• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.2 Metode Pembelajaran Montessori

Maria Montessori adalah seorang dokter wanita yang berasal dari negara Italia. Montessori lahir di kota Chiaravalle, Ancona, Italia Utara pada tanggal 31 Agustus 1870. Semasa hidupnya, Montessori pernah mendapatkan beasiswa dari

Rolli Foundation. Melalui keberhasilannya tersebut, Montessori diberi kesempatan menjadi asisten di rumah sakit (Magini, 2013: 20). Pada tanggal 10 Juli 1896, Montessori berhasil lulus dari Fakultas Kedokteran dengan nilai yang sangat luar biasa.

Sekitar tahun 1897 Montessori bergabung menjadi seorang asisten di rumah sakit Santo Spirito di klinik psikiatri. Di klinik inilah Montessori bertugas memberikan layanan kesehatan dan terapi bagi pasien yang memiliki gangguan saraf dan cacat mental. Ketika mengunjungi rumah sakit jiwa, Montessori melihat perlakuan yang tidak adil terhadap anak-anak tunagrahita yang dikurung dalam suatu ruangan tanpa aktivitas maupun sarana untuk berkegiatan. Melihat peristiwa itu, Montessori tergugah hatinya untuk mempelajari ilmu mengenai anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental dan membawanya untuk mempelajari tulisan-tulisan dan penelitian terdahulunya, yaitu Jean Marc, Gaspard Itard, dan Edouard Seguin. Menurut Seguin, pendidikan haruslah mencakup aspek di antaranya pelatihan otot-otot tubuh dan saraf sensorial, pendidikan intelektual, dan pendidikan mental yang di dalamnya terdapat kemauan anak (Montessori, 2002: 30).

Montessori mulai masuk dalam pendidikan anak dengan mendirikan Casa dei Bambini atau Children’s House pada tanggal 6 Januari 1907 atas usulan Edoardo Talamo seorang Direktur Jenderal Asosiasi Roma. Casa dei Bambini

atau Children’s House adalah sekolah yang didirikan untuk anak-anak di lingkungan pinggiran dan kumuh di Roma. Setiap datang untuk mengajar di sekolah ini, Montessori selalu membawa alat peraga didaktis buatan Itard dan Seguin yang sudah diujicobakan di sekolah untuk anak-anak tunagrahita. Setiap

10 datang di sekolah itu, Montessori melakukan observasi terhadap aktivitas yang dilakukan anak di kelas. Bertolak dari observasi inilah Montessori menemukan metode pembelajarannya, dimana metodenya tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan anak di Casa dei Bambini.

2.1.2.2Metode Montessori

Metode Montessori mengajarkan kepada para siswa mengenai kebenaran mendasar tata bahasa, matematika, biologi dan sebagainya. Siswa Montessori dibebaskan untuk memilih pekerjaaan yang akan dilakukan dan kapan mereka inginkan. Anak-anak di kelas Montessori juga sering sekali belajar secara kolaboratif bersama temannya, tidak ada penggolongan usia, pekerjaan yang mereka lakukan berfokus pada penyelesaian proyek (Lillard, 2005: 328). Pendidikan Montessori menuntun para siswa semakin dekat dengan penemuannya, dengan maksud yang baik bahwa menggunakan pengulangan mereka tidak pernah gagal dalam mempelajari hal yang mereka temukan.

Menurut Hainstock (1997: 10) metode Montessori mengandung pengertian pendekatan yang dilakukan secara tidak langsung untuk mengajarkan anak mengenai pandangan yang luas. Hal mendasar dalam metode Montessori adalah bahwa setiap anak mempunyai kemampuan batin yang dapat memberikan dorongan atau motivasi untuk mencari kegiatan khusus dan berinteraksi. Tujuan kelas yang menggunakan metode Montessori adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang siap, di mana anak dibebaskan untuk menemukan dan meningkatkan pengetahuannya serta disiplin untuk berfokus pada tugas yang dikerjakan. Montessori menghargai ruang kelas sebagai tempat untuk mengamati anak dan menguji serta pemberian gagasan dan pertolongan untuk perkembangan pengetahuan anak. Montessori percaya bahwa semua anak bukan kertas yang kosong (Kallio, 2008: 1). Anak-anak juga dapat mengembangkan keterampilan yang dimilikinya semaksimal mungkin.

Melalui penyataannya, Montessori mengatakan bahwa tidak merancang metode pembelajaran, tetapi ide-ide yang beliau temukan merupakan hasil dari observasi yang dilakukan di kelasnya (Patamic, 2013: 7). Dari pengamatan yang telah dilakukan, Montessori menemukan kebutuhan-kebutuhan anak di antaranya kesenangan dalam belajar, cinta keteraturan, kebutuhan untuk mandiri, kebutuhan

11 untuk didengar dan dihargai, dan minat. Kebutuhan tersebut bersifat umum, tanpa membedakan kebudayaan, latar belakang, gender, dan ras anak (Patamic, 2013: 8).

2.1.2.3Prinsip Pembelajaran Metode Montessori

Prinsip pembelajaran Montessori ada delapan macam sini (Lillard, 2005: 30-33), yaitu (1) gerak dan kognisi. Gerak dan kognisi merupakan sesuatu yang melekat satu dengan yang lain. Montessori pernah mengatakan bahwa berpikir dan bergerak yang dilakukan oleh anak-anak merupakan proses yang sama. Hubungan antara kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang menarik yang dapat meningkatkan proses dalam pembelajaran. (2) Kebebasan memilih. Montessori menegaskan bahwa anak-anak memiliki perkembangan dalam hal memilih sesuatu dan memiliki kontrol terhadap lingkungan mereka. Anak memiliki kebebasan dalam membuat keputusan, melakukan pekerjaan, menentukan berapa lama ia bekerja, bekerja dengan siapa, dan sebagainya. (3) Ketertarikan minat. Prinsip yang ketiga adalah adanya konteks pembelajaran yang menarik. Montessori menciptakan dan merancang sebuah alat-alat yang digunakan anak-anak untuk berinteraksi dengan lingkungan belajarnya. Alat-alat yang digunakan dapat membantu direktris untuk mengajarkan materi belajar. Selain itu, Montessori juga memberikan pelatihan terhadap direktris dalam hal sikap saat membangkitkan semangat anak. Pendidikan Montessori memiliki peranan besar terhadap ketertarikan individu yang unik. (4) Motivasi instrinsik dengan penghapusan hadiah. Pembelajaran Montessori tidak mengenal pemberian hadiah. Penghapusan hadiah bertujuan untuk mendisiplinkan siswa agar lebih menghargai kemampuan dan kebebasan yang dimilikinya. Motivasi instrinsik yang diperoleh siswa berupa rasa kepuasan diri saat menggunakan alat peraga. (5) Belajar dengan teman sebaya. Pendidikan sekolah tradisional, guru memberikan anak-anak informasi, anak-anak jarang diajarkan dengan menggunakan materi (misalnya teks bacaan). Berbeda dengan sekolah tradisional, anak-anak di sekolah Montessori, dengan rekan sebayanya secara berkelompok. Kegiatan ini dapat membentuk anak-anak dalam mengembangkan pemahamannya dibandingkan dengan bekerja secara individu. Melalui kegiatan belajar dengan rekan sebaya, anak dapat belajar untuk memecahkan suatu masalah, memperoleh pengetahuan, dan meningkatkan

12 motivasi untuk belajar. (6) Konteks dalam pembelajaran. Montessori membuat satu set alat dan merancang sistem pembelajaran yang mengaplikasikan dan bermakna yang tepat untuk mengajarkan para siswa. Selain itu, siswa yang belajar dengan program pembelajaran Montessori dapat belajar dengan melakukan secara langsung. (7) Gaya interaksi guru terhadap belajar anak. Montessori memberi saran bagi guru untuk menjalin interaksi yang baik dengan siswa. Guru yang peka terhadap tanggapan anak membuat anak mempunyai harapan yang besar untuk belajar, mengembangkan kedewasaan anak, meningkatkatkan prestasi, simpati, empati, dan karakter yang berkembang. (8) Keteraturan dan kerapian dalam lingkungan belajar. Kelas Montessori sangat tertata dengan rapi secara fisik dan secara konseptual (bagaimana penggunaan material yang dikembangkan). Target dalam pembelajaran Montessori adalah adanya keteraturan dalam di sekolah.

Dokumen terkait