seorang nyai memiliki peranan dalam modernitas. Ros Mina mengenal tradisi Barat dan ini membuktikan bahwa untuk menjadi modern tidak harus melalui pendidikan formal. Ros Mina tampak berani mengambil nilai- nilai baru yang sebelumnya tidak dikenalnya. Ros Mina mencoba melangkah ke arah kehidupan yang baru. Dinamika tersebut menunjukkan adanya suatu vitalitas kebudayaan (Ham, 1983: 17).

Ros Mina yang genit dan berlaku serong sangat menikmati kedudukannya sebagai nyai. Ia tidak mempedulikan perlakuan para tuannya karena yang penting bagi dirinya adalah apa yang dilakukan mendatangkan uang. Sebagai seorang nyai, Ros Mina memiliki peran dalam menjaga nama baik dan gengsi tuannya. Alasan itu membuat Ros Mina berani meminta perhiasan pada Tuan Kebon.

(29) “Ya, tuan, kapan Ros tida pake barang sepotong yang berharga, toch Tuan juga yang jadi malu, kalu orang liat Tuan punya Nyai ada terlalu miskin. Kalu saya pake banyak barang berharga, Tuan jadi dapet muka trang pada orang banyak, lagi itu barang-barang yang Tuan bli-in saia sama juga seperti Tuan punya barang kapan kita keputusan uwang, bole kasi kombali pada tukang mas, lantes kita bisa dapet kombali uwangnya.”

“Baeklah, besok saia nanti kasi itu uwang!” kata itu Tuan Kebon dengen terpaksa misti lulusken permintahannya itu setan puntianak (Kuo, 2003: 313).

Harta benda yang menjadi orientasi Ros Mina tidak mempengaruhi tuntutan perlakuan dari tuannya. Ros Mina tidak pernah peduli bila tuannya tidak mau terlihat berdua dengan dirinya di depan umum. Hal ini tampak ketika Ros Mina dan Tuan Kebon naik kereta menuju Tanah Tebing. Tuannya naik

Eerste klas (kelas satu), dan Ros Mina naik tweede klas (kelas dua). Mereka juga jarang satu hotel dan satu kendaraan. Kutipan di bawah ini menunjukkan tidak adanya kesetaraan antara seorang nyai seperti Ros Mina dengan tuannya.

(30) “...lantaran itu Tuan mau pegang tinggi derajadnya maka ia terpaksa misti menginep di Hotel Europa, sedeng itu prampuan ada menumpang pada kenalannya di kampung Kling Petisah” (Kuo, 2003: 267-268)

(31) “Itu Tuan Totok tida mau naek satu sado dengen itu prampuan, kerna ia masi merasa malu, jika ia punya kenalan dapet liat padanya, bahuwa ia ada duduk satu sado sama itu nyai!” (Kuo, 2003: 279) Ros Mina tampak menyadari perannya sebagai nyai dari lelaki- lelaki Cina, ia merasa hanya sebagai penghibur tuan-tuannya. Oleh karena itu, Ros Mina menjaga perasaan tuannya hanya supaya ia terus dipelihara dan disayang, dengan begitu ia bisa mendapat apa yang dia mau. Selain itu, Ros Mina memiliki maksud agar perbuatan serongnya tidak tercium oleh tuannya. Sebagai seorang nyai, Ros Mina menjalankan perannya sesuai tugas nyai pada umumnya dengan baik. Ia menjalankan tugas rumah tangga dan urusan kasih sayang pada tuannya. Meskipun ia serong, tindakan itu dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan ganda dari segi materi. Hal ini bisa dimaklumi mengingat bahwa seorang nyai seperti Ros Mina harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk, diusir sewaktu-waktu oleh tuannya. Untuk

itu, tidaklah heran bila Ros Mina melakukan berbagai cara demi kesejahteraan hidupnya.