commit to user
i
PERS DAN WACANA NASIONALISME
(Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di
Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009)
Oleh:
MUHAMMAD AZIS SAFRODIN D0206073
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul:
Pers dan Wacana Nasionalisme
(Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di
Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009)
Oleh:
Nama : Muhammad Azis Safrodin
NIM : D0206073
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 25 Mei 2011
Pembimbing Utama,
commit to user
iii
PENGESAHAN
Telah Diterima dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari : Rabu
Tanggal : 25 Mei 2011
Panitia Penguji Skripsi:
Ketua : Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. (...)
NIP. 197102171998021001
Sekretaris : Drs. Kandyawan (...) NIP. 196104131990031002
Penguji : Drs. Mursito BM, S.U. (...) NIP. 195307271980031001
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan,
commit to user
iv
MOTTO
“Mulai” itu kata sederhana tapi penuh makna
(penulis)
Berfikir cerdas, bekerja keras, berhati ikhlas
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk:
Allah SWT Dzat Sebaik-baik Pencipta dan Penjaga;
Ibunda, dengan segala kasih sayang dan do’anya telah membesarkanku;
Bapak, yang tak henti-hentinya berikhtiar dan berdoa demi keluarga;
Kakakku Nanunk yang selalu menyemangatingu di saat aku lemah;
Sahabat-sahabat terbaik dan teman-teman Komunikasi 2006 yang tidak dapat
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas skripsi
dengan judul PERS DAN PEMBERITAAN NASIONALISME (Analisis
Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian
Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009) dengan baik dan lancar.
Penelitian untuk skripsi ini berawal dari sebuah pandangan bahwa
keberadaan atau munculnya sebuah wacana tidak lepas dari komunikator sebagai
faktor sentral atau penentu. Dalam penelitian ini sajian berita tulis di rubrik
“Nasionalisme di Tapal Batas” dalam harian Kompas, tidak hanya akan dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas obyektif saja tetapi terdapat wacana tertentu
yang diusung media tersebut. Dengan kata lain, Kompas sebagai komunikator
tidak semata-mata menyajikan informasi tetapi juga mempunyai gagasan dan
maksud-maksud tertentu yang dituangkan dalam pemberitaannya.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Supriyadi, SN, S.U. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta.
2. Dra. Prahastiwi Utari, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu
commit to user
vii
3. Drs. Mursito BM, S.U. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan ilmu, arahan, dan masukan.
4. Drs. H. Dwi Tiyanto, S.U. selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan perhatiannya.
5. Semua staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS, atas
ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan. Semoga semua ilmu yang
telah Bapak/ Ibu berikan bermanfaat dunia akhirat dan menjadi amal
jariyah.
6. Bapak Achmadi dan Ibu Abanah selaku orangtau penulis, yang tiada henti
berdo’a untuk kesuksesan putra-putrinya.
7. Nurochmah Hidayati, kakak kandung penulis yang bersedia menjadi
tempat berbagi suka dan duka.
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Dimas Ragil Achirrudin, Ahsan Zakky,
Citra Nove Perdana Siwi, Ragil Satriyo Gumilang, Vera Metty Anggriana,
dan Adinda Nusantari yang telah banyak membantu kelancaran dalam
pengerjaan skripsi ini.
9. Keluarga kost “Santosa”: Yestha Fajar Pahlevi, Taufan Yusuf Nugroho,
Hafidz Novalsyah, Herka Yanis, Faka Yudhistira, dan Genadi Adha.
10. Teman-teman “Dadu Rangers”: Wahyu Subekti, Henricus Hans, Rohmah
Fajri Susetyo, Barlian Anung Prabandono, Aang Wahyu Ariesta Sari,
Ayunda Agung I. Putri, Ria Rahajeng, Suharsiwi, Arumtyas Puspanjani,
commit to user
viii
11. Keluarga besar Komunikasi 2006, semoga sukses selalu.
12. Harian Kompas.
13. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima
kasih atas sebaga bantuannya.
Penulis menyadari akan kurang sempurnanya skripsi ini, namun penulis
berharap bahwa skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak.
Surakarta, Mei 2011
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR BAGAN... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
ABSTRAK ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 8
C. TUJUAN PENELITIAN ... 8
D. MANFAAT PENELITIAN ... 9
E. TELAAH PUSTAKA 1. Komunikasi Sebagai Wacana ... 9
2. Wacana Sebagai Hasil Konstruksi Realitas ... 10
3. Pers Sebagai Komunikasi Massa ... 18
4. Media Sebagai Sarana Konstruksi Realitas ... 23
commit to user
x
6. Nasionalisme ... 37
7. Nasionalisme Soekarno dan Nasionalisme Indonesia ... 42
F. DEFINISI KONSEP 1. Nasionalisme Indonesia ... 47
2. Nasionalisme di Tapal Batas ... 47
3. Analisis Wacana ... 48
G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian ... 48
2. Metode Penelitian ... 49
3. Obyek Penelitian ... 49
4. Sumber Data ... 49
5. Teknik Analisis Data ... 50
6. Validitas dan Triangulasi Penelitian ... 59
BAB II. GAMBARAN UMUM KOMPAS A. SEJARAH UMUM KOMPAS 1. Sejarah Singkat ... 60
2. Falsafah ... 64
B. VISI, MISI, DAN KEBIJAKAN REDAKSIONAL 1. Visi ... 65
2. Misi... 66
3. Kebijakan Redaksional ... 67
C. STRUKTUR ORGANISASI... 69
commit to user
xi
BAB III. PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS RUBRIK
“NASIONALISME DI TAPAL BATAS” DI HARIAN
KOMPAS
A. ANALISIS STRUKTUR MAKRO (TEMATIK) ... 76
B. ANALISIS WACANA BERITA KOMPAS 1. Tema: Daerah Tapal Batas Indonesia yang Dituntut Mandiri, Tanpa Kehadiran Serius dari Negara ... 80
a. Analisis Struktur Makro ... 80
b. Analisis Superstruktur ... 82
c. Analisis Struktur Mikro ... 84
c.1. Semantik ... 84
c.1.1. Latar ... 85
c.1.2. Detil... 88
c.1.3. Maksud ... 90
c.2. Sintaksis ... 92
c.2.1. Bentuk Kalimat ... 93
c.2.2. Koherensi ... 95
c.2.3. Kata Ganti ... 98
c.3. Leksikon ... 99
c.4. Retoris ... 101
c.4.1. Grafis... 101
c.4.2. Metafora ... 103
commit to user
xii
a. Analisis Struktur Makro ... 104
b. Analisis Superstruktur ... 106
c. Analisis Struktur Mikro ... 107
c.1. Semantik ... 107
c.1.1. Latar ... 108
c.1.2. Detil... 110
c.1.3. Maksud ... 111
c.2. Sintaksis ... 112
c.2.1. Bentuk Kalimat ... 113
c.2.2. Koherensi ... 114
c.3. Leksikon ... 116
c.4. Retoris ... 118
c.4.1. Grafis... 118
c.4.2. Metafora ... 119
3. Tema: Kondisi Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Tapal Batas Indonesia ... 119
a. Analisis Struktur Makro ... 119
b. Analisis Superstruktur ... 124
c. Analisis Struktur Mikro ... 126
c.1. Semantik ... 126
c.1.1. Latar ... 126
c.1.2. Detil... 131
c.1.3. Maksud ... 136
commit to user
xiii
c.2.1. Bentuk Kalimat ... 138
c.2.2. Kata Ganti ... 140
c.3. Leksikon ... 141
c.4. Retoris ... 143
c.4.1. Grafis... 144
c.4.2. Metafora ... 145
4. Tema: Potensi Daerah yang Masih Minim Perhatian Negara ... 146
a. Analisis Struktur Makro ... 146
b. Analisis Superstruktur ... 147
c. Analisis Struktur Mikro ... 148
c.1. Semantik ... 148
c.1.1. Latar ... 148
c.1.2. Detil... 151
c.1.3. Maksud ... 153
c.2. Sintaksis ... 153
c.2.1. Bentuk Kalimat ... 153
c.2.2. Koherensi ... 155
c.3. Leksikon ... 156
c.4. Retoris ... 156
c.4.1. Grafis... 157
5. Tema: Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Infrasktruktur Publik Yang Masih Minim ... 158
a. Analisis Struktur Makro ... 158
commit to user
xiv
c. Analisis Struktur Mikro ... 162
c.1. Semantik ... 162
c.1.1. Latar ... 162
c.1.2. Detil... 163
c.1.3. Maksud ... 165
c.2. Sintaksis ... 166
c.2.1. Bentuk Kalimat ... 166
c.3. Leksikon ... 167
c.4. Retoris ... 169
c.4.1. Grafis... 169
c.4.2. Metafora ... 170
BAB IV. PENUTUP A. KESIMPULAN ... 171
B. SARAN ... 172
DAFTAR PUSTAKA ... 174
commit to user
xv
DAFTAR BAGAN
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Elemen Wacana Van Dijk ... 51
Tabel III.1 Tematik Berita Kompas ... 78
Tabel III.2 Skematik Tema Pertama ... 83
Tabel III.3 Skematik Tema Kedua ... 106
Tabel III.4 Skematik Tema Ketiga ... 124
Tabel III.5 Skematik Tema Keempat ... 147
commit to user
xvii
ABSTRAK
Muhammad Azis Safrodin, D0206073, PERS DAN WACANA NASIONALISME (Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009), 175 halaman.
Penelitian untuk skripsi ini berawal dari sebuah pandangan bahwa keberadaan atau munculnya sebuah wacana tidak lepas dari komunikator sebagai faktor sentral atau penentu. Munculnya rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” yang dimuat harian Kompas edisi 10 – 21 Agustus 2009 menunjukkan kecenderungan Kompas mempunyai perhatian khusus di daerah-daerah tapal batas di Indonensia. Dalam penelitian ini sajian berita yang ditulis Kompas di rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas”, tidak hanya akan dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif saja tetapi terdapat wacana tertentu yang diusung media tersebut. Dengan kata lain, Kompas sebagai komunikator tidak semata-mata menyajikan informasi tetapi juga mempunyai gagasan dan maksud-maksud tertentu yang dituangkan dalam pemberitaannya.
Dengan paradigma konstruktivisme tersebut, penulis kemudian menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dalam penelitian. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, menguji hipotesa, atau membuat prediksi, melainkan bermaksud untuk mengemukakan gambaran dan pemahaman secara lebih mendalam tentang bagaimana suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.
Penelitian ini bertujuan untuk membedah wacana nasionalisme yang terkandung dalam rubrik berita Kompas “Nasionalisme di Tapal Batas”. Penelitian ini hanya difokuskan pada pembedahan wacana pada level teks dengan menggunakan model analisis teks Teun A. van Dijk. Dalam pandangan van Dijk, sebuah wacana terbagi atas tiga tingkatan/struktur yang masing-masing terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain. Dengan beberapa penyesuaian, elemen-elemen wacana tersebut digunakan untuk membedah sajian teks berita Kompas.
Hasil analisis dalam penelitian ini mendapati adanya wacana yang digambarkan Kompas terkait nasionalisme yaitu: rasa nasionalisme di daerah-daerah perbatasan Indonesia yang kian terkikis dan terancam hilang sebagai bagian dari keutuhan bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan demokrasi dan keadailan sosial sebagai cara untuk mewujudkan dan menjaga rasa nasionalisme, minim atau bahkan belum dirasakan masyarakat perbatasan Indonesia.
Melalui wacana tersebut Kompas ingin menyampaikan pesan kritis kepada pemerintah yang memiliki posisi ideal dalam mewujudkan nasionalisme secara utuh di Indonesia, tak terkecuali di wilayah perbatasan. Kompas menyampaikan bahwa tugas negara dalam mewujudkan nasionalisme yang utuh dan menyeluruh masih berat. Hal itu ditandai dengan berbagai persoalan yang terjadi di tapal batas Indonesia dan belum ada penyelesaian yang nyata.
commit to user
xviii
ABSTRACT
Muhammad Azis Safrodin, D0206073, PRESS AND NATIONALISM DISCOURSE (Discourse Analysis Toward Nationalism in Kompas’ Rubric "Nasionalisme di Tapal Batas" From August10th to August21th 2009), 175 pages.
This research was derived from a view that the existence or the emergence of a discourse cannot be separated from the communicator as a central or decisive factor. The appearance of the rubric "Nasionalisme di Tapal Batas" in Kompas daily edition from August10 to August21 2009, shows that Kompas has a special interest in the border areas in Indonensia. In this study, the text of news produced by Kompas at "Nasionalisme di Tapal Batas", is not just a tool providing objective reality. But, in the field of communication studies, the text bought a certain discourse produced by the media. In other words, as communicator, Kompas does not merely present information but also had the idea and the specific purposes set forth in its news.
This research belongs to the qualitative research, with constructivist paradigm. According to the qualitative, this study did not seek or explain relationships, test hypotheses, or make predictions, but intended to bring a picture and a deeper understanding of how a phenomenon or a reality of the communication occurred.
This study aimed to dissect the discourse of nationalism that is contained within the rubric of "Nasionalisme di Tapal Batas". This study only focused on the surgical level of discourse on the text using discourse analysis model by Teun A. van Dijk. Accoording to van Dijk, a discourse is divided into three levels / structures. They are macrorule, superstucture, and microstructure. Each level consist of some elements which are interconnected and support each other. With some adjustmets, the elements of discourse are used to dissect the Kompas’ news text.
Researcher found that Kompas provided certain discourse related to the nationalism issues, described as follows: a sense of nationalism in Indonesia's border areas are increasingly eroded and in danger of missing as part of the whole nation of Indonesia. That is because democracy and social justice as a way to achieve and maintain a sense of nationalism, were too low or even not yet felt the Indonesian border citizen.
Through that discourse, Kompas wanted to convey a critical message to the government, who has an ideal position to prove the holistic nationalism in Indonesia, including the border region. Kompas said that the state’s duty in achieving a full and comprehensive nationalism is still heavy. It was marked with various problems occuring the border region in Indonesia and there has been no real solution yet.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemerdekaan membawa beribu makna untuk setiap insan manusia. Ada
yang mengartikan merdeka berarti terbebas dari belenggu penjajah, ada yang
mengartikan terbebas dari keterbelakangan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Ada juga mereka yang mengartikan merdeka sebagai tetap terjaganya kedaulatan
negara di bawah gempuran arus globalisasi yang mengakibatkan kian menipisnya
jiwa nasionalisme suatu bangsa.
Sudah 65 tahun Indonesia merdeka dan memiliki kedaulatan yang utuh
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks kedaulatan
Negara Indonesia, kedaulatan intern Negara Indonesia dapat ditunjukkan dengan
bentuk dan bangunan Negara Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan yang
berciri Nusantara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 25A Undang-Undang Dasar
1945.1 Namun kemerdekaan dan kedaulatan RI yang telah dicapai selama lebih
dari setengah abad tersebut ternyata belum ditopang rasa dan jiwa nasionalisme
oleh seluruh bangsa Indonesia secara utuh.
Terlebih lagi bagi masyarakat yang mendiami daerah-daerah tapal batas
negara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Kurangnya perhatian
pemerintah terkait jaminan dan fasilitas kesejahteraan mengakibatkan rasa
nasionalisme mereka mengalami fluktuatif. Bagi mereka yang mendiami daerah
1
commit to user
2
tapal batas NKRI, seakan mereka dianaktirikan dari penguasa negeri ini.2 Seperti
halnya penduduk Sebatik yang hidup di daerah perbatasan Serawak dan Sabah
(Malaysia), mereka lebih menggantungkan diri dengan negara tetangga. Untuk
mencukupi kebutuhan hidup, mereka lebih memilih transaksi perdagangan hasil
lintas batas dengan alasan kepastian pasar yang jelas dan harga jual yang lebih
tinggi. Sehingga kesejahteraan hidup mereka setidaknya bisa terpenuhi.3
Rasa skeptis publik terkait suku-suku di daerah tapal batas juga masih
mewarnai keutuhan negara kepulauan ini. Hal ini dialami masyarakat suku
Amungme dan Komoro di Papua. Keinginan hidup tenang di kediaman mereka
terusik dengan aktivitas PTFI (PT. Freeport Indonesia) yang menjadikan Gunung
Ertsberg dan Grasberg – yang dari generasi ke generasi menjadi tempat tinggal,
bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme – sebagai lahan
bengkel Tembagapura. Sehingga ketika muncul kasus terkait PTFI seperti kasus
penembakan maka orang-orang suku Amungme dan Komoro selalu menjadi
sasaran dan sisudutkan.4
Jika fakta-fakta tersebut dibiarkan, maka hal ini tentuanya akan
mengancam keharmonisan dan kedaulatan NKRI sehingga tak jarang muncul
protes dari daerah-daerah tapal batas yang berujung pada pemisahan diri dari
NKRI. Terlebih lagi negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga
gencar melakukan klaim-klaim ke beberapa daerah yang masih menjadi wilayah
Indonesia. Seperti halnya yang dikhawatirkan oleh penduduk Sebatik yang sering
2
Genta Demokrasi. 22 Agustus 2010. Metro TV.
3
Kompas. Jum’at 14 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Perbatsan Kaltim Menebus Malam ke Negeri Seberang. Hal 5
4
commit to user
3
melakukan transaksi perdagangan ke wilayah Serawak dan Sabah. Hal yang
menjadi kekhawatiran mereka adalah tindakan Malaysia yang melancarkan klaim
di beberapa areal pertanian milik Sebatik yang masuk wilayah negara tersebut.
Saat kasus Ambalat memanas, beberapa warga Desa Sungai Pancang, Kecamatan
Sebatik, sempat dikejutkan dengan pemasangan patok-patok kayu dari pemerintah
Malaysia di areal persawahan seluas 290 hektar.5 Jika hal ini tidak mendapat
perhatian, maka tak menutup kemungkinan keutuhan NKRI kembali terancam
seperti kasus Ligitan dan Sipadan.
Hal ini bukan karena para penduduk yang tidak memiliki jiwa
nasionalisme dan patriotisme untuk senantiasa menjaga keutuhan NKRI namun
lebih pada realitas yang mereka alami. Hidup di daerah perbatasan dan jauh dari
kesejahteraan membuat mereka tidak bisa menutup diri daerah perhatian
pemerintah negara tetangga. Sehingga pada akhirnya negara tetangga seperti
Malaysia akan mudah melancarkan klaim ke beberapa wilayah perbatasan untuk
diakui sebagai wilayah negaranya karena mereka sudah mendapat hati dari
penduduk daerah tersebut.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, media massa memiliki peran,
tanggung jawab serta kewajiban untuk ikut menangani masalah tersebut. Merujuk
Pasal 6 UU Pokok Pers No. 40 / 1999, Pers memiliki kewenangan yang sangat
besar yaitu: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai
demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia
serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan
5
commit to user
4
informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi,
dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan
memperjuangkan keadilan dan kebenaran.6
Berbatasan dengan beberapa negara serumpun seperti Malaysia,
Singapura, Brunai, dan Filipinina membuat daerah-daerah tapal batas Indonesia
tidak pernah sepi dari pemberitaan media; baik itu media elektronik, media cetak,
ataupun media internet. Isu-isu dalam pemberitaan-pemberitaan tersebut terkait
dengan konflik-konflik di daerah perbatasan, permasalahan patok perbatasan antar
negara, kemiskinan serta keterbatasan sarana dan prasarana dasar sosial dan
ekonomi7, masalah gradual menyangkut kehadiran dan peran negara yang masih
minim, lemahnya pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana publik.8
Kompas sebagai salah satu koran nasional juga tak lepas dari pemberitaan
daerah-daerah tapal batas Indonesia. Memuat berita yang menonjolkan nilai-nilai
humanisme dalam tampilan tulisannya seakan sudah menjadi ciri khas dari
Kompas, sehingga bisa menyentuh hati pembaca. Jakob Oetama, Pemimpin
Umum Kelompok Kompas Gramedia mengatakan bahwa jiwa dari Harian
Kompas adalah humanisme. Nilai-nilai humanis tersebut tersebar dalam berita,
laporan, analisis, maupun opini yang ada dalam Harian Kompas.9
6
AS Haris Sumadiria. 2006. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hal 25
7
Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2009. Op.Cit. Hal 106
8
Kompas. Jum’at 21 Agustus 2009. Nasionalisme Pripurna di Tapal Batas. Hal 1
9
commit to user
5
Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis Yogyakarta, menyatakan
bahwa sajian berita Kompas tidak lepas dari sosok Jakob Oetama dengan tiga
pokok pemikirannya yang kental akan nilai humanisme.
Pertama, membawa pencerahan. Jakob Oetama berulang kali mengatakan,
selain menyebar informasi, berkomunikasi dan membantu kecerdasan bangsa,
sebagai koran nasional Kompas bertugas memberikan enlighment kepada
sebanyak mungkin masyarakat di seluruh Indonesia. Tercakup dalam peran
pencerahan adalah pencerdasan akal budi, pergulatan suara hati, pergualatan
peradaban, serta pembangunan kebudayaan. Kedua, memanfaatkan momentum
sejarah untuk meraih pembebasan. Menurut Jakob Oetama, hanya dengan
mempelajari sejarahlah, kita bisa mengambil keputusan-keputusan dengan tepat
dan benar. Ketiga, wartawan tak boleh kering hati dan emosi. Ia mengajak
wartawannya untuk menyuarakan mereka yang tak bisa bersuara.10
Tanggal 17 Agustus menjadi momentum yang memiliki nilai sejarah
terbesar bagi negara Indonesia. Perjuangan dari berbagai daerah, berbagai
golongan untuk mencapai sebuah kemerdekaan dan kedaulatan negara menjadi
harga mati sebuah perjuangan. Dalam rangka memperingati dan memanfaatkan
momentum terbesar bangsa Indonesia yaitu Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia ke-64, 17 Agustus 2009, koran Kompas menerbitkan laporan peliputan
yang mengusung wacana nasionalisme. “Nasionalisme di Tapal Batas” menjadi
tema yang dipilih karena masalah nasionalisme negeri ini kian kritis. Dalam
konteks di wilayah-wilayah perbatasan, kekritisan masalah ini semakin terasa.
10
commit to user
6
Dalam perspektif politik nasional dan konstelasi politik regional, masalah pun
kian kompleks.11
Rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sajian peliputan Kompas di
sepuluh daerah yang menjadi daerah terluar Indonesia dan berbatasan langsung
dengan negara-negara tetangga, dimana pemberitaan tersebut tersaji di koran ini
selama 10 hari berturut-turut (mulai senin tanggal 10 - 21 Agustus 2009).
Daerah-daerah tersebut ialah Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Kepulauan Siberut
(Sumatra Barat), Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kamlimantan Timur,
Kepulauan Miangas dan Marore (Sulawesi Utara), Maluku Utara, Perbatasan
NTT-Timor Leste, Merauke (Papua Selatan), dan Perbatasan Papua-Papua
Niugini.
Banyak persoalan di wilayah perbatasan Indonesia yang diberitakan
Kompas. Diantaranya, stigma di daerah Sawang NAD yang hingga kini masih
kental dirasakan penduduk setempat. Oleh karena itu masih sulit bagi Sawang
yang di masa lalu menjadi basis pejuang GAM, untuk maju dan berkembang.12
Dalam hal pendidikan, daerah pedalaman Siberut Kepulauan Mentawai masih
jauh dari layak. Belum adanya fasilitas sekolah formal membuat daerah tersebut
haus akan tercukupinya kebutuhan pendidikan.13
Lemahnya pembangunan sarana dan infrastruktur publik dirasakan di
sebagian besar Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Bagi
mereka yang mendiami kepulauan tersebut, kesenjangan pembangunan sangat
11
Kompas. 10 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Pengantar. Hal 1
12
Kompas. 10 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Menerawang Aceh dari Sawang. Hal 4
13
commit to user
7
terasa antara daerahnya dengan negara tetangga Singapura, sehingga
menimbulkan isu-isu yang kerap melemahkan sendi-sendi nasionalisme.14
Sedangkan daerah lain seperti Pulau Morotai, infrastruktur publik seperti jalan
sebagai sarana perhubungan yang ada masih mengandalkan peninggalan kaum
penjajah.15 Hal ini menunjukkan belum adanya pemerataan pembangunan.
Dalam hal kesejahteraan, kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan
juga tidak berbeda jauh dari dunia pendidikan, dimana kesejahteraan bagi mereka
menjadi barang yang mahal. Hal ini yang dialami daerah Sebatik, mereka
dibiarkan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menggantungkan negara
tetangga Malaysia.16 Sama halnya yang dialami masyarakat Miangas dan Marore.
Berbatasan dengan Filipina dan karakter perairan terbuka karena berada di bibir
Samudra Pasifik, membuat daerah ini seakan tak terlihat di mata pemerintah.
Negara seolah tak mau mengurus salah satu daerah yang memiliki nilai strategis
di bidang politik tersebut, sebagai titik tolak penjaga kedaulatan RI.17
Dari pemberitaan-pemberitaan Kompas tersebut, bagaimana wacana
nasionalisme yang diusung Kompas melalui pemberitaan selama 10 hari
berturut-turut mulai tanggal 10 hingga 21 Agustus 2009, menarik untuk diteliti. Berita
yang disajikan tidak hanya sebatas informasi yang harus diketahui publik namun
juga terdapat pesan-pesan yang mendidik dan membangun. Hal ini sejalan dengan
14
Kompas. 12 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Tak Indonesia Hilang di Hati… Hal 15
15
Kompas. 15 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Pulau Morotai, AS Membangun Jalan RI Kasih Aspal Saja… Hal 15
16
Kompas. Jum’at 14 Agustus 2009 Nasionalisme di Tapal Batas, Perbatasan Kaltim Menebus Malam ke Negeri Seberang. Hal 5
17
commit to user
8
tujuan para pendahulu bangsa dan negara ini dimana mereka bercita-cita
mewujudkan Indonesia sebagai negara bangsa yang utuh dan menyeluruh. Selain
itu, berita tersebut juga bisa menjadi bahan kajian berbagai pihak dalam
menyikapi semangat nasionalisme Indonesia yang mengalami pasang surut.
Teks-teks berita tersebut, dalam perspektif komunikasi erat kaitannya
dengan pesan dan makna. Pesan sendiri merupakan poin sentral dalam
komunikasi, sehingga menarik untuk diteliti. Tentu saja, tanpa menafikkan
unsur-unsur komunikasi lainnya seperti komunikator, komunikan, atau efek. Tanpa
adanya pesan, komunikasi tidak akan mungkin terjadi.18
Teks yang ada dalam berita tersebut selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode analisis wacana. Melalui metode ini, peneliti ingin
membedah wacana yang ada dalam sebuah teks. Dalam hal ini, bagaimana
Kompas menggambarkan nasionalisme di Indonesia melalui pemberitaan di tapal
batas.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: “Bagaimana Kompas menggambarkan wacana nasionalisme
melalui pemberitaan di rubrik Nasionalisme di Tapal Batas?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui bagaimana Kompas
menggambarkan wacana nasionalisme melalui pemberitaan di rubrik
Nasionalisme di Tapal Batas.
18
commit to user
9
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis-akademis, penelitian ini diharapkan mempunyai
signifikansi dalam membedah penggambaran wacana nasionalisme
melalui pemberitaan suratkabar Kompas melalui penelitian isi media
dengan menggunakan analisis wacana.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat berfungsi bagi media dalam mengemas
dan mewacanakan semangat nasionalisme yang kian kritis. Sehingga
dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, media bisa ikut andil dalam
membantu pemerintah beserta masyarakat untuk menentukan
kebijakan-kebijkan yang bisa menjaga dan memupuk jiwa nasionalisme bangsa.
E. TELAAH PUSTAKA
1. Komunikasi Sebagai Wacana
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal
dari kata Latin communis yang berarti sama “sama”, communico,
communicatio, communicare yang berarti “membuat sama”.19 Berbagai pakar
telah membuat definisi tentang apa itu komunikasi. Salah satu definisi yang
kerap dikutip adalah pengertian dari Harrold Lasswell. Laswell mengatakan
bahwa komunikasi adalah jawaban dari pertanyaan Who Says What In Which
Channel to Whom With What Effect? Atau Siapa mengatakan Apa Dengan
Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?20
Dari definisi di atas, setidaknya ada beberapa unsur komunikasi yang
bisa ditangkap, diantaranya komunikator, media, komunikan, konteks, proses,
19
Deddy Mulyana. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 41
20
commit to user
10
dan dampak. Tanpa ada pesan, tidak ada peristiwa komunikasi. Komunikasi
adalah proses menciptakan dan menafsirkan pesan. Tanpa ada pertukaran
pesan, tidak ada makna yang diperoleh oleh para peserta komunikasi.
Sedangkan makna itulah yang dikandung dalam pesan yang dipertukarkan
dalam komunikasi.21
Dalam perkembangannya, para pelaku komunikasi tidak hanya
menyampaikan pesan dalam sebuah proses komunikasi namun teknik
pengemasan pesan (message packaging) juga menjadi hal penting agar
mereka memperoleh tujuan-tujuan komunikasinya. Mereka tak lagi sekedar
membuat, menampilkan dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang
diinginkannya, tetapi merancang pesan dengan dilandasi dan dipengaruhi oleh
“visi dan misi strategis”-nya. Dalam konteks ini, para pelaku komunikasi
mengembangkan suatu wacana tertentu dalam menyampaikan pesan dalam
suatu proses komunikasi.22
2. Wacana Sebagai Hasil Konstruksi Realitas
Wacana adalah terjemahan dari bahasa Inggris “discourse”. Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa wacana merupakan kelas
kata benda (nomina) yang mempunyai arti sebagai berikut: 23
a. ucapan; perkataan; tuturan;
b. keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan;
21
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 7
22
Ibid. Hal 9
23
commit to user
11
c. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk
karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel.
Jusuf Syarif Badudu memberikan batasan tentang wacana sebagai
berikut: 24
a. Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang
lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna
yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
b. Wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di
atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang
berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata,
disampaikan secara lisan atau tertulis.
Secara ilmiah teoritik beberapa pakar telah mendefinisikan perdebatan
tentang wacana atau discourse. Fiske mendefinisikan wacana sebagai bahasa
atau sistem representasi yang dibangun secara sosial dalam suatu tertib untuk
membuat dan mengedarkan seperangkat makna yang koheren tentang suatu
topik penting.25 Roger Fowler mendefinisikan wacana adalah komunikasi
lisan maupun tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan
kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan
dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. Sedangkan
Foucault mengatakan wacana ini: kadang kala sebagai bidang dari semua
24
Jusuf Syarif Badudu dalam Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hal 2
25
commit to user
12
pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok
pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat sari
sejumlah pernyataan.26
Dalam kenyataan, wujud dari bentuk wacana dapat dilihat dalam
beragam karya:27
a. Text (wacana dalam bentuk tulisan/grafis) yang antara lain berupa
surat, e-mail, berita, features, artikel opini, puisi, syair, cerpen,
novel, komik dan sebagainya.
b. Talk (wacana dalam bentuk lisan/percakapan) yang antara lain
berupa rekaman wawancara, monolog, dialog, obrolan, pidato,
diskusi dan sebagainya.
c. Act (wacana dalam bentuk tindakan, gerakan) yang antara lain
adalah pantomim, drama, tarian, film, defile, demonstrasi dan
sebagainya.
d. Artifact (wacana dalam bentuk bangunan, tata-letak) yang antara
lain dalam wujud bangunan, lanskap, puing, fashion, dan lain
sebagainya.
James P. Gee membedakan wacana (discourse) menjadi dua jenis,
yaitu: 28
26
Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 2
27
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 44-45
28
commit to user
13
a. discourse (dengan d kecil) yang melihat bagaimana bahasa
digunakan pada tempatnya (on site) untuk memerankan kegiatan,
pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik.
b. Discourse (dengan d besar) yang merangkaikan unsur linguistik
pada discourse (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik
(non-language stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan
identitas. Bentuk non-language stuff ini dapat berupa kepentingan
ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen
non-language stuff itu juga yang membedakan cara beraksi,
berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, dan penilaian satu
komunikator dari komunikator lain dalam mengenali atau
mengakui diri sendiri dan orang lain.
Satu hal harus digarisbawahi dari teori yang disampaikan oleh James
P. Gee, bahwa wacana atau Discourse (dengan d besar) adalah kepentingan
dalam wacana. Setiap tindakan komunikasi pada dasarnya selalu mempunyai
tujuan, terlebih komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah,
televisi, radio, dan sebagainya. Karena itu, bisa dikatakan bahwa setiap
tindakan komunikasi adalah suatu wacana. Dalam pandangan communication
as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan
“kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (discourse)
commit to user
14
(realitas kedua) itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas
(construction of reality).29
Lalu, bagaimana keterkaitan wacana dengan realitas? Mengenai hal
ini, Michel Foucault memiliki pendapat bahwa realitas dipahami sebagai
seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana.
Realitas tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses
dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Kita mempersepsi dan
bagaimana kita menafsirkan obyek dan peristiwa dalam sistem makna
tergantung pada struktur diskursif; dan struktur diskursif inilah yang
membuat obyek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Persepsi kita tentang
suatu obyek atau peristiwa dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif:
dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar
dan yang lain tidak. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak,
mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayatinya sebagai sesuatu
yang benar.30
Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis
wacana, yaitu positive-empiris, paradigma konstruksitivisme, dan paradigma
kritis.31 Pandangan positive-empirisme melihat bahasa sebagai jembatan
manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia
dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa
29
Ibnu Hamad. Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas, Universitas Indonesia. Hal 1
30
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge, dalam Sara Mills, “Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis”, dalam Michael Toolan (ed.), Language, Text, and Context: Essays in Stylistic, dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 73
31
commit to user
15
tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai
pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan
pengalaman empiris. Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara
pemikiran dan realitas. Jadi, orang tidak perlu mengetahui makna-makna
subjektif atau nilai yang mendasari pernyataanya, sebab yang penting adalah
apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan
semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan
kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan
pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).32
Dalam pandangan konstruksivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari
subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap
subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta
hubungan-hubungan sosialnya. A.S. Hikam mengatakan bahwa subjek memiliki
kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam
setiap wacana. Bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan
memiliki tujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang
pembicara.33 Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu
analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang
32
Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 4
33
commit to user
16
subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan
diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan
penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.34
Sedangkan dalam pandangan kritis, analisis wacana tidak dipusatkan
pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau penafsiran seperti
pada analisis konstruktivisme, melainkan menekankan pada konstelasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu
tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas
sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh
kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dipahami sebagai
representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema
wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu,
analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap
proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana,
perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat
bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam
pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam
masyarakat.35
Penelitian ini menggunakan pandangan atau paradigma
konstruktivisme dengan pertimbangan bahwa subyek, dalam hal ini Kompas,
dianggap sebagai faktor sentral yang mempunyai peran utama dalam kegiatan
wacana yang disampaikan dalam terbitan surat kabarnya. Keberadaan atau
34
Eriyanto. 2005. Op.Cit. 5-6.
35
commit to user
17
munculnya wacana nasionalisme sangat ditentukan oleh Kompas sebagai
subyek yang mempunyai gagasan dan maksud-maksud tertentu sesuai dengan
nilai-nilai dasar (visi) yang menjadi pedomannya. Berita yang disajikan
dalam rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” tidak hanya akan dilihat sebagai
alat untuk memahami realitas obyektif saja dan dipisahkan dari subyek
sebagai penyampai pesan.
Dalam buku Discourse Analysis, Gillian Brown dan George Yule
mengatakan: “The analysis of discourse is, necessarily, the analysis of language in use”.36 Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa analisis
wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Dengan kata lain, analisis
wacana mengkaji untuk apa bahasa digunakan. Dalam paragraf yang sama
kedua ahli ini menyebutkan: “That function which language serves in the
expression of ‘content’ we will describe as transactional, and that function involved in expressing social relations and personal attitudes we will
describe as interactional”.37 Dengan pernyataan tersebut bisa dipahami bahwa, di dalam analisisnya, Brown dan Yule memfokuskan pada dua fungsi
bahasa, yaitu fungsi untuk mengungkapkan isi (transaksional) dan fungsi yan
berkaitan dengan pengungkapan hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi
(interaksional).
Dengan demikian, analisis wacana, tidak hanya digunakan untuk
mengungkapkan isi bahasa melainkan juga sikap-sikap atau karakter
penyampai bahasa (wacana). 36
Gillian Brown dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Hal 1
37
commit to user
18
3. Pers sebagai Komunikasi Massa
Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia juga mengalami
perkembangan cukup pesat. Tidak hanya melalui komunikasi antarpersonal
yang hanya melibatkan orang-orang terbatas, tetapi komunikasi yang menjadi
sebuah kebutuhan manusia juga dilakukan dengan melibatkan orang banyak
(heterogen), atau yang lebih dikenal dengan komunikasi massa.
De Fleur dan McQuails mendefinisikan komunikasi massa sebagai:
“Suatu proses melalui komunikator dengan menggunakan media untuk menyebarluaskan pesan-pesan secara luas dan terus-menerus menciptakan makna-makna serta diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan beragam dengan melalui berbagai cara”.38
Definisi lain datang dari Little John, yang menulis:
“Komunikasi massa adalah suatu proses dengan mana organisasi-organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan kepada publik yang besar, melalui proses dimana pesan-pesan itu dicari, digunakan, dimengerti, dan dipengaruhi oleh audience”.39
Pusat dari studi komunikasi massa ialah media. Organisasi media
mendistribusikan berbagai pesan, untuk mempengaruhi dan merefleksikan
kultur masyarakat, dan mereka injeksi informasi secara stimulan keleluasaan
audiens yang heterogen, membuat media menjadi alat dari salah satu
kekuatan institusi kemasyarakatan.40 Media yang digunakan dalam
38
Mursito BM. 2006. Op.Cit. Hal 3
39
Ibid.
40
commit to user
19
komunikasi massa lebih dikenal dengan istilah media massa atau istilah lain
disebut dengan nama pers.
Pers mengandung dua arti, dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti
sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala: surat kabar,
tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk
pada media cetak berkala melainkan juga mencakup medai elektronik auditif
dan media elektronik audiovisual berkala yakni radio, televisi, film, dan
media on line internet.41
Secara yuridis formal, seperti dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU
Pokok Pers No. 40 / 1999, definisi Pers adalah:
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.42
Pers memiliki lima fungsi utama yang berlaku universal. Disebut
universal karena kelima fungsi tersebut dapat ditemukan pada setiap negara di
dunia yang menganut paham demokrasi, yakni:43
a. Informasi (to inform)
Pers memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi secepat-cepatnya
kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang
disampaikan harus memenuhi kriteria dasar: aktual, akurat, faktual,
41
AS Haris Sumadiria. 2006. Op.Cit. Hal 31
42
Mursito BM. 2006. Op.Cit. Hal 2-3
43
commit to user
20
menarik atau penting, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih, jujur-adil,
berimbang, bermanfaat, dan etis.
b. Edukasi (to educate)
Sebagai sebuah lembaga kemasyarakatan pers juga memiliki tugas
mendidik. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut
berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial.
Namun orientasi dan misi komersial itu, sama sekali tidak boleh
mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial
pers. Pers harus mau dan memerankan dirinya sebagai guru bangsa.
Wilbur Schramm dalam Men, Messages and Media (1973)
mengatakan bahwa pers adalah watcher, teacher, and forum
(pengamat, guru, dan forum).
c. Koreksi (to influence)
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Dalam kerangka ini pers dimaksudkan untuk mengawasi
atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar
kekuasan mereka tidak menjadi korup dan absolut. Negara yang
menganut paham demokrasi menempatkan pers sebagai sebuah
lembaga pengawas pemerintah dan masyarakat (watchdog function).
Dengan fungsi kontrol sosial tersebut pers menjadi institusi sosial yang
tidak pernah tidur dan juga memiliki sikap independen atau menjaga
commit to user
21 d. Rekreasi (to entertain)
Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang
menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.
e. Mediasi (to mediate)
Pers juga harus bisa menjadi penghubung atau faslitator. Dengan
fungsi ini, pers mampu menghubungkan tempat satu dengan tempat
yang lain, peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, ataupun orang
yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. McLuhan
dalam bukunya Understanding Media (1966) mengatakan bahwa pers
adalah perpanjangan dan perluasan manusia (the extented of man).
Dalam tugasnya sebagai media yang melakukan kegiatan di bidang
jurnalistik, maka pers harus menggunakan prinsip-prinsip jurnalisme dalam
pemberitaannya. Bill Kovach dan Tom Rosential dalam bukunya The
Elements of Jurnalism menjelaskan 9 prinsip jurnalisme sebagai berikut:44
a. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Jurnalisme tidak sekedar mengejar kebenaran dalam arti
filosofis/absolut. Melainkan kebenaran funsional yang mana dapat
diterapkan secara praktis. Untuk itu, sebuah laporan berita harus adil,
terpercaya, berlaku untuk saat ini, dan menjadi bahan untuk investigasi
lanjutan.
b. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga
44
commit to user
22
Media harus dapat mengatakan dan menjamin kepada audiensnya
bahwa liputan yang dilakukan tidak diarahkan demi kepentingan
kawan dan pemasang iklan. Komitmen utama adalah untuk melayani
publik.
c. Inti jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.
Untuk melakukan verifikasi, wartawan harus menerapkan metode yang
obyektif sebelum menyampaikan fakta ke dalam berita.
d. Wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang diliput.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan jiwa dan pemikiran
wartawan.
e. Menjadi pemantau yang bebas terhadap kekuasaan dan menyuarakan
kaum tak bersuara.
Prinsip ini menekankan pentingnya peran penjagaan (watchdog). Pers
tidak boleh menjadi corong kekuasaan. Selain itu, tugas pers adalah
memperjuangkan kamu minoritas yang sering kali terabaikan.
f. Jurnalisme sebagai forum publik
Diskusi publik dapat melayani masyarakat dengan baik bila mereka
mendapatkan informasi berdasarkan fakta. Bukan atas dasar prasangka
atau dugaan-dugaan.
g. Menarik dan relevan
Jurnalisme harus dapat menyeimbangkan antara apa yang diinginkan
publik dengan apa yang mereka tidak harapkan, tetapi sesungguhnya
commit to user
23
h. Menjadikan berita proporsional dan komprehensif
Berita tidak boleh menghilangkan sesuatu yang penting, serta tidak
menggelembungkan fakta demi sensasi.
i. Wartawan bertanggung jawab pada nurani
Wartawan harus memiliki tanggung jawab modal dalam melaporkan
berita. Diantaranya menjalankan kode etik.
4. Media Sebagai Sarana Konstruksi Realitas
Satu hal penting dalam teori komunikasi sebagai wacana
(communication as discourse) adalah usaha untuk memproduksi realitas
dalam bentuk wacana. Usaha ini merupakan pekerjaan sentral baik dalam
kegiatan komunikasi antar pribadi secara tatap muka maupun antar individu
melalui media. Dalam mengkonstruksi realitas, dengan dipengaruhi oleh
faktor-faktor innocencity, internality, dan externality, para pihak
mendayagunakan bahasa (strategi signing), mengatur fakta (strategi framing)
dan menyesuaikan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan (strategi
priming).45
Dalam kegiatan komunikasi yang menggunakan media, praktik
komunikasi mengkonstruksi realitas ini tampak semakin kentara. Hal ini
dikarenakan wacana yang dihasilkan dimediasikan, baik dalam bentuk text,
talk, act, maupun dalam bentuk artefact. Dalam membuat sebuah wacana itu,
sudah dipastikan bahwa pembuatnya telah dengan sengaja mengatur tiga
45
commit to user
24
strategi: signing, framing, dan priming. Mereka juga pasti sudah
mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal mereka dalam
mengatur tiga strategi itu guna menciptakan efek tertentu di tengah khalayak
(lihat gambar berikut)46
Konstruksi realitas atau konstruksi sosial tidak akan dapat dilepaskan
dengan penggunaan simbol. Sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi
(dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbiter (berubah-ubah) dan
konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok
manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran disebut dengan kata atau
bahasa.47 Oleh karena itu, yang dimaksud signing adalah strategi penggunaan
tanda-tanda bahasa, baik bahasa verbal (dalam bentuk kata-kata) maupun
nonverbal (dalam bentuk gambar, grafik, gerakan, dan sebagainya).
46
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 45
47
Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Hal 42
Bagan I. 1 Model Konstruksi Realitas Melalui Media
Faktor Internal
Faktor Eksternal Proses Kontruksi
Realitas oleh Konstrukor
Discourse dalam Media: (dengan strategi signing, framing, dan priming)
Efek di Tengah Khalaya
commit to user
25
Dalam pembuatan wacana, sistem tanda merupakan alat utama proses
kontruksi realitas. Mengacu pada pemikiran Berger, Peter L dan Thomas
Luckman, sistem tanda merupakan instrumen pokok untuk menceritakan
realitas. Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor
melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi
terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses
persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap
ini dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah
terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan
secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat untuk membuat
pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa.48
Strategi framing atau praktik pemilahan dan pemilihan yang (tidak)
akan dimasukkan ke dalam wacana merupakan hal yang tak bisa dihindari
dalam pembuatan wacana. Penyebabnya adalah fakta yang terkait dengan
realitas sering lebih banyak dibandingkan dengan tempat dan waktu yang
tersedia.49 Di dunia media massa, pemilahan dan pemilihan fakta dilandasi
oleh pertimbangan waktu dan tempat. Media cetak memiliki keterbatasan
kolom dan halaman; sementara pada media elektronik memiliki keterbatasan
durasi dan jadwal siaran.
Sedangkan strategi priming, adalah strategi mengatur ruang atau waktu
untuk pemublikasian wacana di hadapan khalayak. Dalam media massa,
praktik penonjolan suatu isu terlebih dahulu dikenal dengan teori agenda
48
Berger, Peter L dan Thomas Lukman, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge, dalam Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 49-50
49
commit to user
26
setting. Asumsi teori ini adalah perhatian masyarakat terhadap suatu isu
sangat bergantung pada kesediaan media massa memberi tempat pada isu
tersebut. Semakin besar tempat yang diberikan oleh media massa semakin
besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak.50
Adapun mengenai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
media dalam mengkonstruksi realitas adalah faktor innocently yang
mencakup kekurang-mampuan dan kesalah-pahaman; faktor internality
karena adanya minat dan kepentingan; dan faktor externality karena adanya
sponsor dan pasar.
Meskipun dalam pembuatan berita, media mengkontruksi realitas
fisik/empirik menjadi realitas media (simbolik) dengan ketiga strategi
(signing, framing, priming) serta adanya faktor internal dan eksternal dalam
membentuk sebuah wacana tertentu, media tetap berpegang dengan
kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku. Sebuah berita dituntut memenuhi kaidah-kaidah
5W+1H (What, Where, When, Who, Why, dan How) dan memiliki news value
(nilai berita). Secara umum, suatu kejadian dianggap mempunyai nilai berita
jika mengandung satu atau beberapa unsur di bawah ini51:
a. Significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan
mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau mempunyai akibat
terhadap kehidupan pembaca. Misalnya berita kenaikan BBM yang
menaikkan harga-harga kebutuhan lain.
50
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 70-72
51
commit to user
27
b. Magnitude (besar), yaitu kejadian menyangkut jumlah atau
angka-angka yang besar (fantastis). Misalnya bencana yang merenggut
ribuan jiwa.
c. Timeliness (waktu), yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang baru
terjadi atau baru dikemukakan.
d. Proximity (dekat), yaitu kejadian yang dekat dengan pembaca, baik
secara geografis maupun emosional. Kejadian di Solo lebih
menarik perhatian masyarakat Solo dari pada orang Palembang.
e. Prominence (tenar), yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang
terkenal atau populer. Misalnya berita perceraian seorang bintang
film.
f. Human Interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberikan
sentuhan perasaan bagi pembaca. Misalnya kejadian yang
menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa, atau sebaliknya.
Pada dasarnya, inti jurnalistik adalah adanya suatu fakta yang
direkontruksi kembali oleh wartawan atau lembaga media yang kemudian
disampaikan kepada masyarakat luas. Dalam merekontrusksi suatu fakta,
wartawan bukan sekedar melakukan pekerjaan teknis melainkan pekerjaan
intelektual, di mana wartawan memberikan interpretasinya atas suatu
peristiwa.
Menurut Ignas Kleden, berita yang disajikan dalam koran misalnya,
commit to user
28
dan dialektika yang intens antara peristiwa tersebut dengan persepsi dan
kesadaran sang wartawan. 52
Dengan demikian, seorang wartawan tidak hanya bertugas
menyampaikan berita sesuai dengan aturan jurnalistik yang presisi. Namun,
mereka juga harus bergulat dengan berbagai hal yang melibatkan tanggung
jawab sosial dan integritas intelektualnya.
Bagaimana menyampaikan berita itu sehingga sanggup mencerminkan
keadaan sebenarnya, tetapi sekaligus mempertimbangkan manfaat dan
kebaikan yang diberikan oleh pemberitaan itu terhadap masyarakat pembaca,
sambil memberikan perspektif dan warna pemberitaan yang mencerminkan
nilai yang dianut oleh wartawan atau koran yang dilayaninya.53
Selanjutnya, masyarakatlah yang berhak menginterpretasikan berita
dan memberikan konteks tertentu atas informasi yang diterimanya.
Menurut John Fiske, ada tiga proses yang dihadapi wartawan saat
menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang.54 Level
pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh
wartawan/media. Dalam tahap ini, realitas selalu siap ditandakan, ketika kita
menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagi suatu realitas.
Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana relaitas itu digambarkan. Dalam tahap ini,
52
Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal xiv
53
Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv
54
commit to user
29
digunakan perangkat secara teknis seperti kata, kalimat atau proposisi,
gambar, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat, atau proposisi
tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima khalayak. Pada
tahap terakhir, bagaimana peristiwa itu diorganisir ke dalam
konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi
dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas
sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.
Saat kita melakukan representasi, menurut Fiske, tidak bisa dihindari
kemungkinan menggunakan ideologi.55 Hal ini dikarenakan ideologi
merupakan sistem kepercayaan yang darinya lahir nilai-nilai dasar (visi)
sebagai acuan dalam memandang dan menyikapi suatu peristiwa.
Dalam setiap terbitannya, sebuah surat kabar selalu mengacu pada
kebijakan institusi surat kabar. Secara khusus mengenai penyampaian pesan
yang berupa berita, surat kabar selalu mengacu pada kebijakan redaksional
surat kabar yang merupakan penjabaran dari visi surat kabar tersebut. Melalui
kebijakan redaksional yang diterapkan, sebuah surat kabar akan berusaha
mewujudkan visinya sebagai media komunikasi massa dalam masyarakat.
Visi itu juga memberikan bobot, warna, dan dimensi kepada
kejadian-kejadian yang diangkat menjadi bahan berita, baik dalam proses seleksi
maupun dalam proses memberikan makna dan bentuk.56
Visi surat kabar, tentu saja, menjadi visi yang dihayati bersama oleh
para wartawan yang bekerja pada surat kabar tersebut. Visi atau pandangan
55
John Fiske dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 114
56
commit to user
30
pokok tersebut diaktualisasikan oleh para wartawan dalam pekerjaan dan
karyanya, melalui pergulatannya dengan realitas serta pemikiran yang mereka
olah menjadi berita. Nilai-nilai yang dianut inilah yang menjadikan sebuah
surat kabar tidak dapat bersikap “bebas nilai”.
Ignas Kleden menyatakan bahwa, setiap penerbitan surat kabar
hendaknya mempunyai seperangkat nilai yang menjadi referensinya, baik
sebagai dasar bagi visi dan posisi yang hendak dibelanya, maupun sebagai
kriteria untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri. 57
Referensi nilai inilah yang kemudian menentukan mengapa suatu
kejadian diberitakan secara massif sementara kejadian lainnya hanya
diberitakan secara singkat. Dari sinilah dapat terlihat watak dan kepribadian
sebuah media.
Usaha dan perjuangan wartawan untuk tetap setia kepada referensi
nilainya, sambil berikhtiar untuk mempertahankan obyektivitas dan aktualitas
pemberitaan, dan sekaligus harus memperhitungkan efek pemberitaannya
untuk pembaca, sebetulnya adalah usaha untuk mencari perimbangan
maksimal antara kesetiaan kepada hati nurani wartawan dan korannya,
kepentingan fakta, dan kepentingan masyarakat pembaca.58
Hal inilah yang menjadikan tampilan dan isi surat kabar memiliki ciri
khas atau karakter yang berbeda dengan surat kabar yang lain. Dengan kata
lain, surat kabar secara konsisten mempunyai kepribadian yang tercermin
dalam keseluruhan isi pesan, bentuk, struktur, gaya, warna, dan dimensi; dan
57
Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv-xv
58
commit to user
31
dengan kepribadian tersebut, surat kabar mampu membangun bersama suatu
tingkat kredibilitas tertentu.59
5. Berita dan Feature
Williard C. Bleyer dalam bukunya News Writing and Editing60
memberi pengertian berita, yaitu: sesuatu yang termasa yang dipilih oleh
wartawan untuk dimuat dalam surat kabar, karena hal tersebut menarik atau
mempunyai makna bagi pembaca surat kabar. Sedangkan William S.
Maulsby dalam Getting the News61 menjelaskan berita adalah suatu penuturan
secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting
dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca surat kabar yang
memuat berita tersebut.
Secara singkat, berita dapat diklasifikasikan dalam 2 bentuk yaitu:
hard news dan soft news. Hard news adalah berita yang padat berisi informasi
fakta dari kejadian yang baru saja terjadi yang menarik perhatian sebagian
besar publik dan harus segera disampaikan secepat mungkin, yang disusun
berdasarkan urutan dari yang paling penting.62 Sedangkan soft news adalah
berita yang lebih bertumpu pada unsur-unsur ketertarikan manusiawi.63
Salah satu produk soft news adalah feature. Daniel R. Williamson
merumuskan bahwa reportase feature sebagai penulisan cerita yang kreatif,
subyektif, yang dirancang untuk menyampaikan informasi dan hiburan
59
Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal 18
60
AS Haris Sumadiria. 2006. Op.Cit. Hal 64
61
Ibid. Hal 64
62
Luwi Ishwara. 2007. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal 58
63