• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mereka mempelajar

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 51-53)

bahasa,

sejarah, dan

peran agama

di Indonesia

sampai

tingkat

tertinggi.

EROPA

sional.

Tapi, di Bonn, ahli sastra Indo- nesia Berthold Damshauser meng- anggap bahkan untuk studi bahasa dan sastra pun tak terjadi penurun- an minat. ”Di sini stabil saja jumlah mahasiswa yang masuk dari tahun ke tahun.”

❖ ❖ ❖

Namun nada optimistis dari Bonn, Freiburg, dan Berlin itu di- ragukan Edwin Wieringa, Direk- tur Institut Pengkajian Dunia Is- lam Universitas Koeln. Ia meyakini keadaan di Jerman sama sekali tak berbeda dengan di belahan dunia mana pun. Bahwa minat pada stu- di Indonesia jelas menurun. Bukan cuma pada yang berbasis fi lologi atau ”studi Indonesia klasik”.

Di Universitas Koeln sendiri, ma- hasiswa yang mengambil studi po- kok Indonesia, kata Wieringa, se- lama beberapa tahun terakhir ini cuma dua atau tiga orang. Wieri- nga mencatat pula karakteristik yang cukup unik dari para maha- siswa yang mengambil studi Indo-

nesia. ”Mereka biasanya sedikit le- bih tua dari kebanyakan mahasis- wa lain. Dan umumnya sudah pu- nya ‘pengalaman’ dengan Indone- sia. Ada yang pernah tinggal bebe- rapa tahun. Ada yang pernah wi- sata lalu jatuh cinta, bahkan ada yang belajar karena mendapat jodoh orang Indonesia.”

Di Koeln, studi Indonesia bermu- la pada 1962, di bawah nama Stu- di Melayulogi-Malaiologi. Pendiri- nya, Irene Hilgers-Hesse, adalah se- orang Indonesianis berdedikasi. Ia merupakan penyusun kamus per- tama Jerman-Indonesia bersama Otto Karow, dan antologi cerpen In- donesia pertama dalam bahasa Jer- man—bersama Mochtar Lubis.

Selama beberapa dekade, studi Indonesia di Koeln berlangsung cu- kup mandiri. Namun pada 2004 di- lebur dalam studi dunia Islam. Jadi mahasiswa yang tertarik pada stu- di Islam bisa mempelajari Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar. Namun, dilemanya, kata Wieringa, mahasiswa banyak lebih

tertarik ke Persia dan sebagainya. Akan halnya studi Indonesia di Universitas Humboldt, Berlin, su- dah ditawarkan sejak masa Perang Dingin. Bisa diduga, studi Indone- sia waktu itu dibebani berbagai misi pemerintah komunis Jerman Ti- mur.

Salah satu tokohnya adalah In- grid Wessel, yang sekarang sudah pensiun. Ingrid muda, waktu itu, mempelajari bahasa dan sejarah In- donesia di Moskow, Uni Soviet (se- belum runtuh). ”Studi itu menca- kup satu tahun pelajaran di Indo- nesia. Tapi peristiwa 1965 membuat saya tak bisa masuk Indonesia,” tu- tur Wessel. Ia dicekal masuk Indo- nesia. ”Hanya sesudah Jerman disa- tukan, saya bebas mengunjungi In- donesia,” katanya.

Sejauh ini tampaknya Jerman memang tak kekurangan Indone- sianis. Namun yang tampak absen dibanding Prancis, misalnya, ada- lah jurnal ilmiah tentang Indonesia. Di Jerman belum ada jurnal khusus yang membahas Indonesia.

Ada Orientierungen, memang.

Jurnal ini jurnal resmi Institut fur Orient- und Asienwissenschaften Universitas Bonn. Tak khusus ten- tang Indonesia,tapi banyak mem- bahas persoalan Indonesia.

Orientierungen didirikan pada 1989 oleh Wolfgang Kubin, seorang ahli studi Cina dari Universitas Bonn. Kemudian ia mengajak Indo- nesianis di universitas itu, Berthold Damshauser, bergabung. ”Jadi tak mengherankan kalau persoalan In- donesia mendapat porsi besar,” ujar Damshauser.

Sayangnya Orientierungen pun masih bercakupan terbatas. Pada- hal, seperti disebut di awal, terdapat setidaknya delapan perguruan ting- gi yang menawarkan studi Indone- sia. Barangkali ini ada kaitannya dengan kenyataan sistem Jerman yang federal. Setiap negara bagian punya menteri pendidikan sendiri, dengan universitas masing-masing. Dan untuk urusan studi Indonesia, tak ada sistem koordinasi antaruni- versitas. ”Hanya ada jaringan priba- di,” kata Edwin Wieringa dari Uni- versitas Koeln. ■ GING GINANJ AR Prof Dr Arndt Graf melihat Indonesia dengan kacamata berbeda.

114 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

D

ENTUM palu, sua-

ra kikir, dan bau le- lehan timah menye- ruak di salah satu ru- ang bengkel Jakarta School of Prosthetics and Orthotics, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, pe- kan lalu. Dua belas mahasiswa ting- kat akhir tampak sedang menger- jakan kaki palsu yang terbuat dari plastik dan polypropylene.

Di ruang berukuran 6 x 8 meter itu tampak bahan berserakan: mur, baut, penjepit besi, gipsum, lem, dan lainnya. Sebuah papan pengumum- an, papan penugasan, berada di sisi belakang ruangan. Sedangkan di sisi dinding lain tergantung belas- an baju bengkel berwarna putih dan

biru. Tiga dosen ekspatriat terlihat telaten membimbing pembuatan kaki plastik yang mereka kerjakan.

Itulah suasana sehari-hari seko- lah pembuatan kaki palsu yang di- dirikan pada 2009 oleh sejarawan Peter Carey. Mungkin ini satu-satu- nya sekolah kaki palsu di Indonesia. Menarik bagaimana Peter, Indone- sianis asal Inggris itu, memiliki mi- nat mendirikan sekolah pembuatan kaki palsu.

Dalam beberapa tahun terakhir, ia memang terlibat dalam kerja so- sial. Ia mulanya bergabung di Ya- yasan Oxfam untuk mengurus per- damaian di wilayah Kamboja-Thai- land. Ia melihat betapa di Kamboja, karena perang saudara pada 1970-

an, sampai kini banyak orang bun- tung yang membutuhkan kaki pal- su. Ia kemudian ikut mendirikan lembaga The Cambodia Trust.

Peter lalu menemui pemimpin Kamboja, Hun Sen. Hun Sen me- minta lembaga Peter ikut member- sihkan Kamboja dari ranjau dan melakukan rehabilitasi. ”Hun Sen bilang, jika ada hadiah dari dewa, dua itulah yang diminta,” ujar pe- nyuka soto Kudus ini. Peter pun mendirikan klinik Calmette Hospi- tal di Monivong Boulevard, Phnom Penh, pada 1992. Di klinik inilah pembuatan kaki palsu bagi para korban ranjau darat dilakukan. Hingga 1997 mereka menerima murid dari berbagai negara, terma- suk dari Indonesia.

Produk kaki palsu buatan The Cambodian Trust juga dikirim un- tuk penderita cacat di Sri Lanka, Fi- lipina, dan Indonesia. ”Di Indone- sia ternyata juga banyak orang bun- tung, makanya saya juga mendiri- kan sekolah ini di sini,” kata Peter.

❖ ❖ ❖

Peter Carey, kita ketahui, ada- lah sejarawan yang tertarik mene- liti sejarah perang Jawa, teruta- ma sejarah perlawanan Diponego-

Peter Carey

Dari Diponegoro

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 51-53)