• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENAGA KERJA IDONESIA (TKI) DI PULAU SEBATIK

B. METODE PENELITIAN

Artikel ini diangkat dari hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan informan utama Camat Sebatik dan pegawai pada Dinas Pendidikan kabupaten Nunukan, sedangkan informan triangulasinya penduduk setempat. C. PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN BUAT SEMUA

1. Makna Gerakan Sosial

Secara umum makna Gerakan sosial (bahasa Inggris: social

movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan

sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Gerakan Sosial merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan bersama dan tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Ciri lain Gerakan Sosial ialah penggunaan cara yang berbeda diluar institusi yang ada (Kamanto Sunarto, 2004: 199). Gerakan sosial adalah suatu upaya yang kurang lebih keras dan teroganisir yang dilakukan oleh orang-orang yang realtif besar jumlahnya, entah untuk menimbulkan perubahan, entah untuk menentangnya (Rafael Raga Maran, 2001: 65)

Contoh gerakan sosial bidang pendidikan adalah education for all. Ajakan ini terus dikampanyekan karena akses pendidikan belum sama bagi beberapa kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok terpinggir dari pelaksanaan pendidikan ini tidak mudah mendapatkan layanan pendidikan karena berbagai hal, sehingga pemerintah dan masyarakat yang peduli merasa perlu menyelenggarakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi kelompok marginal tersebut. Kelompok marginal tersebut selanjutnya disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang ditangani pendidikan khusus adalah kelompok diffable dan cerdas istimewa, sedang pendidikan layanan khusus (PLK), dikembangkan untuk melayani kelompok marginal non diffable, seperti anak dari masyarakat terpencil, miskin, kepulauan, terisolir, terlantar dan lain sebagainya. 2. Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 31 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanatkan bahwa Pemerintah Indonesia memberikan jaminan sepenuhnya kepada peserta didik berkebutuhan khusus atau yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan

yang tidak membedakan pelayanan pendidikan oleh karena keterbatasan ataupun kekhususan yang dimiliki oleh anak. Dijelaskan bahwa pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK).

Undang Undang Sisdiknas Pasal 32 ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Khusus adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; sementara ayat (2) menjelaskan bahwa Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berangkat dari pengertian diatas, maka Pendidikan Khusus (PK) dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu:

1. Tunanetra

2. Tunarungu, Tunawicara

3. Tunagrahita : Ringan (IQ = 50-70), Sedang (IQ = 25-50), (antara lain Down Syndrome)

4. Tunadaksa Ringan dan Tunadaksa Sedang 5. Tunalaras (Dysruptive), HIV AIDS & Narkoba 6. Autis, dan Sindroma Asperger

7. Tunaganda

8. Kesulitan Belajar/ Lambat Belajar (antara lain: Hyperaktif, ADD/

ADHD, Dysgraphia/ Tulis, Dyslexia/ Baca, Dysphasia/ Bicara, Dyscalculia/ Hitung, Hyspraxia/ Motorik).

9. Gifted : potensi kecerdasan istimewa (IQ > 130 ); Talented: potensi bakat istimewa (multiple intelligences : language, logico-mathematic, visuo-spatial, bodily-kinesthetic, musical, interpersonal, natural,

intrapersonal, spiritual); & Indigo. Atau yang lebih dikenal dengan

istilah CI & BI (Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa)

Sementara Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun diantaranya yaitu:

1. Daerah terbelakang/ terpencil/ pedalaman/ pulau-pulau, anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Sekolah Indonesia di Luar Negeri (SILN). 2. Masyarakat etnis minoritas terpencil (anak suku pedalaman)

3. Pekerja anak, pelacur anak, anak korban trafficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung.

4. Pengungsi (anak korban gempa, dan konflik). 5. Miskin ekstrim/ miskin absolut.

P r o s i d i n g S e m N a s 2 0 1 5 | 67

Demikian halnya dengan pengertian yang dimuat dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 tahun 2011 Pasal 1 menyebutkan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus atau yang lebih dikenal dengan istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang mengalami keterbatasan/ keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan anak-anak lain seusianya.

Definisi umum memberikan pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik (Heward, 2000). Yang termasuk kedalam kategori ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) antara lain anak dengan tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan maupun keterbatasan seperti faktor geografis/ perbatasan, daerah konflik, daerah rawan bencana dan lainnya. Pasal 32 ayat 2 Undang-undang Sisdiknas Anak Berkebutuhan Khusus Marjinal terdiri dari :

a. Anak korban sosial ekonomi, yang terdiri dari pekerja anak, anak pemulung, pengasong anak, anak pelacur, pelacur anak, anak korban trafficking, anak lapas, anak korban narkoba, anak korban HIV/AIDS, anak jalanan, anak korban perceraian, yatim piatu, anak putus sekolah, anak miskin absolut

b. Anak korban bencana, terdiri dari anak korban bencana alam, korban konflik, korban peperangan, anak pengungsi

c. Hambatan geografis, terdiri dari : anak TKI, 3 T (tertinggal, terisolir, terluar) seperti : anak suku/ pedalaman, anak pulau, anak di daerah tertinggal

Anak Berkebutuhan Khusus Non Disabilitas dalam hal ini dimaknai dengan memberikan pendidikan layanan khusus bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan/ sekolah karena keterbatasan faktor geografis seperti anak kepulauan dan dalam kasus ini adalah anak TKI. D. GERAKAN PENDIDIKAN DI TAPAL BATAS

Wujud dari kepedulian pendidikan di tapal batas ini adalah : PAUD, GERAKAN PEMBERANTASAN BUTA HURUF DAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TKI DI PERBATASAN PULAU SEBATIK”. Salah satu persoalan perbatasan yang dihadapi di wilayah Kecamatan Sebatik Tengah adalah persoalan di bidang pendidikan. Berbagai permasalahan yang ada mulai dari Prasarana Pendidikan yang

minim, Jumlah Tenaga Pendidik yang terbatas hingga masalah angka putus sekolah dan angka buta huruf masyakat yang cukup tinggi.

Berbagai persoalan tersebut melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan telah di akomodir dalam berbagai program dan kegiatan akan tetapi luasnya wilayah geografis kabupaten ditambah dengan ketersediaan anggaran yang terbatas sehingga penanganan masalah di bidang pendidikan di wilayah perbatasan belum sepenuhnya dapat ditangani dengan baik. Oleh sebab itu, kecamatan Sebatik Tengah bekerjasama dengan instansi dan lembaga yang peduli pendidikan bersinergi merancang dan melaksanakan beberapa program kerjasama dalam rangka turut serta mengatasi permasalahan di atas.

kepedulian Kecamatan Sebatik Tengah sebagai kecamatan perbatasan yang setiap hari melihat persoalan pendidikan tersebut mendorong munculnya ide, gagasan dan inovasi untuk meminialisir dan berkontribusi dalam menangani masalah pendidikan di perbatasan. Dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada berupa organisai kemasyarakatan, akhirnya pada tahun 2012 dilakasanakan kegiatan PAUD, pemberantasan Buta Huruf dan Pendidikan Anak TKI Sebatik. Kegiatan ini dilaksanakan atas dukungan Pemerintah Kecamatan dan Desa serta Dinas Pendidikan Kab. Nunukan. Secara teknis, pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan dilaksanakan oleh Yayasan Ar-Rasyid Pulau Sebatik (salah satu lembaga yang konsen dengan pendidikan bagi anak-anak TKI) bekerjasama dengan PKK Kecamatan Sebatik Tengah.

Berkat adanya gerakan tersebut, maka beberapa lembaga sosial maupun pemerintah kemudian tertarik dan terlibat untuk memberikan dukungan maupun bantuan. Salah satu lembaga non-pemeritnah yang cukup intens membantu masyarakat Sebatik Tengah dan khususnya lembaga pendidikan yang dikelola oleh Yayasan Ar-Rasyid adalah yayasan Dompet Dhuafa, salah satu lembaga amil zakat terkemuka di Indonesia.

Paling tidak ada 3 macam gerakan pendidikan di tapal batas, yakni PAUD, gerakan pemberantasan buta huruf dan gerakan pendidikan bagi anak TKI.

1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Banyaknya anak TKI yang bekerja di perkebunan kelapa sawit pulau Sebatik bagian wilayah negara Malaysia yang “dititipkan” di tapal batas juga adanya kebutuhan pendidikan usia dini bagi masyarakat setempat memerlukan layanan pendidikan ini. Meski dengan fasilitas minimum, pendidikan pada tingkatan ini tetap dilaksanakan. Lokasi pendidikan berada di kolong rumah penduduk dan digunakan secara

P r o s i d i n g S e m N a s 2 0 1 5 | 69

bergantian dengan kegiatan pendidikan lainnya, yakni gerakan pemberantasan buta huruf. PUD dikelola bekerja dengan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Nunukan. Sampai tahun 2015 sudah dibangun ruang untuk dua kelas.

2. Gerakan Pemberantasan Buta Huruf

Angka buta huruf di wilayah kecamatan sebatik tengah pada tahun 2012 terbilang cukup tinggi. Dulunya, sebelum ada gerakan pemberantasan buta huruf, dari empat desa yang ada Desa Sungai Limau menyumbang angka yang cukup tinggi. Untuk mengatasi persoalan buta huruf bagi masyarakat perbatasan Kecamatan Sebatik Tengah, maka pada tahun 2012 dilakasanakan kegiatan Keaksarahan Fungsional (KF) dengan membentuk kelompok KF yang dikelola bersama antara Yayasan Ar-Rasyd dan TP. PKK Kecamatan Sebatik Tengah.

Gb.1. Kegiatan Pembelajaran KF (Keaksaraan Fungsional)

Keaksaraan Fungsional Tingkat Dasar tahun 2012 sebanyak 11 kelompok dari yayasan Ar-Rasyid (110 orang) dan 5 kelompok dari Tim Penggerak PKK Kec. Sebatik Tengah (50 orang) total 160 orang, sedangkan tahun 2013 untuk yayasan Ar-Raysid 5 kelompok (50 orang) dan TP PKK 5 Kelompok (50 orang) total 100 orang. Secara keseluruhan alumni KF tingkat dasar di Kec. Sebatik Tengah sebanyak 260 orang, dengan rincian sebagai berikut :

a) Desa Sungai Limau : 20 kelompok (200 orang) b) Desa Aji Kuning : 2 kelompok (20 orang) c) Desa Bukit Harapan : 1 kelompok (10 orang) d) Desa Maspul : 3 kelompok (30 orang)

Dengan terlaksananya program Keaksarahan Fungsional (KF) di wilayah kecamatan Sebatik Tengah sejak tahun 2012 telah berdampak pada berkurangnya jumlah buta huruf. Selain itu beberapa masyarakat

yang telah menyelesaikan kegiatan KF melanjutkan dengan kegiatan Keaksarahan Umum Mandiri (KUM).

Salah satu hasil dari program KUM ini adalah terbentuknya Desa Vokasi di Desa Sungai Limau yang hingga kini juga telah menghasilkan produk di luar bidang pendidikan yakni berbagai macam produk olahan dari bahan baku pisang. Program Pemberantasan Buta Huruf ini juga melibatkan tenaga pengajar/tutor yang bekerja dengan sukarela dan berasal dari Staf Desa, Anggota PKK, Staf Kecamatan, Tenaga Pendidik yang ada di Sebatik Tengah.

3. Gerakan Pendidikan Bagi Anak TKI

Gerakan pendidikan bagi anak TKI adalah suatu gerakan yang muncul dari keprihatinan akan tingginya angka buta huruf dan angka putus sekolah di kalangangan TKI, khususnya yang bekerja di perusahaan perkebunan (baik yang dikelola oleh syarikat maupun oleh perusahaan besar) yang ada di Sebatik Malaysia. Akibat tidak adanya lembaga pendidikan yang didirikan perusahaan untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak TKI yang tersebar di perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah itu, maka pada umumnya, para TKI tersebut “terpaksa” menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah pemerintah yang ada di sepanjang perbatasan darat Sebatik Indonesia. Untuk sampai di sekolah, tidak sedikit dari anak-anak ini harus berjalan kaki antara 1,5 hingga 2 jam lamanya untuk sampai di sekolah-sekolah terdekat. Bagi yang memiliki keluarga, ada pula yang menitipkan anak-anak mereka untuk ditampung di rumah-rumah keluarga yang bermukim di wilayah Sebatik Indonesia.

P r o s i d i n g S e m N a s 2 0 1 5 | 71

Kombinasi antara perjalanan yang melelahkan dan godaan ringgit yang begitu kuat, serta kesadaran akan pentingnya pendidikan yang masih rendah disinyalir menjadi penyebab terus meningkatnya angka putus sekolah di kalangan anak-anak TKI. Mereka yang putus sekolah ini pada umumnya kemudian ikut membantu orang tuanya bekerja di perkebunan-perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan-perkebunan kakao yang ada di Sebatik Malaysia. Tidak sedikit di antara mereka yang telah bekerja dan menetap di perusahaan-perusahaan yang ada di negeri jiran itu selama dua hingga tiga generasi. Hidup mereka pun, jauh untuk dapat dikatakan layak akibat rendahnya pendidikan dan daya saing mereka.

Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan ini, maka yayasan ar-Rasyid dengan mendapat dukungan dari Pemerintah Desa setempat dan Pemerintah Kecamatan kemudian menggagas berbagi kegiatan yang melibatkan TKI di perbatasan guna menggugah kesadaran dan memberikan motivasi agar mereka lebih peduli terhadap pendidikan anak-anak mereka. Secara perlahan-lahan kesadaran mereka terhadap pendidikan mulai tumbuh kembali dan kepercayaan kepada pemerintah juga berangsur-angsur pulih. Muncullah gagasan-gagasan untuk menyelenggarakan gerakan-gerakan pendidikan dan pemberdayaan yang lebih terorganisir di mana yayasan ar-Rasyid dipercayakan untuk menjadi

leading sector-nya.

E. PERAN ORGANISASI NON PEMERINTAH DAN PEMERINTAH