• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu itu belum ada

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 49-51)

pihak yang

melakukan

fi lmografi

lengkap

tentang

fi lm

Indonesia.”

T E M P O /J A C K Y R A C H M A N S Y A H Denys Lombard

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

D

ARI jendela fl atnya, Pierre La- brousse bisa menikmati peman- dangan Paris yang spektakuler: Menara Eiffel, Sacre Coeur, dan Notre Dame. Hampir semua mo- numen kunci Paris sebagaimana sering kita li- hat di fi lm-fi lm romantis. Maklum saja, Labrous- se tinggal—bersama istrinya, Farida Soemargo-

no—di lantai 49 apartemen pencakar langit terakhir di kawa- san Place d’Italie sebelum kawasan kota tua. ”Di kawasan kota tua, kawasan bersejarah, tidak boleh ada gedung tinggi,” ujar Labrousse.

”Saya memang membeli pemandangan,” kata Labrousse me- ngenai keputusannya pada 1971 membeli fl at itu.

Ruangan-ruangan fl at Labrousse penuh dengan buku, benda dan perabotan Indonesia, serta puluhan lukisan.

Di satu ruangan bisa ada 5-6 lukisan. Labrousse memang pemburu lukisan, yang kerap mendatangi pasar-pasar loak atau balai-balai lelang. Sebagian besar yang ia buru adalah lu-

kisan produksi 1700-an hingga awal 1900-an dari pelukis yang bukan termasuk golongan nama ”canon”. Namun lukisan-lukisan itu oten- tik dan kuat. ”Sering kali itu lukisan yang dite- lantarkan karena pelukisnya tak dikenal. Na- mun, kalau rajin meriset dan mencari, kita bisa menemukan nama pelukisnya. Misalnya ada se- buah lukisan yang begitu kuat dan unik saya te- mukan di sebuah pasar loak. Saya memang ha- rus merestorasinya. Biayanya sama dengan har- ga lukisannya. Namun ketahuan kemudian, pe- lukisnya adalah pesaing Ruben pada masanya, tapi ya kurang dikenal.”

Labrousse menghabiskan masa pensiunnya di Paris dan rumah peristirahatan di Massif Central—pegu- nungan di Prancis Tengah.

Setiap tahun dia menjadwalkan kunjungan ke Indonesia. Sekarang dia sedang dalam tahap akhir penyusunan kamus lengkap Indonesia-Prancis terbaru.

Dia juga terus memantau penerbitan Archipel kendati tidak seintens dulu. Kebetulan kantor Archipel, sekarang di gedung Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, hanya 15 menit berjalan kaki atau tiga halte metro dari rumahnya.

Dan Labrousse masih kelihatan sangat bugar pada usianya

yang senja. ■

François Raillon, dan sekarang Da- niel Perret serta Jerôme Samuel.

Kalau disebutkan Archipel seba- gai jurnal ilmiah yang sukses, ja- ngan membayangkan tirasnya pu- luhan ribu. Sebab, Archipel meru- pakan jurnal ilmiah yang cakupan- nya sangat terbatas, terfokus pada Indonesia—sebagaimana namanya:

archipel, arkipelago, atau kepulau- an. Tiras Archipel awalnya 800 dan sempat dicetak lebih dari 1.000 ek- semplar. Namun kini stabil pada angka 600 eksemplar, dan terjual minimum 80 persen.

Memang tidak ”murni” kare- na 120 eksemplar dibeli Keduta- an Prancis di Jakarta, yang menye- barkannya ke berbagai lembaga dan perorangan mitra Kedutaan Besar Prancis. Sisanya rata-rata diserap perpustakaan, lembaga-lembaga penelitian, dan para peneliti di selu- ruh dunia.

Dari isi keseluruhan, sejak mun- cul pertama kali 41 tahun lalu, Archi- pel menerbitkan kurang-lebih 17 ribu halaman artikel ilmiah tentang du- nia Nusantara serta 40 buku. Pener- bitan 40 buku itu dilakukan berse- lang-seling dengan jurnalnya, yang

merupakan bagian dari program Cahiers d’Archipel. Yang terakhir adalah empat jilid buku yang diter- bitkan sebagai kenangan dan peng- hormatan kepada mendiang Lom- bard. Judulnya L’horizon nousanta- rien (Cakrawala Nusantara, 1998- 2000) dan Indonésie: Retour sur la crise (Indonesia: Tinjauan Ulang Krisis, 2002), lalu Autour de la pe- inture à Java (Sekitar Seni Lukis di Jawa, dua jilid, 2005 dan 2006), serta Musiques d’un Archipel (Mu- sik Sebuah Kepulauan, 2010).

”Ini berarti,” ujar Labrousse, ”Ar- chipel sudah menghasilkan jum- lah penerbitan yang dua atau tiga kali lebih banyak daripada seluruh penerbitan Prancis lain sepanjang abad tentang dunia Nusantara.” Labrousse yakin semua itu mem- buktikan kemampuan Archipel

mempertemukan para peneliti dari semua negara. Ini tentu bukan pen- capaian yang kecil.

Isi Archipel menekankan pada se- jarah sebagai sumber pengertian masa kini. Namun, ”Karena sejarah makin lama makin kurang diwakili di antara peneliti dunia Nusantara,” tutur Labrousse, ”Archipel berubah

menjadi tempat pertemuan para ahli yang tetap berpegang pada ke- utamaan sejarah sebagai dasar pe- ngetahuan.”

Pendekatan ini, selain di Archi- pel, dikembangkan lewat seminar Lombard di EHESS, kemudian oleh Claude Guillot, yang diangkat seba- gai penggantinya. ”Kedua usaha itu, seminar serta penerbitan ilmiah, sangat terikat dan merupakan da- sar penelitian,” tutur Labrousse.

Masalahnya sekarang, kata Lab- rousse, Archipel harus menghadapi tantangan revolusi informatika: di- gitalisasi dan internetisasi. Seka- rang Archipel sudah bisa dibaca di Internet, juga arsip edisi-edisi la- manya.

”Yang saya tak tahu pasti, apakah edisi cetaknya akan dihentikan dan digantikan sepenuhnya oleh edisi Internet,” Labrousse tercenung. Se- sudah membangunnya bersama se- jumlah kawannya lebih dari 40 ta- hun lalu, di usia senjanya sekarang, ia tak bisa membayangkan suatu hari tak lagi memegang Archipel di tangannya, dan hanya bisa memba- canya di layar komputer.

Labrousse

dan Flatnya

Labrousse

”Yang

saya tak

tahu pasti,

apakah

edisi

cetaknya

akan

dihentikan

dan

digantikan

sepenuhnya

oleh edisi

Internet.”

LABROUSSE

112 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

P

ROF Dr Bern Nothofer, 70 tahun, ingat peristi- wa pada 2005 itu. Stu- di Indonesia di Univer- sitas Frankfurt yang di- dirikannya pada 1981 akan ditutup oleh universitas. Pasalnya, dia akan memasuki usia pensiun dan univer- sitas tidak menemukan pengganti- nya.

Para mahasiswa panik dan No- thofer bergerak cepat. Dia dan ma- hasiswa mengumpulkan tanda ta- ngan, berkampanye di berbagai me- dia, mengirim petisi, menentang penutupan. Jurusan-jurusan stu- di Asia Tenggara dan Indonesia di berbagai universitas lain di Jerman mendukungnya. Keputusan itu akhirnya dibatalkan. Studi Indo- nesia di Universitas Frankfurt tetap ada hingga sekarang.

”Penurunan minat studi Indone- sia tidak terjadi di sini,” kata No- thofer. Pria yang pernah keluar-ma- suk 156 desa di Jawa Barat ini me- ngatakan kondisi studi Indonesia di Jerman berbeda dengan Austra- lia, Belanda, dan Inggris. ”Di Aus- tralia terjadi penurunan minat se- jak peristiwa bom Bali. Di Universi- tas Leiden, Belanda, penutupan ju- rusan karena berkurangnya anggar- an. Begitu juga yang terjadi di SOAS (School of Oriental and African Stu- dies),” katanya.

Di Jerman hal itu tidak terjadi. Karena anggaran yang terus ter- sedia, universitas yang menawar- kan studi Indonesia terus berkem- bang, antara lain Universitas Ber- lin, Universitas Hamburg, Univer- sitas Frankfurt, Universitas Pas- sau, Universitas Bonn, Universitas Humboldt, Universitas Koeln, Uni- versitas Freiburg, dan Sekolah Ting- gi Konstanz.

Belum lagi sejumlah studi Indone- sia nonformal di beberapa kota. Plus seksi Indonesia di sejumlah lemba-

ga penelitian atau tangki pemikir- an seperti di GIGA (Hamburg), juga Max Planck Institute. ”Di tempat kami, selain subsidi dari pemerin- tah daerah, kami mencari duit sen- diri dengan cara kerja sama dengan beberapa industri, seperti yayasan perusahaan otomotif Volkswagen dan yayasan pabrik baja Thyssen- Krupp,” kata Nothofer.

Ini membuktikan bahwa stu- di Indonesia berkembang. Prof Dr Arndt Graf, 47 tahun, Ketua Jurus- an Studi Asia Tenggara Universitas Frankfurt, sependapat. ”Saya kira penurunan minat studi Indonesia berbeda di setiap negara. Di Leiden, studi Indonesia tidak menarik lagi karena pemerintah masih memper- tahankan ‘dekolonisasi’, yakni me- lihat Indonesia sebagai bekas nega- ra jajahan. Akibatnya, peminat me- nurun.”

Alumnus Universitas Hamburg yang menerbitkan buku tentang ba- hasa retorika politik Soeharto, Gus Dur, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Habibie ini melihat di Inggris lain lagi. Uang kuliah studi Indone- sia mahal sekali, 8.000 pound ster- ling setahun. Akibatnya, peminat berkurang. Akan halnya di Austra- lia atau Amerika, berita buruk ten- tang Indonesia—kekerasan dan te- rorisme—membuat generasi muda tak mau lagi memilih studi Indone- sia sebagai mata kuliah.

”Di Jerman tidak seperti itu. Kami tidak terpengaruh berita-be- rita berbahasa Inggris. Kami meli- hat Indonesia dari kacamata yang berbeda, sehingga pemberitaan ti- dak bias,” katanya. Menurut Graf, di Jurusan Asia Tenggara Univer- sitas Frankfurt kini yang paling do- minan adalah studi Indonesia, ber- ikutnya Malaysia, baru kemudi- an Thailand dan Vietnam. Maha- siswanya datang dari mana-mana, termasuk dari Eropa Timur (Polan-

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 49-51)