• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kebijakan Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah 1 Analisis Ekonomi untuk Masukan Kebijakan

2.4.2 Metoda Pengolahan Sampah

Sampah merupakan hasil buangan atau sisa dari kegiatan manusia atau alam. Sampah dapat diklasifikasikan berdasar kemampuan sampah untuk terurai yaitu :

(i) biodegradable yaitu sampah yang dapat mengalami pembusukan alam termasuk sampah organik seperti sampah dapur, sayuran, buah, bunga, daun dan kertas;

(ii) nonbiodegradable yang terdiri dari sampah daur ulang seperti plastik, logam dan gelas.

14,31% 17,43% 12,93% 10,17% 8,15% 12,69% 12,92% 9,19% 12,83% 0% 2% 4% 6% 8% 10% 12% 14% 16% 18% 20% 2000 2002 2003 2003 2004 2005 2006 2007 2008 S uk u B ung a Tahun

Gambar 7. Teknis operasional pengelolaan persampahan perkotaan (Tchobanoglous et al., 1977)

Teknis operasional pengelolaan sampah, menurut Tchobanoglous et al., (1977) seperti pada Gambar 7 adalah proses pengaturan materi sampah (yang umumnya berasal dari hasil aktivitas manusia). Pengaturan persampahan melibatkan kegiatan pewadahan setempat, pengumpulan, pengangkutan, dan atau pengolahan sampah sampai kepada kegiatan pembuangan akhir sampah.

Menurut Adisasmito (1998), Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa persen penyisihan terbaik menjadi pada waktu 20 menit dan pada suhu 280oC, yaitu 32,8%, suhu dan waktu yang terbaik untuk pembentukan bahan bakar cair terjadi pada suhu 360oC dan waktu 60 menit yakni mempunyai kadar 3,12%.

Hasil survai konsultan WJMP pada awal tahun 2005 mendapatkan angka timbulan sampah sebesar ± 6000 ton per hari. Jumlah penduduk DKI tahun 2005 ± 8,9 juta jiwa.

Timbulan Sampah Pemilahan, Pewadahan dan Pengolahan Sampah Pengumpulan Pengangkutan Pembuangan Akhir Pemilahan dan Pengolahan Pemindahan

Timbulan sampah per kapita 2,97 liter per kapita per hari atau 0,64 kg per kapita per hari (berat jenis = 0,21 ton/m3 ). Hasil survai konsultan WJMP pada awal tahun 2005 tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi sampah rata-rata di DKI Jakarta

No Komponen % total % di daur

ulang

% di buang

1 Organik (sisa makanan, daun, dll) 55,37 0 55,37

2 An Organik 44,63 19,95 24,68 2.1. Kertas 20,57 7,32 13,15 2.2. Plastik 13,25 6,85 6,40 2.3. Kayu 0,07 0,07 0 2.4. Kain/tekstil 0,61 0,61 0 2.5. Karet/kulit tiruan 0,19 0,19 0 2.6. Logam/metal 1,06 1,06 0 2.7. Gelas/kaca 1,91 1,91 0 2.8. Sampah bongkahan 0,81 0,81 0 2.9. Sampah B3 1,52 0 1,52

2.10 Lain-lain (batu, pasir, dll) 4,65 0 4,65

Total 100 19,95 80,05

Sumber: Hasil Survai Konsultan WJEMP DKI 2005

Terdapat paling tidak lima cara yang dikenal secara umum dalam pengolahan sampah (Tchobanoglous et al., 1977) yaitu:

(i) Open dumping. Open dumping mengacu pada cara pembuangan sampah pada area terbuka tanpa dilakukan proses apapun;

(ii) Landfill. Landfill adalah lokasi pembuangan sampah yang relatif lebih baik dari open dumping. Sampah yang ada ditutup dengan tanah kemudian dipadatkan. Setelah lokasi penuh maka lokasi landfill akan ditutup tanah tebal dan kemudian lokasi tersebut biasanya dijadikan tempat parkir.

(iii) Sanitary landfill. Berbeda dengan landfill maka sanitary landfill menggunakan material yang kedap air sehingga rembesan air dari sampah tidak akan mencemari lingkungan sekitar. Biaya sanitary landfill relatif jauh lebih mahal.

(iv) Insinerator. Pada cara pengolahan menggunakan insinerator, dilakukan pembakaran sampah dengan terlebih dahulu memisahkan sampah daur ulang. Sampah yang tidak dapat didaur ulang kemudian dibakar. Biasanya proses pembakaran sampah dilakukan sebagai alternatif terakhir atau lebih difokuskan pada penanganan sampah medis.

(v) Pengomposan. Pengomposan adalah proses biologi yang memungkinkan organisme kecil mengubah sampah organik menjadi pupuk. Kompos lebih berperan untuk

memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan cadangan air pada tanah, sehingga penyerapan air oleh tanaman akan lebih baik. Di sisi lain, pemerintah kurang menggalakkan gerakan pemanfaatan kompos. Produksi kompos dari beberapa instalasi pengomposan sampah tidak optimum, dan akhirnya berhenti beroperasi akibat ketiadaan pelanggan tetap dan berkesinambungan.

Sampah sebagai sumber energi. Perlu konsep baru untuk menangani sampah perkotaan, Bramono (2004). Sebagai alternatif, sampah bisa diubah menjadi suatu materi baru yang memiliki nilai jual lebih dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Kompos menurut Bramono (2004) pada dasarnya melakukan konversi energi. Namun energi yang ada terlepas dalam bentuk materi yang memiliki nilai kalor yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proses pengomposan secara aerobik akan melepas materi organik padatan lain yang lebih sederhana, serta gas CO2 yang tidak siap untuk dimanfaatkan energinya secara langsung. Tersedia beberapa proses lain yang dapat mengkonversi energi yang tersimpan di dalam sampah menjadi suatu materi baru. Proses itu antara lain yaitu:

1. Proses anaerobik

Proses ini akan melepas energi yang tersimpan dalam gas CH4 yang memiliki nilai kalor

tinggi yang akan terbentuk. Lahan urug saniter, merupakan reaktor anaerobik dalam kapasitas yang besar. Beberapa teknik telah dilakukan untuk meningkatkan produksi gas CH4 yang

terbentuk. Resirkulasi air lindi merupakan salah satu teknik yang diterapkan untuk meningkatkan produksi gas CH4, selain untuk mempercepat degradasi sampah itu sendiri.

Akan tetapi reaktor anaerobik yang direncanakan secara khusus dengan kapasitas yang lebih kecil, dapat lebih mudah untuk dimonitor dan dikontrol dalam kinetika pembentukan gas metana dengan lebih baik ketimbang pada lahan urug saniter. Residu yang terbentuk dapat dimanfaatkan untuk kompos yang sebelumnya telah diambil sebagian energinya menjadi gas CH4, ketimbang proses aerobik pada pengomposan yang hanya akan menghasilkan kompos

saja.

Jika tahapan proses anaerobik ini dihentikan hanya pada tahapan fermentasi saja, yaitu tahapan sebelum pembentukan pembentukan gas CH4 , maka dapat dihasilkan alkohol yang

memiliki nilai kalor tinggi. Penggunaan alkohol ataupun derivatnya sebagai sumber bahan bakar alternatif dari sampah dapat dipertimbangkan juga (Bramono, 2004).

2. Proses gasifikasi dan pirolisis

Kedua proses ini membutuhkan energi tambahan untuk menaikkan temperatur hingga 600°C yang dilakukan dengan oksigen substoikiometrik atau tanpa kehadiran oksigen sama

sekali. Proses pirolisis akan menghasilkan padatan (char) dan cairan (tar) yang memiliki nilai kalor tinggi. Produk ini dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel (salah satu bahan bakar pengganti atau aditif solar) yang sedang marak digunakan dewasa ini. Sedangkan gasifikasi, akan menghasilkan gas yang memiliki nilai kalor tinggi. Pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif dapat dipertimbangkan (Bramono, 2004).

3. Proses insinerasi

Proses ini lebih mahal ketimbang dua proses di atas. Sampah dengan kadar air terendah sekalipun hanya dapat menghasilkan temperatur alami sekitar 200°C. Sementara temperatur kerja pada proses ini adalah pada rentang 600-800°C, yang bertujuan untuk mereduksi pembentukan senyawa karsinogenik dioksin dan furan. Riset pada beberapa buah insinerator di Amerika Serikat masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mereduksi pembentukan kedua senyawa ini, meskipun proses dijalankan pada temperatur jauh di atas 600-800°C. Proses ini akan menghasilkan panas yang cukup tinggi sehingga bisa digunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga uap. Tenaga uap itu dapat dikonversi menjadi energi listrik (Bramono, 2004).

Rentang energi yang dihasilkan.Sebagai suatu proses yang menghasilkan energi jumlah input energi dan output energi harus dihitung dalam suatu neraca massa dan energi. Energi yang dimasukkan ke dalam suatu proses diharapkan seminimum mungkin, mengingat output dari proses yang diharapkan adalah energi pula, sehingga total energi yang dihasilkan dari proses dapat dihitung. Jika terlalu banyak energi yang harus ditambahkan ke dalam proses, maka proses tidak efisien.

Selain itu menurut Bramono (2004), masih perlu dikaji rentang energi yang dapat dimanfaatkan, karena setiap output dari suatu proses memiliki rentang pemakaian. Dalam hal ini, efisiensi pemanfaatan energi dengan jumlah energi tertentu yang dihasilkan dari suatu volume sampah harus dipertimbangkan. Setiap proses memiliki jangkauan pemanfaatan dalam setiap produk yang dihasilkan. Dengan demikian pemanfaatannya bisa dilakukan secara tepat dan efisien.

Beberapa penelitian sampah di TPA yang telah dilakukan di Indonesia diuraikan

berikut ini. Kholil (2005) menyatakan bahwa penanganan sampah dengan sistem “zero waste” yang telah diuji cobakan di beberapa tempat di Jakarta Selatan seperti Tebet, Jalan Asneli Pasar Minggu, Jalan Siaga Kelurahan Tanjung barat dan Jalan Gandaria Jagakarsa masih terbatas dengan teknologi yang masih sederhana dan belum melibatkan masyarakat sekitar, sehingga pilot proyek tersebut tidak dapat berkembang dan tidak dapat bertahan lama.

Dalam disertasinya, Kholil (2005) melakukan pengembangan sub model pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste yang didesain di tempat penampungan sementara (TPS) yang ditempatkan sedekat mungkin dengan sumbernya. Hal ini untuk mengurangi biaya pengangkutan dari sumber sampah ke TPS. Secara garis besar konsep dasar pengembangan model pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste ini merupakan gabungan antara pendekatan 3 R (reduce, reuse, dan recycle), dengan sistem pembakaran (insinerasi) terhadap sisa sampah organik pada proses pengomposan dan sisa sampah organik yang tidak dapat dimanfaatkan lagi (Gambar 8).

Abu hasil proses pembakaran di cetak mejadi batako sebagai bahan bangunan sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi nol (zero). Jadi titik berat penanganan sampah berdasarkan pendapat Kholil adalah pada TPS sebagai tempat pengolahan sampah baik sampah organik maupun sampah anorganik.

Gambar 8. Diagram alur daur ulang sampah terpadu berbasis zero waste (Kholil, 2005)

Sumber sampah Timbulan sampah

TPS Pemilahan

Sampah Organik

Sampah Anorganik Kompos

Produk Daur Ulang

Abu Sisa Pembakaran Sampah Sisa Dibakar TPA Batako

Dalam analisisnya, Kholil (2005) menyatakan ada beberapa rekomendasi hasil penelitian dalam pengelolaan sampah di Jakarta selatan yaitu:

1. Melakukan penanganan secara preventif, melalui pengurangan di sumber dengan sistem 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle), dengan melibatkan masyarakat sebagai sumber

sampah utama. Untuk mendukung kebijakan ini pemerintah perlu melakukan “capacity development” untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam penanganan sampah kota.

2. Dengan kebijakan “reward and punishment” atau insentif dan disinsentif disertai dengan penegakan hukum (law enforcement), yakni memberikan sanksi yang berat terhadap sumber sampah yang mencemari lingkungan, sebaliknya memberikan penghargaan atau insentif terhadap Badan atau orang yang secara nyata memberikan konstribusi terhadap pengurangan sampah atau peningkatan kebersihan lingkungan.

3. Pengolahan sampah di TPS dengan pendekatan 3 R + I (Reduce, Reuse, Recycle, Insinerasi), dengan melibatkan dan sekaligus pemberdayaan (empowering) masyarakat sekitar.

4. Membentuk Komisi Penanganan Sampah kota dan Badan Layanan Umum (BLU) Kebersihan untuk menunjang penanganan sampah kota yang cepat dan tepat berdasarkan

pendekatan”waste to clean”.

Menurut Kholil (2005) alternatif pertama absah secara teoritis dan terbukti berhasil dalam menurunkan volume sampah, kebijakan ini bersifat incremental dan memerlukan waktu cukup lama (sekitar 20 – 30 tahun). Mengingat prosesnya yang lama, kebijakan ini menjadi kurang tepat untuk menangani sampah kota yang memerlukan penanganan yang cepat dan tepat.

Alternatif kedua memerlukan dukungan petugas dan aparat hukum yang memadai, tetapi dalam pelaksanaannya kebijakan ini bisa menghadapi beberapa kendala teknis di lapangan antara lain kesulitan petugas dalam menentukan ambang batas pencemaran, dan memungkinkan terjadinya salah persepsi bagi petugas yang dapat merugikan masyarakat. Alternatif ketiga dan keempat merupakan perubahan struktural yang bersifat antisipatif ke depan dalam jangka panjang, sesuai dengan perkembangan kota dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu alternatif kebijakan ke tiga dan ke empat dapat menjadi pilihan yang terbaik bagi Pemerintah Kota Jakarta Selatan dalam rangka mereduksi volume sampah untuk

mengurangi ketergantungan tehadap TPA, untuk mendukung kebijakan ini perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap Undang-Undang atau Perda tentang penanganan sampah kota.

Menurut Gani (2007), penggunaan teknologi pirolisis pada proses pengolahan sampah organik padat dapat menghasilkan produk bermanfaat berupa arang dan asap cair, sedangkan teknologi dekomposer sangat efektif untuk menangani sampah organik lunak menghasilkan kompos berkualitas. Sebagian besar perlakuan pengomposan sudah menghasilkan kompos dalam waktu berkisar 20-30 hari, kecuali pada BO (control) berkisar 56-60 hari dan perlakuan BI (Biodekomposer Orgadec) berkisar 41-45 hari. Mutu kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan diatas, secara umum relative mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004 untuk kompos dari sampah domestik (BSN, 2004). Biodekomposer yang dapat mempercepat proses pengomposan sampah organik menghasilkan kompos bermutu terbaik adalah FM-4, campuran Orgadec-EM-4-Arang-asap cair dan campuran Orgadec- Biodek-Arang-Asap cair.

Teknologi pirolisis dapat mengkonversikan sampah organik yang sukar dikomposkan menjadi arang dan asap cair. Arang hasil pirolisis pada suhu 505ºC bermutu terbaik dan asap cair yang dihasilkan pada proses tersebut menunjukkan kadar total fenol tertinggi. Metoda aktivasi arang sampah organik pasar menjadi arang aktif bermutu terbaik, terutama dalam hal daya serapnya terhadap iodin, ialah dengan cara aktivasi menggunakan uap H2O pada suhu

800ºC selama 120 menit. Asap cair hasil pirolisis sampah organik pada suhu 505ºC menghasilkan rendemen 31,24%, kadar total fenol 223,95 mg/l dan pH 4,1. Fraksi methanol dan air dari asap cair tersebut berpotensi sebagai antifeedant, karena aktivitasnya melebihi 50% terhadap larva S. Litura dan nilai EL5o-nya sama-sama 0,71%.

Penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik berpengaruh sangat nyata baik terhadap pertambahan tinggi batang, jumlah daun, dan anakan maupun terhadap bobot biomassa tanaman daun dewa terutama ditunjukkan oleh perlakuan campuran tanah-abu- kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800ºC selama 120

menit, dan fraksi methanol dari asap air. Agar proses pengomposan sampah dapat diterapkan di lingkungan permukiman, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang proses pengomposan yang mampu mendapatkan metoda minimisasi bau secara lebih optimal. Di samping itu juga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengisolasi senyawa aktif anti feedant dari fraksi methanol hasil fraksinasi asap cair sampah organik guna mengetahui rumus strukturnya. Defra (2004) menyebutkan dalam rangka memperkirakan WTP untuk

mengurangi suara, bau dan debu serta sampah yang tertiup angin dari suatu landfill dengan hasil sebagai berikut :

 WTP Marginal sebesar £0.12 sampai dengan £0.19 per hari dengan memperhitungkan jumlah hari ketika responden menderita karena debu dan sampah yang tertiup angin dari lokasi landfill

 WTP Marginal sebesar £0.10 sampai dengan £0.15 per hari dengan memperhitungkan jumlah hari ketika responden bisa mencium bau yang berasal dari lokasi Landfill

 Bising bukan suatu masalah yang signifikan

Anwar (2007), melakukan percobaan untuk penelitian model sentra energi berbasis biomassa, dimana dilakukan percobaan dengan bahan baku biomassa antara lain sampah kota yang difermentasi secara anaerobik dengan hasil antara lain sebagai berikut:

1. Gas bio hasil fermentasi anaerobik biomassa campuran adalah jumlah dari hasil gas bio setiap komponen campuran sesuai dengan proporsi komponen dalam campuran. Model penduga menurut persamaan sebagai berikut: V = ∑ ki Vi dengan V adalah produksi gas bio biomassa campuran (l/kg.bk), ki adalah fraksi biomassa ke i dan Vi adalah produksi gas bio biomassa ke i (l/kg.bk).

2. Kadar CH4 yang terdapat dalam gas bio hasil fermentasi anaerobik biomassa campuran

adalah kumulatip dari kadar metana dalam gas bio komponen campuran secara proporsional dan dalam satuan massa kering biomassa campuran. Model penduga

menurut persamaan V = ∑ ki Vi Ki V, dengan K adalah kadar metana dalam gas bio

biomassa campuran (%) dan Ki adalah kadar metana dalam gas bio biomassa ke i (%). 3. Model sentra energi berbasis biomassa baik dari aspek penyediaan bahan baku,

penguasaan teknologi, serta secara financial mempunyai kelayakan yang baik untuk dapat diwujudkan pada suatu kawasan dalam meningkatkan peranan energi biomassa pada penyediaan energi di kawasan tersebut.

4. Model sentra energi berbasis biomassa dapat memberikan perlindungan lingkungan dalam bentuk proporsi reduksi sampah yang dihasilkan dari 28,54% sampai dengan 72,33% dari produksi sampah harian dari jenis yang dipergunakan oleh sentra energi. 5. Model simulasi model pengembangan sentra energi biomassa dapat digunakan untuk

memprediksi karakteristik operasional sentra energi berbasis biomassa. n

i=1

n i=1

6. Dalam penerapan sentra energi berbasis biomassa dapat dimulai dari suatu kawasan yang tidak terlalu luas, misalnya kawasan setingkat kecamatan atau setingkat desa di pulau jawa

7. Kajian secara financial selayaknya dilakukan dengan berbagai skenario sumber biomassa yang digunakan terutama biomassa yang berasal dari limbah peternakan, khususnya pada kawasan yang penggunaan limbah peternakannya pada tingkatan yang sangat intensif yang berkecenderungan harga limbah peternakan terlalu mahal dibandingkan dengan harga metana yang dihasilkan.

8. Pemanfaatan sampah kota oleh sentra energi bersifat prioritas karena memiliki harga yang relatif rendah dan suatu kawasan yang memiliki potensi pengembangan ladang energi atau perkebunan energi sebaiknya menjadikannya sebagai prioritas.

9. Kadar CH4 dari gas bio sampah rata-rata 54,54%, secara umum biomassa menghasilkan

kadar CH4 dari gas bio diatas 50% yaitu antara 54,54% sampai 58,64%. Jangka waktu

pembentukan gas bio berlangsung selama 40-50 hari.

Masa pembentukan gas bio berlangsung selama 40-50 hari. Rata-rata 30% gas bio terbentuk pada sepuluh hari pertama, sebesar 58% pada periode sepuluh hari kedua, dan sampai periode sepuluh hari ketiga mencapai 83,2%, serta pada akhir periode sepuluh hari keempat gas bio yang berbentuk mencapai 97,5%. Waktu produksi tersebut relatif tidak berbeda dengan waktu produksi yang menggunakan bahan limbah ternak. Pada sistem tak- kontinyu dengan bahan limbah ternak lebih dari 66% pembentukan gas bio terjadi waktu kurang dari 30 hari dengan suhu larutan 30ºC (Pandey, 1997).

Laju pembentukan gas bio diantara bahan yang digunakan relatif tidak banyak berbeda. Laju rata-rata pembentukan gas bio tertinggi pada sepuluh hari pertama sebesar 3,00% perhari, kemudian pada periode sepuluh hari kedua 2,80% perhari, periode sepuluh hari ketiga sebesar 2,52% perhari dan pada periode sepuluh hari keempat sebesar 1,43% perhari, serta yang terendah pada periode sepuluh hari yang kelima sebesar 0,25% perhari. Pola dari laju pembentukan gas bio mendekati kurva linier pada periode tiga hari pertama, dan mempunyai pola eksponensial pada dua puluh hari terakhir. Gambaran ini menunjukkan rata- rata 90% pembentukan gas bio dalam masa produksi 35 hari.

Menurut Herawati et al., (2007) menyatakan daur ulang sampah adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai. Bahan-bahan atau material yang dapat di daur ulang antara lain, adalah sebagai berikut:

Botol bekas wadah kecap, saos, sirup, krim, kopi, selai/jam; baik yang putih bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal. Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali kertas yang berlapis (minyak atau plastik). Logam bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue, rangka meja, besi rangka beton. Plastik bekas wadah sampo, air mineral, jaringan ember.