• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada Zaman Soeharto, Siswa Lebih Banyak

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 34-36)

K

ALAU Anda berkun-

jung ke Broome, se- buah kota kecil di pan- tai utara Australia, mungkin Anda agak kaget melihat tanda jalan yang di- tulis dalam empat bahasa, Cina, Je- pang, Inggris, dan Indonesia. Mul- tibahasa yang tercantum di tanda jalan utama mencerminkan multi- budaya kota yang sejak awal abad ke-19 berkembang menjadi sentra industri mutiara itu. Penduduknya multietnis, campuran dari Abori- gin, Anglo-Saxon Inggris, imigran Eropa, etnis Cina, Melayu, Jepang, dan Indonesia.

”Bahasa Melayu sudah berkem- bang pada 1917-an di Australia,” ujar Paul Thomas, Kepala Prog- ram Studi Indonesia di Universitas Monash, Australia. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, pria kelahiran Sydney pada 1957 ini tertarik pada masalah lingkungan hidup. Tapi, setelah berkeliling dunia, bekerja di Eropa dan Amerika, serta kemba- li ke Australia, ia memutuskan be- lajar bahasa Indonesia. Perkenalan Thomas dengan Indonesia terjadi tatkala dia berkunjung ke Tropen- museum di Amsterdam, Belanda.

Di museum itu, Thomas melihat pameran besar tentang Indonesia. Di sana dia bisa melihat pameran seperti desa-desa di Jawa, ada be- berapa gubuk, ada rumah kecil de- ngan segala peralatan dapur, seper- ti wajan. Jadi pameran itu bukan pameran wayang atau lukisan, tapi tentang masyarakat biasa di Indo- nesia. Kunjungan ke museum itu rupanya mengubah minatnya un- tuk belajar tentang Indonesia, ka- rena mulai tertarik dengan budaya Indonesia.

Setelah meraih gelar S-1 di Uni- versitas South Australia, ia me- lanjutkan program S-2 bidang li- nguistik terapan di Universitas Melbourne. Thomas lulus S-2 de-

ngan tesis ”Pemerolehan Bahasa Asing”. Dalam tesisnya itu, ia me- nulis ihwal sejarah bahasa Melayu. Dia menyatakan bahasa Melayu se- cara resmi menjadi bahasa Indone- sia pada Sumpah Pemuda, Oktober 1928. Dan sejak kedatangan bang- sa Eropa pada abad ke-17, baha- sa Melayu telah menyebar di Aus- tralia. Konon, juru masak Kapten Matthew Flinders (ahli navigasi Inggris yang mendarat di Australia pada 1801) adalah orang Melayu.

Thomas, yang kini kandidat PhD di Universitas Monash, tengah me- nyelesaikan tesis tentang kajian se- jarah bahasa Melayu-Indonesia di Australia. Judul tesisnya ”Talking North: The Journey of Australia’s fi rst Asian Language. Penelitian- nya banyak dilakukan di Australia tapi ada bahan dari koran dan arsip dari Indonesia.

Berikut ini petikan wawancara dengan Paul Thomas di kantornya, W 307, yang terletak di Gedung Menzies lantai 3, Universitas Mo- nash, kampus Clayton.

Betulkah sejak Soeharto leng- ser pada 1998, minat mahasiswa Australia belajar bahasa dan ka- jian Indonesia menurun?

Betul, saya setuju. Ini sedikit aneh karena waktu Indonesia mu- lai masuk ke fase yang lebih demo- kratis, kami harap minat mahasis- wa akan naik tapi ternyata tidak. Pada zaman Soeharto, jumlah sis- wa lebih banyak. Tapi, kalau di Vic- toria (negara bagian), misalnya di Universitas Monash, Melbourne, dan Deakin, dalam lima tahun ter- akhir jumlah siswanya cukup sta- bil. Sedangkan di Universitas La Trobe menurun.

Ini karena faktor apa? Apa- kah karena pergeseran minat ke Cina dan India, atau muncul- nya organisasi Islam militan yang tidak populer di Australia,

atau pengurangan dana peme- rintah Australia?

Ya, semua faktor itu bisa mem- pengaruhi pilihan mahasiswa, ter- utama travel warning (setelah bom Bali, Marriott, dan bom di Jimbaran) yang dikeluarkan pe- merintah, yang tidak memboleh- kan murid dan mahasiswa meng- unjungi Indonesia. Itu yang men- jadi hambatan, dan dana dari pe- merintah memang berkurang da- ripada pemerintah sebelumnya.

Berapa besar penurunan- nya?

Sulit dipastikan karena data- nya tidak seragam. Kalau kita ban- dingkan Victoria dengan nega- ra bagian lain, barangkali Victo- ria cukup stabil, jumlah siswa- nya tidak turun begitu banyak. Di Monash cukup stabil kecuali yang mulai pada tingkat satu atau pe- mula. Misalnya, sebelum Orde Baru kami biasa menerima 20 sampai 30 mahasiswa yang mulai dari tingkat satu, tapi sekarang ha- nya ada 9-10.

Cukup besar juga....

Ya, cukup besar untuk mereka yang belum belajar bahasa Indo-

20 NOVEMBER 2011 TEMPO | 93 AUSTRALIA TE M P O / SANG F O T O G R AF E R

nesia. Untuk S-1 memang turun.... Jadi, kajian tentang Indone- sia tidak seksi lagi?

Ha-ha-ha.... Ya, boleh disebut kurang seksi sekarang. Bahasa In- donesia harus bersaing dengan ba- hasa lain. Bagi anak-anak yang di- besarkan di Australia, kebudaya- an Indonesia bukan sesuatu yang menonjol. Mereka sangat terpe- ngaruh oleh kebudayaan Amerika. Mereka tidak mengerti tentang In- donesia. Ketika kecil, mereka juga menonton kartun yang ada tem- bok Cina, dan ada orang India, ada kaisar Jepang, dan mereka bisa membayangkan tentang negara- negara itu.

Kalau kita berbicara tentang topik penelitian, apakah ada pergeseran tema tesis yang ditu- lis siswa?

Dari segi penelitian, saya kira pe- nelitian yang paling menonjol itu kajian tentang Islam. Sudah ba- nyak dilakukan penelitian tentang Islam di negara-negara Arab, Ame- rika, dan Eropa, tapi tidak begitu banyak tentang Islam di negara-ne- gara Asia Tenggara. Jadi sekarang Islam di Indonesia menjadi salah

satu topik yang banyak diteliti. Salah satunya, pagi ini ada mahasiswa yang menyiapkan tesis tentang perubahan pesantren dalam konteks pendidik- an modern.

Menurut Profesor Barbara Hatley, zaman keemasan bagi mahasiswa yang melakukan stu- di Indonesia terjadi pada 1970- an. Anda setuju?

Saya kira lebih mudah untuk me- milih zaman itu sebagai zaman kee- masan karena universitas tidak ter- lalu umum. Sekarang, kalau kita li- hat dari segi mahasiswa, mungkin 40 persen dari penduduk Australia pernah kuliah. Adapun pada 1960- an itu kurang dari 20 persen. Jadi pendidikan di universitas jauh lebih umum, dan kalau kita lihat struktur pendidikan di universitas lebih ter- sebar. Dulu para pakar berkumpul dalam satu atau dua departemen, sekarang lebih tersebar, ada yang di Monash Asian Institute di kampus Caulfi eld, di kampus Clayton.

Adapun mengenai aktivitasnya sekarang harus dilihat dari segi di- siplin. Misalnya penelitian pakar di bidang arkeologi kadang-kadang hasilnya tidak dipikirkan. Seper- ti Universitas Woolongong (di New South Wales) penemuan Hobbit (manusia kerdil purbakala di NTT) tidak diperhitungkan, padahal itu penemuan penting di bidang antro- pologi.

Tapi minat mahasiswa un- tuk mempelajari sastra, seni, se- jarah, arkeologi Indonesia me- nurun dibandingkan dengan bi- dang bisnis?

Ya. Jangan lupa bahwa tahun 1960-an dan 1970-an belajar baha- sa asing adalah wajib. Masuk uni- versitas Melbourne harus bisa ber- bahasa asing. Adapun di Universi- tas Monash, sebelum diwisuda, ma- hasiswa harus bisa berbahasa asing. Jadi ini agak berbeda. Sekarang ti- dak wajib lagi. Ini karena baha- sa Inggris terlalu kuat pengaruh- nya. Jadi mereka tidak memikirkan penggunaan bahasa asing di luar pengalaman mereka.

Kalau Herbert Feith menerbit- kan karya besar seperti The De- cline of Constitutional Democra- cy in Indonesia, dan John Legge

dengan buku biografi Sukarno, mungkin Anda bisa menyebut- kan dalam sepuluh tahun ter- akhir ini karya besar yang diter- bitkan oleh Indonesianis muda?

Hmm..., karya buku dari penu- lis yang mempunyai pengaruh cu- kup kuat itu agak sulit. Buku-buku seperti karya John Legge dan Her- bert Feith memang sulit ditemu- kan karena mereka semacam pelo- por dan waktu itu tidak banyak in- formasi tentang Indonesia. Jadi, ke- tika buku mereka keluar, banyak yang mencarinya. Untuk para pene- liti setelah mereka, kita bisa menye- but penulis buku yang cukup bagus, seperti Barbara Hatley menerbitkan buku tentang teater di Indonesia, Harry Aveling di bidang sastra Asia Tenggara, tentang puisi-puisi Indo- nesia, Greg Barton tentang Islam. Tapi apakah buku itu berpengaruh besar terhadap tokoh-tokoh politik di Australia, saya tidak tahu.

Mungkin Anda bisa memberi- kan saran agar promosi Southe- ast Asian Study dan bahasa In- donesia kelihatan lebih seksi?

Ha-ha-ha.... Kita harus meya- kinkan mahasiswa bahwa hubung- an antara Australia dan Indonesia itu sudah jelas penting. Jadi, kita harus melihat dari kacamata Aus- tralia, bukan dari kacamata Ame- rika atau Eropa, yang tidak begi- tu berminat kepada Indonesia. Un- tuk bersaing dengan Cina dan Je- pang, saya kira kita harus mempro- mosikan kebudayaan populer In- donesia.

Contohnya, ibu saya pernah be- lajar tari perut. Dulu saya kira itu tarian dari negara-negara Arab, padahal itu kebudayaan populer. Jadi ada kemungkinan kalau dang- dut jadi budaya populer Indonesia. Juga standar fi lm Indonesia per- lu ditingkatkan. Sebab, kalau In- donesia bisa berpromosi lewat fi lm yang bagus, saya kira orang akan lebih memikirkan kebudayaannya. Adapun seni rupa Indonesia cukup maju. Kami sudah melihat bebe- rapa, yang dijual lewat Singapura atau negara Asia lainnya. Saya kira itu cukup menarik meski kurang dipromosikan di Australia.

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

S

UDAH 66 tahun berlalu sejak mulainya revolusi Indone- sia dan 40 tahun sesudah saya datang di Indonesia untuk menulis Revolusi Nasional Indonesia (aslinya 1974 dan versi Indonesia 1996). Buku itu lebih-kurang mencermin- kan pergeseran perlahan-lahan di antara pendapat para akademikus asing pada 1970-an yang sudah kecewa melihat per- ubahan demokratis terjadi melalui cara ekstremisme: polarisasi dan kekerasan pada 1960-an. Namun mereka masih terkesan oleh suksesnya revolusi itu, yang menghasilkan suatu identitas nasio- nal yang cukup diterima di Indonesia.

Buku baru saya pada 2010, Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia (Alkimia Imperial: Nasional- isme dan Identitas Politik di Asia Tenggara), kembali ke tema-tema tersebut dengan cara yang lebih komparatif dan terpisah. Buku yang ditulis lama sesudah semangat asli revolusi mereda ini mem- buat dua kesimpulan pokok mengenai nasionalisme Indonesia.

Pertama, ia sama seperti sebagian besar bentuk nasionalisme yang lain di Asia, yang memiliki perbedaan tajam dengan berba- gai bentuk nasionalisme di Eropa. Sebab, ia memproklamasikan unit imperium sebagai wilayah sakral negara baru yang tidak bo- leh diganggu-gugat, bukan memecah-belah imperium menjadi le- bih banyak unit yang homogen secara etnis dan bahasa. Bahwa al- kimia (menjelmakan besi menjadi emas) ini berhasil secara luas di Asia dijelaskan oleh terbongkarnya nasionalisme menjadi bebera- pa jenis, sehingga suatu nasionalisme anti-imperial yang kuat se- cara emosional tapi mestinya tidak bertahan lama dapat ditrans- formasikan menjadi modal universal modern dari suatu nasional- isme negara tanpa memberi banyak ruang gerak pada apa yang saya sebut sebagai jenis nasionalisme etnis yang homogen.

Kesimpulan kedua kembali ke tema lama: jalan revolusioner In- donesia menuju kemerdekaan merupakan sesuatu yang amat pen- ting untuk membedakannya dengan sebagian besar tetangganya. Pada akhir abad ke-20, retorika Sukarno yang romantis tentang melupakan masa lalu dan membangun masa depan yang baru ti- dak diingkari pihak militer, yang mengambil alih kekuasaan di ba- wah Soeharto, tapi ia dimiliterisasi menjadi legitimasi terhadap dwifungsi militer.

Sama seperti kasus dua negara Asia lainnya yang menempuh ja- lan revolusioner menuju pengakuan sebagai negara modern, yai- tu Cina dan Vietnam, identitas nasional Indonesia, sebagaimana diajarkan di setiap sekolah dan kursus P4 di era Soeharto, dida- sarkan atas tradisi perjuangan revolusioner yang diciptakan, dan pada bahasa dan budaya nasional yang baru dan netral. Tidak di- dasarkan atas aneka ragam prestasi yang telah tercapai oleh ba- nyak budaya yang ada di Indonesia.

Harga yang dibayar akibat jalan revolusioner itu sangat tinggi, dalam hal merusak ekonomi (terutama pada periode 1945-1970, ketika Indonesia ketinggalan jauh di belakang Malaysia dan Thai- land), menggerogoti supremasi hukum, mengesampingkan berba- gai budaya tulis yang hidup di Nusantara, dan menuntut tingkat

kekerasan politik yang tinggi, terutama untuk lebih-kurang sete- ngah juta orang, yang karena kematian mereka pada 1965-1966, terbukalah dan dimungkinkan suatu pola tunggal yang baru, yang dibebankan secara otoriter.

Tapi ganjarannya adalah kesatuan Indonesia yang bisa kita lihat hari ini, dengan dua generasi yang dididik dalam sistem yang sa- ngat tersentralisasi, sehingga identitas politik Indonesia masa kini adalah salah satu identitas di Asia yang paling berjalan berdasar- kan konsensus, selain berdiri kukuh, sehingga tidak perlu dipak- sakan lagi. Suksesnya transisi ke demokrasi, walaupun pada awal diiringi bentrokan SARA yang penuh kekerasan, telah menunjuk- kan betapa besarnya sukses itu, dan 66 tahun kemudian orang- orang Indonesia boleh berbangga.

Pandangan sekilas pada sejarah nonrevolusioner di India atau Malaysia, yang beberapa budaya dan daerahismenya memiliki ke- dudukan hukum yang berbeda tapi terus berkembang dan menyu- sahkan pemerintah nasionalnya, menegaskan poin ini. Keserba- samaan yang nyaman dalam hal bahasa dan langgam suara yang di- hasilkan oleh setengah abad pertama di Indonesia yang sering me- nyakitkan itu sekarang merupakan aset yang sangat besar, karena seorang Indonesia dapat mengikutsertakan diri dengan dunia de- ngan semangat terbuka yang demokratis, tanpa ada kekhawatiran akan mengkompromikan identitasnya. Harga tinggi yang telah di-

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 34-36)