• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN UMUM KOMPAS

B. ANALISIS WACANA BERITA KOMPAS

2. Tema: Stigmatisasi dan Ketakutan yang Dirasakan Masyarakat

Daerah Tapal Batas Indonesia

a. Analisis Struktur Makro

Dalam tema kedua ini, Kompas menyajikan empat berita.

Musawwir (29), warga Lamdingin, Banda Aceh, tidak pernah membayangkan bisa memasuki wilayah Sawang. Menyebut Sawang berarti menujuk wilayah paling hitam dalam sejarah konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia lebih dari 30 tahun.

(Korpus 50: Kompas, 21 Agustus 2009) Stigma itu masih melekat hingga kini mesti konflik bersenjata sudah berakhir hampir empat tahun lalu, sejalan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) Damai Helsinki, Agustus 2005.

(Korpus 51: Kompas, 21 Agustus 2009)

131

commit to user

105

Stigma sebagai basis pejuang GAM masih melekat bagi warga yang mendiami Sawang, meski konflik sudah berakhir seiring penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) Damai Helsinki.

Menurut petugas Imigrasi Motaain, Jasser, tapal batas di Motaain – yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Atambua – cukup sering dijadikan tempat pertemuan warga kedua negara. Sebab, mereka pada umumnya tidak memiliki paspor, di samping menghindari pengurusan dan pembayaran fiskal.

(Korpus 52: Kompas, 18 Agustus 2009) Alasan lain mengadakan pertemuan di perbatasan adalah karena warga eks Timor Timur umumnya merasa belum aman mudik ke kampung mereka. “Baru- baru ini (2 Agustus 2009) ada seorang pedagang asal Pulau Adonara (NTT) yang dibunuh di sana (Timor Leste). Itu kasus pertama warga negara Indonesia yang menggunakan paspor dibunuh di sana,” kata Jasser.

(Korpus 53: Kompas, 18 Agustus 2009)

Ketakutan dirasakan oleh warga perbatasan NTT-Timor Leste, khususnya warga eks Timor Timur yang memiliki kerabat di Timor Leste. Sehingga mereka lebih memilih bertemu di perbatasan ketika mereka ingin berjumpa dengan kerabat mereka. Selain karena tidak memiliki paspor, hal itu mereka lakukan untuk menghindari ancaman pembunuhan dari warga Timor Leste. Melihat hal seperti ini, meski Indonesia sudah 65 tahun merdeka dan konflik Indonesia-Timor Leste sudah berakhir beberapa tahun yang lalu, namun jaminan keamanan oleh negara masih belum bisa mereka rasakan.

Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Martinus Maturbongs, berpendapat, skeptisasi publik itu buah trauma panjang masyarakat suku Amungme dan Kamoro akibat berbagai peristiwa sejak PTFI beroperasi di tanah ulayat mereka.

(Korpus 54: Kompas, 20 Agustus 2009)

Bagi masyarakat Suku Amungme-Komoro di Merauke, aktivitas PTFI justru memunculkan berbagai masalah. Skeptisasi publik terkait tragedi penembakan di areal PTFI membuat kedua suku ini menjadi sasaran. Aktivitas PTFI yang mengambil tanah ulayat kedua suku di

commit to user

106

Mimika ini, membuat mereka menjadi sasaran stigma buruk ketika muncul tragedi penembakan PTFI. Padahal belum tentu mereka terlibat, karena sampai saat ini kedua suku ini juga belum terbukti terlibat dalam tragedi tersebut. Pemerintah seharusnya bisa menjadi mediator antara masyarakat pribumi dan PTFI agar kecurigaan itu tidak terus berlanjut.

Apalagi hingga saat ini wilayah di kawasan Keerom dan sekitarnya masih dianggap sebagai wilayah rawan kehadiran anggota OPM. Terakhir, pada paruh akhir Juli lalu, beberapa anggota OPM yang dihumpun Lambert Peukikir muncul di Wembi, tak jauh dari Banda.

(Korpus 55: Kompas, 20 Agustus 2009) Cap sebagai sarang OPM pun makin sulit dihilangkan. Pater Jhon Djonga Pr yang pernah bertugas di Banda mengatakan, stigmatisasi itu membuat warga di Waris sulit berkembang dan maju, ada suasana kecurigaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Pater Silas Wayan SVD yang saat ini bekerja di Banda.

(Korpus 56: Kompas, 20 Agustus 2009)

Stigma buruk juga dirasakan Perbatasan Papua-Papua Niugini. Dicap sebagai sarang Organisasi Papua Merdeka (OPM) membuat daerah perbatasan Keerom sulit untuk berkembang.

b. Analisis Superstruktur

Berikut skematik berita-berita yang terdapat dalam tema kedua rubrik “Nasionalime di Tapal Batas”:

Tabel III.3 Skematik Tema Kedua

No. Edisi Judul Berita Skematik

1. Kompas, 10 Agustus 2009 Keindonesiaan Di Aceh Menerawang Aceh Dari Sawang

Jenis berita features. Jenis lead deskritif, menggambarkan bagaimana keberadaan Sawang. Dilanjutkan penjelasan bahwa Sawang di masa lalu merupakan basis GAM (Gerakan Aceh Merdeka), namun stigma itu masih melekat mesti konflik Aceh telah berakhir. Meskipun begitu, ada upaya untuk melebur kembali mantan GAM ke masyarakat, dengan memberi kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan sistem perekonomian, politik, dan melanjutkan pembangunan. Di

commit to user

107

bagian akhir berisi ringkasan bahwa perdamaian saja belum cukup, ketika

ketimpangan yang mencolok maka berpotensi memunculkan konflik baru.

2. Kompas, 18 Agustus 2009 Mereka Memilih Bertemu Di Tapal Batas

Jenis berita features. Keberadaan lead menggoda keingintahuan pembaca.

Dilanjutkan penjelasan beberapa orang NTT yang sedang menunggu kerabatnya yang tinggal di Timor Leste untuk bertemu di perbatasan. Kemudian dijelaskan alasan tapal batas yang sering digunakan orang-orang untuk bertemu kerabatnya.

3. Kompas, 20 Agustus 2009 Dulu Sumber Penghidupan, Kini Sumber Persoalan

Jenis berita features. Keberadaan lead untuk menggoda pembaca. Bagian awal feature menjelaskan beberapa orang yang dituduh terlibat tragedi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang ditangkap polisi. Tragedi itu menjadikan sketisasi publik terhadap suku Amungme – Komoro di Mimika. Di bagian ending dijelaskan ringkasan berbagai masalah yang harus dihadapi kedua suku tersebut.

4. Kompas, 20 Agustus 2009 Kekerabatan Papua-Papua Niugini Membangun Harapan Tanpa Rasa Takut

Jenis berita features. Keberadaan lead

menggoda keingintahuan pembaca. Kemudian dipaparkan pengalaman warga yang tinggal di perbatasan Papua-Papua Niugini yang sering menerima kunjungan kerabat dari Papua Niugini. Dilanjutkan penjelasan stigma yang masih melekat bagi masyarakat tersebut sehingga mereka kesulitan untuk maju dan berkembang, serta berhubungan dengan kerabat di Papua Niugini. Di bagian akhir berisi pemaparan tidak disiplinnya petugas imigrasi dalam menjaga perbatasan.

c. Analisis Struktur Mikro

c. 1. Semantik

Berikut analisis semantik yang terbagi dalam 3 elemen yaitu: latar, detil, dan maksud.

commit to user

108

c. 1.1. Latar

Penggunaan strategi latar dalam tema kedua rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

Pada masa lalu, Sawang dikenal sebagi basis pejuang GAM. Sebagian orang mengenalnya sebagai “Pentagon GAM”. Saat konflik memuncak, seiring dengan operasi pemantapan penyelenggaraan pemerintahan, Sawang lumpuh. Sebagai daerah berkategori hitam, Sawang mesti dipimpin oleh camat dari kalangan militer-sekalipun tetap saja pemerintahan tidak bisa berjalan efektif.

(Korpus 57: Kompas, 10 Agustus 2009)

Sawang merupakan daerah paling kelam di masa konflik GAM. Secara implisit Kompas menyebut daerah tersebut sebagai “Pentagon GAM”, karena daerah itu merupakan basis pejuang pemberontak. Meski konflik telah berakhir, namun stigma negatif masih melekat bagi Sawang. Sehingga meski pemerintahan di daerah ini dipimpin kalangan militer sekalipun tetap saja belum bisa berjalan efektif. Keadaan buram yang dialami Sawang tersebut yang menjadi latar Kompas. Melihat Aceh dari Sawang menegaskan bahwa perdamaian saja tidak cukup menjadi modal pembangunan. Ketika stigma buruk masih dirasakan daerah ini maka sulit bagi Sawang untuk maju dan justru bisa memunculkan konflik baru.

Tanah ulayat Gunung Ertsberg dan Grasberg dari generasi ke generasi menghidupi suku Amungme; sebagai tempat tinggal, lahan bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme. Dalam pandangan orang Amungme, gunung itu adalah ibu, yang air susunya menghidupi mereka. “Namun, kami harus pergi meninggalkan tempat-tempat itu karena aktivitas pertambangan PTFI. Salah satu lokasi keramat kami, misalnya, kini menjadi bengkel di Temabagapura,” tutur Thomas Wamang.

commit to user

109

Permasalahan yang dihadapi oleh suku Amungme-Kamoro di Timika, Mimika, Papua masih terus berlanjut hingga kini. Tragedi-tragedi yang terjadi di PTFI sering menyudutkan kedua suku ini, karena aktivitas PTFI memang mengambil lahan dari tanah ulayat suku Amungme-Kamoro. Selama ini tanah ulayat yang menjadi penghidupan kedua suku itu, yaitu Gunung Ertsberg dan Grasberg, menjadi salah satu lokasi aktivitas pertambangan PTFI. Dengan munculnya aktivitas PTFI tersebut, maka masyarakat kedua suku ini harus meninggalkan tanah ulayat tersebut. Persoalaan tanah ulayat inilah yang menjadi latar pemberitaan Kompas. Munculnya skeptisasi publik kepada suku Amungme- Komoro yang mendiami Gunung Ertsberg dan Garsberg merupakan buah pengambilan kedua tanah ulayat tersebut oleh PTFI.

Namun, pengalaman masa lalu itu pula yang membuat warga Waris hingga saat ini akrab dengan kehadiran aparat keamanan, seperti polisi, tantara, dan pasukan khusus.

(Korpus 59: Kompas, 20 Agustus 2009) Pada suatu masa, kehadiran pasukan itu dirasakan intimidatif. Mereka kerap datang ke rumah-rumah warga menanyakan siapa yang pernah terlibat dalam OPM atau memiliki kerabat yang menjadi anggota OPM, menyimpan senjata atau apa pun yang terkait dengan OPM.

(Korpus 60: Kompas, 20 Agustus 2009)

Kabupaten Keerom, yang merupakan daerah perbatasan Papua-Papua Niugini, juga tak luput dari stigmatisasi. Pengalaman masa lalu yaitu adanya pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadikan daerah ini sebagai daerah yang rawan kehadiran OPM. Nuansa kecurigaan masih kental di daerah

commit to user

110

tersebut sehingga sulit bagi daerah tersebut untuk berkembang dan maju. Kompas menjadikannya latar pemberitaan, bahwasannya perbatasan Papua-Papua Niugini juga tak luput dari stigma sarang pemberontak dan konflik, sehingga suasana damai dan jaminan negara terkait keamanan sebagai modal untuk perkembangan dan pembangunan belum juga dirasakan oleh masyarakat di daerah Keerom, Papua.

c. 1.2. Detil

Penggunaan detil dalam tema kedua rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

“Mana mau? Sekarang pun mereka hanya lewat untuk melihat kebunnya yang puluhan hektar, naik mobil mewah, kaca tertutup,” kata Teuku Sayed Azhar (29) sambil menyebut salah satu mantan petinggi GAM. Sayed, bapak satu anak itu, bekas anggota pasukan GAM di Deli. Masuk GAM sejak usia 17 tahun, Sayed berkualifikasi sebagai pasukan komando. Sayed adalah otak sejumlah peledakan di Medan. Tertangkap, Sayed masuk ke Penjara Tanjung Gusta, Medan, 2003. Vonis 12 tahun hanya dijalaninya sampai 2006, seiring dengan perjanjian MOU Helsinki.

Tak heran jika ketimpangan semacam itu membangkitkan protes di lingkup internal GAM. Misalnya, di Sawang sempat muncul “pasukan pedang” yang antara lain juga tidak sejalan dengan eks GAM yang tergabung dalam Komite Peralihan Aceh. Menurut Sayed, hal itu muncul karena pasukan GAM sejak awal telah didoktrin untuk melawan yang dianggap tidak benar. “Kalau sudah masuk ke pemerintah, mereka jadi orang lain. Salah pun akan kami katakan salah,” ujar Sayed berapi- api.

(Korpus 61: Kompas, 10 Agustus 2009)

Stigma yang dirasakan oleh para mantan GAM di Sawang NAD masih begitu lekat, bahkan dari mereka yang sama-sama dulunya juga merupakan anggota GAM. Hal tersebut karena masih besarnya ketimpangan kehidupan sosial ekonomi di antara mereka. Sehingga yang terjadi mereka tidak saling membantu dan

commit to user

111

memberikan kepercayaan bagi mereka, para eks GAM, yang belum memiliki kehidupan sosial ekonomi yang baik, agar bisa berkembang dan hidup layak.

Komandan Komando Resor Militer 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno menceritakan, 9 Agustus lalu, Sekretaris Camat Kobalima Martinus Bere, warga Dusun Lekekun Atas Selatan, Kabupaten Belu, NTT – yang memasuki wilayah Timor Leste bersama istrinya – ditangkap kepolisian Timor Leste di Dili. “Padahal Martinus ke sana dilengkapi dokumen keiimigrasian resmi. Martinus saat itu hendak mengunjungi keluarganya di Distrik Suai. Ia dituduh bekas anggota milisi (tahun 1999). Padahal, Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara Timor Leste dan Indonesia telah selesai (membahas persoalan masa lalu). Sampai sekarang Martinus masih ditahan di Dili,” papar Dody.

(Korpus 62: Kompas, 18 Agustus 2009)

Dalam korpus 133, detil menjelaskan tentang permasalahan yang dihadapi oleh salah satu warga perbatasan NTT-Timor Leste, yang hendak mengungjungi kerabatnya yang ada di Timor Leste. Meski sudah dilengkapi dokumen-dokumen resmi untuk melakukan perjalanan lintas batas negara, namun pihak kepolisisan Timor Leste masih menangkap dan mempersoalkan salah satu WNI tersebut. Hal ini menunjukkan jaminan keamanan kedua negara masih belum bisa mereka rasakan, meski segala persyaratan untuk melakukan perjalanan lintas batas negara sudah lengkap dan konflik antara Indonesia-Timor Leste sudah berakhir beberapa tahun yang lalu.

c. 1.3. Maksud

Penggunaan strategi maksud dalam tema kedua rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

commit to user

112

Tengku Muhammad Hasan di Tiro – lebih dikenal sebagai Wali Nanggroe – dalam pidato saat kembali ke Aceh setelah lebih dari 30 tahun tinggal dan menetap di Swedia menyatakan konflik sudah berakhir. Yang harus dilakukan rakyat Aceh adalah melanjutkan pembangunan menuju kesejahteraan.

(Korpus 63: Kompas, 10 Agustus 2009)

Dalam korpus di atas, strategi maksud Kompas menjelaskan bahwa konflik GAM sudah berakhir seiring ditandatanganinya perjanjian MoU Helsinki, maka yang harus dilakukan rakyat NAD adalah melanjutkan pembangunan guna mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu, seyogyanya stigma kepada para eks GAM baik yang muncul dari masyarakat ataupun dari para sesama mantan anggota GAM harus dihilangkan.

Namun, dengan situasi batin dan pengalaman sejarah masa lalu, ada perasaan lain bergelayut dalam benak warga. Warga, sebagaimana diungkapkan oleh Julce May, berharap kehadiran pemerintah lebih tampak dalam bentuk-bentuk pelayanan publik yang lebih optimal.

(Korpus 64: Kompas, 20 Agustus 2009)

Stategi maksud dalam korpus di atas menjelaskan bahwa meski masih melekat dengan ketakutan karena pengalaman masalalu, hendaknya pemerintah lebih memperhatikan daerah perbatasan Papua-Papua Niugini tersebut. Sehingga hubungan harmonis antara masyarakat dan pemerintah akan terwujud sehingga stigma dan ketakutan masyarakat kian memudar karena pemberontakan semacam OPM tidak akan muncul kembali.

c. 2. Sintaksis

Pengguaan elemen tintaksis Kompas pada tema kedua rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” terdiri dari strategi penggunaan bentuk kalimat dan koherensi.

commit to user

113

c. 2.1. Bentuk Kalimat

Berikut penggunaan bentuk kalimat dalam teks Kompas:

Menyebut Sawang berarti menunjuk wilayah paling hitam dalam

sejarah konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia lebih dari 30 tahun.

(Korpus 65: Kompas, 10 Agustus 2009) Alasan lain mengadakan pertemuan di perbatasan adalah karena warga eks Timor Timur umumnya merasa belum aman mudik ke kampung mereka.

(Korpus 66: Kompas, 18 Agustus 2009) Tidak selalu kunjungan dari kerabat menggembirakan. Meski tidak harus mempersiapkan banyak hal, di tengah berbagai macam keterbatasan, kunjungan tersebut tetap dirasakan merepotkan meski hanya untuk bermalam saja.

(Korpus 67: Kompas, 20 Agustus 2009) Warga yang tinggal di Banda, tak jauh dari tapal batas pun terpaksa pergi meninggalkan kampung mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka takut dituduh terlibat gerombolan.

(Korpus 68: Kompas, 20 Agustus 2009)

Pada korpus 65, 66, 67, dan 68, Kompas menggunakan bentuk kalimat aktif. Kata “menyebut” pada korpus 65 memberi kesan Kompas stigma pada Sawang sangat kuat. Namun agar terkesan tak “menuduh” pihak-pihak tertentu, Kompas tidak menyertakan subyek dalam kalimat tersebut. Sedangkan kata “mengadakan”, “menggembirakan”, dan “meninggalkan” yang tersaji pada korpus 66, 67, dan 68 memberi kesan ketakutan masyarakat perbatasan masih lekat. Masyarakat perbatasan menjadi subyek dalam merasakan ketakutan tersebut.

Sawang mesti dipimpin oleh camat dari kalangan militer-sekalipun tetap saja pemerintahan tidak bisa berjalan efektif.

(Korpus 69: Kompas, 10 Agustus 2009) Motaain, satu dari tujuh pos lintas batas di NTT, menurut Jasser maupun Isnin Muhammah (dari Bea dan Cukai Motaain), setiap hari

dimanfaatkan sekitar 100 pelintas batas.

commit to user

114

Jonas, Victor, dan puluhan orang lainnya akhirnya dilepas polisi karena tak cukup bukti terlibat aksi penembakan di lereng Gunung Ertsberg dan Grasberg.

(Korpus 71: Kompas, 20 Agustus 2009) “Trauma masyarakat Amungme-Kamoro berlangsung sejak tahun 1970- an dan sampai sekarang tidak ada proses hukum (atas pelanggaran HAM yang terjadi). Bagaimana orang dimasukkan dalam kontainer,

dihilangkan. Masyarakat Amungme dan Kamoro merasa selalu jadi

sasaran dan disudutkan,” kata Maturbongs di Timika, 24 Juli.

(Korpus 72: Kompas, 20 Agustus 2009) Warga yang tinggal di Banda, tak jauh dari tapal batas pun terpaksa pergi meninggalkan kampung mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka takut dituduh terlibat gerombolan.

(Korpus 73: Kompas, 20 Agustus 2009)

Pada korpus 69, 70, 71, 72, dan 73, Kompas menggunakan bentuk kalimat pasif. Dengan bentuk kalimat tersebut menunjukkan Kompas ingin memberi kesan bahwa masyarakat dan daerah yang terstigmatisasi publik, tidak berdaya, hanya menjadi obyek semata.

c. 2.2. Koherensi

Koherensi yang digunakan Kompas dalam tema kedua adalah pengingkaran. Berikut sajian kalimat Kompas yang menggunakan strategi pengingkaran:

Melihat Aceh dari Sawang, menegaskan kenyataan; perdamaian saja belum cukup. Ketika kemiskinan tidak terkurangi dan ketimpangan sedemikian mencolok, api kemarahan sewaktu-waktu bisa dilampiaskan.

(Korpus 74: Kompas, 10 Agustus 2009) Pada era kemerdekaan ini, warga kedua negara bertetangga itu memang relatif bebas bergerak. Tapi, bisakah dikatakan mereka sudah benar- benar “merdeka”?

(Korpus 75: Kompas, 18 Agustus 2009) Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalan sosial yang tak berujung.

commit to user

115

Meskipun sedikit merepotkan, kedatangan itu tetap disambut dengan tangan terbuka, apalagi kekerabatan di antara mereka tak hanya terikat oleh darah, tetapi juga pengalaman pada masa lalu.

(Korpus 77: Kompas, 20 Agustus 2009)

Pada keempat Korpus di atas, Kompas menggunakan strategi pengingkaran untuk menyampaikan wacana stigma dan ketakutan yang dirasakan warga perbatasan Indonesia. Pada Korpus 74, dijelaskan bahwa konflik di Aceh telah berakhir. Namun pengingkaran Kompas disebutkan bahwa meski konflik berakhir bukan berarti tidak akan muncul konflik serupa seperti GAM, karena kehidupan sosial yang terjadi masih memarjinalkan mereka para eks GAM sehingga muncul ketimpangan yang bisa memunculkan konflik kembali.

Pada korpus 75, Kompas menggunakan strategi pengingkaran dengan pertanyaan retoris. Saat ini memang Indonesia telah merdeka, dan konflik di Timor Leste juga telah berakhir. Namun lemahnya jaminan keamanan bagi warga NTT yang melakukan kunjungan lintas batas ke Timor Leste untuk bertemu kerabat mereka, menunjukkan mereka belum merasakan kemerdekaan tersebut.

Pada korpus 76, pengingkaran Kompas menjelaskan kehidupan industri di Mimika yang menguntungkan dan sekaligus merugikan. Beberapa pihak diuntungkan karena kehidupan industri di Mimika menjadi lahan penghasilan yang cukup besar. Namun persoalah PTFI yang menguras tanah ulayat masyarakat pribumi

commit to user

116

justru memunculkan problem sosial yang sampai saat ini tak kunjung selesai. Hal itu ditunjukkan dengan masih banyaknya konflik yang berujung stigma buruk bagi masyarakat pribumi.

Pada korpus 77, pengingkaran Kompas menjelaskan mereka warga perbatasan Papua yang ketakutan ketika menerima kunjungan kerabat dari Papua Niugini, tetapi tetap menerima dengan baik kunjungan tersebut karena kekerabatan di antara mereka cukup baik.

c. 3. Leksikon

Strategi leksikon dalam tema kedua rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sebagai berikut:

Jika perubahan fundamental yang pernah dijanjikan tidak kunjung mewujud, antiklimaks bisa terjadi.

(Korpus 78: Kompas, 10 Agustus 2009) Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalansosial yang tak berujung.

(Korpus 79: Kompas, 20 Agustus 2009) Enam jam sebelumnya, Jonas Uwamang, mertua Atina, dicocok polisi.

(Korpus 80: Kompas, 20 Agustus 2009) Mereka takut dituduh terlibat gerombolan.

(Korpus 81: Kompas, 20 Agustus 2009) Saat itu tentara beroperasi di kampung-kampung untuk memburu

orang-orang yang diduga terlibat gerakan OPM.

(Korpus 82: Kompas, 20 Agustus 2009) Kepala Polresta Jayapura Ajun Komisaris Besar Robert Djenso mengakui, banyak warga negara tetangga yang berkeliaran hingga ke Kota Jayapura secara bebas.

(Korpus 83: Kompas, 20 Agustus 2009)

Pada korpus 78 dan 79, strategi leksikon yang disajikan Kompas adalah untuk menghaluskan makna. Kata “perubahan

commit to user

117

fundamental” dapat diartikan perubahan kehidupan rakyat Aceh terutama eks GAM yang masih miskin dan terstigma buruk. Untuk mengurangi kesan negatif Kompas menggunakan kata “antiklimaks” dalam menjelaskan akibat stigma bagi para eks GAM yang mendiami Aceh. Sedangkan kata “persoalan sosial” digunakan Kompas untuk menjelaskan problem stigma dan cap buruk yang disematkan bagi mereka penduduk Mimika Papua.

Selain leksikon yang bertujuan untuk menghaluskan makna, Kompas juga menggunakan pilihan-pilihan kata untuk mengkasarkan makna, hal itu tersaji pada korpyus 80, 81, 82, dan 83. Kata “dicocok” dapat diartikan ditangkap. Kata “dicocok” tersebut digunakan Kompas untuk menguatkan kesan stigma negatif pada masyarakat perbatasan. Kata “gerombolan” pada korpus 81 menjelaskan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada korpus 82, Kompas memilih kata “memburu” dalam menjelaskan penangkapan para orang-orang yang diduga sebagai OPM, hal itu untuk menguatkan kesan negatif bagi para pemberontak yang bertujuan mengacaukan NKRI. Sedangkan kata “berkeliaran” digunakan Kompas dalam menjelaskan banyaknya warga negara Papua Niugini yang datang ke Papua tanpa mematuhi persyaratan hukum yang berlaku.

commit to user

118

c. 4. Retoris

Pengguaan elemen retoris Kompas pada tema kedua rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” terdiri dari strategi grafis dan metafora.

c. 4.1. Grafis

Berikut strategi grafis yang tersaji dalam pemberitaan Kompas:

Pada masa lalu, Sawang dikenal sebagi basis pejuang GAM. Sebagian orang mengenalnya sebagai “Pentagon GAM”.

(Korpus 84: Kompas, 10 Agustus 2009) Pendatang baru yang memasuki Sawang butuh “izin khusus” dari berbagai pihak yang kenal kondisi wilayah itu.

(Korpus 85: Kompas, 10 Agustus 2009) Namun, Thomas Wamang justru berpendapat kucuran uang besar itu menjadi masalah baru. “Dahulu kami sangat berhati-hati dengan uang. Sekarang, uang yang atur kehidupan kami. Ketika uang di saku, yang terjadi justru bar-bir-bor (pergi ke bar, mabur bir, lalu ke lokalisasi).”

(Korpus 86: Kompas, 20 Agustus 2009)

Pada korpus 84 dan 85, Kompas mengguakan tanda (“) dalam stategi grafisnya untuk menandai kata “Pentagon GAM” dan “izin khusus”. Hal itu bertujuan agar khalayak lebih memperhatikan dua kata yang diberi tanda tersebut. Kata “Pentagon GAM” menjelaskan bahwa Sawang merupakan basis pemberontak GAM seperti halnya kota Pentagon yang menjadi basis pemberontak. Sedangkan kata “izin khusus” memberi kesan bahwa orang yang ingin berkunjung atau tinggal di Sawang perlu perizinan yang lebih kompleks dan berbeda dari perizinan yang

commit to user

119

lazimnya orang ingin tinggal atau berkunjung ke suatu tempat di Indonesia.

Pada korpus 86, Kompas menggunakan kata yang dicetak miring untuk menunjukkan strategi grafisnya. Kata bar-bir-bor diartikan sebagai pola hidup yang sebatas foya-foya. Hal tersebut