• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN UMUM KOMPAS

B. ANALISIS WACANA BERITA KOMPAS

5. Tema: Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Infrasktruktur

Yang Masih Minim

a. Analisis Struktur Makro

Dalam tema kelima ini, Kompas menyajikan empat berita.

Jangankan di kampung-kampung nelayan, infrastruktur pembangunan di Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, saja masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan kota-kota kecamatan di Pulau Jawa. Satu-satunya bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati. Itu pun sangat sederhana.

(Korpus 193: Kompas, 12 Agustus 2009) …karakteristik realitas sosial kemasyarakatan berikut penanganan daerah perbatasan oleh pemerintah relatif sama. Tertinggal dan seperti ditinggalkan! Untuk kasus Kepulauan Riau, perasaan ditinggalkan dalam proses pembangunan itu kerap jadi isu yang bisa melemahkan sendi-sendi nasionalisme.

(Korpus 194: Kompas, 12 Agustus 2009)

Minimnya perhatian pemerintah dalam membangun sarana, prasarana dan infrastruktur publik dapat meruntuhkan sendi-sendi nasionalisme. Hal itu yang dialami masyarakat di Kepuluan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Kota Daik sebagai ibu kota Kabupaten

commit to user

159

Lingga, pembangunan sarana dan infrastruktur publik masih jauh ketinggalaan jika dibandingkan kecamatan di Pulau Jawa.

Gagasan tentang keindonesiaan dibangun lewat simbol-simbol fisik. Di depan dermaga, Monumen Santiago – pahlawan setempat – yang beratnya lebih dari 1,5 ton sedang dibangun. Monumen yang rencananya akan diresmikan Panglima TNI ini akan menjadi tugu keempat setelah Tugu Perbatasan Negara yang diresmikan tahun 2008, Tugu BKRI yang ditandatangani LB Moerdani, dan sebuag tugu tak selesai yang disebut masyarakat Tugu Megawati.

Masalahnya, pengembangan nasionalisme lewat simbol-simbol monumen, tetapi tanpa dibarengi perhatian terhadap realitas sehari-hari, justru menimbulkan ironi. Dan masyarakat merasakan ironi seperti itu.

(Korpus 195: Kompas, 15 Agustus 2009)

Di Pulau Miangas, gagasan tentang nasionalisme dibangun melalui simbol-simbol fisik dengan pembangunan beberapa monumen. Namun pembangunan itu tidak dibarengi penyediaan sarana dan fasilitas publik yang memadai sehingga menimbulkan ironi antara simbol nasionalisme dengan realitas kehidupan yang ada.

Seluruh jalan di sini yang membangun tentara Amerika. Orang Jakarta hanya sekali kasih aspal, itu pun sepenggal (sepotong) saja dan sekarang sudah rusak,” kata Yahya Baba (51), warga Desa Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Morotai, Provinsi Maluku Utara, 3 Agustus lalu.

(Korpus 196: Kompas, 15 Agustus 2009) Kondisi lebih parah saat menyusuri jalan Daruba-Berebere di Morotai Utara sepanjang 90 kilometer. Jalan beraspal hanya sampai Daeyo, sekitar 20 kilometer dari Daruba. Seterusnya jalan tanah dan perkerasan koral.

(Korpus 197: Kompas, 15 Agustus 2009) Jaringan jalan di Pulau Morotai sebagian besar berada di Daruba. Jalan beraspal hanya sekitar 55 kilometer dan kondisinya rusak. Jalan tanah sekitar 100 kilometer yang jika hujan becek dan licin.

(Korpus 198: Kompas, 15 Agustus 2009)

Kondisi fasilitas publik di perbatasan Indonesia memang masih jauh dari memadai. Hal ini dipertegas pemberitaan Kompas tentang fasilitas jalan utama di Pulau Morotai yang rusak. Bahkan sebagian besar

commit to user

160

jalan utama yang ada di Morotai masih mengandalkan bekas peninggalan para tentara Amerika dan minim perbaikan oleh pemerintah.

Mulai tahun 2002, Boven Digoel bersama Mappi dan Asmat lepas dari Merauke dan berdiri sendiri sebagai kabupaten otonomi. Namun, tujuh tahun pascapemekaran wilayah, perekonomian tiga kabupaten batu itu masih saja bergantung pada Merauke.

Penyebabnya adalah lemahnya infrastruktur. Investasi yang mengalir masuk ke Merauke dan sekitarnya tidak diimbangi dengan penyediaan jalan penghubung antardaerah. Jadilah Merauke ibarat gula yang dirubung semut sendirian tanpa berupaya menebar gual ke daerah-daerah sekitarnya.

(Korpus 199: Kompas, 19 Agustus 2009)

Di ujung timur Indonesia, perbatasan Papua-Papua Niugini, hal yang sama dialami daerah ini, yaitu lemahnya pembangunan infrastruktur. Sehingga meskipun ada program pemekaran, tetap saja Boven Digoel, Mappi, dan Asmat, masih bergantung dengan Merauke yang lebih maju. Pemerintah seolah tidak paham investasi kunci dalam pembangunan sehingga pembangunan yang dijalankan tidak bisa mendorong pengembangan sektor lain. Hal itu ditunjukkan dengan belum memadainya prasarana dan sarana perhubungan, dimana hal tersebut merupakan kunci bagi pengembangan sektor lain.

b. Analisis Superstruktur

Berikut skematik berita-berita yang terdapat dalam tema kelima rubrik “Nasionalime di Tapal Batas”:

Tabel III.6 Skematik Tema Kelima

No. Edisi Judul Berita Skematik

1. Kompas, 12 Agustus 2009 Tak Indonesia Hilang Di Hati…

Jenis berita features.Lead berisi kutipan lagu “Sri Mersing”. Bagian awal berisi pengalaman Leman yang menyayangkan daerahnya yang masih miskin tetapi sumber kekayaan alamanya disedot. Dilanjutkan penjelasan daerah Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura yang masih minim

commit to user

161

pembangunan infrastruktur publik. Di bagian akhir mempertanyakan sampai kapan mereka menunggu pembangunan itu sementara kualitas nasionalisme mereka untuk menjaga keutuhan NKRI masih terjaga.

2. Kompas, 15 Agustus 2009 Ironi Di Antara Simbol Dan Realitas

Jenis berita features. Lead menceritakan bagaimana perjalananan menuju Pulau Miangas. Kemudian dijelaskan keadaan kehidupan masyarakat Miangas yang sangat miskin prasarana dan fasilitas publik sebagai penunjang kesejahteraan. Dilanjutkan

penjelasan gagasan keindonesiaan lewat simbol-simbol fisik yang tidak dibarengi perhatian terhadap realitas kehidupan

keseharian masyarakat, dan itu menimbulkan ironi. 3. Kompas, 16 Agustus 2009 Pulau Morotai AS Membangun Jalan, RI Kasih Aspal Saja…

Jenis berita features. Lead memperkuat judul. Bagian awal menjelaskan keadaan jalan di Morotai yang sudah rusak tapi masih menjadi tumpuan utama sarana transportasi di pulau itu. Pembangunan infrastruktur untuk menunjang urat nadi ekonomi masyarakat masih sangat minim, padahal pulau ini juga memiliki beberapa potensi yang bisa

dikembangkan. Pascapemekaran, Morotai kini ingin berusaha untuk berlari mengatasi

ketertinggalan. 4. Kompas, 19 Agustus 2009 Mengharapkan Investasi Yang Berdamai

Jenis berita features. Lead menceritakan suasana Bandar Udara Mopah, Merauke. Bagian awal dipaparkan kerugian yang dialami para pedagang yang gagal terbang ke Boven Digoel. Dilanjutkan penjelasan daerah Boven Digoel yang merupakan daerah

pemekaran namun masih bergantung dengan Merauke. Hal itu terjadi karena masih

lemahnya infrastruktur publik. Di bagian akhir dipaparkan peluang Boven Digoel untuk maju dengan memanfaatkan investasi untuk

pembangunan infrastruktur yang bisa disinergikan dengan keadaan alamnya.

commit to user

162

c. Analisis Struktur Mikro

c. 1. Semantik

Berikut analisis semantik yang terbagi dalam 3 elemen yaitu: latar, detil, dan maksud.

c. 1.1. Latar

Penggunaan strategi latar dalam tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

Sentuhan pada kebutuhan masyarakat oleh pemerintah mereka rasakan kesannya setengah hati. Lihat saja, selama 2005-2008 ada 10 motor tempel dan 7 perahu motor diberikan pemerintah ke kawasan itu. Namun, semuanya teronggok – sebab tanpa suplai BBM secara rutin ke kepulauan itu. Ironis, atau yang begini sudah jatuh menjadi tragis? Tiga tangki minyak selalu kosong sejak dibangun setahun lalu. Demikian juga gudang Dolog (Depot Logistik) yang megah tetapi melompong sejak berdiri.

Pasar yang dibangun tanpa melihat budaya barter masyarakat kini tinggal reruntuhan. Satu lagi tambahan ironi…

(Korpus 200: Kompas, 15 Agustus 2009)

Pulau Miangas merupakan pulau yang berada paling utara di Indonesia. Kesejahteraan masyarakat di pulau ini masih jauh dari layak. Pembangunan pemerintah masih hanya sebatas simbol- simbol fisik dengan dalih nasionalisme. Pembangunan tersebut tidak dibarengi pembangunan yang berfokus kepada kesejahteraan rakyat. Korpus di atas menunjukkan latar pemberitaan Kompas, dimana di Miangas infrastruktur dan fasilitas publik yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat, penanganannya masih terbengkelai. Sehingga hal ini menimbulkan ironi antara simbol dengan dalih nasionalisme dan realitas kehidupan masyarakat Miangas yang masih belum layak.

commit to user

163

“Seperti inilah Morotai tidak banyak berubah sejak Indonesia merdeka, tetap miskin. Kami sering berpikir, kenapa dulu tidak ikut Amerika saja,” ujar Mirod bane (34), warga Morotai.

(Korpus 201: Kompas, 15 Agustus 2009) Kondisi infrastruktur perhubungan yang sangat minim dan menghambat pertumbuhan ekonomi itu membuat masyarakat Morotai merasa dilupakan.

(Korpus 202: Kompas, 15 Agustus 2009)

Dalam korpus di atas, latar Kompas menjelaskan tentang keadaan masyarakat Morotai yang masih miskin dikarenakan kondisi infrastruktur perhubungan yang ada sangat minim, bahkan masih mengandalkan jalan koral peninggalan tentara Amerika. Padahal ketersediaan infrastruktur perhubungan merupakan kunci bagi pembangunan-pembangunan lain yang berfokus untuk kesejahteraan masyarakat.

Hingga usia republik ini mencapai 64 tahun, Boven Digoel rupanya masih saja lekat dengan kesan angker. Dikelilingi hutan belantara serta rawa, sarang nyamuk malaria dan buaya, ungkapan “Boven Digoel” membuat bulu kuduk merinding.

(Korpus 203: Kompas, 19 Agustus 2009)

Kompas secara eksplisit menjelaskan kondisi alam Boven Digoel yang masih sulit terjamah. Dengan kondisi semacam itu maka sulit bagi Boven Digoel untuk lepas dari Merauke, sebagai salah satu daerah pemekaran. Hal itu dikarenakan lemahnya infrastruktur perhubungan yang ada sehingga Digoel sebagai salah satu kabupaten yang memiliki otonomi daerah, masih kesulitan mengembangkan pembangunan.

c. 1.2. Detil

Penggunaan strategi latar dalam tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

commit to user

164

Kota Daik tak ubahnya seperti pedukuhan di Jawa. Hanya berupa kumpulan rumah panggung di atas rawa. Tak ada kendaraan angkutan umum kecuali ojek sepeda motor. Tak ada tempat belanja kecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Rumah makan hanya kedai kecil. Penginapan pun amat bersahaja dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba.

(Korpus 204: Kompas, 12 Agustus 2009)

Korpus 138 memberikan keterangan detil terkait keadaan kota Daik belum seperti kota-kota kabupaten di Pulau Jawa, dimana setidaknya fasilitas dan infrastruktur publik sudah memadai. Ini menunjukkan bahwa pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik di Indonesia belum merata, masih didominasi di daerah tertentu.

Jalanan berlapis aspal tipis itu sudah berhubung di sana-sini menyingkap tatanan koral di bawahnya. Jika ada mobil atau motor yang melaju, debu putih mengepul memerihkan mata dan menyesakkan napas. Kendaraan pun sering harus zig-zag menghindari lubang-lubang menganga.

(Korpus 205: Kompas, 15 Agustus 2009) Saat masih menjadi bagian Kabupaten Halmahera Utara, dana dari pemerintah pusat hanya cukup untuk membangun 2 kilometer jalan aspal per tahun. Jika kondisi itu terus bertahan, paling tidak butuh 100 tahun membangun jalan lingkar Morotai sepanjang 287 kilometer.

(Korpus 206: Kompas, 15 Agustus 2009)

Dari kedua korpus di atas, detil menjelaskan kerusakan jalan di Morotai yang cukup parah dan miskin penanganan dari pemerintah. Bahkan ketika Morotai belum berdiri sendiri sebagai sebuah kabupaten, pembangunan infrastruktur perbuhungan memakan waktu yang lama, lebih dari 100 tahun. Hal ini jelas menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah dalam membangun dan memperbaiki infrastruktur publik.

Berharap pada jalan darat adalah mustahil. Jalan darat poros Merauke- Tanah Merah sepanjang 600 km lebih identik sebagai kubangan kerbau ketimbang jalan raya. Tanah lempung berwarna kuning kemerah-

commit to user

165

merahan itu umumnya belum dilapisi aspal dan pengerasan. Setiap hujan turun tak kenal musim, tanah tersebut langsung membubur. Berharap pada angkutan sungai juga tidak mungkin. Nyaris tak ada pengusaha angkutan sungai tertarik menyediakan moda transportasi pada Sungai Digoel, Moro, dan Biran. Padahal, ketika sungai yang bermuara di Laut Arafuru itu lebarnya 100-120 meter, mirip sungai- sungai di Kalimantan.

(Korpus 207: Kompas, 19 Agustus 2009)

Detil dalam korpus menjelaskan sarana perhubungan baik itu darat maupun sungai yang cukup memprihatinkan. Padahal tidak ada cara lain bagi masyarakat di kawasan perbatasan timur Indonesia tersebut agar bisa menuju Merauke, untuk melakukan kegiatan makro dan mikro ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kondisi infrastruktur yang masih buruk tersebut, sulit bagi masyarakat memperoleh kehidupan yang layak.

c. 1.3. Maksud

Penggunaan strategi maksud dalam tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

Ekonom dari Universitas Negeri Musamus Merauke, Frederikus Gebze, mengingatkan perlunya pola investasi yang berdamai dengan komunitas dan alam. Memberikan manfaat bagi pihak luar, tetapi tidak menghancurkan tatanan masyarakat lokal, termasuk kearifan ekologi yang dijunjung turun-temurun.

(Korpus 208: Kompas, 19 Agustus 2009)

Dengan karakter alam yang sulit terjamah, dan tatanan kehidupan masyarakat pribumi yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, maka hal yang dilakukan pemerintah adalah menjadi mediator yang baik dalam menentukan arah pembangunan di kawasan perbatasan timur Indonesia. Melalui korpus di atas, strategi maksud pemberitaan Kompas menjelaskan perlunya pola investasi yang bisa bersinergi dengan kondisi alam

commit to user

166

dan tata kehidupan masyarakat pribumi di perbatasan Papua-Papua Niugini. Sehingga semua pihak yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur dan sarana publik tersebut sama-sama diuntungkan.

c. 2. Sintaksis

Pengguaan elemen tintaksis Kompas pada tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” terdiri dari strategi penggunaan bentuk kalimat.

c. 2.1. Bentuk Kalimat

Berikut penggunaan bentuk kalimat dalam teks Kompas:

Tidak ada perahu motor yang berani mengangkut BBM karena jarak dengan pusat kecamatan tetangga, Nanusa, sekitar 232 kilometer, sementara tinggi gelombang bisa mencapai 7 meter.

(Korpus 209: Kompas, 15 Agustus 2009) Jika kondisi itu terus bertahan, paling tidak butuh 100 tahun

membangun jalan lingkar Morotai sepanjang 287 kilometer.

(Korpus 210: Kompas, 16 Agustus 2009) Pengangkutan dari Merauke ke daerah sekitarnya belakangan lebih banyak mengandalkan pesawat kecil berkapasitas 12 orang yang sangat rentan terhadap cuaca.

(Korpus 211: Kompas, 19 Agustus 2009) Lihatlah kehidupan masyarakat di Pulau Singkep yang kehilangan darah segarnya setelah kekayaan perut bumi mereka (baca: timah) disedot

habis, lalu ditinggalkan.

(Korpus 212: Kompas, 12 Agustus 2009) “Kami, masyarakat Miangas, mau percaya sama siapa lagi kalau terus

dibohongi pemerintah,” kata Gusti Papea.

(Korpus 213: Kompas, 15 Agustus 2009) Investasi yang mengalir masuk ke Merauke dan sekitarnya tidak

diimbangi dengan penyediaan jalan penghubung antardaerah.

(Korpus 214: Kompas, 19 Agustus 2009)

Pada korpus 209, 210, dan 211 Kompas menggunakan bentuk kalimat aktif. Penggunaan kata “mengangkut” dan “membangun” memberi kesan pemerintah berada di atas (aktif)

commit to user

167

dalam penyediaan dan perbaikan fasilitas publik, meski yang dilakukan pemerintah terkait dua hal tersebut belum optimal. Sedangkan kata “mengandalkan” pada korpus 211 menjelaskan penduduk Merauke yang masih bergantung pada transportasi udara tanpa ada pembangunan untuk sarana transportasi lain.

Sedangkan pada korpus 212, 213, dan 214 bentuk kalimat yang digunakan Kompas adalah bentuk pasif. Penggunaan kata “disedot” dan “ditinggalkan” pada korpus 212 memberi kesan wilayah perbatasan yang hanya menjadi obyek yang menguntungkan pihak tertentu tanpa ada timbal balik pada wilayah perbatasan tersebut. Sementara kata “dibihongi” pada korpus 213 menunjukkan penduduk perbatasan yang tidak bisa berbuat apa-apa akan perlakuan pemerintah yang hanya sebatas janji-janji dalam melakukan pembangunan dan penyediaan infrastruktur di daerah perbatasan seperti di Pulau Miangas. Pada korpus 214, kata “tidak diimbangi” dipakai Kompas untuk menguatkan pembanguan infrastruktur di wilayah Merauke dan sekitarnya yang tidak paham investasi kunci, sehingga pembangunan infrastruktur tersebut tidak bisa menjadi pemicu pembangunan di bidang lain.

c. 3. Leksikon

Strategi leksikon dalam tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

Penginapan pun amat bersahaja dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba.

commit to user

168

Akan tetapi, posisi masyarakat lokal selalu di pinggiran: sekadar jadi

penonton!

(Korpus 216: Kompas, 12 Agustus 2009) Sentuhan pada kebutuhan masyarakat oleh pemerintah mereka rasakan kesannya setengah hati.

(Korpus 217: Kompas, 15 Agustus 2009) Jalan darat poros Merauke-Tanah Merah sepanjang 600 km lebih identik sebagai kubangan kerbau ketimbang jalan raya.

(Korpus 218: Kompas, 19 Agustus 2009) Ekonom dari Universitas Negeri Musamus Merauke, Frederikus Gebze, mengingatkan perlunya pola investasi yang berdamai dengan komunitas dan alam.

(Korpus 219: Kompas, 19 Agustus 2009)

Pada korpus 215, Kompas memilih kata “bersahaja”. Hal itu untuk menguatkan kesederhanaan pembangunan di kota Daik yang merupakan ibu kota Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Kata “di pinggiran: sekedar menjadi penonton” menjelaskan penduduk perbatasan di Kepulauan Riau kehilangan wilayah-wilayah akibat kebijakan pemerintah yang menetapkan beberapa wilayah di kepulauan itu sebagai kawasan industri. Kebijakan tersebut tanpa dibarengi penyediaan dan pembangunan infrastruktur untuk kesejahteraan penduduk setempat. Pada korpus 217, kata “setengah hati” dipakai Kompas untuk menunjukkan penyediaan fasilitas dan infrastruktur publik oleh pemerintah belum optimal. Hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya suplai BBM rutin di Pulau Miangas. Sedangkan kata “kubangan kerbau” pada korpus 218 menjelaskan tidak adanya perbaikan jalan – di pedalaman Merauke – yang dilakukan pemerintah. Untuk kata “pola investasi yang berdamai” menjelaskan bahwa hendaknya pemerintah melakukan pembangunan di wilayah Merauke

commit to user

169

dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakat pribumi dan keadaan alam. Sehingga pembangunan itu tidak hanya menguntungkan pihak investor tetapi juga dirasakan masyarakat lokal setempat.

c. 4. Retoris

Pengguaan elemen retoris Kompas pada tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” terdiri dari strategi grafis dan metafora.

c. 4.1. Grafis

Dalam strategi grafisnya, Kompas memakai tanda (“) dan kata yang dicetak miring untuk menadai bagian-bagian yang dianggap Kompas penting.

Akhirnya, cara satu-satunya adalah dengan menyembunyikan jeriken minyak ke koper, dibungkus dengan baju-baju. Bensin dan minyak tanah “selundupan” itu dijual dengan harga Ep 15.000 dan Rp 12.000 per liter.

(Korpus 220: Kompas, 15 Agustus 2009) Setelah Amerika dan Jenderal Mac Arthur membangun hingga meninggalkan kenangan indah di Morotai seharusnya penguasa di Jakarta tak hanya melabur aspal di jalan yang dibangun para Saebees.

(Korpus 221: Kompas, 16 Agustus 2009)

Pada korpus 220 kata “selundupan” diberi tanda oleh Kompas. Kompas ingin menjelaskan bahwa masyarakat Miangas terpaksa melakukan hal tersebut karena memang tidak ada pilihan lain agar bisa membawa BBM untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan kata “saebes” pada korpus 221, penandaan Kompas memberi kesan bahwa jalan-jalan utama di wilayah Morotai masih mengandalkan peninggalan tentara Amerika

commit to user

170

(saebees) dan minim perbaikan pemerintah apalagi pembangunan jalan baru.

c. 4.2. Metafora

Untuk strategi metafora, dalam tema kelima rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas”, Kompas menyajikan 2 korpus.

Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubahnya sekadar “properti”, di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan persoalan hidup sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini tak pernah surut.

(Korpus 222: Kompas, 12 Agustus 2009) Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika mengobarkan semangat “tak

Melayu hilang di Bumi” pada masa silam, masyarakat Kepulauan Riau

sekarang pun masih bisa berkata lantang: tak Indonesia hilang di hati! Tapi sampai kapan?

(Korpus 223: Kompas, 12 Agustus 2009)

Pada korpus 222, kiasan yang disajikan Kompas menjelaskan masyarakat Kepulauan Riau yang hanya sebagai penonton kebijakan pemerintah yang menetapkan beberapa wilayah di Kepulauan tersebut menjadi kawasan industri, tanpa ada pembangungan dan penyediaan infrastruktur publik yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sedangkan pada korpus 223, kiasan yang digunakan Kompas menjelaskan bahwasanya meski perhatian yang diberikan pemerintah kepada masyarakat perbatasan masih minim terkait penyediaan dan pembanguan sarana dan infrastruktur publik, namun rasa kebangsaan masyarakat perbatasan tersebut tidak pernah luntur.

commit to user

171