• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epilepsi yang berasal dari lobus temporal dibagi menjadi dua yaitu bagian mesial (Mesial Temporal Lobe Epilepsi/MTLE) yang berasal dari hipokampus & amigdala dan bagian lateral (lateral temporal lobe epilepsy / LTLE) yang berasal dari neokorteks & bagian perifer lobus temporal (Qureshi 2007). Sistem limbik terdapat pada otak bagian medial mengelilingi tepi ventrikel yang terdiri atas girus singuli, girus parahipokampus, amigdala, nukleus septal dan hipokampus. Secara anatomis, hipokampus terletak pada unkus (bagian medial lobus temporal) dan memiliki fungsi penting dalam memori jangka panjang dan kemampuan recall (Titus et al. 2007 dan Mathern et al. 2008). Hipokampus dibagi menjadi empat bagian yaitu subiculum, kornu amonis regio superior (Ca1), kornu amonis regio inferior (Ca3) dan girus dentata. Girus dentata hampir sebagian besar terdiri atas sel granula dengan akson

yang disebut sebagai “mossy fibers” (Qureshi 2007) .

Etiologi

Penyebab pasti terjadinya sklerosis hipokampus pada MTLE-HS hingga saat ini masih kontroversial. Hubungan kausal antara sklerosis hipokampus dan kejang

16

demam pertama kali dilaporkan 30 tahun yang lalu (Engel et al. 2008). Hal ini juga didukung dengan penelitian terkini dimana diantara beberapa faktor risiko yang mungkin memicu terjadinya sklerosis, 66% pasien memiliki riwayat kejang demam berkepanjangan (prolonged febrile convulsions) ( Qureshi 2007, Engel et al. 2008). Saat ini terdapat dua teori populer tentang mekanisme dasar terjadinya sklerosis pada kejang demam (Panayiotopoulus 2005). Teori pertama menyatakan bahwa kejang demam yang berkelanjutan menyebabkan perubahan pada hipokampus sedangkan pendapat kedua menyatakan abnormalitas hipokampus sebelumnya menjadi faktor predisposisi terhadap kejang demam yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut ( Qureshi 2007, Panayiotopoulus 2005, Engel et al. 2008). Merkenschlager et al. 2009 melaporkan kasus pediatri dengan kejang demam kompleks yang berkepanjangan dimana MRI saat onset dalam batas normal namun 1 tahun kemudian saat dilakukan MRI follow-up tampak lesi pada hipokampus selanjutnya menjadi atrofi. Berdasarkan laporan kasus tersebut, mereka mendukung hipotesis bahwa kejang demam berkepanjangan dapat menyebabkan sklerosis tanpa adanya lesi pendahuluan pada hipokampus. Meskipun demikian, hingga saat ini kedua teori ini masih sering diperdebatkan terutama dalam hal risiko terjadinya MTLE-HS setelah kejang demam.

Etiologi lain yang diduga menyebabkan sklerosis adalah cidera awal seperti trauma dan infeksi pada otak yang menjadi faktor presipitasi (McIntyre 2008). Sklerosis pada hipokampus juga diduga berhubungan dengan mikrodisgenesis karena ditemukan pada pasien dengan lesi diplastik (hamartoma, heterotopia) serta riwayat keluarga dengan epilepsi dan kejang demam yang mengarah kepada kemungkinan predisposisi genetik atau kongenital (Janszky 2004, McIntyre 2008) .

Epilepsi lobus Temporal adalah jenis epilepsi fokal yang paling sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa, potensial untuk resisten terhadap pengobatan 20-30%. Pada kebanyakan kasus daerah epileptogenik ditemukan di daerah struktur mesial temporal (seperti hipokampus, amygdala, dan girus parahipokampusl). Lesi di hipokampus progresif menyebabkan epilepsi kronis, gangguan belajar dan gangguan memori dan berkurangnya neurogenesis di girus

17

dentatus. Kejang dimulai pada akhir masa kanak-kanak dan remaja. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan kejang demam pada masa kanak-kanak dan pada beberapa penelitian ditemukan adanya riwayat infeksi herpes simplex virus (HSV) DNA dan diduga etiologi epilepsi akibat proses infeksi, riwayat trauma kepala dan status epileptikus (Najm et al. 2006, Qureshi 2007).

Gambar 2. Daerah hipokampus yang terlibat pada saat epilepsi lobus temporal (Sharma et al. 2007)

Gambaran sklerosis pada MTLE-HS memiliki keunikan tersendiri karena berbeda dengan sklerosis akibat kelainan serebral lainnya (Panayiotopoulus 2005). Pola kerusakan hipokampus pada MTLE-HS adalah spesifik yaitu hilangnya sel neuron terutama pada daerah Ammon horn (Ca1 & prosubiculum; sering disebut sebagai sektor Sommer) dan pada sel granula fasia dentata (Titus et al. 2007). Sedangkan pola kerusakan hipokampus pada cidera akibat penyakit hati kronis atau hipoksia-iskemia mengenai seluruh hipokampus termasuk Ca2, subiculum dan girus parahipokampus. Dengan demikian, sklerosis hipokampus pada MTLE-HS berarti spesifik pada daerah Ammon horn yaitu pada Ca1, neuron hilar dan neuron Ca2 Engel et al. 2008). Gambar 1 menunjukan lokasi hipokampus yang sering rusak pada epilepsi lobus temporal (Sharma et al. 2007).

Lesi di daerah hipokampus akibat kejang akut menyebabkan kehilangan neuron dan penyimpangan penyebaran dari serat saraf. Patologi yang paling sering didapatkan pada penderita epilepsi ini adalah sklerosis mesialis/ sklerosis hipokampus dan atrofi formasio hipokampus. Mekanisme terjadi epilepsi timbul akibat eksitatori yang berlebihan melalui NMDA glutamat reseptor, berkurangnya

18

inhibisi neuron akibat gangguan pelepasan GABA, gangguan ekspresi reseptor GABAA, abnormalitas fungsi K channel, dan hipersinkronisasi mediasi neuron inhibisi (Mody dan Heinemann 1987).

Gambaran histopatologi yang timbul hilangnya sel neuron, degenerasi, proliferasi glial dan muncul hipertrofi dan didaerah neuron yang hilang, hipokampus menjadi sklerotik seperti terlihat pada Gambar 2. Kerusakan hipokampus kebanyakan asimetri hanya 10% yang rusak simetris dan mungkin berhubungan dengan kelainan ekstrahipokampus seperti tumor.

Gambar 3.Hipokampus sklerosis (Boeve et al. 2006)

Dari percobaan binatang ditemukan kejang akut menginduksi neurogenesis, sementara pada kejang berulang terjadi pengurangan neurogenesis. Status epileptikus akan menyebabkan hilangnya sel neuron terutama di daerah girus dentatus hipokampus daerah Ca1 dan Ca3, daerah amygdala, kortek piriform, talamus, serebelum dan kortek serebri.

19

Gambaran Klinis

MTLE-HS dapat memberikan manifestasi berupa bangkitan fokal sederhana maupun kompleks. Bangkitan fokal yang kemudian berkembang menjadi umum biasanya jarang ditemukan pada pasien dengan pengobatan yang adekuat (Panayiotopoulus 2005).

Anatomi dan fisiologi sistem limbik sangat mempengaruhi tdana dan gejala dari epilepsi limbik. Cetusan yang terbatas hanya pada hipokampus jarang memberikan manifestasi klinis yang berarti. Aura yang khas ditemukan berasal dari proyeksi ipsilateral. Gejala otonom dan emosi seperti rasa takut mungkin disebabkan dari penyebaran ke hipotalamus dan insula. Gejala psikis termasuk gangguan sensorik multimodal dapat berasal dari proyeksi neokortikal terutama pada perbatasan temporo-parieto-oksipital. Struktur limbik yang juga berperan pada memori termasuk indra pengecap dan penghidu dapat menyebakan aura olfaktorius dan gustatorius (Engel et al. 2008).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan EEG rutin pada MTLE-HS dapat memberikan hasil yang normal atau berupa gambaran non-spesifik. Karakteristik gambaran EEG inter iktal berupa gelombang paku atau tajam serta gelombang lambat pada daerah temporal anterior dan paling maksimal pada elektroda bagian basal seperti sfenoidal, true temporal dan aurikuler. Gambaran ini dapat ditemukan bilateral secara independen pada sepertiga kasus (Engel et al. 2008, Janzsky 2005). Fenomena ini disebut sebagai “mirror focus” yang timbul pada lobus temporal kontralateral. Pada epilepsi limbik terdapat

mekanisme intrinsik dimana cetusan tetap terjadi secara unilateral selama beberapa menit bila dibdaningkan dengan cetusan dari neokorteks yang menyebar sangat cepat ke daerah kontralateral melalui korpus kalosum. Bila penyebaran memang terjadi, biasanya secara tidak langsung melalui neokorteks temporal atau frontal ipsilateral. Kemungkinan penyebaran ke daerah kontralateral tidak terjadi melalui secara kalosal (Engel dan Williamson 2008). Pemeriksaan dengan Magnetic Resonance Imaging

20

(MRI) adalah alat diagnostik yang paling penting. MRI dengan resolusi tinggi biasanya dapat menunjukkan adanya atrofi hipokampus pada hampir sebagian besar pasien MTLE dengan epilepsi intractable. Pada T2, sering ditemukan daerah hiperintens pada area hipokampus yang sklerotik (Panayiotopoulus 2005, Williamson dan Engel 2008).

Pemeriksaan mutakhir lainnya adalah dengan menggunakan FDG-PET (positron emission tomography with F-fluorodeoxyglucose). Pemeriksaan ini paling sensitif dalam identifikasi defisit fungsional fokal yang berhubungan dengan sklerosis hipokampus berupa daerah hipometabolisme yang luas melibatkan thalamus, ganglia basal dan struktur lain yang bersifat ipsilateral. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), sklerosis pada hipokampus dapat dicurigai bila dijumpai penurunan N-acetylaspartate (Engel dan Williamson 2008).

Meskipun demikian, pada kasus epilepsi dimana ditemukan gambaran sklerosis pada MRI yang sesuai dengan klinis, mungkin tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan (Panayiotopoulus 2005).

Diagnosis

Gambaran klinis MTLE-HS dapat dibedakan dari MTLE lainnya dengan usia saat onset yang lebih muda, riwayat kejang demam atau cidera awal pada otak, riwayat kejang pada anggota keluarga, defisit memori yang spesifik, pola onset iktal yang khas terutama pada elektroda sfenoidal serta ditemukannya atrofi hipokampus pada MRI (Engel dan Williamson 2008). Secara umum, diagnosis MTLE-HS dapat ditegakkan dengan menemukan beberapa temuan penting (Tabel 2) .

21

Tabel 2 Sindroma MTLE-HS ( Alving 1995). Riwayat kejang demam

Perjalanan penyakit bifasik (kejang parsial kompleks pada dekade pertama dan

terjadi rekurensi setelah “remisi”

Aura dengan rasa takut atau gejala vegetatif

Tidak ditemukan / jarang sekali terjadi kejang umum sekunder

EEG : Gelombang paku/tajam-lambat pada temporal anterior

MRI : atrofi hipokampus ipsilateral & peningkatan intensitas sinyal pada T2

Intervensi Pengobatan

Pengobatan epilepsi yang ada saat ini tidak semuanya bisa mengendalikan serangan. Dibutuhkan intervensi dimasa mendatang untuk meringankan penderitaan penydanang epilepsi akibat penyakit kronis dan memberikan dampak terhadap kehidupan dan kualitas hidup pasien.

Terapi pembedahan

Secara umum, kriteria untuk tindakan pembedahan pada epilepsi adalah serangan yang masih belum terkontrol dengan penggunaan dua OAE selama dua tahun atau lebih, telah dicoba menggunakan dua OAE atau lebih tanpa adanya kontrol kejang yang adekuat, fokus epileptogenik yang dapat diidentifikasi, daerah reseksi tidak meliputi area fungsional yang harus dipertahankan dan manfaat pembedahan melebihi risiko yang mungkin terjadi. Tipe pembedahan yang sering dilakukan adalah reseksi lobus temporal bagian anteromesial / anterior temporal lobectomy (ATL) Saat ini telah dikembangkan teknik operasi yang lebih selektif yaitu selective amygdalaohippocampectomy (SAH) ( Ozkara et al 2008). Sebanyak 60% pasien yang mengalami pembedahan menjadi bebas kejang setelah operasi. Pada sebagian, serangan berkurang pada 20% pasien yang tetap mendapatkan OAE, 10% pasien

22

tidak mengalami perubahan dan 10% mengalami perburukan (Qureshi 2007, Engel et al. 2008, McIntyre dan Schwartzkroin 2008). Efek samping pembedahan yang sering dibahas adalah risiko defisit kognitif akibat tindakan reseksi. Diperkirakan 50-60% pasien setelah 5 tahun paska bedah dapat mengalami gangguan memori lebih lanjut. Derajat beratnya defisit kognitif tergantung dari jaringan reseksi, keadaan fungsional sebelum operasi dan kontrol kejang. Reseksi jaringan yang selektif dapat membantu mengurangi risiko terjadinya defisit kognitif setelah pembedahan ( Engel et al. 2003, Helmstaedter dan Kockelmann 2006).

Terapi lain

Pengobatan yang ada saat ini ditunjukkan pada Tabel 3 ( Blaise et al. 2001) dengan melihat angka kejadian bebas kejang setelah intervensi terapi:

Tabel 3 Jenis pengobatan epilepsi dan tingkat keberhasilan pengobatan No

Jenis terapi Bebas kejang Potensial perbaikan

1 Obat anti epilepsi 10-80% Beberapa kasus 2 Operasi 50-80% Tidak ada 3 Vagus nerve stimulator < 10 % Tidak ada 4 Diet ketogenik < 30% Tidak ada

Keberhasilan pengobatan tergantung pada penyebab epilepsi, usia saat onset, ketepatan diagnosis, tipe dan sindroma epilepsi. Pasien dengan epilepsi umum idiopatik 82% bebas serangan dalam 1 tahun pengobatan, epilepsi parsial kriptogenik 45%, epilepsi lobus temporal tanpa hipokampus sklerosis 20%, sedangkan hipokampus skelorosis dengan kelainan dual patologi hanya 3 % bebas serangan (Semah et al.1998).

23

Stem cell untuk terapi epilepsi lobus temporal

Stem cell adalah sel yang belum terspesialisasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel yang berbeda di dalam tubuh. Stem cell memiliki 3 kemampuan unik yaitu mereka memiliki kemampuan membelah dan memperbaharui (meregenerasi) dirinya sendiri secara berulang-ulang dalam waktu yang lama, dan dapat berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel, dengan fungsi yang lebih khusus, seperti sel saraf, sel jantung, sel otot, sel hati, sel tulang (Korbing dan Estrov, 2003)

Stem cell dapat dikategorisasi menurut potensi yang dimiliki oleh sel tersebut maupun menurut asalnya.

Stem Cell Berdasarkan Potensinya

Ada 3 tingkatan dalam potensi stem cell, sebagai berikut:

1. Totipoten stem cell; sel telur yang sudah mengalami fertilisasi memiliki kemampuan total untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel apapun. Stem cell totipoten diperoleh dari sel induk embrio, hasil pembuahan sel telur oleh sperma atau melalui somatik transfer inti (somatic cell nuclear transfer /SCNT) atau melalui partenogenetik; sel telur tanpa pembuahan sel sperma (Bongso 2005).

2. Pluripoten stem cell; dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel apapun (dapat membetuk 3 lapisan germinal : ektoderm, mesoderm, dan endoderm) kecuali jenis sel yang dibutuhkan selama perkembangan fetus (jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat) contohnya adalah stem cell embrionik (Bongso 2005).

3. Multipoten stem cell yang hanya dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tertentu seperti pada stem cell dewasa berasal dari sumsum tulang, tali pusat, plasenta, adiposa, folikel rambut, pulpa gigi, epidermal dan lain sebagainya dapat berdiferensiasi pada in vitro dan in vivo menjadi sel neuron, sel hati, sel pembuluh darah, sel otot, sel tulang (Korbing dan Estrov 2003, Bongso 2005).

24

Stem cell Berdasarkan Asalnya

Sel induk embrio (embryonal stem cells)

Sel induk ini diambil dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan). Massa sel bagian dalam mengelompok dan mengdanung sel-sel induk embrionik. Sel diisolasi dari massa sel bagian dalam dan dikultur secara in vitro. Sel induk embrional dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel hati, sel-sel otot, sel-sel ginjal serta sel-sel yang lainnya (Radt dan Boon, 2005).

Stem cell dewasa (adult stem cells)

Adult stem cells adalah stem cell yang terdapat di semua organ tubuh, dan berfungsi untuk melakukan regenerasi dalam mengatasi berbagai kerusakan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Adult stem cell diambil dari jaringan dewasa, seperti susunan saraf pusat, adiposit (jaringan lemak), otot rangka, atau pankreas fetus (fetal stem cells), sum-sum tulang (bone marrow stem cells), darah perifer , darah tali pusat, sel rambut, jaringan adipose, pulpa gigi, hati (Kolf et al. 2007, Rastegar et al. 2010)

Adult stem cell mempunyai sifat plastis, artinya selain berdiferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya, juga dapat berdiferensiasi menjadi sel jaringan lain. Seperti mesenchymal stem cells yang ada di bone marrow dan sel darah tali pusat dapat berubah menjadi sel otot jantung, sel beta pankreas. sel neuron, pembuluh darah, sel otot dan sel tulang (Kolf et al. 2007, Rastegar et al. 2010).

Kemampuan stem cell untuk berdiferensiasi dipengaruhi oleh 2 signal yaitu signal internal dan signal eksternal. Signal internal berupa gen-gen yang berisi kode-kode untuk mengatur struktur dan fungsi seluler. Signal eksternal dapat berupa senyawa kimia yang disekresikan oleh sel lain, kontak fisik dengan sel tetangga, atau pengaruh molekul tertentu di lingkungan sel (Korbing dan Estrov 2003; Raedt dan Boon 2005).

Proses perbaikan struktural dari jaringan epileptik yang rusak

25

Pada kasus epilepsi lobus temporal, sklerosis hipokampus merupakan target perbaikan yang terpenting pada epilepsi lobus temporal. Namun upaya menjembatani perbaikan struktural yang rusak pada jaringan hipokampus untuk menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi jelas merupakan tantangan tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan, sklerosis hipokampus berhubungan hilangnya berbagai tipe dari neuron eksitasi dan inhibisi di berbagai area yang berbeda pada struktur hipokampus. Untuk itu perbaikan seluler dari sklerosis hipokampus akan membutuhkan implantasi jamak/multipel dengan berbagai tipe sel berbeda pada struktur hipokampus. Proses implantasi membutuhkan kemampuan untuk dapat bertahan, bermigrasi ke sel yang sesuai, tumbuh dalam bentuk fenotip yang sesuai baik jumlah dan lokasi di hipokampus, dapat memberikan respons input aferen yang sesuai dan mampu bertahan dalam jangka panjang pada neuron induk target secara baik (Chu et al. 2004, Raedt dan Boon 2005).

2. Transplantasi sel hipokampus fetal

Neuron hipokampus fetal telah ditransplantasikan di hipokampus melalui model injeksi asam kainat intraventrikular. Pada model ini, terdapat kehilangan selektif dari neuron pyramidal Ca3 dan menghasilkan bangkitan spontan di limbik. Tingkat bertahannya sel dipengaruhi oleh postlesion delay (PLD) , usia tikus, dan tipe sel yang ditransplantasikan. Angka bertahan hidup tertinggi (77%) terlihat pada sel Ca3 fetal yang ditransplantasikan pada tikus muda matur dengan PLD selama 4 hari. Jika PLD memanjang, fraksi sel yang bertahan hidup menjadi turun (21-31% jika PLD selama 45 hari). Kemampuan bertahan dapat meningkat, hingga mencapai 99% dengan pemberian growth factor dan faktor anti apoptosis. Angka bertahan hidup juga dipengaruhi oleh spesifitas sel ( Shetty et al. 2007, Acharya et al. 2007).

3. Transplantasi neural stem /sel progenitor

Transplantasi jaringan otak fetal memiliki keterbatasan aplikasi dalam skala luas. Keterbatasan ini termasuk akibat ketidakmampuan untuk menyimpan sel fetus, kebutuhan jumlah yang banyak pada sel fetus untuk satu kali transplantasi (misal 6-8 donor fetal untuk satu kali transplantasi). Keterbatasan lainnya adalah tingkat

26

kemurnian dan viabilitas transplan yang sulit dikontrol sehingga hasil transplanstasi menjadi sulit dikontrol ( Chu et al. 2004)

Manfaat dari penggunaan stem cell

Penelitian tentang penggunaan stem cell saat ini masih dilakukan untuk menguak misteri dari sel induk ini. Karena sel ini dapat berdifferensiasi secara spontan maupun dikontrol dengan berbagai pengarahan baik di in vitro maupun in vivo dengan induksi yang benar atau signal yang bisa merangsang menjadi sel spesifik. Keberhasilan penggunaan stem cell tergantung dari biomaterial yang dipakai, kontrol sistem dari growth factor, protokol sistem transplantasi dan sistem imun resipien (Rho dan Stafstrom 2006).

Penelitian stem cell untuk pengobatan epilepsi tidak sebanyak penelitian pada stroke karena etiologi dan patofisiologi epilepsi dengan berbagai variasi seperti kelainan genetik, kriptogenik, idiopatik dan simtomatik. Dari penelitian yang telah dilakukan pada hewan dengan terapi stem cell adalah epilepsi lobus temporal karena ada lesi fokal di hipokampus dan sekitarnya berupa hipokampus sklerosis dan cendrung intraktabel (Shetty dan Hattiangady 2007), menyimpulkan pengobatan epilepsi dengan embrionik stem cell melalui pendekatan penghambatan proliferasi dan abnormal migrasi sel neuron yang terbentuk akibat status epileptikus dan menyebabkan timbulnya spontaneous epileptiform selanjutnya berkembang menjadi epilepsi kronik. Payanm Muhammad Gharibani et al.2009 menemukan mesenchymal stem cell dari bone marrow in vitro dapat mengalami transdiferensisasi menjadi sel

Gaba-ergic Like neuron ( Raedt dan Boon 2005.)

Stem sel neural dapat dibedakan menjadi dua yakni sel neuron dan sel glia setelah ditransplantasikan ke SSP yang cedera. Stem cell hipokampus, yang merupakan bagian dari sel neuron, merupakan donor yang menjanjikan untuk terjadinya reorganisasi dan memperbaiki daerah hipokampus yang mengalami cedera pada epilepsi lobus temporal. Namun, efikasi dari pendonoran stem cell hipokampus untuk memperbaiki daerah hipokampus yang mengalami cedera masih belum jelas. Penelitian Hong Shen et al. 2010 mentransplantasikan stem cell hipokampus pada

27

hipokampus kanan tikus, dengan pemberian asam kainat sebagai penginduksi terjadinya epilepsi. Aktivitas hipokampus dan nukleus amigdala dimonitor dengan EEG monitoring selama 24 minggu setelah tranplantasi. Hasil penelitian menunjukkan pengurangan frekuensi aktivitas epileptiform dan penurunan 50% amplitudo bangkitan di minggu ke 1, 4, 8 dan 24 minggu setelah transplantasi. Hasil ini, dapat memberikan masukan bahwa stem cell hipokampus dari hipokampus post

natal menjanjikan efek perbaikan pada otak epileptik yang diinduksi asam kainat. Masiano et al. 2009 melakukan pemaparan peningkatan progenitor GABA ergik dari stem cell embrionik dengan memodifikasi kondisi kultur yang ada. Upaya kombinasi growth factors, molekul sinyal, atau media yang sudah terkondisi dari kultur embrionik precursor GABA ergik merupakan berbagai pendekatan dari yang sudah dilakukan. Kondisi ini merupakan pendekatan yang menjanjikan seperti yang digambarkan dalam petunjuk gambar 5 di bawah ini.

PEMBUATAN HEWAN MODEL TIKUS PUTIH