• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok"

Copied!
353
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu bagian dari pembangunan sektor pertanian yang terdiri dari komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman obat, dan florikultur (bunga dan tanaman hias). Buah-buahan merupakan komoditas hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pertanian di Indonesia. Pada tahun 2010, nilai PDB komoditas buah-buahan diproyeksikan menempati urutan pertama di atas komoditas hortikultura lainnya yaitu mencapai Rp 88.851 triliun atau sekitar 52,6 persen dari total PDB hortikultura (PT Media Data Riset 2010).

Pengembangan buah-buahan khususnya buah-buahan tropis di Indonesia memiliki prospek yang bagus. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi dan potensi pasar yang besar. Jumlah produksi buah-buahan Indonesia tahun 2000-2009 cenderung terus meningkat dengan laju pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 9,30 persen per tahun (Badan Pusat Statistik 2010). Peningkatan produksi tersebut terjadi diduga karena adanya pertambahan luas areal panen dan semakin berkembangnya teknologi produksi yang diterapkan petani serta semakin intensifnya bimbingan dan fasilitas yang diberikan kepada petani dan pelaku usaha, semakin baiknya manajemen yang dilakukan pelaku usaha dan adanya penguatan kelembagaan agribisnis petani. Tingginya produksi buah-buahan juga didukung oleh besarnya peluang atau potensi pasar yang dimiliki. Perkiraan permintaan buah-buahan Indonesia tahun 2000-2015 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Tahun 2000-2015

Tahun Populasi Penduduk

Sumber : Pusat Kajian Buah Tropika, 1998

(2)

buah-2 buahan Indonesia tidak hanya di dalam negeri, era perdagangan bebas membuat Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat memasarkan produk buah-buahan yang dihasilkannya ke mancanegara. Sentuhan perdagangan bebas di Indonesia ditandai dengan dilakukannya beberapa perjanjian internasional. Di tingkat regional, sebut saja ASEAN Free Trade Area (AFTA), Kerjasama Agribisnis Republik Indonesia-Singapura, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

(IJ-EPA), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), dan ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA). Adanya perjanjian-perjanjian tersebut menyebabkan akses perdagangan antar negara semakin mudah dan terbuka lebar sehingga produk buah-buahan dari negara lain dengan mudah masuk ke Indonesia dan juga sebaliknya. Namun, peluang pasar yang tercipta melalui kerjasama tersebut belum termanfaatkan secara optimal bagi komoditas buah-buahan Indonesia. Hal ini tercermin dari nilai neraca ekspor dan impor buah-buahan Indonesia yang masih defisit. Perkembangan volume ekspor dan impor buah di Indonesia tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Volume Ekspor dan Impor Buah di Indonesia 2007 13.786.858 8.874.054 -16,03 309.390.705 245.858.606 -17,79 2008 22.336.164 12.171.944 62,01 481.197.626 443.918.406 55,53 2009 19.465.596 11.976.235 -12,85 617.736.690 593.297.919 28,37 2010* 17.354.175 13.314.091 -10,85 522.166.073 512.622.468 -15,47

Laju Pertumbuhan Volume

Ekspor Rata-Rata 5,57

Laju Pertumbuhan

Volume Impor Rata-Rata 12,66 Sumber: Kementerian Pertanian, 2011 (Diolah)

Keterangan: * Data Januari – Oktober

(3)

3 pertumbuhan ekspor buah di Indonesia hanya sebesar 5,57 persen setiap tahun pada tahun 2006 sampai 2010. Sehingga neraca perdagangan buah-buahan Indonesia tahun 2006 sampai 2010 selalu bernilai negatif.

Melihat kondisi tersebut, maka Indonesia dituntut untuk dapat meningkatkan dayasaing produk buah-buahan yang dihasilkannya agar mampu bertahan menghadapi persaingan global serta memanfaatkan peluang pasar yang ada dengan meningkatkan volume dan nilai ekspor buah-buahan Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji mengenai kemampuan dayasaing komoditas buah-buahan Indonesia, khususnya buah-buahan tropis. Salah satu jenis buah tropis yang sedang dikembangkan dan memiliki prospek yang cukup bagus ialah belimbing.

Berdasarkan Lampiran 1, produksi belimbing di Indonesia dari tahun 2000-2009 memiliki trend (kecenderungan) positif dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 5,30 persen per tahun. Namun, sampai saat ini volume dan nilai ekspor buah belimbing di Indonesia masih sangat kecil, Indonesia mengekspor belimbing ke Jepang dan Saudi Arabia. Di sisi lain, Indonesia juga masih mengimpor belimbing dari Malaysia dan Taiwan dengan volume dan nilai yang lebih tinggi dibandingkan ekspornya. Perkembangan volume ekspor dan impor belimbing di Indonesia tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Volume Ekspor dan Impor Belimbing Indonesia Tahun 2007-2010 Keterangan: *Data Januari – Oktober

(4)

4 ekspor buah dunia adalah negara-negara Uni Eropa sebanyak 43 persen, Amerika Serikat sebanyak 16 persen, negara-negara di sekitar Uni Eropa sebanyak 6 persen, Federasi Republik Rusia sebanyak 5 persen, Jepang sebanyak 4 persen, dan negara-negara di Afrika, Asia Barat, Timur Tengah, Kanada, China, dan Amerika Latin sebanyak 24 persen (Kementerian Pertanian 2011). Jika terjadi peningkatan kemampuan ekspor belimbing Indonesia, diharapkan mampu meningkatkan devisa negara dan eksistensi Indonesia di mata dunia sebagai negara agraris yang beriklim tropis.

Dilihat dari sisi produsen belimbing, tercatat sebanyak 33 provinsi di seluruh Indonesia merupakan daerah penghasil belimbing yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga Pulau Papua. Berdasarkan Lampiran 2, terlihat bahwa Pulau Jawa menempati urutan pertama sebagai penghasil belimbing terbanyak yaitu sebesar 67,66 persen dari total produksi belimbing di Indonesia. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang menjadi sentra penghasil belimbing terdiri dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Yogyakarta. Pada tahun 2009, Provinsi Jawa Barat menjadi sentra penghasil belimbing di Pulau Jawa karena mampu memberikan kontribusi produksi dan produktivitas tertinggi pertama di Pulau Jawa. Jawa Barat menghasilkan produksi belimbing sebesar 31,91 persen dari total produksi belimbing di Pulau Jawa serta memiliki nilai produktivitas sebesar 451,10 kuintal per hektar (lihat Lampiran 3). Nilai produktivitas ini berada diatas rata-rata nilai produktivitas belimbing secara nasional, dimana nilai produktivitas belimbing nasional hanya sebesar 249,13 kuintal per hektar (lihat Lampiran 4). Provinsi Jawa Barat memiliki 26 wilayah penghasil belimbing yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota. Kota Depok menjadi wilayah penghasil belimbing tertinggi pertama di provinsi tersebut, dengan kontribusi produksi sebesar 43,66 persen dari keseluruhan produksi belimbing di Jawa Barat pada tahun 2009 (lihat Lampiran 5). Dengan demikian, Kota Depok merupakan sentra produksi belimbing di wilayah Jawa Barat.

(5)

5 oleh pemerintah daerah Kota Depok. Pemerintah mencoba menjalankan perannya untuk membantu menguatkan citra belimbing dewa di Kota Depok dengan menjadikan belimbing sebagai icon Kota Depok sejak tanggal 21 Juli 2009. Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam membantu kemajuan agribisnis belimbing dewa di Kota Depok. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, maka penelitian mengenai analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Depok sebagai salah satu sentra produksi belimbing di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Belimbing dewa di Kota Depok telah lama diperdagangkan dalam bentuk buah segar ke beberapa wilayah di Indonesia, di antaranya ke wilayah Bandung dan Jabodetabek. Dalam rangka mengembangkan agribisnis belimbing di Kota Depok, pemerintah dan seluruh stakeholders belimbing dewa di Kota Depok mulai melirik pasar internasional untuk memasarkan produk unggulan serta icon

Kota Depok tersebut. Adanya arus globalisasi atau era perdagangan bebas membuat keinginan untuk dapat menembus pasar internasional semakin terbuka lebar. Namun, untuk dapat menembus pasar internasional atau melakukan ekspor maka komoditas belimbing dewa di Kota Depok harus memiliki dayasaing agar mampu bertahan dan bersaing dengan produk-produk sejenis yang ada di mancanegara.

(6)

6 memfasilitasi pendirian Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop) serta membantu pengembangan industri olahan belimbing dalam rangka meningkatkan nilai tambah yaitu dengan melakukan pelatihan-pelatihan mengenai produk-produk turunan (pengolahan) dari belimbing kepada masyarakat serta memfasilitasi pendirian pabrik pengolahan belimbing. Pemerintah juga telah memberikan insentif input produksi kepada para petani belimbing di Kota Depok berupa pemberian bibit tanaman belimbing dewa, pupuk, pestisida, pembungkus buah belimbing, pompa air serta menyalurkan dana bantuan program Peningkatan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang dikelola oleh kelompok tani.

Disamping itu, adanya Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen atas produk bahan baku pertanian seperti pupuk dan obat-obatan dapat menyebabkan harga pupuk dan obat-obatan ditingkat petani menjadi lebih tinggi sehingga biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani akan meningkat. Adanya Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan juga dapat menyebabkan harga-harga input produksi ditingkat petani menjadi lebih tinggi dan mengakibatkan biaya produksi meningkat. Selain itu, adanya inflasi dapat memengaruhi tingkat suku bunga dan membuat harga yang diterima petani menjadi berbeda dengan harga pada saat kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi pasar maupun intervensi pemerintah). Semua hal tersebut diduga akan memengaruhi tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani belimbing dewa di Kota Depok.

(7)

7 Input produksi merupakan faktor yang memengaruhi struktur biaya pengusahaan komoditas belimbing dewa. Input produksi yang digunakan dapat menentukan besarnya biaya yang dikeluarkan. Salah satu input produksi yang memiliki proporsi kebutuhan biaya paling tinggi dalam sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok adalah input tenaga kerja. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian dapat diketahui bahwa proporsi kebutuhan biaya tenaga kerja adalah sebesar 42,92 persen dari keseluruhan input produksi dalam pengusahaan belimbing dewa. Upah tenaga kerja cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan upah tenaga kerja tersebut dapat meningkatkan biaya produksi yang dikeluarkan. Besarnya biaya yang dikeluarkan diduga berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh.

Selain tenaga kerja, input produksi yang memiliki proporsi kebutuhan yang cukup besar adalah pupuk. Pupuk anorganik (pupuk daun dan NPK) yang digunakan oleh petani di lokasi penelitian adalah pupuk nonsubsidi. Harga pupuk anorganik nonsubsidi cenderung tinggi. Untuk mengendalikan tingginya harga tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) baik untuk pupuk bersubsidi maupun nonsubsidi. Namun, kemungkinan penyelewengan harga yang diberlakukan kepada petani sangat mungkin terjadi. Sehingga harga pupuk anorganik yang dibeli oleh petani menjadi lebih tinggi dari HET. Perubahan harga pupuk anorganik tersebut akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Perubahan biaya produksi yang terjadi diduga akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

Sulitnya pengendalian organisme pengganggu tanaman belimbing, khususnya hama ulat penggerek buah dapat mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah produksi buah belimbing yang dihasilkan oleh petani belimbing dewa di Kota Depok. Penurunan jumlah produksi ini diduga akan berpengaruh terhadap penerimaan dan keuntungan dari sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(8)

8 2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas

belimbing dewa di Kota Depok?

3. Bagaimana dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing belimbing dewa di Kota Depok?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

3. Menganalisis dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing belimbing dewa di Kota Depok.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan seperti :

1. Pemerintah, sebagai bahan masukan serta evaluasi bagi penetapan arah dan prioritas kebijakan pembangunan dayasaing komoditas belimbing dewa sebagai icon dan komoditas unggulan di Kota Depok.

2. Penulis, sebagai pengalaman dan wawasan baru yang berharga sekaligus sebagai media latihan dalam menerapkan ilmu yang diterima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Agribisnis (Mayor) dan Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (Minor).

3. Pihak akademis dan pembaca, sebagai informasi dan bahan referensi, baik untuk penelitian selanjutnya maupun bahan bacaan penambah wawasan.

1.5 Ruang Lingkup

(9)
(10)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi pada pasar internasional kegiatan produksi tersebut tetap dapat menguntungkan (Simanjutak 1992). Dayasaing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep dayasaing dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor/bidang, wilayah dan negara. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dengan menganalisis perbedaan harga-harga finansial dan ekonomi maka dapat diketahui nilai dayasaing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap penerimaan petani secara ekonomi dan finansial. Jika kebijakan yang ada telah mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi suatu sistem usahatani berarti kebijakan tersebut harus tetap dipertahankan, sebaliknya jika suatu kebijakan menghambat atau mengurangi nilai kompetitifnya maka perlu ada penghapusan atau deregulasi kebijakan (Desianti 2002).

(11)

produk-11 produk pertanian, yaitu kualitas produk, kontinuitas, waktu pengiriman, teknologi, sumberdaya manusia, negara pesaing Indonesia, dan insentif investasi. Apabila pemerintah dapat memperbaiki faktor-faktor pemicu dayasaing tersebut, maka komoditas agribisnis lokal dapat berkembang dan bersaing sehingga mampu meningkatkan ekspor, memenuhi kebutuhan dalam negeri serta sebagai substitusi impor.

Hasil penelitian Mudjayani (2008) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi dayasaing buah-buahan tropis Indonesia adalah produktivitas dan nilai ekspor yang berpengaruh positif terhadap dayasaing, sedangkan harga ekspor dan dummy krisis berpengaruh negatif terhadap dayasaing. Salah satu strategi yang dikemukan oleh Mudjayani (2008) untuk meningkatkan dayasaing buah-buahan tropis Indonesia adalah dengan meningkatkan kinerja dan volume ekspor buah-buahan tropis Indonesia yang dapat meningkatkan nilai ekspor sehingga dapat meningkatkan dayasaing buah-buahan tropis Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Istiqomah (2008) yang mengungkapkan bahwa dayasaing nenas Indonesia dapat meningkat melalui peningkatan volume dan nilai ekspornya. Oleh karena itu, menurut penulis peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja ekspor komoditas tersebut.

2.2 Metode Analisis untuk Mengukur Dayasaing Suatu Komoditas

Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai dayasaing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter dan Policy Analysis Matrix

(PAM). Indeks RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas dan Berlian Porter dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan PAM dapat digunakan untuk mengukur tiga analisis sekaligus yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas yang sedang menjadi fokus penelitian.

(12)

12 diteliti. Mudjayani (2008) mengemukakan bahwa buah-buahan tropis Indonesia (manggis, nenas, pepaya, dan pisang) memiliki keunggulan komparatif. Sementara itu, Istiqomah (2008) mengutarakan hasil penelitiannya bahwa keunggulan komparatif nenas Indonesia berada pada urutan kedua setelah Thailand, kemudian diikuti oleh Philipina dan Singapura. Selama tahun 1998-2004, Indonesia mengalami fluktuasi nilai RCA. Pada tahun 2005, Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terbukti dari nilai RCA kurang dari satu yaitu 0,93. Bahkan pada tahun 2006, Indonesia tidak mengekspor nenas ke Malaysia. Rendahnya nilai RCA diduga terjadi karena nenas Indonesia kalah bersaing dengan Thailand, Philipina dan Singapura baik dalam hal harga maupun kualitas. Selain itu, rendahnya dayasaing disebabkan munculnya pesaing baru di pasar Malaysia yaitu Philipina yang baru muncul pada tahun 2005 dan Singapura yang muncul pada tahun 2006. Hal tersebut juga membuktikan bahwa dengan adanya AFTA, Indonesia tidak dapat keuntungan dari diberlakukannya pengurangan tarif, bahkan Indonesia menjadi kalah bersaing dengan negara pengekspor nenas lainnya yang berada di kawasan ASEAN.

(13)

13 finansial maupun ekonomi serta memiliki dayasaing. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 4.808.446,79 dan Rp 5.151.488,69 serta nilai Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRC) lebih kecil dari satu yaitu 0,57 dan 0,55.

Hidayat (2009) mengemukakan bahwa pengusahaan kambing dengan skala usaha 80 ekor maupun 400 ekor untuk menghasilkan susu kambing di Kabupaten Bogor ternyata menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi serta memiliki dayasaing. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat yang positif untuk skala usaha 80 ekor dan 400 ekor yaitu sebesar Rp 228,16 juta dan Rp 1.061,80 juta per dua tahun serta keuntungan ekonomi yang juga positif yaitu sebesar Rp 387,72 juta per dua tahun untuk skala usaha 80 ekor dan Rp 2.366,89 juta per dua tahun untuk skala usaha 400 ekor. Nilai PCR dan DRC yang ditunjukkan kurang dari satu yaitu 0,51 dan 0,50 untuk skala usaha 80 ekor serta 0,37 dan 0,30 untuk skala usaha 400 ekor.

(14)

14 memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 304,40 dan Rp 1.541,00 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,89 dan 0,58.

Koerdianto (2008) juga menggunakan metode analisis PAM untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebjakan pemerintah terhadap komoditas sayuran unggulan di Kabupaten Bandung. Komoditas sayuran yang diteliti adalah tomat dan cabe merah. Perhitungan dengan metode PAM yang dilakukan oleh Koerdianto (2008) adalah perhitungan untuk satu musim tanam. Sedangkan, penulis melakukan perhitungan PAM multiperiode (times series sesuai dengan umur ekonomis tanaman dalam menghasilkan output). Hal ini dilakukan karena komoditas yang menjadi fokus penelitian penulis adalah belimbing yang termasuk dalam tanaman tahunan sehingga diperlukan perhitungan PAM multiperiode. Hasil penelitian Koerdianto (2008) menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di Kecamatan Ciwidey maupun Lembang memiliki dayasaing. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 16,089 juta dan Rp 69,869 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar Rp 18,976 juta dan Rp 67,187 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan Lembang, sebesar Rp 29,274 juta dan Rp 37,727 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar Rp 36,194 juta dan Rp 35,575 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang. Nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu untuk seluruh usahatani yang diteliti yaitu sebesar 0,65 dan 0,36 untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar 0,63 dan 0,39 untuk usahatani tomat di Kecamatan Lembang, sebesar 0,44 dan 0,41 untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar 0,45 dan 0,48 untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang.

2.3 Tinjauan Mengenai Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

(15)

15 petani SOP atas biaya tunai dan biaya total untuk satu musim panen lebih besar dibandingkan petani non-SOP. Selain itu, penggunaan faktor-faktor produksi (pupuk NPK, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja) pada usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non-SOP ternyata masih belum efisien. Sementara itu, Yulistia (2009) mengemukakan bahwa hadirnya Primatani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) di Kota Depok khususnya di Kelurahan Pasir Putih belum memberikan dampak yang terlalu besar terhadap tingkat pendapatan petani peserta Primatani dibandingkan petani non-peserta Primatani. Namun, usahatani belimbing dewa yang dijalankan oleh petani peserta maupun non-peserta Primatani sudah menguntungkan bagi petani.

Upaya lain dalam meningkatkan nilai tambah produk belimbing adalah pengolahan produk. Walaupun usaha pengolahan hortikultura di Kota Depok masih minim, kini mulai banyak pengusaha olahan di Kota Depok yang merintis untuk produk buah belimbing. Pengolahan produk belimbing di Kota Depok antara lain adalah sirup belimbing, jus belimbing, keripik belimbing, belimbing

instant, dodol belimbing, selai belimbing dan sari buah belimbing (Munigar 2009). Peluang pasar belimbing untuk kawasan Jabodetabek mencapai angka 6.000 ton per tahun (Nalurita 2006 dan Lubis 2009).

Nalurita (2006) menyatakan bahwa ada lima saluran pemasaran belimbing dewa di Kecamatan Pancoran Mas dan Lubis (2009) menyatakan ada empat saluran pemasaran belimbing dewa di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan. Hasil penelitian keduanya menunjukkan bahwa saluran pemasaran belimbing dewa di Kota Depok yang paling efisien adalah saluran pemasaran dari petani ke Puskop kemudian Puskop menjualnya ke pedagang pengecer (toko buah) lalu ke konsumen akhir. Saluran pemasaran tersebut paling efisien karena memiliki nilai marjin pemasaran terendah yaitu sebesar 43,48 persen, farmer’s

(16)

16 Fauzi (2007) mencoba menentukan pilihan komoditas unggulan yang akan dikembangkan di Kota Depok dari enam alternatif komoditas potensial yang terdapat di Kota Depok, yaitu belimbing, anggrek, ikan hias, benih ikan patin, ayam ras pedaging, dan kambing. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas belimbing merupakan komoditas unggulan pertama yang terpilih. Kemudian disusul oleh ikan hias (neon tetra) dan tanaman hias (anggrek) sebagai komoditas unggulan kedua dan ketiga. Pemilihan komoditas unggulan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dianggap penting yaitu kondisi ekonomi, teknologi dan infrastruktur, agroekosistem, sumberdaya manusia serta sosial dan budaya. Dimana komponen (subfaktor) yang dianggap paling memengaruhi faktor-faktor tersebut adalah kondisi permintaan pasar (pemasaran), teknologi budidaya, produksi dan produktivitas, peran petani serta interaksi sosial dan etos kerja dari para pelaku sistem agribisnis. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Fuadri (2009) bahwa penetapan komoditas unggulan dalam suatu wilayah harus mempertimbangkan kondisi spesifik daerah yang bersangkutan. Fuadri (2009) juga mengutarakan bahwa penetapan komoditas unggulan merupakan langkah awal yang penting dalam upaya membangun agroindustri unggulan yang memiliki struktur kuat dan tangguh dalam bersaing.

(17)

17

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional merupakan teori yang digunakan untuk mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain apabila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut).

Smith dengan teorinya mengenai keunggulan absolut menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang lebih kecil. Sebaliknya, negara tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar (Salvatore 1997). Dengan demikian, hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan menjadi penting.

(18)

18 Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P2, negara ini terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sebesar QB’QB” sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada keadaan ini, negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditas dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah. Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan 2, maka terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut.

Supply di pasar internasional akan terjadi jika harga lebih besar dari P1, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditas perdagangan akan sama besarnya dengan besarnya impor komoditas tersebut.

Panel A Panel B Panel C Pasar di negara 1 Hubungan Perdagangan Internasional Pasar di negara 2 untuk komoditas x untuk komoditas x untuk komoditas x

Gambar 1. Kurva Perdagangan Internasional

(Sumber : Salvatore 1997)

Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan memengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan memengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan pada akhirnya akan memengaruhi harga dunia.

Baga et al. (2009) mengungkapkan bahwa terdapat lima manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan atau aktivitas perdagangan internasional.

Pertama, akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan adanya efisiensi yang berasal dari kegiatan yang berskala besar (economic of scale). Hal ini terjadi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan menunjang,

(19)

19 sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, liberalisasi perdagangan menciptakan iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan mengharapkan untuk mendapat fasilitas dari pemerintah.

Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi yang akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Empat,

perdagangan yang lebih luas memberikan signal harga yang “benar” sehingga

meningkatkan efisiensi investasi. Lima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbukanya pilihan-pilihan baru. Namun untuk berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang pratik monopoli.

Kebijakan perdagangan internasional (ekspor dan impor) diartikan sebagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan memengaruhi struktur, komposisi dan arah perdagangan internasional dari/ke negara tersebut. Menurut Hady (2004), kebijakan perdagangan internasional yang dijalankan oleh suatu negara bertujuan untuk : (1) melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau negatif dan dari kondisi ekonomi/perdagangan internasional yang tidak baik atau tidak menguntungkan; (2) melindungi kepentingan industri dalam negeri; (3) melindungi lapangan kerja (employment); (4) menjaga keseimbangan dan stabilitas balance of payment (BOP) atau neraca perdagangan internasional; (5) menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil; dan (6) menjaga stabilitas nilai tukar/kurs valas.

3.1.2 Konsep Dayasaing

(20)

20 dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Kajian tentang dayasaing berawal dari pemikiran Adam Smith mengenai

konsep penting tentang “spesialisasi” dan “perdagangan bebas” melalui teori

keunggulan absolut (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan bahwa sebuah negara dapat melakukan perdagangan jika relatif lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) dibanding negara lain, keuntungan akan diperoleh jika negara tersebut melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki keunggulan absolut tersebut. Selanjutnya pada tahun 1817, David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut dengan teori keunggulan

komparatif melalui bukunya yang berjudul “Principles of Political Economic and Taxation” (Salvatore 1997).

3.1.2.1 Keunggulan Komparatif

Istilah comparative advantage (keunggulan komparatif) mula-mula dikemukan oleh David Ricardo sewaktu membahas perdagangan antar kedua negara. Ricardo menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai harga relatif yang lebih murah (kerugian absolut lebih kecil) dan mengimpor komoditas yang memiliki harga relatif lebih mahal (kerugian absolut lebih besar) (Salvatore 1997). Negara atau wilayah yang dapat menghasilkan barang yang memiliki harga relatif yang lebih murah dari negara atau wilayah lain disebut memiliki keunggulan komparatif. Konsep keunggulan komparatif ini bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional.

Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatif pada sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu :

(21)

21 2. Perdagangan bersifat bebas

3. Terdapat mobilitas tenaga kerja 4. Biaya produksi konstan

5. Tidak terdapat biaya transportasi 6. Tidak ada perubahan teknologi 7. Menggunakan teori nilai tenaga kerja

Keenam asumsi di atas dapat diterima, namum asumsi ketujuh tidak berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif karena teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga sebuah komoditas tergantung dari jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksi. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan kelemahan dari model Ricardo karena tenaga kerja bukan satu-satunya faktor produksi dan penggunaannya juga tidak sama untuk setiap komoditas serta tenaga kerja tidak bersifat homogen karena adanya perbedaan pendidikan, produktivitas dan upah yang diterima. Keunggulan komparatif yang dikemukan oleh Ricardo hanya berdasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja tanpa menjelaskan alasan timbulnya perbedaan produktivitas tenaga kerja di antara berbagai negara. Teori ini juga tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap pendapatan yang diperoleh faktor produksi. Hal ini menyebabkan konsep keunggulan komparatif yang dikemukan oleh David Ricardo disempurnakan oleh Heckscher dan Ohlin pada tahun 1933 (Salvatore 1997).

(22)

22 homogen atau sejenis di antara negara-negara yang terlibat dalam hubungan dagang. Pada intinya teori perdagangan Heckscher dan Ohlin menjelaskan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara (Salvatore 1997).

Dayasaing suatu komoditas ditentukan oleh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam produksi dan perdagangan. Ada pendapat dari beberapa kelompok teknokrat mengenai keunggulan komparatif yaitu suatu wilayah dapat memiliki keunggulan komparatif jika kekayaan alam melimpah, tenaga kerja banyak (padat karya), muatan teknologi yang rendah sehingga faktor produksi murah, dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan maupun terhadap masuknya barang-barang sejenis dari luar negeri dalam jangka pendek. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keunggulan komparatif dibagi dua, yaitu keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan (terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti teknologi, permintaan skala ekonomi dan struktur pasar.

Keunggulan komparatif suatu komoditas diukur berdasarkan harga bayangan (shadow price) atau berdasarkan analisis ekonomi yang akan menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi sesungguhnya dari unsur biaya maupun hasil. Analisis ekonomi suatu proyek atau aktivitas ekonomi atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa memperhatikan siapa yang menyumbang dan menerima manfaat tersebut. Maka, suatu komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali.

(23)

23

3.1.2.2 Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual atau harga pasar, dimana harga yang terjadi telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu negara atau daerah dalam dayasaing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan atau negara lain. Misalnya, suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditas tertentu (mempunyai keunggulan komparatif) namun tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditas tersebut tidak mampu bersaing di pasar dunia (tidak memiliki keunggulan kompetitif).

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari keunggulan komparatif yang diajukan oleh Micheal Porter sebagai kesuksesan suatu perusahaan dalam beroperasi pasar. Keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur dayasaing komoditas suatu wilayah dengan wilayah lain. Keunggulan ini dapat dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis finansial, sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubstitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.

Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dimiliki suatu negara agar mampu bersaing. Keempat faktor tersebut adalah kondisi faktor sumberdaya (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), persaingan, struktur dan strategi perusahaan (firm strategy, structure and rivalry). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang terdiri atas peran pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan dayasaing, sistem tersebut dikenal dengan

The National Diamond”.

(24)

24 sekaligus, yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi apabila komoditas yang diproduksi hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka dapat diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Hal sebaliknya juga dapat terjadi bila suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif. Kondisi ini akan terjadi apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti misalnya melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan dan kemudahan berbagai fasilitas lainnya.

Keunggulan kompetitif suatu komoditas diukur berdasarkan harga aktual (harga yang sebenarnya terjadi di pasar) atau berdasarkan analisis finansial yang akan menggambarkan manfaat suatu aktivitas dari sudut lembaga atau individu yang melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas ekonomi tersebut.

3.1.3 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan dayasaing komoditas pertanian termasuk produk buah seperti belimbing baik di pasar regional, domestik maupun pasar internasional. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi produk dalam negeri. Kebijakan diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga antara harga input dan output yang diterima produsen (harga aktual) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi persaingan sempurna (harga sosial). Terdapat dua bentuk kebijakan yang bisa ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.

(25)

25 membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan menjadi lebih rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum adanya kebijakan subsidi. Sedangkan, penerapan pajak akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga menjadi lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum diterapkannya pajak.

Adapun kebijakan perdagangan merupakan salah satu bentuk pembatasan yang diterapkan pemerintah pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan tersebut dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) maupun terhadap jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan harga internasional (harga dunia) dan harga domestik (harga dalam negeri). Kebijakan pajak impor (bea masuk) maupun pembatasan kuantitas diberlakukan untuk membatasi kuantitas yang diimpor (kuota impor), sementara pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah ekspor.

(26)

26

Tabel 4. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditas

Instrumen Dampak pada

Produsen

Dampak pada Konsumen

1.Kebijakan Subsidi Subsidi pada Produsen Subsidi pada Konsumen a. Tidak merubah harga

S+ : Subsidi CE: Konsumen Barang Orientasi Ekspor S- : Pajak CI: Konsumen Barang Substitusi Impor PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor TCE : Hambatan Barang Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor TPI : Hambatan Barang Impor

3.1.3.1 Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Output

Kebijakan terhadap harga output baik berupa pajak maupun subsidi, dapat diterapkan pada produsen barang impor dan barang ekspor. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus konsumen berubah. Diberlakukan subsidi positif pada produsen barang impor dan konsumen barang-barang impor dapat dilihat secara grafis pada Gambar 2.

(a) Kurva Subsidi untuk Produsen (b) Kurva Subsidi untuk Konsumen Barang Impor Barang Impor

Keterangan : P = Harga di dalam negeri S = Suplai Q = Kuota Pw = Harga dunia D = Demand

Gambar 2. Dampak Subsidi pada Produsen dan Konsumen Barang Impor

(27)

27 Gambar 2(a) adalah subsidi untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga di pasaran dunia (Pw ke Pd). Perubahan harga tersebut menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2, sementara konsumsi tetap di Q3. Harga yang diterima konsumen tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi dapat dilakukan jika produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dari kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen (karena diberi subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi.

Subsidi ini menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pd - Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Pd AB Pw. Subsidi yang menyebabkan barang yang tadinya diimpor diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan sebesar Q1CBQ2, sehingga efisien yang hilang sebesar CAB.

Gambar 2(b) menunjukkan subsidi pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pd - Pw yang menyebabkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4. Impor meningkat dari Q3 – Q1 menjadi Q4 – Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua yaitu transfer darti pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwA Pd. Di sisi produksi terjadi penurunan output dari Q2 ke Q1 dan terjadi kehilangan pendapatan sebesar Q2AFQ1, sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar AFB. Dari sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah sebesar Q1EGQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EGQ4 sehingga efisiensi yang hilang sebesar EGH.

(28)

28

Gambar 3. Hambatan Perdagangan Pada Produsen untuk Barang Impor

(Sumber : Monke dan Pearson 1989)

Gambar 3 menunjukkan adanya hambatan pada barang impor dimana terdapat tarif sebesar (Pd – Pw) sehingga meningkatkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dariQ3 ke Q4, sehingga impor turun dari Q3 – Q1 menjadi Q4 – Q2. Terjadi transfer pendapatan dari konsumen kepada produsen sebesar PdEFPw dan terjadi transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah perbedaan antara

opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan willingness to pay

Q4ACQ3, sehingga efisiensi yang hilang pada konsumen adalah sebesar daerah ABC dan pada produsen sebesar EFG.

3.1.3.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Input

Kebijakan pemerintah bisa diterapkan pada input, baik input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan ( non-tradable). Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak akan tampak pada input non-tradable, karena dalam input non-tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri saja.

(29)

29

maupun di luar negeri. Dampak diterapkannya kebijakan pajak dan kebijakan subsidi dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b)

Keterangan : Pw = Harga dunia S = Supply D = Demand Q = Kuota

Gambar 4. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Tradable

(Sumber : Monke dan Pearson 1989)

Pada Gambar 4(a), menunjukkan efek pajak terhadap input tradable. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat menyebabkan kurva supply bergeser ke kiri atas, sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q2 ke Q1. ABC adalah besarnya efisiensi ekonomi yang hilang, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1CAQ2) dengan biaya produksi output (Q2BC Q1).

Dampak dari subsidi input tradable dapat dilihat pada Gambar 4(b). Kebijakan subsidi menyebabkan harga input menjadi murah yang berdampak pada penurunan biaya produksi. Penurunan biaya produksi tersebut menyebabkan kurva

supply bergeser ke bawah, sehingga output yang dihasilkan akan meningkat dari Q1 ke Q2. Besarnya efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1ACQ2) dengan biaya produksi output (Q1ABQ2).

(30)

30

sebesar Pc-Pp menyebabkan produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga ditingkat produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Besaran efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BDA dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA.

(a) (b) Keterangan :

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi

Pc : Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak

Gambar 5. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Non-Tradable

(Sumber : Monke and Pearson 1989)

Dampak subsidi pada input non-tradable dapat dilihat pada Gambar 5(b). Sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi, tingkat harga keseimbangan yang terjadi adalah pada Pd dengan tingkat output keseimbangan Q1. Subsidi menyebabkan terjadinya perubahan harga di tingkat produsen menjadi Pp, sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABD.

3.1.4 Teori Matrik Kebijakan (Policy Analysis Matrix)

Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai tingkat dayasaing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter dan Policy Analysis Matrix

(31)

31 peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan serta lemah dalam mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dan mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik dan perkembangannya. Suatu negara tidak dapat lagi hanya menggantungkan keunggulannya pada keunggulan komparatif yang dimiliki sebagai endowment factors, tapi juga harus didukung adanya keunggulan kompetitif yang kuat. Teori Berlian Porter menganalisis faktor internal dan eksternal yang memengaruhi keunggulan kompetitif suatu komoditas. Faktor internal mencakup faktor fisik dan manusia, sedangkan faktor eksternal mencakup peluang yang terjadi pada pasar dalam negeri maupun internasional.

Policy Analysis Matrix (PAM) atau matrik kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan, pengolahan maupun pemasaran (Monke dan Pearson, 1989). Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah yang memengaruhi sistem komoditas. Sehingga PAM dinilai sebagai metode analisis yang paling efisien karena dalam satu metode dapat mengidentifikasi tiga analisis sekaligus. Namun, kelemahan PAM yaitu bersifat statis (hanya dapat menghitung pada satu tingkat harga), sedangkan dalam kenyataannya harga dapat bervariasi.

(32)

32 Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan harga sosial atau harga bayangan yaitu harga yang menggambarkan divergensi. Divergensi akan menggambarkan penyebab perbedaan hasil perhitungan antara perhitungan berdasarkan harga privat dan perhitungan berdasarkan harga sosial, divergensi dapat disebabkan oleh adanya kegagalan pasar atau kebijakan pemerintah. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu

competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah monopoli, externality dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna. Kebijakan pemerintah adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiensinya. Kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan divergensi antara lain pajak/subsidi, hambatan perdagangan atau regulasi harga, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya kebijakan pemerintah (Pearson et al 2005).

Matrik PAM memiliki empat kolom, kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable), kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non-tradable) dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan dari selisih antara penerimaan dan biaya. Penggunakan harga privat dan sosial dalam analisis PAM menggambarkan bahwa metode tersebut mengandung analisis finansial dan ekonomi. Dalam analisis ekonomi akan meninjau aktivitas dilihat dari sudut masayarakat secara keseluruhan. Sedangkan analisis finansial dilihat dari individu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi yaitu petani.

3.1.5 Harga Bayangan (Harga Sosial)

(33)

33 Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga paritas ekspor atau Free on Board (FOB) untuk barang exportable dan harga paritas impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) untuk barang yang

importable. FOB merupakan syarat penyerahan barang dimana penjual hanya menanggung biaya pengangkutan sampai pelabuhan muat penjual, sisanya ditanggung oleh pembeli. Sedangkan CIF adalah syarat penyerahan barang dimana penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu komoditas. Monke dan Pearson (1989) juga mengemukakan bahwa ada empat cara dalam menentukan harga paritas (harga internasional) dari suatu barang (input/output) yang tradable, yaitu : (1) nilai FOB atau CIF yang implisit, yakni dengan membagi total nilai ekspor/impor dengan total kuantitas. Tetapi nilai ini bias karena perusahaan umumnya tidak akan melaporkan yang sebenarnya untuk meminimalisir pajak; (2) nilai FOB atau CIF di negara tetangga yang sudah diketahui secara jelas; (3) nilai FOB atau CIF berdasarkan informasi yang diperoleh dari industri, agensi pemerintah atau organisasi internasional; dan (4)

world price indirectly yakni dengan mengurangkan efek dari kebijakan pemerintah (menambahkan subsidi atau mengurangkan pajak).

(34)

34

1) Harga Bayangan Tenaga Kerja

Menurut Pearson et al. (2005), dalam mengestimasi harga bayangan tenaga kerja adalah dengan melihat apakah ada kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan yang terjadi pada pasar tenaga kerja. Ada dua jenis kegagalan pasar yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang, yaitu monopsoni atau oligopsoni (dimana satu atau beberapa pengguna tenaga kerja berkolusi untuk menekan upah) dan kekuatan serikat buruh (ketika kelompok serikat buruh memberikan tekanan yang menyebabkan naiknya upah). Apabila buruh mudah untuk masuk dan keluar dari pasar tenaga kerja, maka hal itu merupakan bukti tidak efektinya kekuatan yang memengaruhi pasar, baik yang dimiliki oleh pengguna tenaga kerja (perusahaan) maupun serikat buruh.

Dua jenis distorsi kebijakan yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang adalah peraturan upah minimum serta tunjangan (pajak) pensiun dan kesehatan (dimana pemerintah mengharuskan perusahaan atau pengguna tenaga kerja untuk berkontribusi pada program kesehatan dan pensiun yang dengan sendirinya akan meningkatkan biaya upah tenaga kerja). Kebijakan seperti ini berkembang baik di negara berkembang maupun negara maju, namun umumnya tidak bisa diterapkan di pasar tenaga kerja pertanian kecuali di perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil pertanian. Kebijakan yang tidak memengaruhi biaya tenaga kerja, karena tidak bisa diterapkan adalah kebijakan yang tidak efektif dan dengan sendirinya bisa diabaikan pada analisis PAM.

2) Harga Bayangan Bunga Modal

Sebelum mengestimasi harga bayangan bunga modal, terlebih dahulu harus mengetahui mengenai sumber kredit atau sumber modal serta tingkat bunga yang harus dibayar untuk setiap sumber kredit atau sumber modal yang digunakan oleh pelaku usaha dalam sistem komoditas yang diteliti. Menurut Pearson et al. (2005), ada empat sumber kredit dan tingkat bunga yang umum ditemukan di negara berkembang, yaitu :

(35)

35 sebagai hilangnya kesempatan untuk mengkonsumsi atau investasi.

Opportunity cost yang membiayai sendiri kegiatan usahatani dengan sumber tabungan keluarga adalah bunga tabungan yang hilang.

b. Lembaga perkreditan formal, seperti bank pemerintah, bank komersial atau lembaga keuangan lainnya, umumnya menyalurkan kredit kepada petani, usaha kecil dan pedagang dengan tingkat bunga yang moderat. Lembaga seperti ini masih belum banyak berkiprah di pedesaan, serta memerlukan agunan yang besar dan mahal.

c. Pemilik kios/toko/warung serta pedagang yang menjual pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya seringkali merupakan sumber kredit yang amat penting bagi petani meskipun dengan tingkat bunga yang cukup tingi.

d. Pelepas uang (rentenir) umumnya merupakan sumber kredit dengan tingkat bunga tertinggi. Karena tingkat bunga yang dibebankan bisa diatas 10 persen per bulan, petani umumnya menghindari sumber kredit seperti ini kecuali untuk kebutuhan keluarga yang mendesak.

Biaya modal dalam analisis PAM diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu modal kerja dan modal investasi. Modal kerja adalah biaya produksi (tunai) yang harus dibayar petani seperti pembelian input, upah tenaga kerja dan penyimpanan dalam kurun waktu satu tahun produksi. Modal investasi adalah pengeluaran atas aset yang memberikan kegunaan lebih dari satu tahun.

(36)

36

3) Harga Bayangan Lahan

Lahan merupakan faktor produksi atau aset tak bergerak (fixed factor) dalam proses produksi pertanian. Berbeda dengan tenaga kerja dan modal yang bersifat bergerak (mobile) dan bisa berpindah kepada aktivitas lainnya, lahan bersifat tetap atau tak bergerak (immobile). Kecuali lahan tersebut terletak di dekat pusat kota, menjadi pusat perumahan atau perindustrian. Opportunity cost

dari lahan yang ditanami satu komoditas adalah pendapatan yang diperoleh dari komoditas alternatif terbaiknya. Nilai lahan di pasar lahan (baik jual lepas maupun sewa-menyewa) bergantung kepada tingkat produktivitas lahan tersebut dan dengan sendirinya juga tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani pembeli atau penyewa lahan tersebut.

Menurut Pearson et al. (2005), penentuan harga bayangan (sosial) dari lahan mengikuti prinsip-prinsip social opportunity cost. Dilihat dari sudut pandang perekonomian nasional, nilai sosial dari sewa lahan adalah sama dengan keuntungan sosial lahan yang diperoleh dari komoditas alternatif terbaik sebelum dikurangi sewa lahan. Bila cara ini ternyata tidak praktis atau malah mengalihkan perhatian dari komoditas yang semula diteliti, cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan memasukan balas jasa atau pendapatan untuk lahan (return to land). Dengan demikian, keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan untuk manajemen dan lahan (return to management and land), bukan hanya pendapatan untuk manajemen. Dengan demikian, biaya lahan dikeluarkan dari harga bayangan (sosial). Karena rumit dan juga mahalnya menganalisis komoditas alternatif terbaik, belum lagi untuk menentukan alternatif komoditas itupun memerlukan penelitian lebih dari satu komoditas, maka banyak peneliti

mengadopsi pendekatan ini. Namun, “korbanan” yang harus dilakukan dengan

mengambil cara ini amat besar, karena dugaan nilai (sewa) sosial lahan amat diperlukan dalam menentukan efisiensi. Dengan kata lain, dengan

“menggabungkan” biaya sosial lahan ke dalam keuntungan (return to

(37)

37

3.1.6 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil analisis suatu kegiatan ekonomi, bila ada suatu kesalahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik analisa untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis, bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara :

1. Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut.

2. Menentukan dengan berapa suatu harus berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

Analisa sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis kepekaan dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur, kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan analisis sensitivitas adalah :

1. Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu.

2. Analisis sensitivitas hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.

Dalam kaitannya dengan PAM, analisis sensitivitas akan mereduksi kelemahan dari metode analisis PAM tersebut. PAM bersifat statis dan tidak dimungkinkannya dilakukan simulasi untuk melihat pengaruh perubahan dari faktor-faktor penting dalam suatu proyek, kaitannya dengan penelitian ini adalah usahatani.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

(38)

38 belimbing. Kota Depok merupakan salah satu wilayah sentra produksi belimbing di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Belimbing di Kota Depok lebih dikenal dengan sebutan belimbing dewa. Dalam rangka mengembangkan agribisnis belimbing di Kota Depok serta memanfaatkan peluang pasar yang tercipta karena adanya era perdagangan bebas maka belimbing dewa di Kota Depok mulai dipersiapkan untuk dapat menembus pasar internasional. Namun, untuk dapat menembus pasar internasional maka komoditas belimbing dewa di Kota Depok dituntut untuk memiliki dayasaing agar mampu bertahan dan bersaing dengan produk sejenis yang terdapat di mancanegara.

Adanya penetapan pajak impor (bea masuk) sebesar lima persen atas bahan baku pupuk anorganik dan obat-obatan dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan serta adanya kebijakan terhadap suku bunga dapat membuat harga yang diterima petani berbeda dengan harga pada kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi pasar maupun intervensi pemerintah). Disamping itu, pemerintah juga telah memberikan insentif input produksi kepada para petani belimbing dewa di Kota Depok. Hal-hal tersebut diduga akan memengaruhi tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani belimbing dewa di Kota Depok.

Terdapat banyak metode pendekatan dan teori untuk mengestimasi dayasaing komoditas, dimana semua cara pendekatan dan teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang memerlukan pemecahan. Salah satu cara pendekatan yang dipandang efisien untuk memecahkan permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah metode Policy Analysis Matrix (PAM). Hal ini dikarenakan selain dapat digunakan untuk menganalisis dayasaing komoditas belimbing dewa, PAM juga dapat digunakan sekaligus untuk menganalisis dampak/pengaruh dari penerapan kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas belimbing dewa.

(39)

39 dan nilai rasio biaya privat atau private cost ratio (PCR) yang dihasilkan. Dampak dari kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok dianalisis melalui tiga pendekatan yaitu dampak kebijakan terhadap output, kebijakan terhadap input serta kebijakan terhadap input dan output. Dampak kebijakan terhadap output dianalisis berdasarkan nilai output transfer (TO) dan

nominal protection coefficient on output (NPCO) yang dihasilkan. Dampak kebijakan input dianalisis berdasarkan nilai transfer input (IT), nominal protection coefficient on input (NPCI) dan factor transfer (TF) yang dihasilkan. Sedangkan dampak kebijakan terhadap input dan output dianalisis berdasarkan nilai effective protection coefficient (EPC), net transfer (TB), profitability coefficient (PC), dan

subsidy ratio to produsers (SRP).

(40)

40

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian “Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas

Belimbing Dewa di Kota Depok”

1. Gambaran dayasaing komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

2. Gambaran dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok.

3. Gambaran pengaruh perubahan jumlah produksi, harga tenaga kerja, harga pupuk anorganik, dan harga output terhadap dayasaing Belimbing Dewa di Kota Depok.

1. Indonesia memiliki potensi sebagai negara eksportir buah-buahan tropis. 2. Potensi Kota Depok sebagai sentra produksi belimbing.

3. Pengembangan agribisnis belimbing dan peluang ekspor.

4. Insentif produksi kepada petani belimbing, adanya bea masuk 5 persen atas bahan baku pupuk anorganik dan obat-obatan, PPN 10 persen atas input produksi serta kebijakan suku bunga

1. Apakah komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok memiliki dayasaing?

2. Bagaimana Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap dayasaing komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok?

3. Bagaimana pengaruh perubahan harga buah belimbing, harga tenaga kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing Belimbing Dewa di Kota Depok?

Analisis Dayasaing Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok:

1. Keunggulan Komparatif 2. Keunggulan Kompetitif

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Dayasaing Belimbing Dewa di Kota Depok:

1. Dampak Kebijakan terhadap Output 2. Dampak Kebijakan terhadap Input 3. Dampak Kebijakan terhadap Input-Ouput

Analisis Sensitivitas

1. Penurunan Jumlah Poduksi 2. Peningkatan Upah Tenaga Kerja 3. Peningkatan Harga Pupuk Anorganik 4. Penurunan Harga Output

Rekomendasi Kebijakan

(41)

41

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok tepatnya di Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cipayung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Depok merupakan salah satu sentra produksi belimbing di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Kota Depok telah memberikan kontribusi produksi belimbing sebesar 43,66 persen dari total produksi belimbing di Jawa Barat pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2010). Selanjutnya, pemilihan Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung juga dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Pancoran Mas merupakan daerah sentra produksi utama belimbing di Kota Depok. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pancoran Mas memberikan kontribusi produksi belimbing terbesar pertama di Kota Depok yaitu sebesar 51,35 persen dari seluruh total produksi belimbing di Kota Depok. Adapun Kecamatan Cipayung terpilih menjadi lokasi penelitian dikarenakan Kecamatan Cipayung merupakan wilayah hasil pemekaran Kecamatan Pancoran Mas pada akhir tahun 2009 yang lalu dan juga menjadi salah satu sentra produksi belimbing di Kota Depok dengan kontribusi produksi sebesar 12,40 persen dari total produksi belimbing di Kota Depok pada tahun 2007. Jumlah produksi belimbing di masing-masing kecamatan di Kota Depok pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi Tanaman Belimbing di Sebelas Kecamatan di Kota

(42)

42 Dengan demikian, Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cipayung merupakan wilayah sentra produksi belimbing yang dapat dijadikan contoh sebagai daerah yang cocok untuk melakukan analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010-Juni 2011.

4.2 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan terhadap kelompok tani, petani, lembaga pemasaran, pedagang input pertanian, dan lembaga penunjang. Pengambilan sampel terhadap kelompok tani dilakukan secara purposive, yaitu teknik pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan pertimbangan dari kelompok tani yang memiliki jumlah anggota, luas areal, populasi tanaman, dan kapasitas produksi belimbing yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok tani lainnya di masing-masing kecamatan. Di Kecamatan Pancoran Mas, kelompok tani belimbing yang dipilih adalah Kelompok Tani Kali Licin. Sedangkan di Kecamatan Cipayung, kelompok tani belimbing yang dipilih adalah Kelompok tani Layungsari. Kelompok tani, jumlah anggota, luas areal, populasi tanaman, dan kapasitas produksi belimbing di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kelompok Tani, Jumlah Anggota, Luas Areal, Populasi Tanaman, dan Kapasitas Produksi Belimbing di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Tahun 2007

Gambar

Tabel 4.  Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditas
Gambar 3.  Hambatan Perdagangan Pada Produsen untuk Barang Impor
Gambar 4. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Tradable
Gambar 5.  Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Non-Tradable
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Peran Koperasi dalam Pengembangan Sistem Agribisnis Belimbing Dewa (Studi Kasus Pusat Koperasi Pemasaran

dengan cara menurunkan aktivitas serum Alanine Aminotransferase (ALT) dan Aspartate Aminotransferase (AST) dan untuk mengetahui berapa dosis optimum ekstrak metanol

Suatu perusahaan yang besar dimana sahamnya tersebar sangat luas, setiap perusahaan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadapc2 kemungkinan hilangnya

Pada bagian ini dijelaskan arah kebijakan yang dilakukan dalam rangka pencapaian TPB/SDGs. Dituliskan kebijakan yang dilakukan untuk masing- masing Tujuan sebagai

Masih berkaitan dengan itu, tebu yang dikonsumsi yakni Saccharum officinarum beserta jenis liar Erianthus arundinaceus di Papua telah memunculkan berbagai macam

Pengetahuan dan sikap gizi kader dan ibu balita di posyandu dan pengaruhnya terhadap status gizi balita di Desa Babakan, Bogor Barat [skripsi] Bogor : Fakultas

Dengan metode ini akan dapat mendeskripsikan secara lebih teliti mengenai pola pengasuhan anak pada keluarga pemilik warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal, siapa saja

Despite the knowledge that HIV-1 and MLV integrate into specific features of genes and the observation that Tf1 integrates into promoters, it has not been possible to