• Tidak ada hasil yang ditemukan

JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK

DI MATA

INDONESIANIS

LIPUTAN KHUSUS

JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH

ISSN: 0126 - 4273

HTTP://WWW

.TEMPOINTERAKTIF

.COM

MAJALAH BERITA MINGGUAN

Rp 27.000

00037

9 770126 427302

Pasang-surut

peran peneliti asing

dalam sejarah

Indonesia.

(2)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

MEREKA

MENCINTAI

YANG

K

E

N

D

RA

P

A

RA

M

IT

(3)

13 NOVEMBER 2011 TEMPO| 53

(4)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

JA

C

K

Y R

A

C

H

M

A

N

SY

A

H

U

N

T

U

K T

E

M

P

O

Tahun

1970-an

adalah

masa

gemi-lang

studi

Indone-sia.

Pe-nelitian

tentang

Indone-sia

ber-

datang-an dari

Prancis,

Ame-rika,

Austra-lia,

Be-landa,

Jerman,

dan

Rusia.

R

ESTORAN yang

didiri-kan pada 1927 itu sam-pai kini masih menya-jikan hidangan yang menggoyang lidah. Na-manya Restoran Trio. Letaknya di Jalan Gondangdia Lama Nomor 29-A, Jakarta Pusat—sisi depannya ber-dinding kayu berwarna hijau. Ru-mah makan ini terkenal dengan saji-an Cantonese cuisine. Ada 200 ma-sakan Canton yang dimasak dengan resep turun-temurun.

Tiga sekawan peneliti dari Prancis, Denys Lombard (almarhum), Christi-an Pelras, dChristi-an Pierre Labrousse, pada dekade 1970 sering makan di restoran tersebut. Sembari menyantap, di situ mereka berdiskusi soal Indonesia. Dari restoran itu pula mereka berangan-angan membuat majalah yang mam-pu menammam-pung penelitian-penelitian mendalam tentang Nusantara. Hasil-nya: Archipel, jurnal berwibawa yang bertahan sampai kini.

Kita tahu dari tangan tiga cendekia-wan itu lahir karya-karya babon me-ngenai Indonesia. Dari Lombard lahir tiga jilid Nusa Jawa Silang Budaya (Le Carrefour Javanais). Dari Pelras ter-bit Manusia Bugis. Akan halnya Lab-rousse menyusun Kamus Umum In-donesia-Prancis yang sangat tebal.

Kesetiaan mereka terhadap kajian Indonesia mengagumkan. Denys Lom-bard meninggal di Paris, 1998, pada usia 60 tahun. Sebelum wafat, ia sem-pat menyunting kisah perjalanan sau-dagar Prancis, Augustin de Beaulieu, ke Sumatera. Umur Pelras kini sudah di atas 70 tahun. Pada 2004, Pelras ak-tif terlibat dalam diskusi untuk mem-persiapkan pementasan kontemporer kisah La Galigo oleh sutradara avant-garde Amerika, Robert Wilson, di Es-planade, Singapura. Sedangkan Lab-rousse sehat walafi at di Paris dan

te-tap mengikuti berita-berita tentang Indonesia. Pekan lalu, Claudine Sal-mon, istri Lombard, datang ke Jakar-ta. Claudine adalah peneliti kawakan sastra Melayu Tionghoa. Usianya su-dah 73 tahun. Tapi, dalam sebuah dis-kusi di Universitas Tarumanagara, ia masih bersemangat membahas cerita silat dari Cina yang beredar di Indone-sia pada abad ke-19.

Pembaca, bila majalah Tempo kali ini menurunkan edisi khusus tentang para Indonesianis, itu karena kami ingin membaca ulang peran penting para pemerhati Indonesia ini.

Mere-kalah sarjana luar negeri yang sangat mencintai Indonesia. Mereka menye-lami dunia kuliner, religi, dan poli-tik kita serta mampu menyajikan data dan analisis yang mengagetkan. Kita, misalnya, tak akan pernah tahu me-miliki kerajaan berpengaruh Sriwija-ya bila sejarawan G. Coedes tak mener-bitkan artikel Le Royaume de Crivija-ya pada 1918.

Tahun 1970-an adalah masa gemi-lang studi Indonesia. Penelitian ten-tang Indonesia berdaten-tangan dari Pran-cis, Amerika, Australia, Belanda, Jer-man, dan Rusia. Studi-studi itu men-cakup spektrum yang luas: dari arkeo-logi sampai militer. Banyak buku kar-ya Indonesianis dilarang Orde Baru. Studi Ruth McVey tentang komunisme atau laporan Ben Anderson tentang pembunuhan jenderal-jenderal 1965 pada Cornell Paper adalah beberapa di antaranya.

Ada pula studi Takashi Shiraishi ten-tang Mas Marco Kartodikromo atau Haji Misbach. Selain itu, ada studi ter-hadap bapak Republik kita—Sukarno, TIM INDONESIANIS

(5)

20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 55

Pierre Labrousse dan Restoran Trio.

Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka—dari Audrey Kahin hingga Rudolf Mrazek. Semuanya memberi kita ilmu tentang demokrasi dan pluralisme.

Karya-karya mereka tak luput dari kritik. Beberapa buku disebut bias atau tak lagi cocok jika diteropong dari kacamata masa kini. Pengelompokan Clifford Geertz terhadap masyarakat Jawa—priayi, santri, dan abangan— sudah banyak ditolak. Tapi uraiannya mengenai Bali dalam Negara: The The-atre State in 19th Century Bali diang-gap masih relevan. Teori tentang ma-syarakat yang dibayangkan Ben An-derson dalam Imagined Communities

hingga kini masih dipakai untuk me-neropong sejarah kawasan lain di Asia Tenggara.

❖ ❖ ❖

PEMBACA, edisi khusus para Indo-nesianis ini juga dibuat karena turun-nya minat terhadap studi Indonesia di mancanegara. Di Amerika, kuliah ba-hasa Indonesia pada musim panas su-dah sepi peminat. Di Australia idem

ditto. Di Belanda, kita mendengar Ju-rusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Leiden yang didirikan Pro-fesor Teeuw ditutup. Koninklijk Insti-tuut voor Taal-, Land- en Volkenkun-de (KITLV)—Mekah bagi para peneli-ti Indonesia di Belanda karena di sana tersimpan ratusan ribu buku dan ber-bagai dokumen mengenai Indonesia dari awal abad ke-20 sampai kini—ter-ancam bangkrut. Anggaran lembaga itu dipotong besar-besaran.

Di Rusia, hal serupa terjadi. Di St Petersburg, ada museum antropolo-gi dan etnografi Kunstkammer—mu-seum dengan dinding hijau di pinggir Sungai Volga, yang pada musim dingin airnya beku seperti balok es. Museum yang didirikan Peter Agung dan dibu-ka pada 1714 itu menyimpan banyak barang koleksi asal Indonesia. Di sana bekerja ahli Batak bernama Dr Elena Revunenkova. Elena mampu memba-ca aksara Batak kuno. Ia menulis di-sertasi tentang ritual kapal roh-roh Ba-tak. Menurut Elena, dulu koleksi ba-rang etnis asal Indonesia menjadi pri-madona. Di ruang utama Kunstkam-mer yang bentuknya bundar dulu pe-nuh dipajang barang-barang etnis dari 27 provinsi Indonesia. Untuk meleng-kapi koleksi Indonesia, pengelola mu-seum bahkan pernah menukar kolek-si barang etnis Siberia yang dimiliki-nya dengan barang Indonesia yang di-miliki museum Eropa. Tapi kini sudah berbeda. Di ruang utama sekarang di-suguhkan barang Asia lain, sementara barang-barang Indonesia, kecuali Ba-tak, digudangkan.

Tak semua bernuansa suram, me-mang. Pada Agustus, Universitas Cor-nell dan Universitas Yale, Amerika Se-rikat, mengadakan Cornell-Yale Se-venth Northeastern Conference on

In-donesia. Dilaksanakan di George McT. Kahin Center, Universitas Cornell, ini-lah ketujuh kalinya perhelatan itu di-adakan. Di Jerman, Universitas burg baru saja menyelenggarakan se-buah seminar Asia Tenggara yang me-nitikberatkan evaluasi 10 tahun desen-tralisasi dan otonomi di Indonesia. Se-banyak 160 pakar terlibat dan 60 ker-tas kerja didiskusikan.

Untuk membahas masalah Indone-sianis ini, kami mengundang Dr Roger Tol, Direktur KITLV Jakarta. Roger Tol adalah pakar studi Bugis dan Me-layu. Darinya kami mendapat kisah hi-dup beberapa Indonesianis di Belan-da. Kami juga mengundang para In-donesianis muda yang tengah melaku-kan penelitian di Indonesia. Di anta-ranya Michael Buehler dan Kikue Ha-mayotsu—keduanya asisten profesor di Departemen Ilmu Politik Universi-tas Northern Illinois. Buehler meneli-ti kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang mempraktekkan syariat Islam dan Hamayotsu meneliti partai-partai di Indonesia.

Bersamaan dengan itu, kami menu-gasi koresponden Tempo melakukan reportase ke sarang-sarang Indone-sianis di Universitas Monash, Austra-lia; Universitas Cornell, Amerika; dan Universitas Leiden, Belanda. Kami juga mereportase universitas di Rusia, Cina, dan Korea.

Kami mewawancarai berbagai In-donesianis. Ada yang sudah sepuh tapi demikian bersemangat ketika kenang-annya digali kembali. Kami juga me-nulis kesaksian-kesaksian tentang In-donesianis besar, seperti Daniel S. Lev dan Herbert Feith, yang telah mening-gal. Feith adalah Indonesianis yang ke-rap berkaus singlet putih dan bersa-rung saat naik becak atau mengayuh sepeda ontel di Yogyakarta. Lev dike-nal sebagai peneliti yang kuat ngobrol

sembari ngopi sampai subuh dengan kolega-koleganya. Kami juga meng-undang beberapa kolumnis, baik dari luar maupun dari dalam negeri, untuk secara kritis melihat peran para Indo-nesianis.

Pembaca, edisi khusus ini diharap-kan bisa memberidiharap-kan informasi ten-tang para Indonesianis—dulu dan se-karang. Para peneliti yang mencintai Indonesia dengan segenap jiwa dan ra-ganya. ■

GING

GINANJ

(6)

Universitas Cornell, Ithaca, New York. VICTORIA SIDJABAT LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

AMERIKA SERIKAT

Pasca-Orde Baru

di Mata Cornell

(7)

58 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

M

ENU makan siang

di ruang pertemuan George McT. Kahin Center di kompleks Universitas Cornell, Ithaca, New York, Amerika Serikat, hari itu agak berbeda. Di meja terse-dia nasi putih, sayur asam, tahu ba-cem, ayam goreng lengkuas, telur da-dar, dan sambal.

Menu Indonesia yang dimasak Jo-landa Pandin, doktor linguistik dari Toraja yang jadi pengajar tetap ke-las bahasa Indonesia di Cornell, itu cepat tandas. Puluhan orang asing yang menghadiri konferensi tentang Indonesia yang diprakarsai Cor-nell dan Yale University pada akhir Agustus lalu itu menyapu semua hi-dangan.

Inilah konferensi tentang Indone-sia terbesar kedua tahun ini di Ame-rika SeAme-rikat. April lalu, di kampus yang sama, konferensi The State of Indonesian Studies digelar Cornell Modern Indonesia Project.

Bukan kebetulan apabila konfe-rensi itu diselenggarakan di George McT. Kahin Center. Kahin dikenal sebagai peletak dasar studi Indone-sia modern. Sebelumnya, penelitian Indonesia lebih banyak didomina-si Leiden School, yang menekankan studi fi lologi dan indologi.

Kahin datang ke Indonesia ber-bekal selembar ”visa” yang diberi-kan Sjahrir. Ia bertemu dengan Bung Kecil itu ketika berpidato di Mar-kas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada 1948. Berbekal surat itu, Kahin leluasa memasuki teritori yang dikuasai Republik.

Di Indonesia, Kahin bergaul de-ngan banyak tokoh, di antaranya Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, dan Hamid Algadri. Ia pernah bertemu dengan Bung Tomo, yang gondrong

Sayur Asam

di Ithaca

UNIVERSITAS CORNELL MENGGELAR KONFERENSI

AKBAR TAHUN INI. MENGHIDUPKAN KEMBALI KAJIAN

INDONESIA YANG SEMPAT MATI SURI.

dan bersumpah tak akan memo-tong rambut sebelum Indonesia be-nar-benar merdeka. Di Yogyakarta, Kahin punya mobil jip yang mudah dikenali karena dua bendera terpan-cang di sana: di kiri bendera Ameri-ka dan di Ameri-kanan bendera Indonesia. Kahin adalah akademikus cum akti-vis. Disertasinya, ”Nationalism and Revolution in Indonesia” (1952), diakuinya memang berpihak pada Indonesia.

Pada 1954, Kahin mendirikan lembaga Cornell Modern Indonesia Project. Salah satu hal yang menarik dalam memoarnya, South east Asia: A Testament, adalah cerita tentang jenderal-jenderal Indonesia yang menemuinya untuk menanyakan pe-rihal Cornell Paper.

Itulah analisis setebal 161 hala-man berjudul ”A Preliminary Analy-sis of the October 1,1965, Coup in In-donesia”. Paper itu rampung disusun pada 10 Januari 1966 oleh Ben

An-derson, Ruth McVey, serta Fred Bun-nell, dan menyimpulkan bahwa pe-ristiwa 1965 bukan kudeta PKI, me-lainkan konfl ik internal di Angkat-an Darat. Ali Moertopo dAngkat-an Benny Moerdani sempat datang ke Cornell untuk meminta Kahin mengubah kesimpulan tersebut.

Sebelumnya, pada 27 November 1965, tiga jenderal dan dua kolonel di bawah pimpinan Brigadir Jende-ral Datuk Mulia datang ke Cornell. Mereka membawa dokumen sebe-rat 200 pon yang berisi kesaksian di pengadilan orang-orang yang dite-ngarai terlibat Gerakan 30 Septem-ber. Kahin bergeming: ia tetap men-dukung rekan-rekannya dan seca-ra resmi menerbitkan Cornell Paper

pada 1973.

Malang bagi Kahin. Ia dicekal ma-suk Indonesia hingga 1991. Di Ame-rika, oleh Senator McCarthy, ia ditu-ding simpatisan komunis. Di nega-ranya, paspor Kahin dicabut—sela-ma lidicabut—sela-ma tahun.

❖ ❖ ❖

ACARA seminar di George McT. Kahin Center dibuka dengan pe-nyampaian makalah oleh Kikue Ha-mayotsu, dosen ilmu politik di Uni-versitas Northern Illinois, Chicago. Dia memaparkan adanya pening-katan intoleransi terhadap umat beragama di Indonesia. Sebagian George

McT. Kahin Konferensi

(8)

AMERIKA SERIKAT

bahan penelitian dipungut Kikue saat dia berkunjung ke Jakarta pada liburan musim panas Juli lalu. ”Saya memanfaatkan liburan untuk me-ngumpulkan bahan penelitian,” kata perempuan Jepang itu.

Konferensi ini menampilkan ber-bagai topik dari berber-bagai disiplin ilmu. Andre Rivier, perwira Angkat-an Darat Amerika Serikat dAngkat-an ma-hasiswa pascasarjana Yale, misal-nya, meneliti hubungan kebijakan keamanan Amerika dengan refor-masi militer di Indonesia sejak 1998. Jacqueline Hicks, yang menulis di-sertasi tentang politik dan korupsi di Indonesia pada 2004 di Universi-tas Leeds, Inggris, menganalisis fa-silitas kesehatan dan pendidikan yang disediakan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berkurang-nya fasilitas itu melemahkan ornisasi sosial itu hingga keduanya ga-gal menjadi penyalur dukungan ma-syarakat kepada partai dan calon po-litik.

Pemakalah lain adalah para ma-hasiswa. Taylor Purvis, mahasiswa ilmu politik di Yale, misalnya, me-maparkan soal pemberdayaan ma-syarakat di Kabupaten Sleman, Yog-yakarta, untuk bidang kesehatan. Purvis baru saja meraih Bates Ju-nior Fellowship dan Tristan Perlroth Prize untuk perjalanan ke Yogyakar-ta selama empat

pekan—kesempat-an ypekan—kesempat-ang digunakpekan—kesempat-annya untuk meng-gali bahan penelitian ini.

Kevin Fogg, calon doktor jurus-an sejarah di Yale, membahas berku-rangnya pengaruh bahasa Arab se-cara drastis terhadap bahasa Indo-nesia. Ini terjadi sejak standardisa-si bahasa Indonestandardisa-sia dilakukan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya yang berpusat di Universitas Indonesia pada 1950-an. Sejak saat itu, sistem penulisan bahasa Indonesia dalam naskah Arab Jawi atau Arab Melayu tak ada lagi.

❖ ❖ ❖

KONFERENSI di Cornell meru-pakan titik balik perhatian akade-mikus internasional terhadap Indo-nesia—setelah Perang Dingin akhir dan Indonesia memasuki pe-riode reformasi.

Sebelumnya, menurut Direktur Center for Southeast Asian Studies -Indonesia Yosef Djakababa, minat orang Amerika mempelajari Indo-nesia menurun. Jumlah mahasiswa yang mengikuti Kursus Musim Pa-nas di Wisconsin Madison—tem-pat dia mengajarkan bahasa Indone-sia—terus berkurang.

Pada dekade 1980 dan 1990, baha-sa Indonesia jadi primadona pilihan mahasiswa. Pada 2000, jumlah ma-hasiswanya anjlok karena mereka le-bih memilih negara lain di kawasan Asia, seperti Cina, Jepang, dan Ko-rea.

Cornell Modern Indonesia Project juga mati suri. Perubahan-perubah-an di dalam lingkungPerubahan-perubah-an kampus mempengaruhi perkembangan ka-jian Indonesia, termasuk menurun-nya jumlah dana penelitian.

Patsy Spyer, guru besar antropolo-gi di New York University, menggam-barkan, dulu peneliti leluasa berkeli-aran di lapangan hingga 18 bulan. ”Sekarang mahasiswa sudah berun-tung bila mendapat dana meneliti se-tahun saja,” ujarnya kepada jurnal Cornell Chronicle.

Pada 1960-an dan 1970-an, dana penelitian berlimpah ruah. Washing ton saat itu menggelontor-kan banyak dana untuk meneliti In-donesia karena pengaruh Partai Ko-munis Indonesia menguat. ”Para pe-neliti Amerika ingin tahu apakah In-donesia akan berubah menjadi nega-ra komunis atau tidak,” kata Vincent Houben, Kepala Program Studi Asia di Universitas Humboldt, Berlin, Jerman. Para peneliti itu, kata Hou-ben, memberikan nasihat dan saran kepada Washington mengenai kebi-jakan yang perlu ditempuh terhadap Indonesia.

Analisis lain diberikan Paige Johnson Tan, guru besar madya De-partemen Masalah Masyarakat dan Internasional Universitas North Ca-rolina Wilmington. Menurut dia, se-telah peristiwa 11 September 2001, orang lebih banyak memberikan per-hatian pada terorisme dan keaman-an Timur Tengah. Seharusnya itu tak terjadi, ”Karena saat ini Asia justru mengalami kemajuan ekonomi yang baik,” katanya.

Gairah meneliti Indonesia sebe-tulnya tidaklah sepenuhnya pu-nah. Cornell Modern Indonesia Pro-ject kini mencoba berbenah diri dan bangkit. Empat dana hibah diberi-kan kepada sarjana-sarjana Indo-nesia tahun ini—sesuatu yang tidak terjadi tahun lalu.

Mungkin ini tanda-tanda baik bagi kebangkitan penelitian Indone-sia. ”Kajian Indonesia memang per-nah kuat di masa lalu, kemudian va-kum. Tapi saat ini saya melihat orang berminat lagi,” kata Eric Tagliacoz-zo, Direktur Cornell Modern Indo-nesia Project.

Kevin Fogg, calon doktor jurusan sejarah di Yale,

membahas berkurangnya pengaruh bahasa Arab secara drastis terhadap bahasa Indonesia.

FO

T

O

-F

O

T

O

: VIC

T

ORIA

SID

JABA

T

(9)

60 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

Thomas Pepinsky, Associate Director of Cornell Modern Indonesia Project.

R

UANG di lantai tiga

ge-dung White Hall, Cornell University, Ithaca, New York, itu cukup lapang un-tuk sebuah ruang kerja. Luasnya se-kitar 6 x 8 meter, diisi sebuah meja kerja dan komputer. Sebuah rak gan-tung di dindingnya dipenuhi pelba-gai buku tentang Indonesia, Asia Tenggara, dan Islam, seperti Suhar-to: A Political Biography karya R.E. Elson, Southeast Asia in the New In-ternational Era karya Robert Day-ley, Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indo-nesia karya Sudarno Sumarto, dan

Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Su-harto Era karya Dirk Tomsa.

Di sepanjang sisi timur ruang yang menghadap ke jalan serta berkarpet-berdinding kuning muda ini terda-pat jendela. Sebuah miniatur becak, merah dan biru warnanya, ”parkir” di dekat jendela.

Di ruangan inilah Thomas Pepin-sky, Associate Director of Cornell Modern Indonesia Project, mem-bangun kembali kebesaran lemba-ga studi Indonesia yang pernah ber-jaya pada 1960-1970-an. Didirikan George McTurnan Kahin dan lima profesor lain pada 1950, semula lem-baga itu didanai Departemen Luar

Negeri Amerika Serikat untuk me-nyaingi Southeast Asia Program di Yale University. Lembaga yang kini sepenuhnya didanai Cornell ini me-nunjukkan peran pentingnya dalam sejarah ketika dua penelitinya, Bene-dict Anderson dan Ruth McVey, me-nerbitkan ”A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indone-sia”, atau dikenal sebagai Cornell Pa-per, yang kontroversial.

Lembaga ini sempat ”tidur” selama hampir satu dekade setelah Benedict Anderson dan James Siegel pensiun, dan mulai bangkit lagi pada 2009, yang dipelopori Pepinsky dan kole-ganya, Eric Tagliacozzo, yang kini menduduki kursi direktur lembaga tersebut.

”Kami merasa bahwa lembaga ini penting dan harus mereklaim kem-bali posisi Cornell University sebagai pelopor penelitian intelektual ten-tang studi Indonesia di luar Indo-nesia,” kata Pepinsky, penulis buku

Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes: Indone-sia and MalayIndone-sia in Comparative Perspective. Mereka tak punya kan-tor khusus. Sebanyak 15 peneliti be-kerja dari meja masing-masing dan berhubungan lewat surat elektronik 1-2 kali seminggu. ”Kalau perlu saja, baru kami berhubungan lewat

te-lepon,” kata dosen ilmu politik dan pemerintahan di Cornell itu. ”Yang kami mi liki hanyalah energi tual, semangat, dan keahlian intelek-tual.”

Produk yang paling bertahan dari lembaga ini adalah Indonesia Jour-nal, jurnal ilmiah enam bulanan yang memuat hasil penelitian, ko-mentar, dan resensi buku tentang Indonesia yang ditulis ahli dari se-luruh dunia, khususnya dari Cor-nell. Jurnal ini dibiayai Cornell seba-gai bagian dari Southeast Asia Prog-ram. Kini jurnal itu disunting Tagli-acozzo dan Joshua Barker dari Uni-versity of Toronto. ”Jurnal itu sudah diproduksi selama lebih dari 60 ta-hun. Jadi, ada uang yang cukup se-benarnya, karena kami mencetak le-bih dari jumlah pelanggan reguler kami,” ujar Tagliacozzo. Untuk pe-ngembangan, ia memperluas prog-ram pendidikan dan penelitian, yang kini tak hanya berfokus pada ranah humaniora, tapi juga sains, ling-kungan hidup, dan kelautan.

Gebrakan pertamanya adalah konferensi The State of Indonesian Studies pada April lalu, yang meng-hadirkan 18 ahli Indonesia dari selu-ruh dunia, termasuk Belanda, Aus-tralia, Jepang, dan Singapura. Me-reka membahas berbagai aspek per-kembangan Indonesia mutakhir, dari bahasa hingga politik.

Api semangat untuk menghidup-kan kembali lembaga ini diikuti de-ngan pendirian American Institute for Indonesian Studies, yang didanai Henry Luce Foundation dan Coun-cil of American Overseas Research Center serta Sampoerna Founda-tion. Sekretariatnya di kawasan Ca-sablanca, Jakarta, akan resmi dibu-ka pada 9 Januari 2012. Organisasi ini hanya terbuka untuk peneliti dari Indonesia dan Amerika. ”Untuk me-naikkan jumlah peneliti Indonesia dan Amerika serta membantu mere-ka mendapatmere-kan informasi dan kon-tak serta berinteraksi sesama pene-liti yang sedang mengerjakan riset,” kata Thomas Pepinsky.

Mencoba Bangkit dari Mati Suri

CORNELL MODERN INDONESIA PROJECT ADALAH PELOPOR STUDI

INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT. SEMPAT ”TIDUR” SELAMA SATU DEKADE.

Gedung White Hall, Cornell University, Ithaca, New York.

W

IK

IPED

IA

(10)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

J

ULI silam, James Bourk Hoesterey mengutarakan rencananya. Pada bulan mendatang, Agustus, ujar-nya, dia akan bertemu de-ngan orang-orang USAID-Indone-sia. Presiden Indonesia East Timor Studies Council Lake Forest College Chicago ini akan mendiskusikan pe-rihal potensi peneliti baru dan kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia. Selain itu, ”Mening-katkan daya tarik Indonesia di mata mahasiswa di universitas-universi-tas dan masyarakat Amerika pada umumnya,” kata Hoesterey.

Minat warga Amerika mempela-jari Indonesia memang sedang me-nukik. Penurunan tersebut mengun-dang keprihatinan sejumlah pihak, termasuk kampus-kampus yang me-miliki program Asia Tenggara, dan pemerintah Amerika sendiri. ”Penu-runan 40 persen arus siswa pendi-dikan tinggi Amerika-Indonesia da-lam 12 tahun terakhir cukup meng-ganggu,” demikian bunyi laporan misi pemimpin pendidikan tinggi Amerika ke Indonesia yang dikeluar-kan dua tahun silam. Laporan terse-but juga menyeterse-butkan sejumlah

re-komendasi untuk peningkatan ker-ja sama di sektor pendidikan tinggi yang berada di bawah program ke-mitraan komprehensif yang gencar dilaksanakan pemerintah Amerika Serikat belakangan ini.

Laporan tersebut menulis, seki-tar 12 tahun lalu mahasiswa Ame-rika yang belajar ke Indonesia se-banyak 213. Sedangkan dua tahun lalu hanya 130 orang. Lalu, tercatat 13 ribu mahasiswa Indonesia meng-ambil pendidikan jangka panjang di Amerika pada 1997. Dua tahun si-lam, angka itu turun hampir sepa-ruh, menjadi sekitar 7.500 orang.

Associate professor Departemen Studi Asia Selatan dan Tenggara Universitas California di Berkeley, Jeffrey Hadler, mengakui jumlah mahasiswanya yang mengambil stu-di tentang Indonesia menurun. Tapi, katanya, secara umum yang mempe-lajari Asia Tenggara terus meningkat setiap tahun.

Penurunan juga terlihat dari ke-las bahasa Indonesia di kampus ang-gota Consortium for the Teaching of Indonesia (COTI) yang menawar-kan kelas bahasa Indonesia untuk tingkat mahir setiap semester

atau-Turun dengan

Beragam Alasan

MINAT STUDI TENTANG INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT MENURUN.

SEJUMLAH LEMBAGA MENCOBA MENGEREKNYA KEMBALI.

Perpustakaan Kroch yang menyediakan data dan dokumentasi tentang Asia di Universitas Cornell. Mahasiswa tak lagi dipenuhi minat mengetahui Indonesia.

pun Southeast Asian Studies Sum-mer Institute (SEASSI), yang mena-warkan kelas bahasa Indonesia pada musim panas.

Menurut Presiden COTI yang juga pengajar bahasa dan budaya Asia Se-latan dan Tenggara Universitas Cali-fornia di Los Angeles, Juliana Wija-ya, dulu banyak peminat untuk ke-las-kelas di bawah COTI, yang biasa membawa siswanya belajar ke Indo-nesia. Sehingga, ujarnya, penyeleksi-an saat itu cukup berat. Kini keada-annya jauh berbeda. ”Saat ini hanya tercatat sekitar 20 pelamar,” kata-nya. Padahal, untuk itu semua, yang diterima per tahun 10-12 orang.

Koordinator Program Indonesia di SEASSI, Amelia Joan Liwe, menya-takan hal senada. Pada 1990-an, kata Amelia, banyak mahasiswa Ameri-ka berminat mengikuti pelajaran ba-hasa Indonesia pada SEASSI di Uni-versity of Wisconsin-Madison. ”Bisa mencapai lebih dari 50 orang,” kata-nya. Pada 2.000-an, angka tersebut menurun drastis. Menurut Amelia, sejak ia menjabat koordinator enam tahun silam, jumlahnya naik-turun. ”Tapi belum kembali pada dekade se-belum 2000.” Jumlah tertinggi yang tercatat selama Amelia menjadi ko-ordinator adalah pada 2007. Pada tahun itu jumlah mahasiswa setahun

(11)

20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 63

AMERIKA SERIKAT

capai jenjang S-3.

Kondisi seperti itulah yang mem-buat sejumlah pihak kini berupa-ya menaikkan minat para mahasis-wa Amerika untuk menengok kem-bali Indonesia. Caranya, antara lain, memperbaiki apa yang ada selama ini. SEASSI, misalnya, menyempur-nakan kurikulum dan kualitas peng-ajar studi tentang Indonesia. ”Antara lain dengan membuat program bela-jar dengan standar pendidikan dan metode pengajaran yang sangat baik dan bertanggung jawab,” kata Mary Jo Wilson.

Adapun Liddle mengingatkan akan janji Presiden Obama untuk meningkatkan penelitian tentang Asia Tenggara, terutama Indone-sia. Rencana tersebut masuk prog-ram kemitraan komprehensif Ame-rika-Indonesia, antara lain dengan cara meningkatkan jumlah peneri-ma beasiswa Fulbright. ”Hanya, saya tidak tahu realisasinya,” kata Liddle.

❖ ❖ ❖

SEJUMLAH universitas terus melakukan upaya agar studi Indone-sia tetap ada, diminati, dan ”hidup”. Harvard Kennedy School, misalnya, tahun lalu membuka Program In-donesia. Dengan dana US$ 10,5 juta dari Yayasan Rajawali, program In-donesia Harvard Kennedy School menitikberatkan pada pendidikan dan pembangunan kapasitas untuk mendukung pemerintahan yang de-mokratis dan pengembangan in-stitusional di Indonesia. Kennedy School inilah yang beberapa waktu lalu mengadakan kursus untuk ke-pala daerah baru terpilih di Indone-sia untuk belajar di sana.

Adapun cara yang dipakai para pengajar di Universitas Ohio ada-lah tetap terus-menerus membicara-kan masalah Indonesia. Liddle juga mendekatkan para mahasiswanya dengan Indonesia dengan cara mem-bawa mereka ke kampus-kampus di Indonesia, antara lain ke Universi-tas Gadjah Mada, Yogyakarta. ”Ta-hun ini, sayangnya, hanya sepuluh orang,” ujar Liddle. Ia berharap apa yang dilakukannya itu akan diikuti universitas-universitas lain di Ame-rika SeAme-rikat.

■ tercatat 31 orang. Tahun-tahun

ber-ikutnya menurun, dan tahun ini ter-catat hanya 16 mahasiswa.

Beragam alasan yang menjadi la-tar belakang turunnya jumlah ma-hasiswa itu. Juliana Wijaya dan Mary Jo Wilson—Koordinator Prog-ram SEASSI Universitas Wiscon-sin-Madison—menunjuk salah satu penyebabnya adalah mahasiswa le-bih tertarik mengambil bahasa asing yang menjadi tren saat ini, misalnya bahasa Cina atau Jepang.

Pengajar bahasa Indonesia di Uni-versitas Cornell, Jolanda Pandin, menambah alasan lain. Ia melihat, misalnya, masalah anggaran pendi-dikan dari pihak pemerintah Ameri-ka dan situasi keamanan Indonesia. Menurut dia, selama ini banyak ma-hasiswa Amerika bergantung pada dukungan dana pendidikan dari pe-merintah, atau institusinya, untuk mempelajari bahasa-bahasa asing yang tidak umum pada masyarakat Amerika.

Michael Buehler, asisten profesor Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University, menunjuk alas-an lain. ”Buat pemerintah Ameri-ka, Indonesia tidak terlalu penting lagi,” katanya. Sehingga, ujar Bueh-ler, dana yang dianggarkan pemerin-tah pun tidak begitu besar.

Pada 1960-an, ujar Buehler, pe-merintah Amerika menilai Indone-sia penting karena takut IndoneIndone-sia dikuasai dan menjadi komunis. Ke-tika itu ada konstelasi Perang Di-ngin, dan Partai Komunis Indone-sia merupakan partai komunis ter-kuat di dunia di luar Cina. ”Karena itu, mereka memberi cukup banyak uang untuk meneliti Indonesia,” ka-tanya. Menurut Buehler, Pusat Studi Indonesia di Cornell dan Northern Illinois University kala itu menda-pat pendanaan besar untuk mema-hami dinamika di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di luar itu semua, dalam lima belas tahun terakhir ini, ujar Buehler, ter-jadi peningkatan standar penelitian. Seorang profesor, misalnya, harus membandingkan dua negara atau le-bih. ”Kalau hanya berfokus pada In-donesia, Anda tidak akan mendapat banyak insentif dalam penelitian.”

William Liddle, Indonesianis yang juga pengajar Universitas Ohio, me-miliki pendapat berbeda. Menurut dia, sebenarnya selama ini tidak per-nah ada perhatian terhadap Indone-sia. Jadi, ujar Liddle, yang terjadi bu-kan penurunan. ”Mahasiswa yang mengambil kuliah saya dari awal sampai sekarang tetap sedikit,” kata pria yang telah mengajar tentang Asia Tenggara selama 40 tahun ini.

Seperti di kampus-kampus lain, mahasiswa di Universitas Ohio, ujar Liddle, lebih tertarik belajar tentang Cina, Jepang, ataupun Eropa. ”Indo-nesia terlalu jauh, kurang maju, dan tidak dikenal orang. Menurut Lid-dle, banyak mahasiswa S-1 Amerika tidak tahu di mana Indonesia. ”Apa-kah Indonesia bagian dari Bali?” kata Liddle mengutip pertanyaan se-jumlah mahasiswanya. Bahkan ada pula yang mengacaukannya dengan Indocina.

Liddle adalah salah satu Indone-sianis paling menonjol dari Negeri Abang Sam. Setelah lulus program doktor pada akhir 1960-an dengan mengambil studi tentang Indonesia, praktis sejak itu tidak ada lagi In-donesianis yang bersinar dari kam-pus Ohio ini. Hingga 1990-an hanya ada segelintir—benar-benar segelin-tir karena hanya satu atau dua—yang meneliti soal Indonesia hingga

men-VIC

T

ORIA

SID

JABA

T

(12)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

M

ICHAEL Buehler

berusia sembilan ta-hun ketika meng-ikuti bapak baptis-nya, seorang pega-wai di perusahaan susu Nestle, ber-mukim di Jakarta selama tiga tahun sejak 1985. Dia orang Swiss dan me-lihat Indonesia sebagai dunia yang jauh berbeda dengan kampung hala-mannya. Perbedaan itu makin ken-tara ketika dia melancong dari Flo-res sampai Aceh pada 1997.

Buehler tertarik terutama pada politik Indonesia. ”Di Swiss saya tak bisa merasakan politik lagi karena di sana sudah mapan,” kata pria yang pernah menjadi konsultan masalah pemerintahan, reformasi politik, dan strategi pemberantasan korupsi pada Asia Foundation, German Technical Cooperation, UNDP, dan Bank Du-nia itu.

Sebaliknya, dia melihat setumpuk masalah terpampang di Indonesia,

dari korupsi, partai politik, hingga Islam. Bagi guru besar madya di De-partemen Ilmu Politik Northern Il-linois University, Amerika Serikat, ini, hal seperti itu bagaikan labora-torium. ”Banyak pertanyaan yang menarik dan bergaya bagi ilmu poli-tik,” ujarnya.

Sehingga, ketika dia menyiap-kan disertasinya di London School of Economics and Political Science pada 2004, dia mencari topik ten-tang Indonesia yang paling penting dan aktual. Pilihannya jatuh pada masalah otonomi daerah dan pemi-lihan kepala daerah, yang melahir-kan disertasi ”Politics in Formation: An Analysis of the 2005 Direct Elec-tions of Local Government Heads in Indonesia”. Pengalamannya sela-ma penelitian itu membuatnya terus mengamati perkembangan daerah-daerah di Indonesia saat ini, terma-suk lahirnya peraturan daerah ber-basis syariah.

Buehler berada di barisan Indo-nesianis muda di Amerika Serikat masa kini. Umumnya para peneliti asing yang mengkaji Indonesia dike-lompokkan dalam tiga generasi. Ge-nerasi pertama adalah yang datang di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti George nan Kahin dan Clifford Geertz. Ge-nerasi kedua muncul di masa 1960-an, seperti Benedict Anderson, Wil-liam Liddle, Daniel S. Lev, dan Her-bert Feith. Generasi ketiga hadir di era 1970-an dan sesudahnya, seperti Robert W. Hefner dan Takashi Shi-raishi. Maka orang seperti Bueh-ler, yang datang ke Indonesia pada 1980-an ke atas, dapatlah kita ma-sukkan sebagai Indonesianis gene-rasi keempat.

Ada banyak ahli muda di Nege-ri Abang Sam daNege-ri generasi baru ini. Beberapa di antaranya adalah Tho-mas Pepinsky di Cornell University, Benjamin Smith di University of Flo-rida, Tuong Vu di University of Ore-gon, dan Dan Slater di University of Chicago, James Bourk Hoesterey di University of Michigan, Rachel Ri-naldo di University of Michigan, dan Jeffrey Hadler di University of Cali-fornia.

Beberapa peneliti itu mengenal Indonesia sejak belia, seperti James Bourk yang berdarmawisata ke Pa-pua saat masih berusia 19 tahun.

Generasi Keempat

dari Amerika

ADA KECENDERUNGAN PARA PENELITI MUDA DI AMERIKA SERIKAT UNTUK MENGKAJI ISLAM

DI INDONESIA. TERTARIK SEJAK USIA BELIA.

Michael Buehler.

IS

TIME

W

(13)

20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 65

AMERIKA SERIKAT

Eunsook Jung, guru besar madya di Fairfi eld University, mengikuti prog-ram pertukaran pelajar selama enam bulan di Yogyakarta pada 1995, saat masih mahasiswa tingkat sarjana di University of Korea. ”Saat itu rezim Soeharto masih berkuasa dan saya sempat berbicara dengan banyak mahasiswa yang menginginkan per-ubahan. Itu membuat saya benar-be-nar ingin belajar tentang Indonesia lebih jauh,” kata Jung.

Dia kemudian menulis tesis ten-tang gerakan perempuan Indone-sia. Karya ini diteruskannya dengan disertasi di University of Wisconsin tentang partisipasi politik tiga orga-nisasi Islam, yakni NU, Muhamma-diyah, dan Partai Keadilan Sejahtera. Perkenalan dapat pula melalui ja-lur pertukaran pelajar, seperti Ame-rican Field Service (AFS), yang diala-mi Jeffrey Hadler, guru besar madya di University of California, Berke-ley. Hadler tiba di Jakarta pada 1985 saat berusia 17 tahun dan bersekolah di SMA Negeri 3. Kebetulan bapak angkatnya orang Minang dan mem-buatnya tertarik pada budaya Suma-tera Barat. ”Percaya atau tidak, masa saya setahun di Indonesia itu be-nar-benar menanamkan benih pada saya. Saya sudah memikirkan buda-ya Indonesia,” kata Hadler, buda-yang ke-mudian menulis disertasi ”Places Like Home: Islam, Matriliny, and the History of Family in Minangka-bau”di Cornell University. Dia juga baru meluncurkan Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Is-lam, dan Kolonialisme di Minang-kabau, edisi bahasa Indonesia dari bukunya yang diterbitkan Freedom Institute, dan kini sedang meneliti sosok Nashar, pelukis asal Padang.

Bagi Rachel Rinaldo, guru besar madya di University of Virginia, per-kenalannya dengan Indonesia ada-lah sebuah kejutan budaya. Dia ting-gal pada sebuah keluarga di Malang selama setahun lewat program AFS. Saat itu Rachel baru berusia 17 ta-hun dan tak tahu banyak tentang In-donesia. Di kepalanya, gambaran negara Islam adalah Arab Saudi atau Iran dengan perempuan ber-burqa

dan tidak boleh keluar rumah. ”Sampai di Indonesia saya melihat Islam yang begitu berbeda. Saya

me-lihat perempuan berjalan ke sana-kemari dalam kota, berbelanja, be-kerja dengan banyak profesi, me-nyetir, bekerja di ladang padi,” kata Rachel, yang kemudian menulis di-sertasi tentang peran agama dalam mendorong perempuan tampil di ru-ang publik.

Tampaklah bahwa para peneliti ini memusatkan perhatiannya pada to-pik tertentu, seperti perempuan dan Islam. Aktualitas tema juga menjadi pertimbangan. Doreen Lee, guru be-sar madya di Northeastern Universi-ty, misalnya, tiga tahun lalu menulis disertasi di Cornell tentang gerakan mahasiswa 1998. Kini ia melanjut-kan penelitiannya tentang fenomena generasi muda Indonesia masa kini, khususnya kemunculan budaya vi-sual baru, seperti grafi ti. ”Saya baru memotret dan bertemu dengan para seniman grafi ti di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta,” kata perempuan yang fasih berbahasa Indonesia dan Mandarin ini.

Doreen mengakui adanya sema-cam tren dalam pilihan topik pene-litian, seperti budaya pop dan Islam. ”Islam terutama jadi topik pilihan setelah peristiwa 11 September,” ka-tanya.

Di bidang ilmu politik, topik pe-nelitian bergeser pada upaya un-tuk membandingkan dua negara atau lebih dengan penekanan pada studi kuantitatif. ”Tren ini dimulai kira-kira 15 tahun lalu. Perbanding-an itu harus dilakukPerbanding-an karena me-mang begitu prasyaratnya, sehing-ga studi khusus satu nesehing-gara, seper-ti yang dulu dilakukan banyak pe-neliti, kini tak dapat dilakukan lagi,”

kata Buehler.

Julie Chernov Hwang, guru besar madya di Goucher College, misal-nya, menulis disertasi tentang mo-bilisasi damai kaum muslim dengan membandingkan gerakan Islam di Indonesia, Malaysia, dan Turki. ”Po-litik Islam itu seksi. Tapi yang perta-ma-tama menarik dari politik Indo-nesia adalah dinamikanya. Indone-sia sangat dinamis, lebih dari semua negara di dunia,” kata Julie, yang kini sedang meneliti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pemba-ngunan, dan gerakan radikal di In-donesia.

Para peneliti ini rajin berkun-jung ke Indonesia dan menggali ba-nyak aspek. Kemunculan para Indo-nesianis generasi keempat ini mem-berikan harapan bahwa ranah ka-jian Indonesia tidaklah sepi pemi-nat. Namun hingga saat ini tampak-nya belum muncul suatu tesis atau karya dari tangan mereka yang be-nar-benar dapat membantu meme-takan macam apa masyarakat Indo-nesia, seperti struktur abangan-san-tri-priayi di masyarakat Jawa yang diperkenalkan Clifford Geertz mela-lui karya monumentalnya, The Reli-gion of Java.

Menurut Buehler, pencapaian Geertz itu sukar didapat para pene-liti sekarang, karena masyarakat In-donesia kini jauh lebih kompleks dan sedang dalam masa transisi. ”Dalam perubahan semacam ini, susah un-tuk melihat pola baru atau struktur dalamnya. Mungkin butuh sepuluh tahun lagi untuk bisa melihatnya,” katanya.

■ Kiri-kanan:

Rachel Rinaldo, guru besar madya di University of Virginia.

(14)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

J

AMES Bourk Hoesterey mu-lai jatuh hati pada Nusantara, 17 tahun silam. Usianya baru 19 tahun, baru semester per-tama di Marquette University, Ame-rika SeAme-rikat. Mendapat kesempat-an pelesir dua pekkesempat-an ke Papua bersa-ma serombongan bersa-mahasiswa lain, ia masuk lewat pelabuhan Biak. Ia lalu ke Jayapura, dan naik ke daerah pe-gunungan dekat Wamena untuk ber-temu dengan suku Dani.

”Saya melihat Indonesia dari tem-pat seperti Papua, temtem-pat transmig-ran Jawa dan banyak otransmig-rang asli. Ada yang sukses, ada yang menghadapi kesulitan,” kata Hoesterey, kini pe-neliti di Center for Southeast Asian Studies, University of Michigan, Amerika Serikat. Ia memberi kuli-ah tentang Islam dan budaya pop di Lake Forest College.

James muda langsung terpikat pada negeri ini. Ia memutuskan me-lanjutkan kuliah S-2 dan S-3 da-lam bidang antropologi budaya

un-’Intel CIA’

di Pesantren Aa Gym

JAMES B. HOESTEREY MERUPAKAN PERPADUAN PEMBUAT FILM DOKUMENTER DAN

PENELITI. DICURIGAI KETIKA MASUK PESANTREN.

tuk meneliti Indonesia. Untuk per-siapan, ia mengambil kursus baha-sa Indonesia di Cornell University, Falcon. Kesempatan kembali ke In-donesia datang pada 1998. Ia me-netap dua bulan di Sumatera Barat, meneliti budaya merantau masyara-kat Minang untuk tesis masternya di University of South Carolina. Sela-ma liSela-ma tahun sejak 2002, ia menja-di konsultan antropologi dalam be-berapa proyek pembuatan fi lm do-kumenter Discovery Channel. Pada 2002, dia ikut membuat The Chief who Speaks with God, fi lm tentang agama suku Bunan Mee di Papua.

Pada 2003, dia terlibat lagi dalam pembuatan fi lm dokumenter Planes, Pigs, and the Price of Brides, tentang cara suku Migani bergotong-royong membangun lapangan terbang pe-rintis. ”Tempat itu tidak jauh dari tambang Freeport. Kalau tidak salah kira-kira sejauh 20 menit,” katanya.

Ia juga terlibat dalam pembuatan fi lm lain tentang Papua, Gentle

Can-nibals, tentang upacara berburu ke-pala di suku Korowai. Lalu Living with the Kombai & Living with the Mek, tentang kehidupan suku Mek. Terakhir, pada 2009, dia terlibat pembuatan fi lm untuk seri Human Planet untuk BBC, yang mengangkat kehidupan suku Korowai. Film ini masuk unggulan penerima BAFTA Award, penghargaan fi lm setara de-ngan Oscar di Inggris.

Menjelang akhir program PhD-nya pada Departemen Antropologi Uni-versity of Wisconsin-Madison, per-hatian Hoesterey beralih dari Papua ke Bandung, dari masalah kesukuan ke Islam. Saat itu banyak muncul dai baru—seperti Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym dan Yusuf Mansyur— yang menggunakan metode lebih se-gar dan populer dalam berdakwah.

Dia lalu mempelajari Manajemen Qalbu milik Aa Gym. Ia rajin men-jumpai para dai kondang, terma-suk Muhammad Arif Ilham, Jefri al-Buchori, dan penyanyi Opick. Para pengikut dai mengangkat alis me-lihat Hoesterey masuk komunitas mereka. Ketika dua tahun berada di lingkungan Pesantren Daarut Tau-hid, Jalan Gegerkalong Girang, Ban-dung, ia disambut dengan baik tapi dicurigai sebagai mata-mata. Me-nurut Hoesterey, pengasuh Daarut Tauhid berkomentar enteng. ”Ka-lau Jim (James) intel CIA, tidak apa-apa. Nanti kalau pulang ke Amerika, dia akan menjelaskan kepada peme-rintah Amerika dengan informasi le-bih lengkap dan lele-bih benar tentang Islam di Indonesia.”

Penelitiannya di Bandung meng-hasilkan disertasi ”Sufi s and Self-help Gurus: Islamic Psychology, Re-ligious Authority, and Muslim Sub-jectivity in Contemporary Indone-sia”. Dia melihat peran ulama seper-ti Aa Gym sebagai ”penolong umat Islam” untuk mengerti tidak hanya soal fi kih, tapi juga peran penting bu-daya populer. Pada Yusuf Mansyur dan pesantren Wisata Hati yang di-kelolanya, Hoesterey mempelajari ajaran yang menekankan kekuatan bersedekah. Orang-orang ini, bagi Hoesterey, menjadi fi gur baru yang punya peran penting dalam kebang-kitan dunia Islam di Indonesia.

■ James Bourk

Hoesterey bersama Abdullah Gymnastiar.

IS

TIME

W

A

(15)

68 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

kepemilikan lahan.” Dia juga mengunjungi tem-pat pengusaha batik dan mempelajari sejarah ke-luarga mereka untuk me-ngetahui pentingnya in-dustri batik dalam seja-rah Surakarta.

Singkat kata, Takashi mempresentasikan di-sertasinya berjudul ”Is-lam dan Komunisme” pada Desember 1983. Dua tahun berikutnya,

dia diajak bergabung di Cornell se-bagai asisten profesor sejarah. Un-tuk menempati posisi itu, Takashi harus melengkapi disertasinya dan mempublikasikannya dalam bentuk buku. Pada 1990, An Age in Motion

dipublikasikan. Tujuh tahun kemu-dian, barulah buku berjudul Zaman Bergerak terbit di Indonesia.

Ketua Komisi Ilmu Sosial Aka-demi Ilmu Pengetahuan Indonesia Taufi k Abdullah menilai buku

Ta-kashi termasuk pen-ting untuk memahami keberagaman Islam. ”Ada berbagai macam kelompok Islam,” ujar-nya.

❖ ❖ ❖

C E N D E K I AWA N Cornell—mereka yang menempuh pendidik-an atau menjadi pene-liti di sana—memang cukup banyak meng-hasilkan karya soal Indonesia. Bebe-rapa di antaranya bahkan bisa dise-but sebagai pelopor. Intelektual Da-niel Dhakidae dan sejarawan Tau-fi k Abdullah menilai Indonesianis asal Cornell yang paling senior ada-lah George McTurnan Kahin. Kar-ya monumentalnKar-ya berjudul Nasio-nalisme dan Revolusi di Indonesia, dipublikasikan pertama pada 1952, menyoroti perjuangan pra dan pas-ca-kemerdekaan.

T

IGA puluh empat tahun si-lam, pemuda Jepang itu tiba di Indonesia. Baru 29 tahun usianya saat itu. Tapi Takashi Shiraishi su-dah menjadi kandidat doktor Uni-versitas Cornell, New York, Amerika Serikat. Tujuannya ke negeri ini je-las: mencari bahan penyusunan di-sertasinya.

Takashi—memperoleh gelar mas-ter hubungan inmas-ternasional dari Universitas Tokyo pada 1974—ber-minat meneliti sejarah Indonesia pe-riode awal 1900-an hingga 1920-an. ”Sesuatu yang revolusioner terjadi di Indonesia pada masa itu,” tutur Ta-kashi kepada Tempo.

Menurut dia, nasionalisme Indo-nesia lahir pada masa itu. ”Politik modern hadir di Indonesia.” Renca-nanya, Takashi berfokus pada perge-rakan Islam dan komunis pada masa itu. Tak main-main persiapannya. Sebelum ke Nusantara, dia mempe-lajari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Sejak 1977 hingga awal 1980-an, selama beberapa pekan Takashi mengunjungi Jakarta, Solo, dan Yogyakarta. Riset dan wawancara dilakukannya. Dia juga ingin me-ngenal sosok Haji Misbach, tokoh Is-lam komunis di Surakarta. Meleng-kapi data, Takashi juga meneliti ar-sip di Den Haag, Belanda. Di situ, dia mengumpulkan hampir semua salinan dokumen kolonial Belanda tentang Jawa Tengah, khususnya Se-marang dan Solo, serta Yogyakarta pada periode yang ia teliti.

Takashi menginap tiga bulan di sebuah desa dekat Kecamatan De-langgu, Klaten, Jawa Tengah. Di sini dia mempelajari ekonomi dan poli-tik pedesaan. ”Sangat berguna un-tuk memahami pentingnya sistem

Tak Luput

dari Kritik

KARYA PARA INDONESIANIS AMERIKA DINILAI

MENJADI PELOPOR PENELITIAN SOAL NEGERI INI.

BEBERAPA DINILAI TAK LAGI RELEVAN.

An Age in Motion, Takashi Shiraishi

RU

M

G

A

P

R

E

S

(16)

AMERIKA SERIKAT

Menurut Daniel, karya Kahin menjadi penting karena memelopori penelitian dari kalangan non-Belan-da-Anglo-Saxon. Sebelumnya, pene-litian soal Indonesia lebih menjadi Indolog, kebanyakan dilakukan oleh peneliti dari Leiden, Belanda, de-ngan pendekatan etnografi dan geo-grafi , yang bertujuan menguasai ta-nah jajahan. ”George Kahin tak me-mandang Indonesia sebagai Hindia Belanda, melainkan sebagai Indone-sia,” kata Daniel.

Keunggulan Kahin—meninggal Januari 2000 pada usia 82 tahun— terletak pada kondisi faktual yang dilihat langsung. Kahin hadir seki-tar setahun setelah Indonesia mer-deka. ”Dia melakukan penelitian di tengah revolusi,” kata Daniel. Kar-ya Kahin inilah Kar-yang, menurut dia, menginspirasi Indonesianis Cor-nell lain, semacam Benedict Richard O’Gorman Anderson.

Daniel dan Taufi k Abdullah me-nilai karya Ben Anderson, kini 75 ta-hun, yang cukup monumental seba-gai Indonesianis adalah Java in a

Time of Revolution. Menurut Taufi k, buku yang merupakan olahan dari disertasi Ben bertajuk ”Pemuda Re-volution”ini menyoroti peran pemu-da pemu-dalam revolusi.

Meski demikian, keduanya meng-akui karya Ben yang cukup fenome-nal adalah Imagined Communities. ”Karya ini membuatnya lebih terke-nal ketimbang Java in a Time of Re-volution,” kata Taufi k. Musababnya, Ben menggabungkan penelitiannya soal nasionalisme di Indonesia de-ngan nasionalisme di sejumlah ne-gara lain. Dari studinya itulah Ben kemudian membuat teori soal nasio-nalisme. ”Melalui buku ini, Ben bisa disebut ahli sosial,” ujar Daniel.

Indonesianis Amerika yang juga dianggap menjadi pelopor adalah Clifford Geertz, meninggal pada usia 80 tahun pada 2006. Menurut Tau-fi k, karya monumental Geertz

an-tara lain The Religion of Java, yang diterjemahkan menjadi Abangan, Santri, Priyayi. Karya ini mengung-kap persoalan kehidupan beraga-ma ala orang Jawa. ”Tak mungkin berbicara soal Jawa kalau tak mem-baca buku ini,” kata Taufi k. Daniel dan Taufi k juga mengatakan Geertz membangun teori dari hasil peneliti-annya di negeri ini.

Meski bisa dianggap monumental, karya para Indonesianis asing tak lu-put dari kritik. Peneliti Utama Lem-baga Ilmu Pengetahuan Indone-sia Bidang Politik yang belum lama pensiun, Mochtar Pabottingi, me-nilai Imagined Communities karya Ben Anderson tak luput dari kesa-lahan konsep soal komunitas berba-yang. Menurut Mochtar, komunitas berbayang bukan mengacu pada na-tion seperti diungkap Ben, melain-kan pada nasionalisme. ”Tak mung-kin nation yang sudah terwujud di-sebut sebagai berbayang lagi. Nation

itu nyata, nasionalismelah yang ber-bayang,” kata Mochtar.

Dari tinjauan fi losofi s pun, teo-ri Ben juga dipandang lemah. Misal-nya, ujar Mochtar, Ben mengungkap-kan semua komunitas pada dasarnya berbayang, bahkan pada hubungan dua orang. ”Itu nonsense. Hubungan kita dengan orang tua di rumah ma-sak dibayangkan? Itu nyata.”

Mochtar juga mengkritik pende-katan Clifford Geertz yang hanya bertolak dari monokultur. Disebut-kan Geertz, ada semacam prototipe kebudayaan yang mengakibatkan si-fatnya tak berubah. Mochtar menilai kebudayaan pada dasarnya tak statis dan terus berubah. ”Tak pernah ada

blueprint budaya,” katanya.

Taufi k Abdullah juga menilai teori yang dikemukakan Geertz dalam The Religion of Java juga agak mengabur belakangan ini. Musababnya, terjadi perubahan dan pencampuran anta-ra kaum priayi, abangan, dan santri. Ia mencontohkan, dulu tak banyak orang Jawa berjilbab. ”Sekarang su-dah banyak yang berjilbab.”

Meski demikian, Taufi k mengang-gap karya yang dibangun para In-donesianis itu masih bisa mewakili kondisi faktual. ”Yang jelas, karya mereka sangat relevan pada masa-nya.” ■

RU

L

LY

K

E

SU

M

A

Imagined Communities, Ben Anderson

Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, George McT. Kahin

Clifford Geertz Benedict Anderson

TE

M

P

O

/

R

U

LL

Y

K

E

(17)

70 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

S

ETELAH mengarungi laut-an selama 28 hari denglaut-an kapal barang berbendera Denmark, Daniel Saul Lev bersama istrinya, Arlene O. Lev, menginjakkan kaki di Tanjung Priok, Jakarta. ”Seketika dia jatuh cinta pada Indonesia,” kata Arlene mengenang pengalamannya perta-ma kali tiba di Jakarta pada 1959.

Ketika itu, Dan Lev berumur 26 tahun dan Arlene 22 tahun. Mereka baru setahun menikah. Lev datang ke Indonesia untuk penelitian diser-tasinya di Universitas Cornell, Itha-ca, Amerika Serikat. Sebelum tiba di Jakarta, ia hanya mengenal Indo-nesia dari buku, cerita sahabat In-donesianya, dan, tentu saja, George McTurnan Kahin, sang guru.

Pada suatu hari pada 1955, me-nurut Arlene, Lev bertemu dengan George Kahin. Entah apa yang me-reka bicarakan. Tapi, sejak bertemu dengan pendiri The Cornell Modern Indonesia Project itu, minat Lev

ter-hadap Indonesia langsung melejit. Semula Lev mendalami studi hukum internasional, tapi kemudian ban-ting setir ke ilmu politik. ”Dia pikir ini proyek hebat dan penting untuk membantu negara Indonesia yang belum lama berdiri,” kata Arlene.

Sejak itulah Dan Lev tenggelam dalam tumpukan teks tentang Indo-nesia di 102 West Avenue—markas The Cornell Modern Indonesia Pro-ject. Di sana, lelaki kelahiran Ohio, 23 Oktober, 1933, itu kemudian me-ngenal sahabat-sahabat Indonesia pertamanya, antara lain Idrus Na-sir ”Didi” Djajadiningrat, Selo Soe-mardjan, Sudjatmoko, serta Umar Kayam dan istrinya, Yus Kayam. Ke-lak, hubungan Lev dan Arlene de-ngan keluarga Umar Kayam sudah seperti saudara.

Tiga tahun di Jakarta, Lev dan Ar-lene Lev berpindah-pindah kediam-an. Mulanya mereka tinggal bersama keluarga Didi Djajadiningrat, kemu-dian di rumah Besar

Martokoesoe-mo, advokat pertama Indonesia, di bilangan Menteng, sebelum akhir-nya menetap di sebuah kontrakan di Kebayoran Baru. Kelak, periode pertamanya di Indonesia itu mela-hirkan The Transition to Guided De-mocracy: Indonesian Politics 1957-1959, yang menjadi buku klasik dan banyak dirujuk orang.

Berulang kali datang ke Indone-sia, Lev tak melulu menulis dan me-neliti. Ia juga kerap bertukar pikiran dengan pemuda dan kaum cendekia Jakarta. Di sini ia berkenalan antara lain dengan Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien. Rumah Buyung di Menteng ketika itu selalu menja-di tempat menja-diskusi politik dan hukum yang gayeng. Bahkan, menurut Bu-yung suatu kali, dari diskusi-diskusi itulah tercetus gagasan pembentuk-an Lembaga Bpembentuk-antupembentuk-an Hukum.

Lev memang tak cuma piawai da-lam studi ilmu politik. Ia juga fasih berbicara tentang hukum Indone-sia. Setelah menulis The Transition, ia menulis Law and Politics in Indo-nesia serta Islamic Courts in Indone-sia. Tak mengherankan jika ia akrab dengan banyak sarjana hukum Indo-nesia. Pada awalnya, Lev mengenal advokat semacam Besar, Yap, dan Buyung. Berikutnya, ia akrab pula dengan Todung Mulya Lubis, Mar-sillam Simanjuntak, Erman Raja-gukguk, dan Arief Tarunakarya Su-rowidjojo.

Belakangan, ketika berdisku-si, kata Arief Surowidjojo, Lev ke-rap berseloroh. ”Kalian ini penge-cut. Kalau mau perubahan, terjun-lah ke politik,” kata Arief menirukan Lev. Menurut pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan itu, Dan Lev memang berharap anak-anak muda

Serantang Rendang

di Bandara Seattle

SEPARUH HIDUP DANIEL LEV TERTAMBAT DI INDONESIA. SANGAT MENGAGUMI

YAP THIAM HIEN.

Pengamat Indonesia asal Amerika, Daniel S. Lev (kanan atas). Prof Daniel Lev (tengah) bersama rekan, Jakarta (1971).

TE

M

P

O

/ALI

(18)

AMERIKA SERIKAT

bisa mengubah keadaan. Itu sebab-nya, saban datang ke Jakarta, Lev senantiasa mampir ke kantor LBH atau Pusat Studi Hukum, serta ber-keliling ke banyak daerah untuk me-lihat perubahan.

Pergaulannya dengan para akti-vis hukum itu tak menjauhkan Lev dari orang-orang jelata di sekeliling-nya. Menurut Arief, Lev pernah me-modali seorang tukang sate di Pasar Santa untuk berdagang. Ia juga ber-kawan dengan seorang dokter teli-nga di Pasar Senen. ”Dia terkesan

Tak ketinggalan pula soal makan-an. Menurut Arlene, suaminya amat menyukai makanan Indonesia yang pedas-pedas. ”Meski dia juga suka gudeg Yogya,” kata perempuan 74 ta-hun ini. Arief Surowidjojo juga pu-nya kenangan soal kegemaran Lev yang ini. Tiga bulan sebelum Lev wa-fat, Arief tinggal di rumahnya sela-ma seminggu. Selasela-ma itu, Arief me-masakkan makan siang menu Indo-nesia untuk Lev. ”Di tengah sakitnya ketika itu, Lev tampak bahagia,” ujar Arief.

ja diisolasi khusus tempat Lev mero-kok. Ia kerap mengajak Arief dan ka-wan-kawan berdiskusi sembari me-rokok di sini. Lev memang pecandu berat kretek—bukan rokok putih— dan kopi. Sepeninggal Lev, kini, ru-angan tersebut jadi musala.

Barangkali gara-gara rokok pula ia divonis kanker paru-paru. Tapi, sebelum wafat pada 2006, gara-gara sakitnya itu, Lev menghabiskan wak-tu menulis biografi Yap Thiam Hien. Buku ini obsesi lamanya. Lev kenal Yap luar-dalam dan amat menga-gumi perjuangannya. ”Pengabdian-nya pada keadilan dan kesediaan”Pengabdian-nya mengorbankan diri sendiri berpe-ngaruh kepada siapa pun yang di de-katnya,” tulis Lev suatu kali. ”Mere-ka seperti ”Mere-ka”Mere-kak-adik,” ”Mere-kata Arlene.

Buku yang kelak dinamai No Con-cession: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesia Human Rights Lawyer

itu hampir rampung ketika Lev me-nutup mata. Arlene dan Sebastian Pompe, sarjana hukum asal Belanda yang lama tinggal di Indonesia, me-lengkapi bab yang tercecer. Sedang-kan Benedict R.O’G. Anderson me-nyempurnakannya dengan memberi kata pengantar. ”Saya cuma bikin in-troduction yang rada panjang,” kata Ben merendah.

Ben Anderson pula, di antara para sahabat Indonesianisnya, yang men-dampingi saat-saat terakhir Lev. Ke-duanya memang bersahabat sejak sama-sama aktif di The Cornell Mo-dern Indonesia Project. Ketika Ben datang ke Indonesia pada awal 1960-an, adalah Lev yang mencarikannya tempat indekos dan menitipkannya di rumah keluarga Mohammad Hu-sein Tirtaamidjaja, anggota Mahka-mah Agung, ayah desainer Nusjir-wan Tirtaamidjaja alias INusjir-wan Tirta.

Mendengar Lev koma, Ben, yang sedang berada di Afrika Selatan, langsung terbang ke Seattle. Begitu masuk ke ruangan tempat Lev terba-ring di rumah sakit Seattle, atas usul Arlene, Ben menggenggam tangan Lev dan berbisik ke telinganya. ”Aku berjanji akan merampungkan buku-mu,” kata Ben. Seolah-olah tinggal menunggu Ben, dua puluh menit ke-mudian, Lev menghadap Yang Ma-hakuasa.

■ Daniel S. Lev

berbicara dengan Ong Hok Ham, Jakarta, 1984.

gara-gara, setelah berobat dua-tiga kali ke sana, telinganya sembuh to-tal,” kata Arief. Padahal dokter Ame-rika tak bisa menyembuhkan gang-guan pendengarannya.

Indonesia rupanya betul-betul meninggalkan kesan mendalam di hati Dan Lev. Rumah mungilnya di Seattle, tempat ia menghabiskan hari-hari terakhirnya, dipenuhi ben-da-benda dari Indonesia. ”Taplak batik, perlengkapan rumah, bah-kan koleksi musiknya,” kata Arief, yang mengenal Lev sejak 1983 sete-lah dipertemukan oleh Buyung. Se-tiap kali ada simposium atau semi-nar tentang Indonesia di Universi-ty of Washington, pastilah rumah-nya menjadi pusat kegiatan. Seper-ti saat diselenggarakannya Simpo-sium Gender Indonesia, ketika ber-bagai peneliti, wartawan, dan akti-vis berkumpul di Seattle, antara lain Ben Anderson, Dede Oetomo, dan Sita Kayam, maka rumah Lev dan Arlene menjadi tempat reriungan.

Yang lucu, kata Arief, sepulang dari Indonesia, Lev pernah menan-daskan serantang rendang sekaligus di Bandara Tacoma Seattle. Gara-garanya, petugas melarang sang pro-fesor membawa rendang melewati pintu pemeriksaan. ”Daripada disi-ta, dia habiskan rendangnya di de-pan petugas.”

Sebelum wafat, Lev mewariskan sebagian koleksi bukunya kepada Pusat Studi Hukum dan Kebijak-an. Berkardus-kardus buku ia kirim dari Seattle. ”Lev sendiri yang me-milih buku-bukunya,” kata Arlene. Di perpustakaan Pusat Studi, buku-buku Lev bersanding dengan belas-an ribu buku lain. Untuk mengenbelas-ang jasa dan pemikiran Lev, perpusta-kaan ini dinamai Daniel S. Lev Law Library.

(19)

senga-72 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

Buku-buku

’Sakti’

Cornell,

Harvard,

dan Ohio

1. CORNELL UNIVERSITY, ITHACA, NEW YORK:

Melalui Cornell Modern Indonesia Project, yang dirintis George McTurnan Kahin, kampus ini meng-hasilkan Indonesianis ternama, seperti Benedict Richard O’Gorman Anderson, Ruth McVey, Her-bert Feith, Daniel S. Lev, dan Harold Crouch. Untuk lebih menyemai pemikiran tentang Indonesia lintas benua, dipublikasikan juga majalah Indonesia. Para Indonesianis Cornell, menurut salah satu lulusan-nya, Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Daniel Dhakidae, adalah simpatisan perjuangan dan demokrasi nesia karena, ”Mereka ikut menentukan arah Indo-nesia.”

2. HARVARD UNIVERSITY:

Profesornya, Clifford Geertz, adalah antropolog yang meneliti tentang per-tanian di Pulau Jawa dan Bali. Dia mendeskripsikan agama di Jawa serta mengecilnya ” jatah” tanah pertanian, yang dibagi-bagi di antara kerabat di masyarakat Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. ”Me-narik buat Barat karena, dalam teori modernisasi, mestinya tanah bertam-bah besar,” kata Rizal Mallarangeng, yang menjadi murid William Liddle di Ohio State University. William, menurut Celi—panggilan Rizal—pernah be-lajar kepada Geertz. Oleh Daniel Dhakidae, Geertz dan Kahin dianggap se-bagai dua perintis studi tentang Indonesia modern. Harvard juga sering bekerja sama dengan Universitas Berkeley, yang menghasilkan ekonom Indo-nesia yang laku pada masa Orde Baru.

3. OHIO STATE UNIVERSITY:

(20)

AMERIKA SERIKAT

3. JAVA IN TIME OF REVOLUTION: OCCUPATION AND RESISTANCE 1944-1946

Karya Benedict Richard O’Gorman Anderson ini, menurut Daniel Dhakidae, di lingkungan Department of Government Cornell Uni-versity, merupakan karya tentang Indonesia yang antitesis Kahin. Menjelaskan perlawanan Indonesia terhadap Belanda bukan dari kalangan elite, seperti Sukarno-Hatta dan Sjahrir, tapi karena ge-rakan pemuda. Ben juga menulis tentang simbol-simbol partai dan kekuasaan yang dipakai elite Indonesia kala itu dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, yang diterbit-kan Cornell pada 1990. Bersama Ruth McVey, dia menyelidiki lang-sung peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam A Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia. Tulisan itu sebetul-nya baru sebuah rangkuman yang disebar ke beberapa akademikus Amerika sahabat keduanya, tapi bocor ke Indonesia pada masa Soe-harto. Akibatnya, sejak 1973, dia dicekal masuk Indonesia. Cekalnya berakhir pada 1999.

Imagined Communities: Refl ections on the Origin and Spread of Nationalism, terbit pada 1983, adalah karya Ben tentang gerakan nasionalisme di seantero dunia. Ben mengambil contoh di Amerika Utara dan Prancis, yang mengalami revolusi pembebasan oleh kesa-daran masyarakat yang menentang monarki.

2. THE RELIGION OF

JAVA (1960)

Sampai kini masih di-rujuk pemerhati Indo-nesia yang ingin melihat struktur budaya sampai perilaku politik Indone-sia. Penulisnya, antropo-log Clifford Geertz, yang meneliti masyarakat Jawa dan Bali selama puluh-an tahun, menilai peri-laku ini bisa dibagi men-jadi tiga kelompok

ma-syarakat: priayi, santri, dan abangan. Geertz juga menghasilkan Agricultu-ral Involution: The Pro-cess of Ecological Change in Indonesia, yang men-jadi pedoman melihat perkembangan ekonomi masyarakat dalam mo-dernisasi. Alih-alih ber-tambah luas seiring de-ngan pertumbuhan jum-lah penduduk, di Indone-sia, sawah sepetak menja-di petak-petak lebih kecil untuk rezeki masing-ma-sing keluarga.

Karya Monumental

1. NATIONALISM AND REVOLUTION IN INDONESIA (1951)

Buku ini adalah hasil petualangan George McTurnan Kahin bersama elite politik Indonesia, seperti Natsir, Sjahrir, Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak 1946. Kahin ada-lah serdadu wajib militer yang jatuh cinta pada Indonesia ketika tergabung dalam pasukan terjun payung saat pendudukan Jepang. Kahin ”ikut” berperang melawan Belanda dan merekam semua kejadian itu dalam catat-annya, yang kemudian menjadi disertasi dan diterbitkan menjadi buku tersebut. Selain itu, dia menulis untuk tesisnya di Stanford University tentang peran kalangan etnis Tionghoa di Indonesia dan terbit menjadi buku

Political Thinking of the Indonesian Chinese pada 1946.

4. THE RISE OF INDONESIAN

COMMUNISM

Buku kar-ya Ruth McVey ini dianggap sebagai empu tentang komu-nisme di In-donesia dan Asia Tenggara. Maklum, Asia Tenggara saat itu

mengha-dapi ancaman ”merah” dari Cina, Vietnam, dan Kamboja, terma-suk Indonesia. Dia menjelaskan kemunculan Partai Komunis In-donesia pada 1914 hingga mere-dup setelah memberontak terha-dap Belanda pada 1926.

5. THE TRANSITION TO GUIDED

DEMOCRACY: INDONESIAN POLITICS

1957-1959

Buku terbitan Cornell ini mengung-kap persiapan dan alasan Sukarno me-milih Demokrasi Terpimpin setelah De-mokrasi Parlementer. Karya Daniel S. Lev ini menjadi rujukan tentang pro-ses politik sebelum dekrit presiden dike-luarkan Sukarno.

6. ETHNICITY, PARTY, AND NATIONAL

INTEGRATION: AN INDONESIAN CASE

STUDY

(21)

20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 75

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

AUSTRALIA

Sepanjang 1960 hingga 1990-an, Australia melahirkan Indonesianis andal dan terkemuka.

Dimotori Herbert Feith, studi tentang Indonesia berkembang pesat di kampus-kampus Negeri

Kanguru. Sejumlah kajian mengenai Indonesia kemudian menjadi karya monumental dan

sangat berpengaruh dalam dunia ilmiah.

Namun zaman keemasan Indonesianis meredup seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru,

yang diikuti krisis ekonomi dan gejolak sosial-politik. Minat pelajar dan mahasiswa Australia

belajar bahasa dan kajian Indonesia anjlok. Kebijakan pemerintah Australia membatasi

bantuan dana untuk pengajaran bahasa-bahasa Asia, termasuk Indonesia, ikut menyumbang

kian turunnya minat studi tentang Indonesia. Bahkan, di sejumlah kampus, program studi

Indonesia mati suri.

Merindukan Zaman

Keemasan Herb Feith

Herbert Feith di Purworejo, Jawa Tengah, 1953.

(22)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

la Program Studi Indonesia di Uni-versitas Monash, Paul Thomas, data komputer di perpustakaan kam-pus itu mencatat, hasil riset dan ka-jian mengenai Indonesia dari semua kampus di Australia lebih dari 4.500 buah—meski tak semuanya karya mahasiswa Australia.

Ambil contoh buku karya Feith,

The Decline of Constitutional De-mocracy in Indonesia. Buku terbit-an 1962 itu merupakterbit-an hasil peneli-tian intensif Feith tentang perkem-bangan politik, ekonomi, dan sosi-al di Indonesia pasca-Perang Dunia II. Buku ini membuktikan perhati-an Feith terhadap sistem politik dperhati-an demokrasi di Indonesia serta perda-maian dunia.

Buku karya John Legge, kolega Herb Feith, berjudul Sukarno: A Po-litical Biography menjadi buku yang populer sekaligus penting. Buku ini hasil pengamatan Legge tentang pe-mimpin karismatis Sukarno yang memprakarsai negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika untuk bersatu di bawah semboyan ”The New Emerging Forces” demi meng-imbangi dua kekuatan adikuasa: Blok Barat dan Timur. Buku yang di-terbitkan pada 1972 itu dipandang telah memberikan kontribusi besar terhadap ilmu sosial dan sejarah In-donesia.

Harold Crouch, dari The Austra-lian National University, sudah tak asing lagi. Karyanya, The Army and Politics in Indonesia, yang diterbit-kan Cornell University Press, Ameri-ka, pada 1978, membedah peran mi-liter dalam kehidupan politik Indo-nesia.

Lalu buku Keith Foulcher yang

te-Pasang-Surut

Indonesianis

Aussie

AUSTRALIA PERNAH MELAHIRKAN BANYAK INDONESIANIS TERKEMUKA.

JUMLAHNYA MENURUN AKIBAT PERUBAHAN PRIORITAS PEMERINTAH, DAN

INDONESIA DIANGGAP BUKAN LAGI KAJIAN YANG ”SEKSI”.

M

EMANDANG

Men-zies Building yang menjulang di kam-pus kam-pusat Universi-tas Monash di Clay-ton, Victoria, Australia, waktu sera-sa mundur ke puluhan tahun silam. Berdiri sejak 1963, gedung berlantai 11 yang menjadi tetenger Universitas Monash itu menjadi saksi bisu lahir-nya para Indonesianis, pemikir atau ahli tentang Indonesia, dari Negeri Kanguru.

Di salah satu universitas terbesar di Australia itulah Herbert Feith dan ka-wan-kawan merintis pendirian pu-sat studi Indonesia. Dengan sema-ngat menyala-nyala, ketiga cendekia-wan itu berhasil mengembangkan pu-sat studi tersebut. Menempati South Wing lantai tiga Menzies Building, pusat studi itu kemudian menjadi sa-ngat terkenal dan diperhitungkan.

Boleh dibilang Herb Feith-lah mo-tornya. Dia bisa disejajarkan dengan George McT. Kahin dari Amerika Se-rikat. Sementara Kahin membangun studi Indonesia di Universitas Cornell dan melahirkan Ben Anderson, Da-niel S. Lev, serta sejumlah Indonesia-nis lain, Feith membangun studi In-donesia di Monash dan melahirkan Lance Castles serta sejumlah nama penting lain.

Sepanjang 1960-an hingga awal 1990-an, studi Indonesia di Universi-tas Monash khususnya dan Australia umumnya mengalami masa keemas-an. Diskusi, seminar, workshop, dan pertunjukan kesenian Indonesia acap digelar di kampus-kampus di Aus-tralia. Banyak tamu seniman, cen-dekiawan, dan pakar dari Indonesia berkunjung ke sana. Menurut

Kepa-lah diterjemahkan ke dalam baha-sa Indonesia dengan judul Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasional-isme di Indonesia 1933-1942. Buku yang merupakan disertasi Foulcher di Universitas Sydney, Australia, pada 1974 itu menjelaskan keduduk-an politik Pujkeduduk-angga Baru—salah satu angkatan dalam kesusastraan Indo-nesia—dalam peta sejarah perjuang-an pembentukperjuang-an konsep kebudayaperjuang-an Indonesia.

Media, Culture, and Politics in In-donesia atau dalam versi Indonesia berjudul Media, Budaya, dan Politik

John Legge, pengarang buku Sukarno: A Political Biography.

BE

L

A

K

U

S

U

(23)

20 NOVEMBER 2011 TEMPO | 77

AUSTRALIA

Change in Indonesia. Buku yang me-rupakan tesis dosen The Australian National University itu menjabarkan secara luas bagaimana rakyat, yang mempunyai iktikad besar mengubah sistem politik yang mandek, akhir-nya secara kolektif bagai gelombang mampu mengakhiri rezim pemerin-tah Soeharto. Buku yang terdiri atas sepuluh bagian itu penting bagi ma-hasiswa Indonesia dan non-Indone-sia yang ingin mempelajari studi sosi-al-politik kontemporer Indonesia.

Nama Aspinall memang tak asing bagi para aktivis prodemokrasi.

Se-di Indonesia, karya pasangan suami-istri David T. Hill dan Krishna Sen, membedah pengaruh budaya dan politik Indonesia terhadap perkem-bangan media pers di Tanah Air. Kar-ya setebal 248 halaman itu dikatego-rikan sebagai buku wajib bagi maha-siswa Australia yang ingin belajar ka-jian Indonesia, khususnya di bidang media pers.

Dari kalangan Indonesianis yang lebih muda, salah satu buku yang penting adalah karya Edward As-pinall berjudul Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime

bab, ia sudah melakukan peneliti-an sebagai mahasiswa di Indonesia pada pertengahan 1990-an. ”Saya dekat sekali dengan mereka dan saya mengagumi perjuangan kaum opos-an yopos-ang dengopos-an keberopos-aniopos-an luar biasa berani menentang pemerintah otori-ter,” ujarnya. ”Ketika kawan-kawan saya seperti Wiji Thukul diculik, saya merasa kehilangan.”

❖ ❖ ❖

Tahun 1960-an sampai akhir 1980-an mem1980-ang menjadi masa keemas1980-an Indonesianis di Australia. Saat itu, banyak terjadi pertukaran maha-siswa antara Indonesia dan Austra-lia. Masa itu meredup sejak 1990-an. Jumlah mahasiswa yang belajar ba-hasa dan penelitian Indonesia, dari tingkat S-1 hingga S-3, di universi-tas-universitas di sana makin berku-rang. Hingga 2001, universitas di se-luruh Australia yang membuka prog-ram pengkajian Indonesia berjumlah 28. Tapi jumlah itu sekarang menci-ut hingga tinggal 15 universitas. Data ini dikemukakan David T. Hill dari Universitas Murdoch, Perth, Austra-lia Barat, dan dilansir koran The Aus-tralian pada Februari lalu.

Greg Barton, Kepala Yayasan Herb Feith, Universitas Monash, membe-narkan soal penurunan itu. Menurut Barton, minat mahasiswa belajar ka-Harold Crouch dari The Australian

National University.

Greg Barton, Kepala Yayasan Herb Feith, Universitas Monash.

DO

K

TE

M

P

O

/

H

E

NDR

A

S

U

HAR

A

BE

L

A

K

U

S

U

(24)

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

AUSTRALIA

jian Indonesia merosot ketika peme-rintah Federal di Canberra menge-luarkan travel warning tingkat em-pat, yang menyarankan warga Aus-tralia, termasuk pelajar dan maha-siswa, tidak mengunjungi Indone-sia. ”Mereka tidak menyadari ada perubahan total di Indonesia,” ka-tanya.

Selain itu, prioritas pemerintah Australia sudah bergeser. Di masa pemerintahan Partai Buruh pada awal 1980-an sampai akhir masa kepemimpinan Perdana Mente-ri Paul Keating pada 1996, Austra-lia dianggap perlu tahu lebih banyak tentang tetangga Asia. Canberra bahkan berperan aktif dalam Ke-lompok Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifi k (APEC). Maka dana kajian dan pengajaran bahasa-bahasa Asia mengucur melalui program-prog-ram pendidikan, baik tingkat seko-lah menengah maupun universitas.

Namun, saat John Howard ber-kuasa, sejak awal 1997, pemerin-tah Liberal mulai mengurangi ban-tuan dana untuk belajar bahasa-ba-hasa Asia. Howard lebih konserva-tif dan tidak nyaman dengan kebi-jakan mendekati tetangga Asia de-ngan ”Look North Policy” yang dika-wal Partai Buruh. Pengaruh pemo-tongan dana itu mulai terasa di

ka-langan guru dan dosen bahasa In-donesia. Seperti dituturkan Nani Pollard, dosen di Universitas Mel-bourne, pengajar kajian Indonesia di kampusnya hanya tinggal em-pat orang. Di Universitas Monash

idem ditto.

Setelah Partai Buruh menang di bawah pimpinan Kevin Rudd, yang fasih berbahasa Mandarin, Can-berra mulai kembali mengucurk

Referensi

Dokumen terkait

While most of the older generation of Muslim intellectuals who identified as Islamic had struggled for Islamic political parties, as well as for the establishment of an Islamic

Harapan masyarakat: - Perlu kejelasan peran adat, mana yang diatur adat dan mana yang diatur pemerintah - Aturan adat sering bertentangan dengan aturan hukum - Keputusan

Besaran Itrran Peserta Katingan Sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan besaran Iuran bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran yang ditetapkan oleh Pemerintah

Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi syarat evaluasi administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan :

Dalam Percobaan saat ini, Anda akan menyelidiki prinsip-prinsip ini dan juga diminta untuk merancang counter-nomor yang MOD dapat diubah dengan "pemrograman" counter.

Kedua adalah model atau format politik yang demokratis tersebut memiliki.. stabilitas jangka

Ini membuktikan bahwasannya Indonesia memiliki banyak regulasi yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya minerba, dalam hal ini berarti pemerintah

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan definisi konsep kinerja guru merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang dilakukan