• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFESOR HENK SCHULTE NORDHOLT ADALAH KOMENTATOR UTAMA DI TELEVISI BELANDA SAAT LIPUTAN PERIODE REFORMASI 1998 DAN SAAT PROSES REFERENDUM

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 43-45)

TIMOR TIMUR. PROYEK TERBARUNYA KINI ADALAH MEREKAM SEJARAH ORANG BIASA

DI INDONESIA.

antaranya, bisa jadi buku paling se- gar, dipajang khusus. Judulnya Af- ter Jihad, karya M. Nadjib Azca. Ini buku berdasarkan disertasi sang penulis, dengan Henk Schulte Nor- dholt sebagai pembimbingnya.

Di dinding belakang meja kerja- nya tergantung sebuah lukisan tra- disional Kamasan, Bali. Henk ada- lah ahli antropologi politik Bali. Se- bagian hasil penelitiannya tentang Bali sudah dibukukan dan diterje- mahkan ke bahasa Indonesia, an-

tara lain Bali: Benteng Terbuka— 1995-2005, Otonomi Daerah, De- mokrasi Elektoral dan Identitas- identitas Defensif, dan The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650- 1940.

”Bali adalah training ground saya sebagai Indonesianis,” kata Nor- dholt. Ia ingat pertama kali menje- jakkan kaki ke Bali belum berumur 29 tahun. Henk menetap lebih dari setahun di Bali, didampingi istri- nya, Margreet, dan anak pertama mereka yang baru berumur seta- hun, Eelke. Waktu itu mereka ting- gal di Desa Blahkiuh, tak jauh dari Sangeh.

Penelitian doktoralnya mengenai sejarah politik Bali yang mencakup rentang waktu tiga abad: dari 1650 hingga 1940. Nordholt membahas struktur politik kerajaan Bali pra- kolonial. Bali prakolonial merupa- kan jaringan di antara kerajaan-ke- rajaan kecil, yang terpusat pada se- orang pemimpin kuat. Kalau sang Prof Henk Schulte Nordholt GING GINANJ AR

EROPA

pemimpin terlalu pasif, jaringan akan berlepasan, dan tak ada ne- gara. Di saat yang sama, di tingkat akar rumput terdapat jaringan iri- gasi subak yang otonomi serta ko- munitas lokal yang berjalan cukup mandiri

❖ ❖ ❖

Bukan hanya Bali yang diteliti Henk. Minat Henk terhadap Indo- nesia sangat luas. Karya penelitian Henk yang mutakhir baru saja di- terbitkan dalam jurnal ilmiah Uni- versitas Cambridge, Inggris. Judul- nya Modernity and Cultural Citi- zenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis.

Ini mengenai kelas menengah Indonesia di masa kolonial, yang mengidentifi kasi dirinya secara kul- tural sebagai manusia modern. Me- reka dipengaruhi iklan majalah saat itu, dari iklan cokelat hingga pasta gigi. Dari iklan bola lampu hingga kereta api.

Kaum kelas menengah Indonesia di masa akhir penjajahan itu, kata Henk, menjalani semacam ”domes- ticated happiness”. Mereka ber- partisipasi dalam kehidupan kul- tural modern, ”Tapi tidak dalam ke- hidupan politik, karena akan lang- sung dikirim, misalnya, ke Boven Digul,” tutur Henk.

Kaum kelas menengah ini dire- krut oleh penjajah Belanda untuk posisi-posisi di pemerintahan ko- lonial atau di jawatan. Dan nanti, pada 1950-an, kaum menengah ini pula yang memegang posisi di pe- merintahan Indonesia merdeka. Pertanyaannya, tutur Henk, apa- kah mereka terlibat dalam pemerin- tahan Indonesia karena cita-cita ke- bangsaan mereka, atau karena men- cari kesempatan memperoleh posisi belaka.

Itulah salah satu karya peneliti- an Henk terbaru secara individu- al. Adapun dalam posisinya seba- gai Kepala Departemen Penelitian KITLV yang dijabatnya sejak 2005, Henk menggagas, memimpin, dan menjalankan sejumlah proyek khu- sus. Salah satunya proyek Articula- ting Modernity: Popular Music in Southeast Asia, yang berlangsung sejak 2010 hingga 2013.

Untuk proyek ini, Henk dan tim- nya berburu piringan hitam dan ka- set di berbagai pelosok. Salah satu- nya tentu saja ke Jalan Surabaya, Ja- karta Pusat. Mumpung masih ada. Proyek ini digagas karena ”selama ini titik berat perhatian secara res- mi lebih pada musik tradisional se- perti gamelan”. Padahal musik ma- syarakat urban, musik populer, me- rupakan bagian dari kehidupan ke- seharian. Dan bisa menunjukkan perkembangan masyarakat pendu- kungnya.

Proyek lain adalah Recording the Future: An Audiovisual Archive of Everyday Life in Indonesia in the 21st Century. Ini, tutur Henk, meru- pakan proyek fi lm dokumenter yang sudah berjalan beberapa tahun, dan akan terus berjalan beberapa tahun ke depan. Mereka merekam orang- orang awam di jalan, di pasar, di mana pun. Mengajak mereka berbi- cara tentang segala hal, tentang ke- seharian mereka, bagaimana mere- ka menghadapi masalah, apa harap- an dan mimpi mereka. Gagasan te- gas Henk Schulte Nordholt adalah menciptakan sejarah yang berbeda: sejarah orang-orang biasa.

❖ ❖ ❖

Bukan kebetulan kalau Henk Schulte Nordholt menjadi Indone- sianis. Studi Indonesia seakan su- dah merupakan DNA-nya. Ba- pak dan kakaknya juga ahli Indo-

nesia terkemuka. Sang ayah, Her- man Gerrit Schulte Nordholt (1911- 1993), adalah antropolog budaya Flores dan Sumbawa di Universitas Amsterdam. Sebagai ambtenaar

di masa kolonial, Herman Schulte Nordholt pernah lama tinggal dan berdinas di Kefamenanu, NTT, dan Sumbawa. Sempat jadi tahanan Je- pang, Schulte Nordholt senior baru mudik ke Belanda pada 1947.

Adapun kakaknya, Nicolaas Schulte Nordholt, adalah Indo- nesianis yang pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Bukunya an- tara lain State-Citizen Relations in Suharto’s Indonesia (1987) dan In- donesië: mensen, politiek, econo- mie, cultuur (1995). Nico, yang lahir pada 1940 di Flores, pernah tinggal lama di Salatiga, pada 1965 hingga 1981, selain di Jakarta. Beberapa ta- hun terakhir ini Nico aktif memim- pin petisi kaum intelektual Belan- da, mendesak pemerintah mereka untuk secara resmi mengakui tang- gal 17 Agustus 1945 sebagai hari ke- merdekaan Indonesia, dan bukan 27 Oktober 1949—hari penyerahan kedaulatan.

Kakak-adik Nordholt ini aktif menjadi narasumber utama berba- gai televisi Belanda saat di Jakar- ta terjadi demonstrasi besar-besar- an yang menumbangkan Soehar- to. Sebagai negara bekas penjajah, Belanda tentu mengikuti secara in- tensif peristiwa yang penuh dimensi itu sejak awal. Televisi menyiarkan laporan perkembangan dari Indo- nesia setiap hari, dilengkapi disku- si dan analisis. Nicolaas dan Henk Schulte Nordholt pun waktu itu hampir setiap hari berbicara di te- levisi.

”Kakak saya itu, begitu larisnya, sampai kewalahan dan tak bisa me- menuhi semua permintaan wawan- cara di televisi,” ujar Henk. ”Jadi- nya lucu,” tutur bapak dua anak ini. ”Kami berbagi tugas: saya untuk si- aran pagi, dan Nico untuk siaran malam. Jadi, kalau saya keliru di pagi hari, malam harinya Nico bisa membetulkannya, ha-ha-ha….”

Dan kantor pun bertambah ha- ngat. ■ Meneliti gamelan dengan cinta. AR IF WI BO W O

104 | TEMPO20 NOVEMBER 2011

LIPUTAN KHUSUS

Indonesianis

S

IANG menjelang di teras be- lakang rumah Mira Sidhar- ta, bilangan Prapanca, Ja- karta. Prof Dr Claudine Sal- mon, 73 tahun, duduk san- tai sambil membaca buku nya, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Peraih Nabil Award ini sedang menginap di rumah sahabat- nya itu.

Kulit dan wajahnya sudah menge- riput. Senyumnya sumringah me- nyambut kedatangan Tempo awal pekan lalu. Penampilannya sangat santai, dengan celana jins biru dipa- du blus hitam dan sandal jepit. Ma- sih cukup gesit dan bersemangat jika melihat usianya. Matanya berbinar saat menceritakan awal mula datang di Indonesia 45 tahun lalu. Ingatan- nya masih tajam menceritakan per- jalanan penelitian tentang kebuda- yaan dan masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Dia memang satu di antara pu- luhan peneliti Prancis di Indonesia. Karyanya cukup banyak dan berpe- ngaruh bagi khazanah sejarah In- donesia. Mulanya dia tak berni- at meneliti di Indonesia, melainkan di Vietnam. Wajar bila banyak pe- neliti Prancis yang mengeksplora- si bekas jajahan negaranya di Indo- cina (Kamboja, Vietnam, Laos) atau di Afrika Utara (Aljazair, Tunisia, dan Maroko). Meneliti dengan tuju- an Indonesia mungkin belum lazim saat itu.

Ahli Islam Indonesia Prancis, An- dree Feillard, mengatakan tulis- an tentang Indonesia dimulai pada 1939 oleh Bousquet G.H. lewat Re- cherches sur les deux sectes musulma- nes (Waktou Telou’ et Waktou Lima) de Lombok. ”Penelitian tentang dua jenis ibadah kaum muslimin Lom- bok itu ditulis di Revue des Etudes Islamiques,” ujar Andree Feilard ke- pada Ging Ginanjar dari Tempo.

Pada 1939, muncul tulisan ten-

Dalam dokumen JEJAK HITAM HAKIM TIPIKOR DAERAH (Halaman 43-45)