• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

E. TELAAH PUSTAKA

4. Media Sebagai Sarana Konstruksi Realitas

Satu hal penting dalam teori komunikasi sebagai wacana (communication as discourse) adalah usaha untuk memproduksi realitas dalam bentuk wacana. Usaha ini merupakan pekerjaan sentral baik dalam kegiatan komunikasi antar pribadi secara tatap muka maupun antar individu melalui media. Dalam mengkonstruksi realitas, dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor innocencity, internality, dan externality, para pihak mendayagunakan bahasa (strategi signing), mengatur fakta (strategi framing) dan menyesuaikan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan (strategi priming).45

Dalam kegiatan komunikasi yang menggunakan media, praktik komunikasi mengkonstruksi realitas ini tampak semakin kentara. Hal ini dikarenakan wacana yang dihasilkan dimediasikan, baik dalam bentuk text, talk, act, maupun dalam bentuk artefact. Dalam membuat sebuah wacana itu, sudah dipastikan bahwa pembuatnya telah dengan sengaja mengatur tiga

45

commit to user

24

strategi: signing, framing, dan priming. Mereka juga pasti sudah mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal mereka dalam mengatur tiga strategi itu guna menciptakan efek tertentu di tengah khalayak (lihat gambar berikut)46

Konstruksi realitas atau konstruksi sosial tidak akan dapat dilepaskan dengan penggunaan simbol. Sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbiter (berubah-ubah) dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran disebut dengan kata atau bahasa.47 Oleh karena itu, yang dimaksud signing adalah strategi penggunaan tanda-tanda bahasa, baik bahasa verbal (dalam bentuk kata-kata) maupun nonverbal (dalam bentuk gambar, grafik, gerakan, dan sebagainya).

46

Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 45

47

Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Hal 42

Bagan I. 1 Model Konstruksi Realitas Melalui Media

Faktor Internal Faktor Eksternal Proses Kontruksi Realitas oleh Konstrukor Discourse dalam Media: (dengan strategi signing, framing, dan priming)

Efek di Tengah Khalaya

commit to user

25

Dalam pembuatan wacana, sistem tanda merupakan alat utama proses kontruksi realitas. Mengacu pada pemikiran Berger, Peter L dan Thomas Luckman, sistem tanda merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap ini dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat untuk membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa.48

Strategi framing atau praktik pemilahan dan pemilihan yang (tidak) akan dimasukkan ke dalam wacana merupakan hal yang tak bisa dihindari dalam pembuatan wacana. Penyebabnya adalah fakta yang terkait dengan realitas sering lebih banyak dibandingkan dengan tempat dan waktu yang tersedia.49 Di dunia media massa, pemilahan dan pemilihan fakta dilandasi oleh pertimbangan waktu dan tempat. Media cetak memiliki keterbatasan kolom dan halaman; sementara pada media elektronik memiliki keterbatasan durasi dan jadwal siaran.

Sedangkan strategi priming, adalah strategi mengatur ruang atau waktu untuk pemublikasian wacana di hadapan khalayak. Dalam media massa, praktik penonjolan suatu isu terlebih dahulu dikenal dengan teori agenda

48

Berger, Peter L dan Thomas Lukman, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge, dalam Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 49-50

49

commit to user

26

setting. Asumsi teori ini adalah perhatian masyarakat terhadap suatu isu sangat bergantung pada kesediaan media massa memberi tempat pada isu tersebut. Semakin besar tempat yang diberikan oleh media massa semakin besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak.50

Adapun mengenai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi media dalam mengkonstruksi realitas adalah faktor innocently yang mencakup kekurang-mampuan dan kesalah-pahaman; faktor internality karena adanya minat dan kepentingan; dan faktor externality karena adanya sponsor dan pasar.

Meskipun dalam pembuatan berita, media mengkontruksi realitas fisik/empirik menjadi realitas media (simbolik) dengan ketiga strategi (signing, framing, priming) serta adanya faktor internal dan eksternal dalam membentuk sebuah wacana tertentu, media tetap berpegang dengan kaidah- kaidah jurnalistik yang berlaku. Sebuah berita dituntut memenuhi kaidah 5W+1H (What, Where, When, Who, Why, dan How) dan memiliki news value (nilai berita). Secara umum, suatu kejadian dianggap mempunyai nilai berita jika mengandung satu atau beberapa unsur di bawah ini51:

a. Significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau mempunyai akibat terhadap kehidupan pembaca. Misalnya berita kenaikan BBM yang menaikkan harga-harga kebutuhan lain.

50

Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 70-72

51

commit to user

27

b. Magnitude (besar), yaitu kejadian menyangkut jumlah atau angka- angka yang besar (fantastis). Misalnya bencana yang merenggut ribuan jiwa.

c. Timeliness (waktu), yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang baru terjadi atau baru dikemukakan.

d. Proximity (dekat), yaitu kejadian yang dekat dengan pembaca, baik secara geografis maupun emosional. Kejadian di Solo lebih menarik perhatian masyarakat Solo dari pada orang Palembang. e. Prominence (tenar), yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang

terkenal atau populer. Misalnya berita perceraian seorang bintang film.

f. Human Interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberikan sentuhan perasaan bagi pembaca. Misalnya kejadian yang menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa, atau sebaliknya. Pada dasarnya, inti jurnalistik adalah adanya suatu fakta yang direkontruksi kembali oleh wartawan atau lembaga media yang kemudian disampaikan kepada masyarakat luas. Dalam merekontrusksi suatu fakta, wartawan bukan sekedar melakukan pekerjaan teknis melainkan pekerjaan intelektual, di mana wartawan memberikan interpretasinya atas suatu peristiwa.

Menurut Ignas Kleden, berita yang disajikan dalam koran misalnya, bukanlah reproduksi mekanis dari suatu peristiwa, melainkan hasil pergulatan

commit to user

28

dan dialektika yang intens antara peristiwa tersebut dengan persepsi dan kesadaran sang wartawan. 52

Dengan demikian, seorang wartawan tidak hanya bertugas menyampaikan berita sesuai dengan aturan jurnalistik yang presisi. Namun, mereka juga harus bergulat dengan berbagai hal yang melibatkan tanggung jawab sosial dan integritas intelektualnya.

Bagaimana menyampaikan berita itu sehingga sanggup mencerminkan keadaan sebenarnya, tetapi sekaligus mempertimbangkan manfaat dan kebaikan yang diberikan oleh pemberitaan itu terhadap masyarakat pembaca, sambil memberikan perspektif dan warna pemberitaan yang mencerminkan nilai yang dianut oleh wartawan atau koran yang dilayaninya.53

Selanjutnya, masyarakatlah yang berhak menginterpretasikan berita dan memberikan konteks tertentu atas informasi yang diterimanya.

Menurut John Fiske, ada tiga proses yang dihadapi wartawan saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang.54 Level pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Hal ini berkaitan dengan bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media. Dalam tahap ini, realitas selalu siap ditandakan, ketika kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagi suatu realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relaitas itu digambarkan. Dalam tahap ini,

52

Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal xiv

53

Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv

54

commit to user

29

digunakan perangkat secara teknis seperti kata, kalimat atau proposisi, gambar, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat, atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima khalayak. Pada tahap terakhir, bagaimana peristiwa itu diorganisir ke dalam konvensi- konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Saat kita melakukan representasi, menurut Fiske, tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi.55 Hal ini dikarenakan ideologi merupakan sistem kepercayaan yang darinya lahir nilai-nilai dasar (visi) sebagai acuan dalam memandang dan menyikapi suatu peristiwa.

Dalam setiap terbitannya, sebuah surat kabar selalu mengacu pada kebijakan institusi surat kabar. Secara khusus mengenai penyampaian pesan yang berupa berita, surat kabar selalu mengacu pada kebijakan redaksional surat kabar yang merupakan penjabaran dari visi surat kabar tersebut. Melalui kebijakan redaksional yang diterapkan, sebuah surat kabar akan berusaha mewujudkan visinya sebagai media komunikasi massa dalam masyarakat.

Visi itu juga memberikan bobot, warna, dan dimensi kepada kejadian- kejadian yang diangkat menjadi bahan berita, baik dalam proses seleksi maupun dalam proses memberikan makna dan bentuk.56

Visi surat kabar, tentu saja, menjadi visi yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja pada surat kabar tersebut. Visi atau pandangan

55

John Fiske dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 114

56

commit to user

30

pokok tersebut diaktualisasikan oleh para wartawan dalam pekerjaan dan karyanya, melalui pergulatannya dengan realitas serta pemikiran yang mereka olah menjadi berita. Nilai-nilai yang dianut inilah yang menjadikan sebuah surat kabar tidak dapat bersikap “bebas nilai”.

Ignas Kleden menyatakan bahwa, setiap penerbitan surat kabar hendaknya mempunyai seperangkat nilai yang menjadi referensinya, baik sebagai dasar bagi visi dan posisi yang hendak dibelanya, maupun sebagai kriteria untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri. 57

Referensi nilai inilah yang kemudian menentukan mengapa suatu kejadian diberitakan secara massif sementara kejadian lainnya hanya diberitakan secara singkat. Dari sinilah dapat terlihat watak dan kepribadian sebuah media.

Usaha dan perjuangan wartawan untuk tetap setia kepada referensi nilainya, sambil berikhtiar untuk mempertahankan obyektivitas dan aktualitas pemberitaan, dan sekaligus harus memperhitungkan efek pemberitaannya untuk pembaca, sebetulnya adalah usaha untuk mencari perimbangan maksimal antara kesetiaan kepada hati nurani wartawan dan korannya, kepentingan fakta, dan kepentingan masyarakat pembaca.58

Hal inilah yang menjadikan tampilan dan isi surat kabar memiliki ciri khas atau karakter yang berbeda dengan surat kabar yang lain. Dengan kata lain, surat kabar secara konsisten mempunyai kepribadian yang tercermin dalam keseluruhan isi pesan, bentuk, struktur, gaya, warna, dan dimensi; dan

57

Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv-xv

58

commit to user

31

dengan kepribadian tersebut, surat kabar mampu membangun bersama suatu tingkat kredibilitas tertentu.59