• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Analisis untuk Mengukur Dayasaing Suatu Komoditas

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas

2.2 Metode Analisis untuk Mengukur Dayasaing Suatu Komoditas

Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai dayasaing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter dan Policy Analysis Matrix (PAM). Indeks RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas dan Berlian Porter dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan PAM dapat digunakan untuk mengukur tiga analisis sekaligus yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas yang sedang menjadi fokus penelitian.

Mudjayani (2008) dan Istiqomah (2008) menggunakan metode analisis RCA untuk menjelaskan kekuatan keunggulan komparatif dari komoditas yang

12 diteliti. Mudjayani (2008) mengemukakan bahwa buah-buahan tropis Indonesia (manggis, nenas, pepaya, dan pisang) memiliki keunggulan komparatif. Sementara itu, Istiqomah (2008) mengutarakan hasil penelitiannya bahwa keunggulan komparatif nenas Indonesia berada pada urutan kedua setelah Thailand, kemudian diikuti oleh Philipina dan Singapura. Selama tahun 1998- 2004, Indonesia mengalami fluktuasi nilai RCA. Pada tahun 2005, Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terbukti dari nilai RCA kurang dari satu yaitu 0,93. Bahkan pada tahun 2006, Indonesia tidak mengekspor nenas ke Malaysia. Rendahnya nilai RCA diduga terjadi karena nenas Indonesia kalah bersaing dengan Thailand, Philipina dan Singapura baik dalam hal harga maupun kualitas. Selain itu, rendahnya dayasaing disebabkan munculnya pesaing baru di pasar Malaysia yaitu Philipina yang baru muncul pada tahun 2005 dan Singapura yang muncul pada tahun 2006. Hal tersebut juga membuktikan bahwa dengan adanya AFTA, Indonesia tidak dapat keuntungan dari diberlakukannya pengurangan tarif, bahkan Indonesia menjadi kalah bersaing dengan negara pengekspor nenas lainnya yang berada di kawasan ASEAN.

Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2008), Hidayat (2009), Pratama (2010), dan Feryanto (2010) memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu pada metode analisis yang digunakan. Keempat penelitian tersebut juga menggunakan analisis PAM dan analisis sensitivitas. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pada komoditas yang diteliti dan pada skenario yang digunakan pada saat melakukan analisis sensitivitas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2008), selain menggunakan metode analisis PAM juga menggunakan analisis Berlian Porter untuk menghitung serta melihat keunggulan kompetitif pada dayasaing komoditas jagung, sedangkan penulis tidak menggunakan metode analisis tersebut didalam penelitian yang dilakukannya. Hal tersebut dikarenakan analisis PAM juga dapat mengidentifikasi keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif sebagai indikator dalam menentukan tingkat dayasaing komoditas sehingga tidak perlu melakukan dua kali penghitungan dengan menggunakan analisis Berlian Porter. Wibowo (2008) mengungkapkan bahwa pengusahaan komoditas jagung di Desa Panunggalan, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan menguntungkan secara

13 finansial maupun ekonomi serta memiliki dayasaing. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 4.808.446,79 dan Rp 5.151.488,69 serta nilai Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRC) lebih kecil dari satu yaitu 0,57 dan 0,55.

Hidayat (2009) mengemukakan bahwa pengusahaan kambing dengan skala usaha 80 ekor maupun 400 ekor untuk menghasilkan susu kambing di Kabupaten Bogor ternyata menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi serta memiliki dayasaing. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat yang positif untuk skala usaha 80 ekor dan 400 ekor yaitu sebesar Rp 228,16 juta dan Rp 1.061,80 juta per dua tahun serta keuntungan ekonomi yang juga positif yaitu sebesar Rp 387,72 juta per dua tahun untuk skala usaha 80 ekor dan Rp 2.366,89 juta per dua tahun untuk skala usaha 400 ekor. Nilai PCR dan DRC yang ditunjukkan kurang dari satu yaitu 0,51 dan 0,50 untuk skala usaha 80 ekor serta 0,37 dan 0,30 untuk skala usaha 400 ekor.

Hasil penelitian Pratama (2010) menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar oleh anggota Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) memiliki dayasaing meski dalam kondisi tarif impor susu sebesar nol persen. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 787,9 per liter dan Rp 1.706,5 per liter serta nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu yaitu 0,54 dan 0,72. Sementara itu, Feryanto (2010) mengungkapkan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan produk susu segar di Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu Kecamatan Lembang (Kabupaten Bandung Barat), Kecamatan Pangalengan (Kabupaten Bandung) dan Kecamatan Cikajang (Kabupaten Garut) secara umum menguntungkan dan efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif serta nilai PCR dan DRC kurang dari satu untuk ketiga wilayah. Peternak di Kecamatan Lembang memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 609,90 dan Rp 1.351,60 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,79 dan 0,63. Peternak di Kecamatan Pangalengan memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 170,80 dan Rp 930,90 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,94 dan 0,75. Sedangkan peternak di Kecamatan Cikajang

14 memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 304,40 dan Rp 1.541,00 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,89 dan 0,58.

Koerdianto (2008) juga menggunakan metode analisis PAM untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebjakan pemerintah terhadap komoditas sayuran unggulan di Kabupaten Bandung. Komoditas sayuran yang diteliti adalah tomat dan cabe merah. Perhitungan dengan metode PAM yang dilakukan oleh Koerdianto (2008) adalah perhitungan untuk satu musim tanam. Sedangkan, penulis melakukan perhitungan PAM multiperiode (times series sesuai dengan umur ekonomis tanaman dalam menghasilkan output). Hal ini dilakukan karena komoditas yang menjadi fokus penelitian penulis adalah belimbing yang termasuk dalam tanaman tahunan sehingga diperlukan perhitungan PAM multiperiode. Hasil penelitian Koerdianto (2008) menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di Kecamatan Ciwidey maupun Lembang memiliki dayasaing. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 16,089 juta dan Rp 69,869 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar Rp 18,976 juta dan Rp 67,187 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan Lembang, sebesar Rp 29,274 juta dan Rp 37,727 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar Rp 36,194 juta dan Rp 35,575 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang. Nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu untuk seluruh usahatani yang diteliti yaitu sebesar 0,65 dan 0,36 untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar 0,63 dan 0,39 untuk usahatani tomat di Kecamatan Lembang, sebesar 0,44 dan 0,41 untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar 0,45 dan 0,48 untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang.