Paroxysmal Depolarization Shift
Fenomena di tingkat selular yang berkorelasi dengan cetusan epileptiform interiktal adalah paroxysmal depolarization shift yang terlihat melalui perekaman menggunakan mikroelektrode. Pada awalnya, terjadi pergeseran potensial membran secara cepat yang mengarah ke depolarisasi, yang kemudian diikuti cetusan potensial aksi repetitif yang berlangsung selama beberapa ratus milidetik. Depolarisasi inisial dimediasi oleh reseptor non-NMDA, sedangkan depolarisasi yang lebih persisten dimediasi oleh reseptor NMDA. Kemudian, paroxysmal depolarization shift
mengalami terminasi melalui fase repolarisasi sebagai konsekuensi peningkatan konduktansi K dan Cl yang dimediasi reseptor GABA. Periode hiperpolarisasi yang berkepanjangan setelah paroxysmal depolarization shift dimediasi oleh konduktansi ion inhibitorik sehingga menghasilkan periode refrakter ( Rho dan Stafstrom 2006 ).
Mekanisme Sinkronisasi
Formasi hipokampus secara normal menunjukkan sinkronisitas neuron. Gelombang tajam, paku, aktivitas teta, dan osilasi berfrekuensi 40Hz dan 200 Hz merupakan berbagai bentuk sinkronisasi neuron yang dapat direkam pada berbagai area hipokampus. Aktivitas neuron yang sinkron merupakan kerja intrinsik hipokampus yang normal. Sinkronisasi neuron juga merupakan konsep dasar epilepsi. Sinkronisitas yang digenerasi oleh hipokampus dapat menyebabkan kejang. Aktivitas sinkron yang normal yang tidak menggenerasi cetusan epileptiform dapat mencetuskan kejang pada hipokampus yang kehilangan neuronnya secara selektif, reorganisasi sinaptik, dan perubahan ekspresi reseptor.
Mekanisme sikronisasi pada hipokampus melibatkan input dari nukleus subkortikal dan sinkronisasi yang dimediasi interneuron intrinsik. Aktivitas teta merupakan representasi sinkronisasi kerja berbagai sel di hipokampus yang sebagian besar tergantung pada input dari septum (nukleus subkortikal). Septum tersebut menerima proyeksi akson yang divergen yang mentarget interneuron di hipokampus. Proyeksi akson divergen dari interneuron dan efek kuat konduktansi yang dimediase reseptor GABAa menyebabkan interneuron berperan dalam aktivitas sejumlah besar
14
neuron utama. Karakteristik tersebut mencerminkan bahwa interneuron sebagai target efektif dalam modulasi subkortikal aktivitas sel utama hipokampus. Interaksi inhibitorik mutual di antara interneuron hipokampus menghasilkan sinkronisasi.
Sirkuit eksitatorik berulang merupakan dasar lain dalam sinkronisasi neuronal di hipokampus. Kolateral eksitatorik berulang merupakan karakter utama area Ca3 (sel pyramidal di Ca3 membentuk koneksi monosinaptik langsung dengan sel pyramidal Ca3 lainnya). Interaksi eksitatorik tersebut berkontribusi pada cetusan
sinkron yang merupakan karakteristik area Ammon’s horn. Pada epilepsi lobus temporal terjadi reorganisasi sinaptik, dan sprouting aksonal menyebabkan eksitasi berulang yang pada akhirnya merupakan suatu mekanisme sinkronisasi di area lain formasi hipokampus (termasuk di Ca1, kompleks subikular, korteks entorinal, dan girus dentatus). Pada girus dentatus yang normal, sel granul tidak atau hanya sedikit membentuk monosinaps dengan sel granul lainnya, sedangkan pada girus dentatus yang abnormal terjadi sprouting akson sel granul yang bersinaps dengan sel granul lainnya. Fenomena tersebut berkontribusi pada interaksi eksitatorik langsung di antara sel-sel tersebut.
Mekanisme lainnya dalam sinkronisasi juga melibatkan gap junction, efek lapang elektrik dan perubahan konsentrasi ion ekstraselular. Adanya gap junction
menyebabkan penyebaran potensial aksi ke sel yang berdekatan walaupun tanpa hubungan sinaptik. Potensial aksi juga menyebar melalui substrat antar sel yang disebut sebagai efek lapang elektrik. Peningkatan konsentrasi K ekstraselular mempengaruhi eksitabilitas epileptogenik dan sinkronisasi (Najm et al. 2006; Sharma
et al. 2007)
Mekanisme Glial dalam Modulasi Epileptogenisitas
Sel glial merupakan sel yang berperan dalam homeostasis konsentrasi ion intra dan ekstraselular sehingga memungkinkan terjadinya siklus depolarisasi dan repolarisasi yang normal. Astrosit diperkirakan berperan dalam regulasi konsentrasi ion K ekstraselular karena sifat membrannya yang permeable terhadap K dan perannya dalam pembentukkan sawar darah otak. Selain itu, sel glial juga dapat
15
meregulasi glutamate keluar dari kompartemen ekstraselular. Kemampuan dalam meregulasi glutamate keluar dari kompartemen ekstraselular dimungkinkan karena adanya dua molekul transport glutamate pada membrane sel glial. Penyingkiran glutamate dari ekstraselular pascadepolarisasi mencegah depolarisasi terus-menerus pada neuron. Sel glia juga mampu meregulasi pH esktraselular melalui transport proton dan bikarbonat. Aktivitas neuron yang minimal mampu menyebabkan perubahan pH signifikan.Perubahan pH tersebut memodulasi fungsi reseptor NMDA yang berperan dalam eksitabilitas neuron.Sekresi sel glial, berupa glutamate dan sitokin (Il-1) berperan dalam eksitabilitas dan mekanisme antiepileptik (Najm et al.
2006).
EPILEPSI LOBUS TEMPORAL Anatomi
Epilepsi yang berasal dari lobus temporal dibagi menjadi dua yaitu bagian mesial (Mesial Temporal Lobe Epilepsi/MTLE) yang berasal dari hipokampus & amigdala dan bagian lateral (lateral temporal lobe epilepsy / LTLE) yang berasal dari neokorteks & bagian perifer lobus temporal (Qureshi 2007). Sistem limbik terdapat pada otak bagian medial mengelilingi tepi ventrikel yang terdiri atas girus singuli, girus parahipokampus, amigdala, nukleus septal dan hipokampus. Secara anatomis, hipokampus terletak pada unkus (bagian medial lobus temporal) dan memiliki fungsi penting dalam memori jangka panjang dan kemampuan recall (Titus et al. 2007 dan Mathern et al. 2008). Hipokampus dibagi menjadi empat bagian yaitu subiculum, kornu amonis regio superior (Ca1), kornu amonis regio inferior (Ca3) dan girus dentata. Girus dentata hampir sebagian besar terdiri atas sel granula dengan akson
yang disebut sebagai “mossy fibers” (Qureshi 2007) .
Etiologi
Penyebab pasti terjadinya sklerosis hipokampus pada MTLE-HS hingga saat ini masih kontroversial. Hubungan kausal antara sklerosis hipokampus dan kejang
16
demam pertama kali dilaporkan 30 tahun yang lalu (Engel et al. 2008). Hal ini juga didukung dengan penelitian terkini dimana diantara beberapa faktor risiko yang mungkin memicu terjadinya sklerosis, 66% pasien memiliki riwayat kejang demam berkepanjangan (prolonged febrile convulsions) ( Qureshi 2007, Engel et al. 2008). Saat ini terdapat dua teori populer tentang mekanisme dasar terjadinya sklerosis pada kejang demam (Panayiotopoulus 2005). Teori pertama menyatakan bahwa kejang demam yang berkelanjutan menyebabkan perubahan pada hipokampus sedangkan pendapat kedua menyatakan abnormalitas hipokampus sebelumnya menjadi faktor predisposisi terhadap kejang demam yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut ( Qureshi 2007, Panayiotopoulus 2005, Engel et al. 2008). Merkenschlager et al. 2009 melaporkan kasus pediatri dengan kejang demam kompleks yang berkepanjangan dimana MRI saat onset dalam batas normal namun 1 tahun kemudian saat dilakukan MRI follow-up tampak lesi pada hipokampus selanjutnya menjadi atrofi. Berdasarkan laporan kasus tersebut, mereka mendukung hipotesis bahwa kejang demam berkepanjangan dapat menyebabkan sklerosis tanpa adanya lesi pendahuluan pada hipokampus. Meskipun demikian, hingga saat ini kedua teori ini masih sering diperdebatkan terutama dalam hal risiko terjadinya MTLE-HS setelah kejang demam.
Etiologi lain yang diduga menyebabkan sklerosis adalah cidera awal seperti trauma dan infeksi pada otak yang menjadi faktor presipitasi (McIntyre 2008). Sklerosis pada hipokampus juga diduga berhubungan dengan mikrodisgenesis karena ditemukan pada pasien dengan lesi diplastik (hamartoma, heterotopia) serta riwayat keluarga dengan epilepsi dan kejang demam yang mengarah kepada kemungkinan predisposisi genetik atau kongenital (Janszky 2004, McIntyre 2008) .
Epilepsi lobus Temporal adalah jenis epilepsi fokal yang paling sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa, potensial untuk resisten terhadap pengobatan 20-30%. Pada kebanyakan kasus daerah epileptogenik ditemukan di daerah struktur mesial temporal (seperti hipokampus, amygdala, dan girus parahipokampusl). Lesi di hipokampus progresif menyebabkan epilepsi kronis, gangguan belajar dan gangguan memori dan berkurangnya neurogenesis di girus