• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memohon Syafaat kepada Nabi saw.

B EBERAPA K AJIAN P ENGANTAR  Prolog

IV. Faktor Perbedaan Pendapat Seputar Sifat dan Keutamaan Para Nab

2. Memohon Syafaat kepada Nabi saw.

Para pendukung keabsahan konsep tawasul dan memohon syafaat kepada Rasulullah saw. di setiap masa berargumentasi bahwa hal itu terjadi atas keridaan Allah swt. sebelum Dia menciptakan beliau, pada masa beliau hidup, dan setelah beliau meninggal dunia. Begitu juga, pada Hari Kiamat. Pada pembahasan berikut ini akan disebutkan dalil atas klaim tersebut:

a. Tawasul Kepada Nabi saw. Sebelum Diciptakan

Sekelompok ulama, termasuk Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, meriwayatkan sebuah riwayat dari Umar bin Khaththab, bahwa ketika Nabi Adam as. melakukan kesalahan berkata: “Tuhanku! Aku memohon

Allah berfirman: “Hai Adam, bagaimana kamu mengenal Muha-

mmad, sementara Aku belum menciptakannya?”

Nabi Adam as. menjawab: “Hai Tuhanku, ketika Engkau mencip-

takanku dengan tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, Engkau mengangkat kepalaku (menghadap ke atas) dan aku melihat di pilar-pilar ‘Arsy tertulis ‘lâ ilâha illallôh, Muhammadun Rasûlullôh’. Demi- kianlah aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan menambahkan di sisi nama-Mu kecuali makhluk yang paling Kaucintai.”

Allah berfirman: “Engkau benar, hai Adam. Sesungguhnya dia adalah

makhluk-Ku yang paling Kucintai. Serulah Aku demi kebesarannya, niscaya Aku akan mengampunimu. Kalaulah bukan karena Muhammad,

Aku tidak akan pernah menciptakanmu.”

Ath-Thabaranî juga menyebutkan hadis tersebut dan ia menam-

bahkan: “Dan dia adalah nabi terakhir dari anak cucumu.”1

Dalam penafsiran ayat:

“Dan setelah datang kepada mereka sebuah kitab [Al-Qur’an] dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon [kedatangan nabi] untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allahlah atas orang-orang yang ingkar itu.”

Para ahli hadis dan ahli tafsir berkata: “Jika orang-orang Yahudi Madinah

dan Khaibar berperang melawan bangsa Arab Aus, Khazraj, dan selain mereka yang masih musyrik sebelum Nabi saw. diutus, orang-orang Yahudi itu selalu memohon kemenangan atas mereka dengan perantara beliau; mereka mengharapkan kemenangan dengan perantara orang yang telah disebut-sebut di dalam kitab Taurat. Mereka selalu berdoa atas kekalahan

kaum musyrikin itu seraya berseru: “Ya Allah, kami memohon kemena-

ngan kepada-Mu demi hak Nabi yang ummi agar Engkau memenangkan

kami atas mereka.” Atau mereka berdoa: “Ya Allah, hai Tuhan kami,

bantulah kami atas mereka demi Nabi-Mu.”2 Ketika sebuah kitab datang kepada mereka dari sisi Allah, yaitu Al-Qur’an yang membenarkan kitab

1 Al-Mustadrak, karya Al-Hakim, kitab At-Târîkh fî Âkhir Kitâb Al-Ba‘ts, jil. 2, hal. 615;

Majma‘ Az-Zawâ’id, jil. 8, hal. 253; Tahqîq An-Nushrah, karya Al-Marâghî (wafat 816 H.), hal. 113-114. Dia adalah orang yang menukil hadis itu dari Ath-Thabaranî.

2 Dari hadis-hadis yang ada dapat dipahami bahwa mereka selalu berdoa dengan doa-doa

yang mereka miliki, yaitu Taurat dan Injil, dan seorang nabi yang telah mereka kenal, yaitu Muhammad saw. yang tidak mereka ragukan sedikit pun, mereka justru mengingkarinya, karena dia bukan dari golongan Bani Israil.1

b. Tawasul kepada Nabi saw. Ketika Masih Hidup

Ahmad bin Hanbal, At-Tirmidzî, Ibn Majah, dan Al-Baihaqî meriwa- yatkan dari Utsman bin Hanif bahwa seseorang yang sedang menderita

penyakit mata mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata: “Berdoalah

kepada Allah supaya Dia menyembuhkanku.”

Beliau bersabda: “Jika kamu menghendaki, maka aku akan berdoa,

dan jika kamu menghendaki juga, maka kamu bisa bersabar (menahan

penyakit itu). Hal ini lebih baik bagimu.” “Berdoalah,” pintanya singkat.

Lalu Rasulullah saw. memerintahkannya untuk berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, serta berdoa seraya membaca:

جَوَ ت ْ هِنّهإ ،ُد مَُمُ َيَ .هةَْحْ رلا هِهبَن ٍد مَُمُ َكهِيهبَنهب َكْيَلهإ ُه جَوَ تَأ َو َكُلَأْسَأ ْ هِنّهإ مُه للٱ

َىهإ َكهب ُ ْه

هفِ ُهْعهِفَش مُه للٱ .ْهلِ ىَضْقُ تهل ْهتَِجاَح ْهفِ ْهِبَّر

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan menghadap kepada-Mu demi Nabi-Mu Muhammad, Nabi (pembawa) rahmat. Hai Muha- mmad, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan peran- taramu demi hajatku, supaya hajat itu dikabulkan untukku. Ya Allah, jadikanlah dia pemberi syafaatku!

Al-Baihaqî dan At-Tirmidzî menganggap hadis ini sebagai sebuah hadis yang sahih.2

1 Hadis-hadis dengan kandungan yang telah kami nukilkan itu sudah mencapai tingkat

hadis mutawâtir di dalam kitab-kitab seperti Dalâ’il An-Nubuwah, karya Al-Baihaqî, hal. 343-345; Tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabarî, jil. 1, hal. 324-328 tentang tafsir surat Al-Baqarah [2]:89; catatan kaki Tafsir An-Naisâbûrî, jil. 1, hal. 333; Al-Mustadrak, karya Al-Hakim, kitab At-Tafsîr, tafsir surat Al-Baqarah [2]: 89, jil. 4, hal. 264; Tafsir As-Suyûthî menukil dari Dalâ’i’ An-Nubuwah, karya Abu Na‘im; tafsir Muhammad bin

Abdu Hamid; tafsir Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim bin Idris Ar-Râzî; tafsir Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir An-Naisâbûrî (wafat 310 H.).

2Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 138; Sunan At-Tirmidzî, kitan Ad-Da‘awât, jil. 13, hal. 80-

81; Sunan Ibn Mâjah, kitab Iqâmah Ash-Shalâh wa As-Sunnah fîhâ, bab Mâ Jâ’a fî

c. Tawasul kepada Nabi Setelah Beliau Wafat

Dalam Al-Mu‘jam Al-Kabîr, Ath-Thabaranî meriwayatkan dari hadis Utsman bin Hanif bahwa ada seseorang yang selalu datang dan pergi

menemui Utsman bin ‘Affan untuk sebuah hajat. Utsman sama sekali

tidak menghiraukannya, tidak pula menanyakan hajatnya. Akhirnya ia mendatangi Ibn Hanif dan mengadukan hal itu kepadanya. Maka Utsman

bin Hanif berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudhu dan berwudhu-

lah. Lalu pergilah ke masjid dan kerjakanlah dua rakaat salat, lalu bacalah:

َوَ ت ْ هِنّهإ ،ُد مَُمُ َيَ .هةَْحْ رلا هِهبَن ٍد مَُمُ َانهِيهبَنهب َكْيَلهإ ُه جَوَ تَأ َو َكُلَأْسَأ ْ هِنّهإ مُه للٱ

َىهإ َكهب ُ ْه ج

ْهتَِجاَح َيهضْقَ تهل ْهِبَّر

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan menghadap kepada-Mu demi Nabi kami Muhammad, Nabi (pembawa) rahmat. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan perantaramu demi hajatku, supaya engkau mengabulkan hajatku. “Setelah itu, sebutkanlah keperluanmu!”

Orang itu pergi dan mengerjakan apa yang telah dituturkannya itu.

Kemudian, ia mendatangi rumah Utsman bin ‘Affan. Penjaga pintunya

datang seraya menuntun tangannya untuk membawanya menghadap Utsman. Dia mendudukkannya di atas permadani (rumahnya). Tidak

lama kemudian, Utsman bertanya kepadanya: “Apa keperluanmu?” Dia

menyebutkan keperluannya dan Utsman serta-merta mengabulkannya.

Setelah itu, Utsman berkata: “Aku tidak pernah ingat akan keperluan-mu

kecuali saat ini.” “Keperluan apa saja yang kau inginkan, katakanlah!”

pintanya (mengakhiri perjumpaan itu).1