Hariyatmi
Pendidikan Biologi FKIP-UMS [email protected]
Abstrak
Pada proses pembelajaran, guru dapat memilih dan menggunakan banyak strategi pembelajaran. Untuk meningkatkan hasil belajar, guru dapat melakukan PTK. Hasil belajar Siswa kelas XI1 SMA Muhammadiyah 2 Surakarta belum maksimal (46% yang mencapai ketuntasan) maka diupaya- kan meningkat menggunakan strategi Mind Map. Penelitian ini bertujuan meningkatkan hasil belajar siswa dengan strategi pembelajaran Mind Map pada siswa kelas XI1 IPA SMA Muhammadiyah 2 Surakarta pada mate ri system peredaran darah manusia. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Metode penelitian yang digunakan adalah pembelajaran menggunakan strategi Mind Map pada materi sistem peredaran darah manusia. Data hasil belajar diambil berdasar kemampuan pemahaman konsep sistem peredaran darah dan kreatiitas pembuatan Mind Map siswa. Data dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara menganalisis data perkembangan siswa dari siklus I sampai siklus II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan hasil belajar berupa pemahaman konsep materi sistem peredaran darah manusia dan kreativitas pembuatan mind Map. Pemahaman konsep pada awal dibawah KKM (57), siklus I (57,70) dan meningkat pada siklus II menjadi 68,5. Indikator yang ingin dicapai adalah skor rata-rata diatas 65. Untuk kreativitas pada siklus
71 dibutuhkan adanya kepemimpinan pendidikan, yakni kepala sekolah yang memiliki ketrampilan mampu mengaitkan secara bermakna dan fungsional antara peserta didik, pendidik dan pelaksanaan pendidikan.
Apabila realitas kepemimpinan pendidikan dikaitkan dengan perspek- tif jender, maka dapat diindetiikasi adanya kesenjangan jender dalam artian adanya ketimpangan atau gap antara laki-laki dan perempuan dalam kepe- mim pinan pendidikan. Jumlah kepala sekolah perempuan tidak seim bang dibanding dengan laki-laki. Demikian pula terdapat kesenjangan jender pada akses, manfaat dan keikutsertaan perempuan dalam proses kepemim pinan pendidikan. Timbulnya kesenjangan tersebut, antara lain sangat dipengaruhi oleh proses pemilihan pemimpin pendidikan yang telah terjadi selama ini.
Dengan mengacu kepada apa yang diungkap di atas, maka data yang sudah diolah dari laporan Departemen Pendidikan Nasional kota Salatiga tahun 2008-2009 mengenai perbedaan jumlah guru laki-laki dan perempuan, dan guru laki-laki dan perempuan yang diangkat atau dipilih menjadi kepala sekolah menunjukkan adanya kesenjangan jender yang cukup besar. Pada tahun 2008-2009, di kota Salatiga tercatat jumlah guru laki-laki dan perempuan di aras SD, SMP, SMA dan SMK secara keseluruhan berjumlah 2876 orang (100%). Guru perempuan berjumlah 1.640 (58%), sedang guru laki-laki 1.236 orang (42%). Namun meskipun jumlah guru perem puan mendominasi jumlah guru atau persentasinya tinggi, yang terpilih menjadi kepala sekolah ternyata persentasinya sangat rendah. Untuk perem puan yang menjadi kepala sekolah hanya 22 orang atau hanya 1% dari jumlah keseluruhan guru perempuan, sedang laki-laki 135 orang, atau 11% dari jumlah keseluruhan guru laki-laki. Jumlah seluruh kepala sekolah di semua aras 157 orang. Dari data yang terpapar, jelas mereleksikan adanya kesenjangan jender yang sangat lebar.
Fenomena kepemimpinan pendidikan yang bias jender di sepanjang sejarah, memang telah menjadi realita yang memprihatinkan. Banyak orang berpikir, memang sudah seharusnya demikian, tak ada yang salah atau tidak perlu mempertanyakan fenomena yang telah terjadi selama berabad-abad.
Pada dasarnya konsep jender berbeda dengan seks, meskipun keduanya merupakan fenomena berkelanjutan/continuum (Graham, 1998). Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan fungsi biologis (terutama fungsi reproduksi dan kondisi isik) karena aspek patologis dan
hormonal. Sebaliknya, jender adalah segala sesuatu yang diharapkan dari perempuan dan laki-laki selain fungsi biologis atau seks. Jender dikonstruksi (baca: direkayasa) secara sosial. Setiap masyarakat atau budaya memiliki gagasan tentang peran, tanggung-jawab, fungsi, sikap, hak dan kewajiban serta perilaku yang dianggap sesuai bagi perempuan dan laki-laki. Gagasan tersebut berkaitan dengan konstruksi dan interpretasi sosial maupun budaya yang dipengaruhi oleh norma, tradisi, stereotip dan sistem nilai tertentu yang menyangkut peran perempuan dan laki-laki. Aktualisasi jender juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, agama dan budaya (Graham, 1998).
Sebetulnya perbedaan jender (gender diferences) yang diterapkan dalam pemilahan sifat, peran, dan posisi tidaklah terlalu menjadi masalah yang serius sejauh tidak menciptakan dampak negatif. Sayangnya tidak demikian, karena ternyata penerapan peran jender berimplikasi kepada timbulnya banyak korban, terutama dipihak perempuan. Misalnya penyisihan hak dan termarginalisasinya perempuan, penekanan kepada peran stereotip jender (baca: peran klise) sekaligus perlakuan yang diskriminatif dan mendominasi perempuan, beban kerja yang lebih besar (peran ganda), dan kekerasan kepada perempuan, merupakan realitas yang banyak mendapat sorotan (Sugiarti dan Handayani 2002:15-20; Mutali’in 2001:28-40).
Masalah kepemimpinan pendidikan yang ditinjau dari perspektif jender di Kota Salatiga, pada hakikatnya dapat diumpamakan seperti “fenomena gunung es”, artinya yang tampak di permukaan hanya kecil saja, tetapi yang tidak nampak banyak sekali faktor-faktor penyebabnya, sekaligus realita tersebut masih mengalami banyak pandangan pro dan kontra. Oleh karena itu faktor-faktor penyebab yang tidak kelihatan tersebut perlu dicari dalam penelitian ini. Banyak ahli yang mengungkapkan bahwa institusi pendidikan merupakan institusi yang sangat kompleks (Hoy & Miskel, 1987; Hanson 1985), karena keberadaan yang kompleks tersebut maka dimungkinkan adanya banyak aspek yang dapat diteliti dan diselidiki untuk menjawab adanya pertanyaan kesenjangan jender tersebut. Berdasar ungkapan di atas, maka penelitian ini diberi judul:
pelajaran 1999/2000. Diambil pada tanggal 23 Desember 2004, dari htp://www.pdk.go.id/jurnal/30/survei pelaksanaan ebtanassd.htm
Suryabrata, S. (1982). Psikologi belajar: Materi dasar pendidikan program bimbingan
dan konseling di perguruan tinggi. Jakarta: Ditjen Pendidikan Tinggi. Suryabrata, S. (2000). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: Andi.
Wadrianto, G. K. (1 Juli 2005). Pemerintah prihatinkan hasil UAN. Kompas. Diambil
pada tanggal 24 Mei 2007, dari: htp://www.kompas.com/utama/ news/0507/01/ 140301.htm
184 Prosiding Seminar Nasional
Daftar Pustaka
Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. Montere:
Brooks/Cole Publising Company.
Bachman, Lyle F. (1990). Fundamental considerations in language testing. Oxford:
Oxford University Press.
Cronbach, L. J. (1970). Essentials of psychological testing (Ed.6). New York: Harper &
Row.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2005). Hasil un diumumkan hari ini. Diambil pada tanggal 1 September 2006, dari: htp:// www.depdiknas.go.id/go. php?a=1&to=f813
Ghada K Eid. (2005). he efects of sample size on the equating of test items [Versi
electronik]. Journal of Chula Vista. Vol. 126. Iss. 1; pg. 165, 16 pgs Hambleton, R.K., & Swaminathan, H.. (1985).Item response theory principles and
applications. Boston: Kluwer-Nijhof Publishing.
Hambleton, R.K., Swaminathan, H., & Rogers, H.J. (1991). Fundamentals of item
response theory. London: Sage Publication.
Hayat, B. (2006). Classroom assessment. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. Diambil pada tanggal 11 April 2007, dari:htp://www.duniaguru.com/index. php?option=com _content&task=view&id=104&Itemid=28
Rogers Pakpahan.(2004). Survei pelaksanaan ebtanas SD, SLTP, SMU, dan SMK tahun
73