• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BONE MARROW MESENCHYMAL STEM

CELL UNTUK TERAPI MODEL EPILEPSI PADA TIKUS

YETTY RAMLI

B361070041

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemanfaatan Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell Untuk Terapi Model Epilepsi Pada Tikus, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

(3)

ABSTRACT

YETTY RAMLI.Utilization of Bone Marrow Mesenchymal Stem Cells for Therapeutic Model of Epilepsy. Under the directions of SRI ESTUNINGSIH, ARIEF BOEDIONO, and NURHADI IBRAHIM.

Epilepsy is a chronic neurologic disease, caused by abnormal electrical activity in the brain. Uncontrolled medication using the currently available antiepileptic drugs may result in low quality of life. Bone marrow mesenchymal stem cell (bMSCs), one source of stem cell that is multipotent, can be given as an alternative treatment for intractable epilepsy. This research was aimed to (1) analyze the effect of chemical substance that can damaged the brain, to make a suitable animal model for epilepsy, (2) study of the culture bMSCs, and induced to become neurons in vitro neuron progenitor cells, before it can be transplanted to the animal model, (3) observe the effect of different dosages of bMSCs, and comparing the 2 routes of administration, through an intravenous line or a direct intracerebral approach.

This study used 46 Spraque Dawley rats, aged 2 months which were divided to 7 groups consisted 6 rats each (1) negative control group, were given only 1ml NaCl 0.9% intravenous, (2) development of animal group model, 3 rats were given lidocaine 90mg/kg, 3 rats injected with bicuculine 8mg/kg, 1 rat was sacrificed each at the point of 24 hours, 3 days and 7 days after treatment, (3) positive epilepsy group, injected with bicuculine 8mg/kg intraperitoneally, and 3 rats were sacrificed each after 3 weeks and 6 weeks, (4-7) epilepsy group, after injected with bicuculine 8mg/kg intraperitoneally, at day-7 received bMSCs injection, each using 3x2x105 cell intravenous, 1x5x106 cell intravenous, neuron progenitor at 1x2x106 cell intravenous and neuron progenitor at 1x2x105 cell intracerebral. The result of this study showed that bicuculine injection, as a GABA-antagonist, was better when applied to create an epilepsy animal model. The most severe irreversible damaged occurred after the 7th day of treatment. The amount of cells of bMSCs culture at the 4th and 5th passages was sufficient to be transplanted, and the induction of neuron progenitor with basic fibroblast growth factor and epidermal growth factor was seen by noticing the change of the fibroblasts to neurons. The activity of bMSCs to regenerated neurons could be seen that injection of bMSCs 3x2x105 results the highest number of survived neurons. There was no systemic effect of bMSCs. From this study concluded that bMSCs improved regenerate the damage of hippocampal area caused by seizure in epilepsy model animals. A low dose, intravenous administration, given repeatedly every 2 weeks gives a better respon compared to a bolus with high dose intravenous and , intracerebrally. bMSCs treatment was better than progenitor neuron treatment.

(4)

RINGKASAN

YETTY RAMLI. Bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH, ARIEF BUDIONO, NURHADI IBRAHIM

Epilepsi adalah gangguan neurologi kronis yang disebabkan oleh cetusan listrik abnormal berlebihan pada otak. Serangan kejang yang intractable (tidak terkontrol dengan obat anti epilepsi), mengakibatkan kualitas hidup penyandang epilepsi jadi rendah, karena keterbatasan dibidang pendidikan, olah raga, pekerjaan dan kesulitan mendapatkan pasangan hidup ditambah akibat adanya stigma di masyarakat bahwa epilepsi adalah penyakit menular, keturunan, dan penyakit jiwa. Pengendalian dan pengontrolon serangan kejang dengan pemberian obat anti epilepsi yang benar dan teratur disertai efek samping minimal merupakan pilihan pengobatan yang ideal. Epilepsi lobus temporal merupakan salah satu dari jenis epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Intervensi pembedahan merupakan pilihan pengobatan saat ini untuk mengatasi serangan kejang berulang. Namun, tidak semua penderita epilepsi yang resisten dengan pengobatan (intractable) dapat dilakukan operasi dan membaik setelah pengobatan. Kondisi ini telah menimbulkan permasalahan cukup besar bagi ekonomi dan kualitas hidup mereka, dengan alasan ini memicu untuk mencari alternatif terapi dalam pengobatan epilepsi. Stem cell merupakan sel yang mempunyai kemampuan mengembangbiakkan dirinya sendiri dan berdiferensiasi multilinear, telah banyak digunakan oleh peneliti di berbagai negara untuk pengobatan dan mempunyai efek farmakologi yang luas, antara lain pada penyakit degeneratif, genetik, antikanker, antiradang, dan penyakit imunologis. Bone marrow mesenchymal stem cell (bMSCs) salah satu dari sumber stem cell yang bersifat multipoten dapat diberikan sebagai alternatif terapi pada epilepsi

intractable. Epilepsi termasuk gangguan dengan berbagai penyebab etiologi dan patofisiologi maka perlu dilakukan kajian ilmiah pemanfaatan bMSCs sebagai terapi pada epilepsi intractable ditinjau dari kemampuannya meregenerasi neuron pada hipokampus. Penggunaan stem cell saat ini masih dalam tahap penelitian, perlu diteliti efek samping jangka panjang, sebelum dipakai luas di masyarakat. Penggunaan langsung pada pasien karena terkait etik harus dikaji terlebih dahulu kepada hewan model. Penelitian ini bertujuan (1) melihat pengaruh zat kimiawi yang dapat merusak otak untuk pembuatan hewan model epilepsi, (2) mempelajari kultur bMSCs tanpa diferensiasi menjadi neuron dan yang diinduksi menjadi progenitor neuron in vitro sebelum ditransplantasikan kepada hewan model epilepsi, (3) melihat pengaruh pemberian bMSCs dengan dosis berbeda melalui pendekatan terapi pemberian sistemik intravena dibandingkan dengan pemberian langsung intraserebral.

Tahapan penelitian yang dilakukan, ialah sebagai berikut. (1) Pembuatan hewan model epilepsi dengan induksi zat kimiawi yang paling berat menimbulkan kerusakan pada hipokampus otak tikus dengan lidocaine (anestesi lokal pada dosis tinggi bersifat neurotoksik) yaitu dosis 90 mg/kgbb intraperitoneal dibandingkan zat antagonis GABA bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal. (2) Aspirasi

(5)

ditranplantasikan kepada hewan model epilepsi. Mesenchymal diinduksi menjadi neuron progenitor dengan menambahkan basic fibroblast growth factor dan

epidermal growth factor. (3) Penentuan aktivitas bMSCs dalam meregenerasi neuron di hipokampus. Penelitian in vivo kelompok pembentukan hewan model menggunakan 9 ekor tikus galur Spraque Dawley umur 2 bulan yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan masing-masing 3 ekor tikus yaitu (1) diinjeksi lidocaine dosis 90mg/kgbb intraperitoneal; (2) diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal; (3) 3 ekor lagi tanpa perlakuan dilanjutkan masing-masing 1 ekor dikorbankan pada 24 jam, hari ketiga, dan hari ketujuh setelah perlakuan. Penelitian lanjutan in vitro melihat pengaruh toksik bicuculine pada kultur jaringan otak dari 1 ekor tikus yang dikorbankan. Penelitian untuk melihat pengaruh stem cell dalam meregenerasi hipokampus mempergunakan 6 kelompok tikus masing-masing 6 ekor tikus yaitu (K1) kelompok kontrol negatif tikus sehat, masing-masing hanya diberi 1 ml NaCl 0,9% intravena; (K2) kelompok kontrol positif epilepsi diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal; (M1-M4) kelompok terapi stem cell setelah diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal pada hari ketujuh disuntik bMSCs dengan masing-masing dosis 3x2x105 sel intravena, dosis 1x5x106 sel intravena, neuron progenitor dosis 1x2x106 sel intravena dan neuron progenitor 1x2x105 sel intraserebral. Pada minggu ketiga dan keenam setelah perlakuan dari masing-masing kelompok dikorbankan tiga ekor. Otak dan organ jantung, paru-paru, hati, ginjal, limpa dikoleksi dibuat preparat histopatologi untuk melihat perubahan patologis, selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah neuron yang hidup dan mati di hipokampus. Bobot badan ditimbang sebelum dan sesudah perlakuan .

Hasil penelitian in vitro dan in vivo memperlihatkan bicuculine sebagai antagonis GABA lebih baik dipakai untuk pembentukan hewan model epilepsi. Kerusakan bersifat irreversibel paling berat setelah 7 hari perlakuan. Kultur bMSCs pada pasase ke-4 sampai ke-5 jumlah sel sudah memadai untuk ditransplantasi, induksi neuron progenitor dengan basic fibroblast growth factor

dan epidermal growth factor terlihat perubahan dari sel berbentuk fibroblas menjadi neuron. Pengaruh bMSCs pada tikus secara klinis tidak memperlihatkan kesakitan. Pemberian bMSCs intraserebral tikus terlihat kurang aktif selama 3 hari dan setelah itu membaik seperti sebelum perlakuan. Aktivitas bMSCs terhadap regenerasi neuron memperlihatkan bahwa pemberian bMSCs 3x2x105 intravena didapatkan jumlah neuron yang hidup paling tinggi . Pengaruh bMSCs sistemik terhadap organ lain tidak memperlihatkan perubahan secara makroskopis dan mikroskopis walaupun bMSCs ditemukan pada organ ginjal, paru dan limpa.

Kesimpulan dari penelitian ialah bahwa bMSCs, dapat meregenerasi kerusakan pada daerah hipokampus akibat kejang pada hewan model epilepsi. Pemberian intravena, dosis rendah berulang setiap 2 minggu memberikan perbaikan yang lebih baik dari pada pemberian dosis tinggi sekaligus dan pemberian intraserebral, sedangkan pemberian bMSCs lebih baik dari pada pemberian neuron progenitor .

(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik atau tinjauan suatu masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi

IPB

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell

untuk terapi model epilepsi pada tikus

YETTY RAMLI B 361070041

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup

: Prof .drh. Fedik Ratam, PhD, drh. Dewi Ratih, PhD, APVet

Penguji pada Ujian Terbuka

(9)
(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian dalam rangka penyelesaian studi program Doktor (S-3). Disertasi ini ditulis untuk memenuhi salah satu persyaratan bagi penulis dalam memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Disertasi ini

berjudul “Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi pada tikus”. Penelitian ini penulis selesaikan atas berbagai sumbangan pemikiran dan masukan dari komisi pembimbing serta bantuan pihak lain. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Estuningsih MSi, APVet. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. drh. Arief Budiono, PhD. dan dr. Nurhadi Ibrahim PhD. sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran, masukan, motivasi serta dorongan yang sangat besar arti dan peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini; serta terima kasih kepada penguji luar komisi pada ujian tertutup: Prof. drh. Fedik Ratam, PhD, dan drh. Dewi Ratih, PhD. APvet, penguji ujian terbuka Prof. dr. Teguh Ranakusuma SpS. K dan Prof.drh. Bambang Pontjo P, MS. PhD. APvet atas segala saran, wawasan, dan masukan untuk penyempurnaan penulisan disertasi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Direktur RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, atas izin pendidikan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti pendidikan.

(11)

dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan S 3 di Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini tidak akan terwujud dan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan staf Laboratorium stem cell Institut Tropical Disease Unair: Prof. drh. Fedik Ratam, PhD, dr Purwati SpPD, Dr Herri SPOT, mas Anas, mbak Helen, mas Erik, Handoko, mbak Indah dan staf Patologi FKH IPB: drh. Ekowati H, MS,PhD, APvet , drh. Dewi Ratih,PhD, APvet, drh. Hernomoadi MVS, APvet, Dr. drh. Eva Harlina,Msi, APvet, Dr.drh. Wiwin Winarsih, Msi, APvet, Prof. drh. Bambang Pontjo,PhD. APvet, drh. Mawar Subangkit, drh. Vetnizah Juniantito, PhD, Apvet, pak Kasnadi, pak Endang, pak Soleh, Kiki, drh. Ibnu,Msi, staf pengajar anatomi drh. Nurhidayat, MS, PhD dan drh. Supratikno, Msi, staf pengajar fisiologi drh. Huda Shalahudin Darusman , Msi, dr. Kiking, dr. Anastasia, dr. Indah SpS, Dr.drh.I Wayan Batan,MS dan teman-teman senasib sewaktu penulis menempuh pendidikan. Dr.drh. Ngurah Sudisma, drh. Boky Jeane Tuasikal ,MSi atas dukungan dan dorongan penulis untuk tetap bersemangat menyelesaikan pendidikan ini serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah yang maha luas kasih sayangNya membalas semua kebaikan dengan keberkahan, keselamatan, pahala, dan kebaikan berlipat ganda. Semoga hasil penelitian ini bisa berguna bagi yang memerlukan.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Yetty Ramli, dilahirkan di Padang pada tanggal 31 Januari 1964 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Ramli Sidin dan Husnidar. Menikah dengan Ir. Taslim Husni, Msi dan dikarunia 2 orang anak Yahyasalam Taslim dan Imamurahman Taslim. Pendidikan SD Adabiah Padang lulus tahun 1976, SMP Adabiah Padang lulus tahun 1979, SMA Negeri 2 Padang lulus tahun 1983. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran UNAND, Padang, lulus sarjana kedokteran tahun 1989 dan lulus profesi dokter spesialis Neurologi FK UI tahun 2001. Sejak tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, Program Studi Ilmu Penyakit Syaraf. Pada akhir tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (S-3) pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor .

Jakarta, Juli 2012

(13)
(14)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR SINGKATAN ... X v

DAFTAR TABEL ... X vi

DAFTAR GAMBAR ... X vii

DAFTAR LAMPIRAN ... X viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 5

Manfaat Penelitian ... Alur Penelitian ... 5 6 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Epilepsi ... 7

Definisi Epilepsi ... 7

Klasifikasi Kejang ... 7

Neurofisiologi Epilepsi ... 8

Elektrofisiologi Seluler ... 8

Kanal ion ... 9

Konduktansi Voltage-Dependent Membrane... 9

Konduktansi Hiperpolarisasi ... 9

(15)

xiii

Transmisi Sinaptik Eksitatorik ... 11

Cetusan listrik Neuron Abnormal ... 12

Paroxysmal Depolarization Shift ... 13

Mekanisme Sinkronisasi ... 13

Mekanisme Glial Dalam Modulasi Epileptogenesis ... 14

Epilepsi Lobus temporal ... 15

Anatomi ... 15

Etiologi ... 15

Gambaran klinis ... 19

Pemeriksaan Penunjang ... 19

Diagnosis ... 20

Intervensi Pengobatan ... 21

Stem cell untuk terapi epilepsi ... 23

Potensi stem cell ... 23

Sumber stem cell ... 24

Proses perbaikan jaringan epileptik yang rusak... 24

Manfaat penggunaan stem cell ... 26

HEWAN MODEL UNTUK EPILEPSI ... 28

Abstrak ... 28

Pendahuluan ... 29

Bahan dan Metode ... 30

Hasil dan pembahasan ... 32

Kesimpulan ... 39

Isolasi dan Identifikasi Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell ... 41

Abstrak ... 41

Pendahuluan ... 42

Bahan dan Metode ... 43

(16)

xiv

Kesimpulan ... 48

Transplantasi Bone Marrow Mesenchymal Stem cell untuk model epilepsi ... 49

Abstrak... 49

Pendahuluan ... 50

Bahan dan Metode ... 52

Hasil dan Pembahasan ... 54

Kesimpulan ... 59

Pembahasan Umum... 60

Simpulan dan saran... 64

Daftar Pustaka ... 65

(17)

DAFTAR SINGKATAN

AMPA : α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid APC : Antigen Presenting Cell

ATL : Anterior Temporal Lobectomy bFGF : Basic Fibroblast Growth Factor bMSCs : Bone Marrow Stem Cells BNF : Buffered Neutral Formalin

βME : β-mercaptoethanol Ca1, Ca3 : Corpus Annom 1, EGF : Epidermal Growth Factor

EPSP : Eksitatori Potensial Pos Sinaptik GABA : Gamma Aminobutyric Acid GD : Girus Dentatus

IFN- : Interferon-

ILAE : International League Against Epilepsy IPSP : Inhibitori Pos Sinap Potensial

LTLE : Lateral Temporal Lobe Epilepsy

MTLE-HS : Mesial Temporal Lobe Epilepsy-Hipocampus Sclerosis MRI : Magnetic Resonance Imaging

MRS : Magnetic Resonance Spectroscopy NMDA : N-methyl-D-aspartate

OAE : Obat Anti Epilepsi

PNCs : Progenitor Neural Stem Cell PDS : Paroksismal Depolarisasi Shift PLD : Post Lesion Delay

(18)
(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Peran kanal dan reseptor dalam cetusan listrik normal dan epileptik ... 12 2 Sindroma MTLE-HS ... 21 3 Jenis pengobatan epilpesi dan tingkat keberhasilan pengobatan ... 22 4 Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi

lidocaine dan bicuculine dibandingkan kontrol negatif ... 36

5 Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ketiga dan keenam dibandingkan tikus normal ...

38

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur Penelitian... 6

2 Daerah hipokampus yang terlibat pada epilepsi lobus temporal... 17

3 Hipokampus sklerosis ... 18

4 Hipokampus sklerosis pada epilepsi lobus temporal ... 18

5 Peningkatan GABAdari stem cell embrionik... 27

5 Fotografi daerah kortek hipokampus dan meningen tujuh hari setelah injeksi lidocaine dan bicuculine. 33 6 Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus... 34

7 Perubahan hipokampus pada hari kedua dan hari ketujuh setelah injeksi lidocaine... 35 8 Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus... 36

9 Hipokampus hari ketujuh pasca injeksi lidocaine dan bicuculine ... 37

10 Kultur bone marrow mesenchymal stem cell... 45

11 Identifikasi mesenchymal stem cell... 46

12 Differensiasi bMSCS menjadi PNCs... 47

13 Mesenchymal stem cell sebelum dilabel PKH2 48 14 Mesenchymal stem cell sesudah dilabel PKH2 in vitro dan di otak tikus dilihat dengan mikroskop flourescent 48 15 Transplantasi bMSCs dan progenitor neuron sel setelah dikultur melalui vena ekor dan intra serebral 53 16 Rerata jumlah neuron normal pengamatan 3 minggu di hipokampus 54

17 Rerata jumlah neuron normal pengamatan 6 minggu di hipokampus 55

18 Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada hipokampus 56

19 Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada ginjal dan limpa 57 20 Pemberian stem cell sistemik positif Neu N dan negatif pada

paru-paru dengan pemeriksaan imunohistokimia

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus pada pemberian

zat kemikal dibandingkan dengan kontrol negatif….……… 73

1.1 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh pemberian lidocaine dan bicuculine di hipokampus pada hari ke-7 setelah injeksi...

73

1.2 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal…

73

1.3 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal…

73

1.4 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal…

74

1.5 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal…

74

1.6 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal…

75

1.7 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal…

75

2 Hasil analisis statistik pengaruh pemberian MSCs terhadap neuron yang normal pada hipokampus dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif

75 2.1 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal

di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan ...…

76

2.2 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan ...

76

2.3 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan ...

(22)

xix

Halaman 2.4 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal

di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan ...

77

2.5 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan ...…

77

2.6 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan ...

77

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronik ditemukan pada 50 juta penduduk dunia, dan 85% hidup di negara berkembang. Diperkirakan setiap tahun ditemukan kasus baru sebanyak 2,4 juta orang. Rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk dan 50% dari kasus ini terjadi pada masa anak-anak dan remaja (WHO 2004 dan WHO 2009). Angka kejadian epilepsi di Indonesia saat ini belum ada data yang pasti, dengan jumlah total penduduk Indonesia 222 juta (BPS 2011) diperkirakan jumlah penyandang epilepsi yang membutuhkan pengobatan sebanyak 1,8 juta orang.

Epilepsi memberikan pengaruh cukup besar terhadap kualitas hidup penyandang. Penyandang epilepsi harus minum obat secara teratur dalam jangka waktu panjang, membebani ekonomi keluarga dan adanya stigma dimasyarakat bahwa epilepsi penyakit menular, kutukan, disertai adanya pembatasan untuk mendapatkan pendidikan, olah raga dan pekerjaan. Penyandang epilepsi yang belum terkontrol serangannya, sering kesulitan mendapat pasangan hidup (Mac et al. 2007). Dari hasil survey di komunitas 40% mengatakan penyandang epilepsi tidak layak untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dan 11% dari masyarakat menolak anaknya berteman dengan anak yang menderita epilepsi ( Shidaran 2002).

Pemberian obat secara benar dan teratur pada penyandang epilepsi, 70 sampai 80% dari penyandang dapat hidup normal dan sembuh dengan pengobatan anti epilepsi. Setelah 2 sampai 5 tahun keberhasilan pengobatan dan obat dihentikan lebih kurang 70% dari penyandang epilepsi anak-anak dan 60% penyandang epilepsi dewasa sembuh total tanpa kambuh lagi ( WHO 2009). Sekitar 20-30% dari penyandang epilepsi tidak memberikan respon dengan obat epilepsi (epilepsi intractable). Hasil penelitian pada populasi di Negara Eropa 1 dari 8 orang penyandang epilepsi tidak terkontrol dengan pengobatan yang memadai (Picot et al.

(24)

2

Di negara berkembang 60 sampai 90% dari penyandang epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang maksimal dan menimbulkan konsekuensi gangguan kognitif, psikologi dan sosial (WHO 2004 dan WHO 2009).

Epilepsi menurut ILAE 2008 dibagi atas jenis serangan, lokasi, dan gejala. Salah satu dari klasifikasi epilepsi berdasarkan lokasi yaitu epilepsi lobus temporal. Sebanyak 35% dari penyandang epilepsi lobus temporal menjadi epilepsi kronis dan resisten terhadap pengobatan dengan obat anti epilepsi. Kebanyakan dari penyandang mengalami gangguan fungsi kognitif, gangguan belajar, gangguan memori dan depresi (Sridharan 2002). Defisit tersebut terjadi akibat sklerosis pada hipokampus. Pada epilepsi lobus temporal dengan sklerosis temporal, alternatif pembedahan merupakan salah satu cara untuk mengatasi serangan kejang. Namun demikian tidak semua penyandang intractable dapat ditanggulangi dengan tindakan pembedahan dan masih menyisakan gangguan memori dalam berbagai derajat. Adanya keterbatasan untuk pengobatan epilepsi yang tidak membaik dengan obat anti epilepsi, penggunaan tranplantasi stem cell dapat dipertimbangkan untuk mengaktivasi neurogenesis endogen menggantikan neuron yang mengalami degenerasi (Schuele dan Luders 2008) atau untuk memodulasi hipereksitasi melalui induksi interneuron inhibisi GABA (γ-aminobutyric acid) , dan sebagai faktor neuroprotektif (Raedt dan Boon 2005, Shetty dan Hattiangady 2007, Farin et al. 2009).

Pengetahuan tentang tidak adanya regenerasi dari jaringan otak telah dibantah dengan ditemukannya terapi sel. Salah satu terapi sel adalah dengan menggunakan

stem cell. Meskipun masih dalam tahap penelitian, stem cell dapat mengatasi kerusakan otak akibat penyakit degeneratif pada hewan model dan manusia seperti penyakit parkinson, stroke, trauma medula spinalis, dan Alzheimer (Barker et al.

2003). Saat ini sudah banyak negara di dunia yang memanfaatkan stem cell sebagai salah satu metode pengobatan untuk penyakit-penyakit yang tidak dapat diobati dengan pengobatan kenvensional.

(25)

3

terbentuknya teratoma setelah ditranplantasi. Penggunaan stem cell dewasa atau stem cell induksi pluripoten saat ini banyak dikembangkan dalam berbagai penelitian pengobatan penyakit degeneratif, kanker, kelainan genetik (Raedt dan Boon 2005).

Bone marrow stroma stem cell (bMSCs) merupakan stem cell dewasa, ditemukan pada stromal sumsum tulang mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi kedalam berbagai sel spesifik seperti: otot, kulit, hati, paru-paru, ginjal dan neuron ketika ditranplantasikan kepada hewan dan manusia walaupun sampai saat ini belum jelas fraksi yang mana dari bMSCs yang lebih cendrung untuk berdiferensiasi menjadi tipe sel yang berbeda dari asalnya dalam tubuh, atau mengalami penyatuan (assimilasi dari sel yang ditransplantasi atau menjadi progenitor dan hidup menjadi neuron dan membentuk heterokaryon) dan atau proses transdiferensiasi (konversi langsung begitu ditransplantasikan menjadi neuron) (Pluchino et al. 2005). Perlu adanya kajian ilmiah untuk mempelajari kemampuan diferensiasi dan homing bMSCs setelah ditransplantasikan ke tikus secara intravena dan intraserebral.

Perumusan Masalah

Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis di otak yang dapat menurunkan kualitas hidup penyandangnya apabila serangan kejang tidak terkontrol dengan baik. Pengobatan rutin jangka panjang dan adanya stigma di masyarakat epilepsi merupakan penyakit akibat gangguan jiwa, keturunan, menular ditambah dengan adanya pembatasan dalam bidang pendidikan, olah raga dan pekerjaan serta kesulitan untuk mendapatkan pasangan hidup menimbulkan permasalahan yang besar bagi penyandang epilepsi.

(26)

4

target yang luas di sistim saraf. Epilepsi parsial paling sering terjadi setelah cidera fokal di otak. Epilepsi parsial sering melibatkan lobus temporal dan hipokampus (Naegele et al. 2010). Pengobatan dengan obat anti epilepsi sering gagal mengontrol kejang dan hanya dalam jumlah sedikit dari penyandang epilepsi ini dapat dilakukan intervensi bedah untuk membuang fokus kejang. Disamping membutuhkan biaya yang tinggi, dengan fokus kejang dikedua lokasi hipokampus tindakan operasi tidak mungkin dilakukan karena akan menggangu kemampuan memori dan tidak semua serangan dapat dikontrol dengan operasi, sehingga terapi alternatif dengan menggunakan stem cell dapat dipakai untuk memperbaiki sel-sel neuron yang mengalami degenerasi .

Penggunaan stem cell untuk diaplikasikan kepada manusia sampai saat ini masih diteliti keberhasilan dan efek samping jangka panjang. Para peneliti masih mencari metode pemberian yang terbaik dengan hasil yang maksimal. Pemberian embrionik stem cell melalui intraserebral yang dilakukan Li et al. 2007 membuktikan keberhasilan stem cell dalam mencegah terjadinya kindling (adanya fokus kejang kecil-kecil yang timbul akibat serangan kejang berulang) epileptogenesis pada tikus. Aktivitas kejang ditekan hampir sempurna selama 4 hari pada tikus model kindling

setelah transplantasi sel penghasil adenosine ke dalam ventrikel (Huber et al. 2001). Efek proteksi ini secara bermakna menghilang setelah 3 minggu. Penelitian Chu et al.

2004 menunjukan transplantasi neural stem cell manusia intravena kepada tikus setelah diinduksi kejang status epileptikus dengan pilocarpine terjadi penurunan kejang spontan berulang dari 28 sampai 35 hari setelah status epileptikus.

Penelitian ini akan mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan pembuatan hewan model epilepsi dan stem cell dari kultur bone marrow (bMSCs)

dan progenitor neural cell yang ditransplantasikan melalui pendekatan pemberian intravena dibandingkan dengan pemberian intraserebral yang lebih invasif.

Tujuan Penelitian

(27)

5

Secara rinci tujuan khusus adalah:

1. Untuk membandingkan pemberian zat kimiawi lidocaine dengan bicuculine dalam menginduksi kejang dan menimbulkan kerusakan hipokampus hewan model epilepsi.

2. Untuk membandingkan pengaruh pemberian intravena dengan intraserebral bMSCs dan progenitor neural cell.

3. Untuk mendapatkan terapi stem cell yang terbaik dan tidak menimbulkan penolakan pada resipien dalam mengatasi kerusakan otak dengan menggunakan

stem cell dari bMSCs allogenik yang diberikan intravena dosis berulang dibandingkan dengan pemberian satu kali dosis tinggi.

4. Untuk membandingkan proses perbaikan hipokampus dengan pemberian bMSCs yang tidak diferensiasi dan progenitor neural stem cell dalam mengatasi kerusakan di hipokampus.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Bone marrow mesenchymal stem cell dapat memperbaiki kerusakan hipokampus akibat induksi kejang dengan zat kimiawi.

2. Pemberian bMSCs melalui intravena hasilnya tidak berbeda dengan pemberian intraserebral dalam mengatasi kerusakan di hipokampus.

3. Tranplantasi bMSCs dosis rendah berulang hasilnya lebih baik dalam mengatasi kerusakan hipokampus dibandingkan pemberian satu kali dosis tinggi.

4. Bone marrow mesenchymal stem cell yang tidak berdiferensiasi dalam mengatasi kerusakan di hipokampus tidak berbeda hasilnya dibandingkan progenitor neural stem cell.

Manfaat Penelitian

(28)

6 Alur penelitian

Penelitian ini dibagi 3 tahap seperti yang tercantum pada Gambar 1

Aklimasi hewan model tikus Spraque Dawlley usia 2 bulan, berat badan 200-400 gr

In Vivo :Hewan model epilepsi injeksi intraperitoneal bicuculine 8mg/kgbb, lidocaine 90mg/kgbb Dikorbankan 24 jam, hari ke-3 & ke-7 pasca injeksi

Pengamatan klinis kejang, Histopatologi daerah hipokampus

(pewarnaan HE)

Tikus sehat (K1)

Tikus model epilepsi (K2) Injeksi intravena

bMSCs 1x5x106 (M2) Injeksi intravena

bMSCs 3x2x105 (M1) Aspirasi bone marrow tikus

Kultur bMSCs, identifikasi marker MSCs CD44,CD45,CD105

In Vitro : Kultur jaringan otak tikus diberi Bicuculine 10 µgr

Induksi bMSCs menjadi PNCs Identifikasi PNCs nestin, β aktin

Injeksi intravena PNCs 1x2x105

(M3) Injeksi

intraserebral PNCs 1x2x105

(M4)

Histopatologi daerah hipokampus (pewarnaan HE) Pemeriksaan imunohistokimia Neu N

(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Epilepsi termasuk gangguan neurologis kronis yang cukup serius dengan jumlah penydanang di seluruh dunia mencapai hampir 50 juta penduduk (Sander, 2003). Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 70% sampai 80% dari penderita epilepsi sembuh dengan pengobatan dan sisanya masih menderita kejang dan resisten terhadap pengobatan yang ada saat ini (Kwan dan Sander, 2004). Faktor resiko yang paling sering menjadi penyebab epilepsi adalah penyakit pembuluh darah otak, tumor otak, cedera kepala, kelainan perkembangan kortikal, kelainan genetik, dan infeksi otak (Hesdorffer 2008).

Definisi Epilepsi

Epilepsi didefinisikan (ILAE 2005) sebagai suatu keadaan di mana terjadi lebih dua kali bangkitan epileptik, dengan interval lebih dari 24 jam tanpa diprovokasi yang menyebabkan terjadinya perubahan di otak dan meningkatkan kecenderungan terjadinya serangan selanjutnya dan berhubungan dengan gangguan neurobiologi, kognitif, psikologis dan konsekuensi sosial ( Fisher RS et al. 2005).

Klasifikasi Kejang

(30)

8

NEUROFISIOLOGI EPILEPSI

Epilepsi adalah kelainan yang ditdanai dengan kejang berulang yang disebabkan aktivitas listrik otak abnormal. Ketidakseimbangan antara aktivitas eksitasi dan inhibisi merupakan konsep dasar aktivitas listrik abnormal pada kejang. Aktivitas listrik tersebut merupakan hasil proses biokimiawi pada tingkat sel dalam jaringan neuron yang luas dan melibatkan struktur kortikal dan subkortikal. Keluaran proses tersebut dapat direkam pada elektroensefalografi. Komponen yang penting dalam proses tersebut adalah hipereksibilitas dan hipersinkronisitas (Rho dan Stafstrom 2006).

Elektrofisiologi Selular

Hipokampus

Hipokampus merupakan area otak yang paling banyak diteliti dalam studi elektrofisiologi terkait epilepsi. Hipokampus terdiri dari girus dentatus, hipokampus

proper (Ammon’s horn dengan subarea Ca1, Ca2, dan Ca3), subikulum, dan korteks entorinal. Keempat area ini saling berhubungan melalui koneksi eksitatorik anterograde unidireksional yang besar. Namun demikian, terdapat beberapa proyeksi

retrograde, yaitu dari korteks entorinal ke ammon’s horn dan dari Ca3 ke girus dentatus. Sirkuit trisinaptik yang dominan adalah sirkuit yang bermula dari neuron lapis kedua pada kortek entorinal dan aksonnya bersinaps dengan girus dentatus melalui jalur perforantes yang bersinaps dengan sel granul dan interneuron (Jones 2006).

Sel granul, yang merupakan neuron utama girus dentatus, mengirimkan

aksonnya untuk bersinaps di hilus dan ammon’s horn area Ca3. Sel pyramidal Ca3 mengirimkan aksonnya ke sel pyramidal Ca3 lainnya (melalui kolateral lokal), ke

(31)

9

Kanal Ion

Ada dua tipe kanal ion yang berkaitan dengan proses eksitasi dan inhibisi, yaitu voltage-gated ion channels dan ligdan-gated ion channels. Kanal ion tipe pertama adalah (1) kanal Na dan Ca aktivasi voltasenya akan mendepolarisasi membran sel ke arah ambang batas potensial; dan (2) kanal K yang berfungsi untuk mengimbangi eksitasi neuron. Kanal ion tersebut diaktivasi melalui perubahan potensial membran dan kemudian merubah konformasi kanal ion sehingga dapat dilewati oleh substratnya. Ligdan-gated receptors, seperti reseptor glutamate dan GABA, merupakan tipe kanal ion kedua, yang aktivasinya dimediasi melalui pengikatan ligan sehingga terjadi perubahan konformasi. Perubahan konformasi ion tersebut mengubah permeabilitas kanal terhadap substratnya. Aliran ion tersebut dapat menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi (Rho danStafstrom 2006).

Konduktansi Voltage-Dependent Membrane

Kanal ion Na terdiri dari tiga subunit polipeptida, yaitu subunit alfa dan dua subunit beta yang mempengaruhi kemampuan kinetik subunit alfa. Influx Na menyebabkan depolarisasi awal dan influx Na selanjutnya yang persisten menambah depolarisasi. Selain itu, neuron juga memiliki kanal ion Ca. Daerah hipokampus, sel pyramidal di Ca3 merupakan neuron dengan aliran Ca yang paling signifikan. Aktivasi kanal ion Ca menyebabkan depolarisasi yang pada akhirnya mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, ekspresi gen, dan pola aktivitas listrik neuron. Struktur molekul kanal ion Ca serupa dengan kanal ion Na. Kanal ion Ca merupakan kompleks hetero-oligomerik yang terdiri dari subunit alfa sebagai penyusun pori, dan

subunit yang lebih kecil (α2, β, ɣ, ) yang memodulasi kemampuan kinetik kanal (Jones 2006).

Konduktansi yang Menyebabkan Hiperpolarisasi

(32)

10

merupakan determinan mayor potensial istirahat membran (Rho dan Stafstrom, 2006).

Transmisi Sinaptik Inhibitorik

Inhibisi sinaptik di hipokampus dimediasi melalui dua sirkuit. Sirkuit pertama adalah umpan balik atau inhibisi berulang ketika neuron eksitatorik bersinaps dengan neuron interneuron inhibitorik yang kemudian memproyeksikan kembali sinyal inhibitorik ke neuron eksitatorik. Sirkuit kedua adalah inhibisi anterograde

yang terjadi ketika akson diproyeksikan pada area sinaps dan secara langsung mengaktifkan interneuron inhibitorik yang kemudian menginhibisi neuron eksitatorik. Neurotransmiter yang memediasi proses ini adalah GABA.

GABA adalah asam amino netral yang disintesis dari asam glutamate oleh enzim asam glutamate dekarboksilase. GABA berikatan dengan dua tipe reseptor, yaitu reseptor GABAa dan GABAb yang ditemukan pada hamper neuron kortikal. Reseptor GABAa merupakan makromolekul yang terdiri dari pori ion dan situs ikatan untuk agonisnya dan berbagai substrat alosterik, misalnya benzodiazepine dan barbiturate yang secara berbeda mempengaruhi kinetik reseptor. Reseptor ini

merupakan kompleks heteropentamerik yang terdiri dari polipeptida (subunit α, β, ɣ,

, , π, ρ) yang menyusun kanal ion. Kanal tersebut permeable terhadap ion klorida dan bikarbonat. Aktivasi reseptor GABAa menyebabkan influx Cl- sehingga terjadi hiperpolarisasi ( Rho dan Stafstrom 2006 ).

(33)

11

reseptor GABAa di membrane pascasinaps sehingga menyebabkan disinhibisi ( Sharma et al. 2007)

Transmisi Sinaptik Eksitatorik

Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama. Jalur yang dimediasi glutamate tersebar di berbagai area otak dan berperan dalam perkembangan otak yang normal dan plastisitas sinaps. Reseptor glutamate ionotropik terdiri dari reseptor NMDA(N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA. Reseptor NMDA terdiri dari situs ikatan glutamate dan modulator lainnya (glisin, poliamin, MK-801, dan lain-lain). Reseptor NMDA juga mendemonstrasikan blokade yang difasilitasi voltase oleh ion Mg. Ketika membrane terdepolarisasi dan blokade Mg terhadap reseptor NMDA tersupresi, aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influx Ca dan Na. Influx

Ca esensial dalam kaskade aktivasi berbagai enzim kinase yang pada akhirnya mengamplifikasi transduksi sinyal dan regulasi transkripsi. Aktivasi reseptor NMDA menggenerasi potensial pascasinaps yang lambat dan berdurasi lama. Fenomena sinaptik tersebut berkontribusi pada cetusan epileptiform, dan blokade reseptor NMDA berperan dalam atenuasi aktivitas epileptiform pada berbagai model (Sharma et al. 2007).

(34)

12

Cetusan Listrik Neuron yang Abnormal

[image:34.612.106.533.316.675.2]

Pada situasi normal, potensial aksi yang digenerasi oleh suatu neuron akan menyebar ke neuron di dekatnya melalui mekanisme sinaptik atau efatik (potensial elektrik) termasuk ke neuron yang bersifat eksitatorik dan inhibitorik. Keseimbangan antara proses eksitasi dan inhibisi merupakan kunci aktivitas listrik otak yang normal. Aktivitas inhibisi tersebut dapat diperantarai oleh neuron tunggal di hipokampus yang memiliki koneksi luas dengan berbagai neuron kortikal. Oleh karena itu, untuk menimbulkan cetusan listrik abnormal di otak diperlukan suatu sinkronisitas berbagai neuron untuk melawan mekanisme penyeimbang inhibitorik di hipokampus tersebut seperti yang tercantum pada tabel 1 ( Rho dan Stafstrom 2006 ).

Tabel 1. Peran Kanal dan Reseptor dalam Cetusan Listrik Normal dan Epileptik

Kanal atau Reseptor Peran dalam Fungsi

Neuronal Normal

Peran dalam Epilepsi

Voltage-gated Na channel Subthreshold EPSP, action potential up-stroke

Cetusan potensial aksi repetitive

Voltage-gated K channel Action potential down-stroke Repolarisasi potensial aksi abnormal

Ca2+-dependent K+ channel Hiperpolarisasi pasca potensial aksi; generasi periode refrakter

Membatasi cetusan repetitive

Voltage-gated Ca channel Pelepasan transmitter, membawa depolarisasi dari dendrite ke soma

Pelepasan transmitter berlebihan, aktivasi proses intraselular patologis

Reseptor non-NMDA EPSP yang cepat Inisiasi paroxysmal depolarization shift

Reseptor NMDA EPSP yang lambat dan berkepanjangan

Mempertahankan PDS, Ca mengaktivasi proses intraselular patologis

Reseptor GABAa IPSP Membatasi eksitasi Reseptor GABAb IPSP berkepanjangan Membatasi eksitasi Sianaps elektrikal Transmisi eksitatorik yang

sangat cepat

Sinkronisasi cetusan neuronal

Pompa Na-K Restorasi keseimbangan ion Mencegah depolarisasi yang diinduksi K

(35)

13

Paroxysmal Depolarization Shift

Fenomena di tingkat selular yang berkorelasi dengan cetusan epileptiform interiktal adalah paroxysmal depolarization shift yang terlihat melalui perekaman menggunakan mikroelektrode. Pada awalnya, terjadi pergeseran potensial membran secara cepat yang mengarah ke depolarisasi, yang kemudian diikuti cetusan potensial aksi repetitif yang berlangsung selama beberapa ratus milidetik. Depolarisasi inisial dimediasi oleh reseptor non-NMDA, sedangkan depolarisasi yang lebih persisten dimediasi oleh reseptor NMDA. Kemudian, paroxysmal depolarization shift

mengalami terminasi melalui fase repolarisasi sebagai konsekuensi peningkatan konduktansi K dan Cl yang dimediasi reseptor GABA. Periode hiperpolarisasi yang berkepanjangan setelah paroxysmal depolarization shift dimediasi oleh konduktansi ion inhibitorik sehingga menghasilkan periode refrakter ( Rho dan Stafstrom 2006 ).

Mekanisme Sinkronisasi

Formasi hipokampus secara normal menunjukkan sinkronisitas neuron. Gelombang tajam, paku, aktivitas teta, dan osilasi berfrekuensi 40Hz dan 200 Hz merupakan berbagai bentuk sinkronisasi neuron yang dapat direkam pada berbagai area hipokampus. Aktivitas neuron yang sinkron merupakan kerja intrinsik hipokampus yang normal. Sinkronisasi neuron juga merupakan konsep dasar epilepsi. Sinkronisitas yang digenerasi oleh hipokampus dapat menyebabkan kejang. Aktivitas sinkron yang normal yang tidak menggenerasi cetusan epileptiform dapat mencetuskan kejang pada hipokampus yang kehilangan neuronnya secara selektif, reorganisasi sinaptik, dan perubahan ekspresi reseptor.

(36)

14

neuron utama. Karakteristik tersebut mencerminkan bahwa interneuron sebagai target efektif dalam modulasi subkortikal aktivitas sel utama hipokampus. Interaksi inhibitorik mutual di antara interneuron hipokampus menghasilkan sinkronisasi.

Sirkuit eksitatorik berulang merupakan dasar lain dalam sinkronisasi neuronal di hipokampus. Kolateral eksitatorik berulang merupakan karakter utama area Ca3 (sel pyramidal di Ca3 membentuk koneksi monosinaptik langsung dengan sel pyramidal Ca3 lainnya). Interaksi eksitatorik tersebut berkontribusi pada cetusan

sinkron yang merupakan karakteristik area Ammon’s horn. Pada epilepsi lobus temporal terjadi reorganisasi sinaptik, dan sprouting aksonal menyebabkan eksitasi berulang yang pada akhirnya merupakan suatu mekanisme sinkronisasi di area lain formasi hipokampus (termasuk di Ca1, kompleks subikular, korteks entorinal, dan girus dentatus). Pada girus dentatus yang normal, sel granul tidak atau hanya sedikit membentuk monosinaps dengan sel granul lainnya, sedangkan pada girus dentatus yang abnormal terjadi sprouting akson sel granul yang bersinaps dengan sel granul lainnya. Fenomena tersebut berkontribusi pada interaksi eksitatorik langsung di antara sel-sel tersebut.

Mekanisme lainnya dalam sinkronisasi juga melibatkan gap junction, efek lapang elektrik dan perubahan konsentrasi ion ekstraselular. Adanya gap junction

menyebabkan penyebaran potensial aksi ke sel yang berdekatan walaupun tanpa hubungan sinaptik. Potensial aksi juga menyebar melalui substrat antar sel yang disebut sebagai efek lapang elektrik. Peningkatan konsentrasi K ekstraselular mempengaruhi eksitabilitas epileptogenik dan sinkronisasi (Najm et al. 2006; Sharma

et al. 2007)

Mekanisme Glial dalam Modulasi Epileptogenisitas

(37)

15

meregulasi glutamate keluar dari kompartemen ekstraselular. Kemampuan dalam meregulasi glutamate keluar dari kompartemen ekstraselular dimungkinkan karena adanya dua molekul transport glutamate pada membrane sel glial. Penyingkiran glutamate dari ekstraselular pascadepolarisasi mencegah depolarisasi terus-menerus pada neuron. Sel glia juga mampu meregulasi pH esktraselular melalui transport proton dan bikarbonat. Aktivitas neuron yang minimal mampu menyebabkan perubahan pH signifikan.Perubahan pH tersebut memodulasi fungsi reseptor NMDA yang berperan dalam eksitabilitas neuron.Sekresi sel glial, berupa glutamate dan sitokin (Il-1) berperan dalam eksitabilitas dan mekanisme antiepileptik (Najm et al.

2006).

EPILEPSI LOBUS TEMPORAL

Anatomi

Epilepsi yang berasal dari lobus temporal dibagi menjadi dua yaitu bagian mesial (Mesial Temporal Lobe Epilepsi/MTLE) yang berasal dari hipokampus & amigdala dan bagian lateral (lateral temporal lobe epilepsy / LTLE) yang berasal dari neokorteks & bagian perifer lobus temporal (Qureshi 2007). Sistem limbik terdapat pada otak bagian medial mengelilingi tepi ventrikel yang terdiri atas girus singuli, girus parahipokampus, amigdala, nukleus septal dan hipokampus. Secara anatomis, hipokampus terletak pada unkus (bagian medial lobus temporal) dan memiliki fungsi penting dalam memori jangka panjang dan kemampuan recall (Titus et al. 2007 dan Mathern et al. 2008). Hipokampus dibagi menjadi empat bagian yaitu subiculum, kornu amonis regio superior (Ca1), kornu amonis regio inferior (Ca3) dan girus dentata. Girus dentata hampir sebagian besar terdiri atas sel granula dengan akson

yang disebut sebagai “mossy fibers” (Qureshi 2007) .

Etiologi

(38)

16

demam pertama kali dilaporkan 30 tahun yang lalu (Engel et al. 2008). Hal ini juga didukung dengan penelitian terkini dimana diantara beberapa faktor risiko yang mungkin memicu terjadinya sklerosis, 66% pasien memiliki riwayat kejang demam berkepanjangan (prolonged febrile convulsions) ( Qureshi 2007, Engel et al. 2008). Saat ini terdapat dua teori populer tentang mekanisme dasar terjadinya sklerosis pada kejang demam (Panayiotopoulus 2005). Teori pertama menyatakan bahwa kejang demam yang berkelanjutan menyebabkan perubahan pada hipokampus sedangkan pendapat kedua menyatakan abnormalitas hipokampus sebelumnya menjadi faktor predisposisi terhadap kejang demam yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut ( Qureshi 2007, Panayiotopoulus 2005, Engel et al. 2008). Merkenschlager et al. 2009 melaporkan kasus pediatri dengan kejang demam kompleks yang berkepanjangan dimana MRI saat onset dalam batas normal namun 1 tahun kemudian saat dilakukan MRI follow-up tampak lesi pada hipokampus selanjutnya menjadi atrofi. Berdasarkan laporan kasus tersebut, mereka mendukung hipotesis bahwa kejang demam berkepanjangan dapat menyebabkan sklerosis tanpa adanya lesi pendahuluan pada hipokampus. Meskipun demikian, hingga saat ini kedua teori ini masih sering diperdebatkan terutama dalam hal risiko terjadinya MTLE-HS setelah kejang demam.

Etiologi lain yang diduga menyebabkan sklerosis adalah cidera awal seperti trauma dan infeksi pada otak yang menjadi faktor presipitasi (McIntyre 2008). Sklerosis pada hipokampus juga diduga berhubungan dengan mikrodisgenesis karena ditemukan pada pasien dengan lesi diplastik (hamartoma, heterotopia) serta riwayat keluarga dengan epilepsi dan kejang demam yang mengarah kepada kemungkinan predisposisi genetik atau kongenital (Janszky 2004, McIntyre 2008) .

(39)

17

dentatus. Kejang dimulai pada akhir masa kanak-kanak dan remaja. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan kejang demam pada masa kanak-kanak dan pada beberapa penelitian ditemukan adanya riwayat infeksi herpes simplex virus (HSV) DNA dan diduga etiologi epilepsi akibat proses infeksi, riwayat trauma kepala dan status epileptikus (Najm et al. 2006, Qureshi 2007).

[image:39.612.99.528.193.319.2]

Gambar 2. Daerah hipokampus yang terlibat pada saat epilepsi lobus temporal

(Sharma et al. 2007)

Gambaran sklerosis pada MTLE-HS memiliki keunikan tersendiri karena berbeda dengan sklerosis akibat kelainan serebral lainnya (Panayiotopoulus 2005). Pola kerusakan hipokampus pada MTLE-HS adalah spesifik yaitu hilangnya sel neuron terutama pada daerah Ammon horn (Ca1 & prosubiculum; sering disebut sebagai sektor Sommer) dan pada sel granula fasia dentata (Titus et al. 2007). Sedangkan pola kerusakan hipokampus pada cidera akibat penyakit hati kronis atau hipoksia-iskemia mengenai seluruh hipokampus termasuk Ca2, subiculum dan girus parahipokampus. Dengan demikian, sklerosis hipokampus pada MTLE-HS berarti spesifik pada daerah Ammon horn yaitu pada Ca1, neuron hilar dan neuron Ca2 Engel et al. 2008). Gambar 1 menunjukan lokasi hipokampus yang sering rusak pada epilepsi lobus temporal (Sharma et al. 2007).

(40)

18

inhibisi neuron akibat gangguan pelepasan GABA, gangguan ekspresi reseptor GABAA, abnormalitas fungsi K channel, dan hipersinkronisasi mediasi neuron

inhibisi (Mody dan Heinemann 1987).

[image:40.612.106.443.249.418.2]

Gambaran histopatologi yang timbul hilangnya sel neuron, degenerasi, proliferasi glial dan muncul hipertrofi dan didaerah neuron yang hilang, hipokampus menjadi sklerotik seperti terlihat pada Gambar 2. Kerusakan hipokampus kebanyakan asimetri hanya 10% yang rusak simetris dan mungkin berhubungan dengan kelainan ekstrahipokampus seperti tumor.

Gambar 3.Hipokampus sklerosis (Boeve et al. 2006)

[image:40.612.105.493.550.663.2]

Dari percobaan binatang ditemukan kejang akut menginduksi neurogenesis, sementara pada kejang berulang terjadi pengurangan neurogenesis. Status epileptikus akan menyebabkan hilangnya sel neuron terutama di daerah girus dentatus hipokampus daerah Ca1 dan Ca3, daerah amygdala, kortek piriform, talamus, serebelum dan kortek serebri.

(41)

19

Gambaran Klinis

MTLE-HS dapat memberikan manifestasi berupa bangkitan fokal sederhana maupun kompleks. Bangkitan fokal yang kemudian berkembang menjadi umum biasanya jarang ditemukan pada pasien dengan pengobatan yang adekuat (Panayiotopoulus 2005).

Anatomi dan fisiologi sistem limbik sangat mempengaruhi tdana dan gejala dari epilepsi limbik. Cetusan yang terbatas hanya pada hipokampus jarang memberikan manifestasi klinis yang berarti. Aura yang khas ditemukan berasal dari proyeksi ipsilateral. Gejala otonom dan emosi seperti rasa takut mungkin disebabkan dari penyebaran ke hipotalamus dan insula. Gejala psikis termasuk gangguan sensorik multimodal dapat berasal dari proyeksi neokortikal terutama pada perbatasan temporo-parieto-oksipital. Struktur limbik yang juga berperan pada memori termasuk indra pengecap dan penghidu dapat menyebakan aura olfaktorius dan gustatorius (Engel et al. 2008).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan EEG rutin pada MTLE-HS dapat memberikan hasil yang normal atau berupa gambaran non-spesifik. Karakteristik gambaran EEG inter iktal berupa gelombang paku atau tajam serta gelombang lambat pada daerah temporal anterior dan paling maksimal pada elektroda bagian basal seperti sfenoidal, true temporal dan aurikuler. Gambaran ini dapat ditemukan bilateral secara independen pada sepertiga kasus (Engel et al. 2008, Janzsky 2005). Fenomena ini disebut sebagai “mirror focus” yang timbul pada lobus temporal kontralateral. Pada epilepsi limbik terdapat

(42)

20

(MRI) adalah alat diagnostik yang paling penting. MRI dengan resolusi tinggi biasanya dapat menunjukkan adanya atrofi hipokampus pada hampir sebagian besar pasien MTLE dengan epilepsi intractable. Pada T2, sering ditemukan daerah hiperintens pada area hipokampus yang sklerotik (Panayiotopoulus 2005, Williamson dan Engel 2008).

Pemeriksaan mutakhir lainnya adalah dengan menggunakan FDG-PET (positron emission tomography with F-fluorodeoxyglucose). Pemeriksaan ini paling sensitif dalam identifikasi defisit fungsional fokal yang berhubungan dengan sklerosis hipokampus berupa daerah hipometabolisme yang luas melibatkan thalamus, ganglia basal dan struktur lain yang bersifat ipsilateral. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), sklerosis pada hipokampus dapat dicurigai bila dijumpai penurunan N-acetylaspartate (Engel dan Williamson 2008).

Meskipun demikian, pada kasus epilepsi dimana ditemukan gambaran sklerosis pada MRI yang sesuai dengan klinis, mungkin tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan (Panayiotopoulus 2005).

Diagnosis

(43)

21

Tabel 2 Sindroma MTLE-HS ( Alving 1995).

Riwayat kejang demam

Perjalanan penyakit bifasik (kejang parsial kompleks pada dekade pertama dan

terjadi rekurensi setelah “remisi”

Aura dengan rasa takut atau gejala vegetatif

Tidak ditemukan / jarang sekali terjadi kejang umum sekunder

EEG : Gelombang paku/tajam-lambat pada temporal anterior

MRI : atrofi hipokampus ipsilateral & peningkatan intensitas sinyal pada T2

Intervensi Pengobatan

Pengobatan epilepsi yang ada saat ini tidak semuanya bisa mengendalikan serangan. Dibutuhkan intervensi dimasa mendatang untuk meringankan penderitaan penydanang epilepsi akibat penyakit kronis dan memberikan dampak terhadap kehidupan dan kualitas hidup pasien.

Terapi pembedahan

(44)

22

tidak mengalami perubahan dan 10% mengalami perburukan (Qureshi 2007, Engel et al. 2008, McIntyre dan Schwartzkroin 2008). Efek samping pembedahan yang sering dibahas adalah risiko defisit kognitif akibat tindakan reseksi. Diperkirakan 50-60% pasien setelah 5 tahun paska bedah dapat mengalami gangguan memori lebih lanjut. Derajat beratnya defisit kognitif tergantung dari jaringan reseksi, keadaan fungsional sebelum operasi dan kontrol kejang. Reseksi jaringan yang selektif dapat membantu mengurangi risiko terjadinya defisit kognitif setelah pembedahan ( Engel et al. 2003, Helmstaedter dan Kockelmann 2006).

Terapi lain

[image:44.612.107.533.361.508.2]

Pengobatan yang ada saat ini ditunjukkan pada Tabel 3 ( Blaise et al. 2001) dengan melihat angka kejadian bebas kejang setelah intervensi terapi:

Tabel 3 Jenis pengobatan epilepsi dan tingkat keberhasilan pengobatan

No

Jenis terapi Bebas kejang Potensial perbaikan

1 Obat anti epilepsi 10-80% Beberapa kasus 2 Operasi 50-80% Tidak ada 3 Vagus nerve stimulator < 10 % Tidak ada 4 Diet ketogenik < 30% Tidak ada

(45)

23

Stem cell untuk terapi epilepsi lobus temporal

Stem cell adalah sel yang belum terspesialisasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel yang berbeda di dalam tubuh. Stem cell memiliki 3 kemampuan unik yaitu mereka memiliki kemampuan membelah dan memperbaharui (meregenerasi) dirinya sendiri secara berulang-ulang dalam waktu yang lama, dan dapat berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel, dengan fungsi yang lebih khusus, seperti sel saraf, sel jantung, sel otot, sel hati, sel tulang (Korbing dan Estrov, 2003)

Stem cell dapat dikategorisasi menurut potensi yang dimiliki oleh sel tersebut maupun menurut asalnya.

Stem Cell Berdasarkan Potensinya

Ada 3 tingkatan dalam potensi stem cell, sebagai berikut:

1. Totipoten stem cell; sel telur yang sudah mengalami fertilisasi memiliki kemampuan total untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel apapun. Stem cell totipoten diperoleh dari sel induk embrio, hasil pembuahan sel telur oleh sperma atau melalui somatik transfer inti (somatic cell nuclear transfer /SCNT) atau melalui partenogenetik; sel telur tanpa pembuahan sel sperma (Bongso 2005).

2. Pluripoten stem cell; dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel apapun (dapat membetuk 3 lapisan germinal : ektoderm, mesoderm, dan endoderm) kecuali jenis sel yang dibutuhkan selama perkembangan fetus (jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat) contohnya adalah stem cell embrionik (Bongso 2005).

(46)

24

Stem cell Berdasarkan Asalnya

Sel induk embrio (embryonal stem cells)

Sel induk ini diambil dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan). Massa sel bagian dalam mengelompok dan mengdanung sel-sel induk embrionik. Sel diisolasi dari massa sel bagian dalam dan dikultur secara in vitro. Sel induk embrional dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel hati, sel-sel otot, sel-sel ginjal serta sel-sel yang lainnya (Radt dan Boon, 2005).

Stem cell dewasa (adult stem cells)

Adult stem cells adalah stem cell yang terdapat di semua organ tubuh, dan berfungsi untuk melakukan regenerasi dalam mengatasi berbagai kerusakan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Adult stem cell diambil dari jaringan dewasa, seperti susunan saraf pusat, adiposit (jaringan lemak), otot rangka, atau pankreas fetus (fetal stem cells), sum-sum tulang (bone marrow stem cells), darah perifer , darah tali pusat, sel rambut, jaringan adipose, pulpa gigi, hati (Kolf et al. 2007, Rastegar et al. 2010)

Adult stem cell mempunyai sifat plastis, artinya selain berdiferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya, juga dapat berdiferensiasi menjadi sel jaringan lain. Seperti mesenchymal stem cells yang ada di bone marrow dan sel darah tali pusat dapat berubah menjadi sel otot jantung, sel beta pankreas. sel neuron, pembuluh darah, sel otot dan sel tulang (Kolf et al. 2007, Rastegar et al. 2010).

Kemampuan stem cell untuk berdiferensiasi dipengaruhi oleh 2 signal yaitu signal internal dan signal eksternal. Signal internal berupa gen-gen yang berisi kode-kode untuk mengatur struktur dan fungsi seluler. Signal eksternal dapat berupa senyawa kimia yang disekresikan oleh sel lain, kontak fisik dengan sel tetangga, atau pengaruh molekul tertentu di lingkungan sel (Korbing dan Estrov 2003; Raedt dan Boon 2005).

Proses perbaikan struktural dari jaringan epileptik yang rusak

(47)

25

Pada kasus epilepsi lobus temporal, sklerosis hipokampus merupakan target perbaikan yang terpenting pada epilepsi lobus temporal. Namun upaya menjembatani perbaikan struktural yang rusak pada jaringan hipokampus untuk menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi jelas merupakan tantangan tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan, sklerosis hipokampus berhubungan hilangnya berbagai tipe dari neuron eksitasi dan inhibisi di berbagai area yang berbeda pada struktur hipokampus. Untuk itu perbaikan seluler dari sklerosis hipokampus akan membutuhkan implantasi jamak/multipel dengan berbagai tipe sel berbeda pada struktur hipokampus. Proses implantasi membutuhkan kemampuan untuk dapat bertahan, bermigrasi ke sel yang sesuai, tumbuh dalam bentuk fenotip yang sesuai baik jumlah dan lokasi di hipokampus, dapat memberikan respons input aferen yang sesuai dan mampu bertahan dalam jangka panjang pada neuron induk target secara baik (Chu et al. 2004, Raedt dan Boon 2005).

2. Transplantasi sel hipokampus fetal

Neuron hipokampus fetal telah ditransplantasikan di hipokampus melalui model injeksi asam kainat intraventrikular. Pada model ini, terdapat kehilangan selektif dari neuron pyramidal Ca3 dan menghasilkan bangkitan spontan di limbik. Tingkat bertahannya sel dipengaruhi oleh postlesion delay (PLD) , usia tikus, dan tipe sel yang ditransplantasikan. Angka bertahan hidup tertinggi (77%) terlihat pada sel Ca3 fetal yang ditransplantasikan pada tikus muda matur dengan PLD selama 4 hari. Jika PLD memanjang, fraksi sel yang bertahan hidup menjadi turun (21-31% jika PLD selama 45 hari). Kemampuan bertahan dapat meningkat, hingga mencapai 99% dengan pemberian growth factor dan faktor anti apoptosis. Angka bertahan hidup juga dipengaruhi oleh spesifitas sel ( Shetty et al. 2007, Acharya et al. 2007).

3. Transplantasi neural stem /sel progenitor

(48)

26

kemurnian dan viabilitas transplan yang sulit dikontrol sehingga hasil transplanstasi menjadi sulit dikontrol ( Chu et al. 2004)

Manfaat dari penggunaan stem cell

Penelitian tentang penggunaan stem cell saat ini masih dilakukan untuk menguak misteri dari sel induk ini. Karena sel ini dapat berdifferensiasi secara spontan maupun dikontrol dengan berbagai pengarahan baik di in vitro maupun in vivo dengan induksi yang benar atau signal yang bisa merangsang menjadi sel spesifik. Keberhasilan penggunaan stem cell tergantung dari biomaterial yang dipakai, kontrol sistem dari growth factor, protokol sistem transplantasi dan sistem imun resipien (Rho dan Stafstrom 2006).

Penelitian stem cell untuk pengobatan epilepsi tidak sebanyak penelitian pada stroke karena etiologi dan patofisiologi epilepsi dengan berbagai variasi seperti kelainan genetik, kriptogenik, idiopatik dan simtomatik. Dari penelitian yang telah dilakukan pada hewan dengan terapi stem cell adalah epilepsi lobus temporal karena ada lesi fokal di hipokampus dan sekitarnya berupa hipokampus sklerosis dan cendrung intraktabel (Shetty dan Hattiangady 2007), menyimpulkan pengobatan epilepsi dengan embrionik stem cell melalui pendekatan penghambatan proliferasi dan abnormal migrasi sel neuron yang terbentuk akibat status epileptikus dan menyebabkan timbulnya spontaneous epileptiform selanjutnya berkembang menjadi epilepsi kronik. Payanm Muhammad Gharibani et al.2009 menemukan mesenchymal stem cell dari bone marrow in vitro dapat mengalami transdiferensisasi menjadi sel

Gaba-ergic Like neuron ( Raedt dan Boon 2005.)

(49)

27

hipokampus kanan tikus, dengan pemberian asam kainat sebagai penginduksi terjadinya epilepsi. Aktivitas hipokampus dan nukleus amigdala dimonitor dengan EEG monitoring selama 24 minggu setelah tranplantasi. Hasil penelitian menunjukkan pengurangan frekuensi aktivitas epileptiform dan penurunan 50% amplitudo bangkitan di minggu ke 1, 4, 8 dan 24 minggu setelah transplantasi. Hasil ini, dapat memberikan masukan bahwa stem cell hipokampus dari hipokampus post

natal menjanjikan efek perbaikan pada otak epileptik yang diinduksi asam kainat. Masiano et al. 2009 melakukan pemaparan peningkatan progenitor GABA ergik dari stem cell embrionik dengan memodifikasi kondisi kultur yang ada. Upaya kombinasi growth factors, molekul sinyal, atau media yang sudah terkondisi dari kultur embrionik precursor GABA ergik merupakan berbagai pendekatan dari yang sudah dilakukan. Kondisi ini merupakan pendekatan yang menjanjikan seperti yang digambarkan dalam petunjuk gambar 5 di bawah ini.

(50)
(51)

PEMBUATAN HEWAN MODEL TIKUS PUTIH

(RATTUS NOVERGICUS) UNTUK EPILEPSI

ABSTRAK

Hewan model diperlukan untuk melakukan penelitian yang belum bisa diterapkan pada manusia karena terkait etika. Tidak semua hewan model dapat ideal menerangkan semua isu tentang proses terjadinya epileptogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk membuat hewan model epilepsi dengan menginduksi kejang menggunakan zat kimia. Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu in vivo dan in vitro. In vivo menggunakan bahan bicuculine (8mg/kgbb) dan lidocaine (90mg/kgbb) dengan menginjeksi tikus intraperitonial. In vitro menggunakan kultur otak tikus yang diberi bicuculine 10 µg di dalam 5x106 sel otak tikus/10 cm cawan kultur. Penelitian in vivo menunjukkan gejala klinis kejang pada saat induksi kedua zat kimiawi dengan stadium yang tidak berbeda bermakna tetapi kerusakan yang timbul di hipokampus pada pemberian lidocaine bersifat reversibel. Kerusakan dengan pemberian bicuculine lebih berat dibandingkan lidocaine dan bersifat ireversibel di semua lokasi hipokampus Ca1, Ca3, dan girus dentatus pada hari ketujuh setelah diinjeksi. Penelitian in vitro terjadi kematian sel otak tikus dimulai pada hari ketiga kultur. Kematian sel mencapai 50% pada hari ketujuh. Bicuculine merupakan zat neurotoksik yang dapat dipakai untuk membuat hewan model epilepsi.

Kata kunci: hewan model, bicuculine, lidocaine, epilepsi

ABSTRACT

An experimental animal model is needed for experiments that can't be performed in humans due to certain ethical issues. Not all animal model is ideal to explain the process of epileptogenesis. The aims of this study to made animal model for epilepsy. This research divided two stages there were in vivo and in vitro. In vivo used bicuculine (8mg/kgbb) and lidocaine (90mg/kgbb lidocaine) injected intraperitonial.

In vitro used bicuculine 10 µg in 5x106 cell of neuron rat/10 cm culture flask. In vivo

showed that identifying damaged of lidocain injection reversible at hypocampus. Brain damaged with bucuculine most severe compared to lidocain and irreversible occurred at hypocampus Ca1, Ca3 and gyrus dentatus after the 7th day of treatment. In vitro showed that necrotic of rat brain started 3rd day of treatment. Cell dead more than 50% after 7th day of treatment. Bicuculine was neurotoxic agent and better when applied to create an epilepsy animal model.

(52)

29

PENDAHULUAN

Pembuatan hewan model untuk percobaan epilepsi merupakan suatu hal yang penting untuk mengetahui patogenesis dan mekanisme pengobatan epilepsi. Model epilepsi pada hewan mempu

Gambar

Gambar 1 Alur penelitian
Tabel 1. Peran Kanal dan Reseptor dalam Cetusan Listrik Normal dan Epileptik
Gambar 2. Daerah hipokampus yang terlibat pada saat epilepsi lobus temporal
Gambar 4 Hipokampus sklerosis pada epilepsi lobus temporal ( Chang dan Lowenstein 2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sampel dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing 6 ekor tikus yaitu kelompok kontrol yang diberi pakan standar dan diet kuning telur, kemudian kelompok perlakuan 1, 2 dan

The viability test was carried out using the MTT Assay method on bone marrow mesenchymal stem cell cultures with the concentration of peptide solution and gouramy

Potensi Modifikasi Eksosom Derivat Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell (BMMSC) dengan Rabies Viral Glycoprotein (RVG) sebagai Modalitas Mutakhir dalam Penatalaksanaan

Ini artinya bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok luas jaringan fibrotik otot gastrocnemius yang diberikan mesenchymal stem cellsdengan kelompok tendon yang

x x: x-x 1 Skin Mast Cell Promotion in Random Skin Flaps in Rats using Bone Marrow Mesenchymal Stem Cells and Amniotic Membrane Farzaneh Chehelcheraghi*1, Abolfazl Abbaszadeh2

Reviews The Effect of Bone Marrow e Derived Mesenchymal Stem Cell Transplantation on Allodynia and Hyperalgesia in Neuropathic Animals: A Systematic Review with Meta-Analysis Mostafa

Significant increase in the expression of IL-6, TNF, and TGF in induced fibrosis group with decrease in their expression after mesenchymal stem cells treatment, the reverse result was

Kelompok kontrol P0 terdiri 9 ekor tikus yang diberikan aquades .Kelompok P1 terdiri 9 ekor tikus yang diberikan dexamethasone 3,2 mg/Kg BB peroral kemudian diberikan aquades selama 6