PEMBUATAN HEWAN MODEL TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) UNTUK EPILEPSI
PEMBAHASAN UMUM
Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan kejang spontan berulang akibat cetusan listrik abnormal di otak. Faktor resiko yang paling sering menjadi penyebab dari epilepsi adalah penyakit pembuluh darah di otak, tumor otak, infeksi otak, cedera kepala, kelainan perkembangan kortikal di otak dan kelainan genetik (WHO 2005).
Penyandang epilepsi sebanyak 70-80% bisa terkontrol serangannya dengan pengobatan obat anti epilepsi yang tersedia saat ini dan lebih dari 30 % tidak terkontrol serangan kejangnya, tidak menjalani pengobatan karena adanya efek samping obat atau karena pengobatan yang tidak maksimal (Raedt et al. 2007).
Epilepsi intractable (tidak terkontrol serangan kejang dengan obat anti epilepsi) pengobatan melalui intervensi bedah dapat mengurangi serangan kejang dengan membuang lokasi otak sebagai sumber kejang tetapi pada epilepsi yang lokasi fokus kejangnya tidak jelas tindakan operasi tidak dapat dilakukan. Alternatif tindakan lain pengobatan dengan pemasangan alat vagus nerve stimulation dan deep brain stimulation. Pengobatan ini disamping mahal, angka kejadian bebas kejang setelah 12 tahun di evaluasi hanya 50% (Ben 2002).
Pengobatan alternatif yang terbaik untuk mengatasi serangan epilepsi saat ini masih diteliti di seluruh dunia. Pendekatan terapi genetik dan terapi sel saat ini sudah dilakukan di berbagai negara. Belum ada data yang pasti angka keberhasilan yang dicapai dengan pendekatan terapi sel dan genetik. Secara umum pendekatan strategis terapi sel dalam mengatasi kerusakan otak yaitu: (1) sel ditranplantasi untuk menggantikan neuron yang hilang atau (2) dengan memanipulasi proses penyakit (Raedt et al. 2007).
Stem cell telah banyak dilakukan penelitian oleh para ahli untuk penyakit degeneratif dan kerusakan otak. Stem cell dari berbagai sumber juga telah diteliti untuk mengatasi epilepsi intractable. Mesenchymal stem cell merupakan salah satu dari sumber stem cell yang dipakai dalam penelitian ini. MSCs dapat diperoleh diberbagai organ tubuh. Dari penelitian yang telah dilakukan selama ini MSCs terbukti secara bermakna mempunyai kemampuan sebagai anti inflamasi,
61
anti proliferasi, anti apoptosis dan untuk pengganti sel yang rusak (Uccelli et al.
20011).
Dari hasil penelitian ini bicuculine dapat dipakai untuk induksi kejang pada hewan model dengan terbuktinya kerusakan akibat penyuntikan bicuculine sudah terlihat pada pengamatan 24 jam. Proses kerusakan berjalan terus sampai 6 minggu pengamatan. Bicuculine merupakan antagonis GABA yang bersifat neurotoksik apabila diberikan sistemik maupun intraserebral menyebabkan depolarisasi dan hipereksitabilitas neuron terutama di daerah hipokampus. Pemberian bicuculine secara sistemik akan menyebabkan gangguan pada sawar darah otak, pembengkakan astrosit akibat pelepasan potasium dari sel saraf yang timbul pada saat awal serangan kejang. Hasil ini sama dengan penelitian Soederfeldt et al. 1983 membuktikan setelah 1 jam induksi bicuculine terjadi kerusakan permanen sejumlah neuron di kortek serebri.
Bone marrow merupakan salah satu sumber dari mesenchymal stem cell
yang bersifat multipoten. Bone marrow berasal dari mesoderem akan membentuk osteoblas, kondrosit dan adiposa, tetapi pada penelitian in vitro bMSCs bisa berubah menjadi ektodermal dan endodermal melalui proses transdiferensiasi. Mareschia et al. 2006 membuktikan MSCs dapat berdiferensiasi menjadi neuron dan sel glia. Penelitian ini memperlihatkan dengan penambahan β
-mercaptoethanol (βME), basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF) pada kultur MSCs terlihat diferensiasi MSCs menjadi neuron like-cell dan positif marker neuron nestin dan β aktin dengan pemeriksaan RT-PCR.
Transplatasi stem cell untuk mengatasi penyakit degeneratif yang sudah dilakukan para peneliti melalui pemberian autologus dan allogenik baik sistemik intralesi, maupun intravena dan intraarterial. Pemberian autologus merupakan cara yang ideal untuk menghindari penolakan dari tubuh. Reaksi penolakan pemberian allogenik gejala bisa ringan sampai berat (graf versus host disease) bahkan kematian. Disaat kondisi tubuh tidak memungkinkan pemberian autologus pilihan terapi alternatif dengan transplantasi allogenik. Stem cell dewasa jumlahnya akan berkurang dengan bertambahnya usia dan kemampuan proliferasi akibat telomerase terbatas dengan pemberian stem cell autologus tidak memberikan hasil
62
maksimal (Ghannam et al. 2010, Chen 2006). Pemberian allogenik MSCs telah banyak diteliti dan tidak menimbulkan reaksi penolakan dari resipien bahkan MSCs dipakai untuk mengatasi efek samping reaksi penolakan pemberian stem cell (graf versus host disease) dan pengobatan penyakit autoimun. MSCs menekan fungsi sel T, sel B dan sel Natural Killer dan imunogenisitasnya rendah sehingga tidak dikenali oleh HLA inkompatibiliti resipien (Chen 2006, Ucelli et al
2006, Rastegar 2010). Penelitian ini menggunakan bMSCs dan PNCs diberikan secara allogenik intralesi dan sistemik. Pengamatan selama 6 minggu tidak terlihat reaksi penolakan baik secara klinis maupun histopatologis dengan pemeriksaan HE pada organ tubuh tikus. Pemeriksaan marker PKH2 imunoflourescent pada otak tikus masih positif setelah 6 minggu menunjukan homing MSCs setelah ditransplatasikan sampai di organ yang dituju.
Epilepsi lobus temporal 30% dari penyandangnya sering tidak terkontrol serangannya dengan obat anti epilepsi yang tersedia saat ini maupun dengan operasi. Kerusakan anatomi pada epilepsi lobus termporal sering ditemukan adanya sklerosis hipokampus akibat kejang berulang terus menerus. Dengan ditemukannya mesenchymal stem cell mempunyai kemampuan untuk mengatasi kerusakan daerah hipokampus melalui penggantian sel, dengan meningkatkan neurotransmiter GABA yang bersifat inhibisi, neuroprotektif faktor yang dihasilkan MSCs, maupun melalui efek paracrine atau autocrine ( Raedt dan Boon 2005, Jackson 2010, Uccelli et al 2011). Hasil penelitian ini memperlihatkan pemberian bMscs dapat menurunkan tingkat kematian neuron di hipokampus akibat kejang yang ditimbulkan antagonis GABA bicuculine. Hipokampus merupakan daerah otak yang paling rentan mengalami kerusakan akibat injuri baik berupa iskemik, hipoksia maupan proses inflamasi. Penelitian ini memperlihatkan pemberian MSCs intravena dosis rendah berulang kali memberikan perbaikan yang lebih baik dibandingkan pemberian dosis tinggi sekaligus dan pemberian PNCs. Dapat disimpulkan untuk perbaikan hipokampus harus dilakukan berulang kali untuk mengatasi kerusakan jaringan karena kemampuan stem cell eksogen terbatas bertahan lama di jaringan otak dan tergantung microenvironment tempat stem cell berada seperti nutrisi, growth factor, trophic factor dan cytokine yang diproduksi MSCs. Pada penelitian ini
63
pemberian PNCs secara statistik tidak bermakna memperbaiki kerusakan di hipokampus kemungkinan karena PNCs sudah berubah menjadi unipoten dan kemampuannya untuk merperbaiki jaringan yang rusak sudah tidak maksimal disamping faktor microenvirontment sangat menentukan keberhasilan pengobatan ini. Pemberian gabungan MSCs dan PNCs memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dari pada hanya pemberian MSCs dan PNCs saja ( Pedran et.al 2009)
Keterbatasan penelitian ini.
1. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran perbaikan dari aspek neurofisiologi dan klinis kejang karena setelah induksi kejang tidak ditemukan kejang berulang pada hewan model seperti pada model
kindling.
2. Penelitian ini belum melihat efek microenvironment yang berperan dalam perbaikan kerusakan otak akibat induksi kejang yang diberikan MSC eksogen.
3. Pengamatan pemberian allogenik pada penelitian ini hanya 6 minggu, sehingga belum dapat diketahui efek jangka panjang reaksi penolakan.